Bu Hanan merasa tubuhnya melemas, ia menggapai lengan suaminya seolah meminta kepastian. "Arman, katakan sesuatu... Ini semua tidak benar, kan?"
Tuan Arman menghela napas panjang, wajahnya tetap tenang meski sorot matanya menyiratkan sesuatu yang dalam. "Apa yang kalian harapkan untuk aku katakan?"Jerry tersenyum miring. "Pengakuan."Rian menyandarkan tubuhnya di kursi roda, menatap ayahnya dengan ekspresi tak terbaca. "Atau mungkin alasan, kenapa Ayah tega melakukan semua ini."Tuan Arman menatap putranya dengan tatapan tajam. "Rian, kamu tahu sendiri dunia ini tidak sebersih yang kamu pikirkan. Jika aku tidak bertindak cepat, Hendrawan Corp sudah lama jatuh ke tangan orang lain. Aku melakukan apa yang harus aku lakukan untuk melindungi warisan keluarga kita."Zara merasakan amarah membakar dadanya. "Dengan mengorbankan nyawa orang lain? Dengan menghancurkan hidup orang-orang yang percaya padamu?"Tuan Arman menatap menantunya dengan dingin. "Zara, kamu terAldo melangkah masuk, aura dinginnya memenuhi ruangan. Mata kelamnya menyapu satu per satu wajah yang ada di hadapannya, menikmati ketegangan yang kini menguasai keluarga Hendrawan."Aldo," kata Tuan Arman tegas. "Katakan saja apa maumu."Aldo menatap pria tua itu, bibirnya membentuk seringai. "Mauku? Aku tidak punya kepentingan denganmu, Tuan Arman. Aku hanya ingin memberitahu sesuatu yang selama ini kalian pikir adalah kebenaran."Luna yang sejak tadi diam akhirnya bersuara, suaranya penuh ejekan. "Jangan bertele-tele, Aldo. Kalau kamu punya sesuatu untuk dikatakan, katakan saja."Aldo mengangkat alisnya, lalu menoleh ke arah Rian. "Aku ingin memberitahumu sesuatu, Rian. Perjalanan bisnismu ke Seoul itu..."Aldo tertawa kecil, menikmati ekspresi kebingungan Rian."Itu tidak pernah ada," lanjutnya. "Dari awal, itu adalah jebakan. Kamu tidak pernah memiliki janji dengan klien di Seoul. Perusahaan itu tidak pernah meminta pertemuan denganmu."Rian men
Rian menatap ke arah pintu yang kini tertutup rapat, menahan napas sejenak sebelum menghela panjang. Ia tahu ini hanyalah permulaan dari babak baru dalam hidup mereka.Dari sudut ruangan, Bu Hanan masih terduduk lemas di sofa, tatapannya kosong. Wanita itu kehilangan segalanya dalam satu malam. Suaminya, putranya, dan juga kebanggaan keluarganya.Luna, yang berdiri tidak jauh darinya, tampak frustasi. Dia masih tidak percaya bahwa rencananya berbalik melawan dirinya sendiri. "Ini tidak bisa berakhir seperti ini..." gumamnya, menggertakkan giginya.Namun, kali ini, tidak ada yang peduli pada Luna atau Bu Hanan. Semua orang sudah lelah.Sandi, yang berdiri di dekat pintu, akhirnya mendekati Rian. "Saya akan mengurus sisanya. Polisi masih perlu investigasi lebih lanjut, tapi untuk sementara ini, Anda bisa bernapas lega."Rian mengangguk. "Terima kasih, Sandi. Tanpamu, aku mungkin tidak akan bisa bertahan sejauh ini."Sandi tersenyum kecil, lalu menoleh ke a
Zara membuka pintu rumah mereka perlahan, aroma khas yang begitu akrab langsung menyambutnya. Meskipun sudah lama mereka tinggalkan, rumah ini tetap terasa hangat dan nyaman, tidak seperti rumah besar milik keluarga Rian yang selalu dipenuhi ketegangan.Semua perabot masih tertata rapi, tidak ada satu pun yang berubah. Seakan rumah ini setia menunggu mereka kembali. Semua itu tentu berkat Bu Sari, ibu Zara, yang dengan penuh kasih menjaga rumah ini selama mereka pergi.Saat mendengar suara pintu terbuka, Bu Sari keluar dari dapur dengan celemek masih melilit pinggangnya. Matanya membelalak begitu melihat Zara dan Rian berdiri di ambang pintu, terlebih saat melihat keadaan Rian yang masih dalam kursi roda."Zara? Rian?" suara Bu Sari bergetar, antara terkejut dan cemas.Zara tersenyum kecil, berjalan mendekati ibunya lalu memeluknya erat. "Ibu… kami pulang."Bu Sari menghela napas lega, tangannya membelai rambut putrinya penuh kasih. "Syukurlah, Nak… syukurlah kal
Pintu depan terbuka, dan Luna berdiri di sana, dengan ekspresi yang sulit dibaca. Rian tetap duduk di kursi rodanya, tatapannya keras, sementara Zara memandang dari balik meja makan, merasa perasaan tidak nyaman menyelimuti dirinya.Luna menundukkan kepala, sejenak terdiam, seolah mencari kata-kata yang tepat. Akhirnya, dengan suara bergetar, ia berkata,"Rian... Aku datang untuk memohon.""Memohon? Untuk apa?" tanyanya tajam.Luna mengangkat kepala, menatap Rian dengan mata yang penuh air mata. "Tolong bebaskan Jerry. Aku tahu dia di penjara karena perbuatannya, tapi aku... aku hamil anaknya."Suaranya hampir seperti bisikan, tetapi cukup keras untuk terdengar jelas.Zara merasa tubuhnya tiba-tiba terasa ringan, seperti terangkat dari tanah. Matanya membelalak, mulutnya kering. Hanya kata-kata "hamil anaknya" yang berputar-putar di pikirannya, membuat kepalanya pening."Apa... apa yang kamu katakan?" Zara akhirnya bisa mengucapkan kata-kata itu, suaranya bergetar, seolah tidak percay
Zara menghela napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian untuk menghadapi Rian. Ia tahu, sejak tadi suaminya diam bukan karena tidak peduli, melainkan karena menahan banyak hal dalam pikirannya. Dengan langkah pelan, Zara mendekati Rian yang duduk di dekat jendela, memandangi langit malam yang kelam."Rian…" suara Zara lirih, hampir bergetar.Rian tidak langsung menoleh, tetapi Zara tahu suaminya mendengarnya. Dengan hati-hati, Zara berlutut di hadapan Rian. Ia meraih tangan Rian dan menggenggamnya erat."Aku minta maaf," lanjutnya dengan suara penuh penyesalan. "Tidak seharusnya aku bersikap seperti itu di hadapanmu. Aku terlalu larut dalam emosiku, dalam ketakutanku, sampai aku lupa kalau aku masih memiliki seseorang yang selalu ada di sisiku."Rian akhirnya menoleh, matanya menatap lurus ke dalam mata Zara. Ada sorot kesedihan di sana, tetapi juga ketegasan yang tak pernah luntur. Ia mengangkat tangan, menyentuh pipi Zara dengan
Ruang sidang hari itu penuh sesak. Para wartawan dan pengunjung memenuhi setiap sudut, beberapa sibuk mencatat, sementara yang lain berbisik-bisik, mendiskusikan kasus yang tengah menggemparkan kota.Kasus ini bukan perkara biasa. Tiga terdakwa, satu warisan besar, dan serangkaian kejahatan yang sudah tertutupi selama bertahun-tahunDi barisan depan, Zara duduk bersama Rian, tangannya menggenggam erat jemari suaminya. Hatinya berdegup kencang. Hari ini, akhirnya kasus yang menghantui hidupnya selama ini akan dibuka.Hakim mengetuk palu tiga kali, mengisyaratkan bahwa sidang akan segera dimulai. Semua orang menahan napas.“Sidang perkara pembunuhan berencana, percobaan pembunuhan, penggelapan dana, serta penjualan aset ilegal atas nama terdakwa Tuan Arman, Jerry, dan Aldo resmi dibuka.”Semua orang di ruangan berdiri sejenak sebelum kembali duduk.Jaksa segera berdiri, membuka sidang dengan pernyataan, “Yang Mulia, hari ini kami menghadirkan tiga tersangka yang terkait dalam beberapa
Bu Hanan berjalan dengan tenang, meskipun matanya menyiratkan kelelahan. Ia berdiri di kursi saksi, menarik napas dalam sebelum akhirnya berbicara."Nama saya Hanan. Saya adalah istri dari Tuan Arman selama lebih dari empat puluh tahun."Suasana ruangan terasa tegang. Tak ada yang menyangka wanita ini akan berdiri di sini, di hadapan hakim, melawan suaminya sendiri.Jaksa menatap Bu Hanan dengan seksama. "Bu Hanan, bisakah Anda menjelaskan apa yang Anda ketahui tentang keterlibatan suami Anda dalam kasus ini?"Bu Hanan mengepalkan tangannya, seolah berusaha mengumpulkan keberanian. Matanya menatap lurus ke depan, tidak sedikit pun melirik ke arah pria yang selama ini menjadi suaminya."Saya tahu banyak hal. Terlalu banyak." Suaranya bergetar, tetapi ia melanjutkan, "Selama bertahun-tahun, saya diam. Saya berpikir bahwa itu tugas saya sebagai istri untuk selalu patuh. Tapi semakin lama saya menyadari… saya bukan hanya istri, saya juga seor
Zara menatap Bu Hanan dengan mata berkaca-kaca. Sejenak, ia ragu. Wanita itu selalu terlihat begitu tegas dan emosinal, seolah tak ada yang bisa mendikte hidupnya. Dia juga tampak begitu patuh pada suaminya.Namun hari ini, di hadapan pengadilan, Bu Hanan telah melakukan hal yang tidak pernah Zara bayangkan. Berdiri melawan suaminya sendiri, mengungkap semua kejahatannya.Dengan hati yang penuh rasa haru dan terima kasih, Zara melangkah maju dan memeluk Bu Hanan erat. Wanita itu sedikit terkejut, tetapi perlahan-lahan membalas pelukan Zara."Terima kasih..." suara Zara bergetar. "Aku tidak menyangka Ibu akan bersaksi… Terima kasih karena telah berani mengatakan yang sebenarnya."Bu Hanan mengelus punggung Zara dengan lembut. "Aku hanya melakukan hal yang seharusnya sudah kulakukan sejak lama," suaranya bergetar. "Aku terlalu takut selama ini, membiarkan Arman berbuat sesuka hatinya… Aku hampir kehilangan anakku karena kebodohanku sendiri."
Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Pernikahan Jerry dan Tasya berlangsung di sebuah taman indah yang dihiasi dengan bunga-bunga putih dan lilin-lilin kecil yang berkelap-kelip. Langit cerah, burung-burung berkicau seolah ikut merayakan kebahagiaan mereka.Di antara para tamu, Rian dan Zara berdiri di barisan depan, tersenyum bangga melihat sahabat mereka akhirnya bersatu dalam ikatan suci.Di samping mereka, dua anak kecil yang menggemaskan, Naomi dan Nathan, anak kembar mereka berlari-lari kecil sambil menggenggam bantal berbentuk hati sambil membawa cincin pernikahan."Tante Tasya cantik sekali!" seru Naomi dengan mata berbinar.Nathan mengangguk setuju. "Om Jerry juga kelihatan keren hari ini!"Zara tersenyum dan berbisik pada Rian, "Mereka lebih bersemangat dari kita."Rian terkekeh. "Ya, lihat saja nanti, mereka pasti ikut heboh di pesta."Sementara itu, Jerry berdiri di altar dengan gugup, menunggu Tasya yang berjalan menuju ke arahnya. Gaun putih pa
Jerry berdiri di depan cermin, merapikan kemeja putihnya yang baru disetrika. Ini bukan pertama kalinya dia merasa gugup, tetapi kali ini berbeda. Hari ini adalah hari di mana dia akan mengambil langkah terbesar dalam hidupnya.Melamar Tasya.Setelah berbicara dengan kedua orang tua Tasya beberapa hari lalu, dia semakin yakin bahwa ini adalah keputusan yang tepat. Dia tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Dia mencintai Tasya, dan dia ingin menghabiskan sisa hidupnya bersamanya.Jerry telah merencanakan semuanya dengan matang. Dia ingin momen ini menjadi sesuatu yang Tasya kenang selamanya. Dia memilih restoran rooftop eksklusif dengan pemandangan kota yang indah di malam hari.Di sana, dia sudah menyiapkan dekorasi dengan lilin-lilin kecil, kelopak bunga mawar, dan musik romantis yang akan mengiringi makan malam mereka.Tidak hanya itu, Jerry juga meminta bantuan sahabat-sahabat Tasya untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Sahabat terbaik Tasya, Rina dan Dita
Malam itu, Jerry duduk di dalam mobilnya, menatap ponselnya dengan ragu. Jarinya berulang kali melayang di atas nama Tasya, tetapi ia tidak juga menekan tombol panggil.Setelah percakapan dengan Rian, pikirannya semakin kacau. Dia ingin berbicara dengan Tasya, ingin meyakinkan bahwa perasaannya tulus. Namun, dia juga tidak ingin membuat perempuan itu semakin menjauh.Akhirnya, dengan tekad yang sudah bulat, Jerry keluar dari mobilnya dan berjalan menuju rumah sakit tempat Tasya bekerja. Dia tahu jam kerja perempuan itu hampir selesai. Jika dia ingin bicara, ini adalah kesempatan terbaiknya.Saat ia sampai di lobi rumah sakit, matanya segera menangkap sosok Tasya yang sedang berbicara dengan seorang pria berseragam dokter. Jerry mengenali pria itu, dokter Alex, rekan kerja Tasya yang pernah beberapa kali ia dengar namanya disebut dalam percakapan mereka.Ada sesuatu dalam cara Tasya tertawa kecil yang membuat Jerry merasa gelisah. Itu adalah tawa yang dulu sering ia d
Beberapa hari berlalu sejak percakapan itu, dan Jerry mulai menyadari sesuatu yang aneh. Tasya tidak lagi menghubunginya seperti sebelumnya. Tidak ada pesan singkat menanyakan kabarnya, tidak ada ajakan makan siang atau sekadar berbagi cerita.Jika biasanya Tasya selalu hadir dengan senyumannya yang hangat, kini dia seakan menghilang begitu saja.Awalnya, Jerry berpikir bahwa Tasya hanya sibuk dengan pekerjaannya di rumah sakit. Tapi ketika dia mencoba menghubunginya, hanya balasan singkat yang ia dapatkan, atau bahkan pesan yang tidak pernah dibalas sama sekali.Rasa penasaran mulai mengusik Jerry. Ada sesuatu yang terjadi, dan dia ingin tahu alasannya. Sore itu, dia memutuskan untuk menunggu di luar rumah sakit tempat Tasya bekerja.Setelah beberapa jam berlalu, akhirnya dia melihat sosok perempuan itu keluar dari gedung dengan wajah lelah. Tasya tampak terkejut ketika melihat Jerry berdiri di sana.“Tasya,” panggil Jerry pelan.Tasya menghentikan langkahny
Hari-hari berlalu sejak Jerry membantu Tasya mendapatkan pekerjaan di rumah sakit. Semakin sering mereka bertemu, semakin banyak pula percakapan yang mereka bagi.Jerry, yang biasanya tertutup, mulai menemukan kenyamanan dalam keberadaan Tasya. Sementara itu, Tasya juga merasakan sesuatu yang berbeda saat berbicara dengan Jerry.Suatu sore setelah jam kerja, Tasya sedang membereskan berkas-berkas pasien di meja resepsionis. Jerry, yang kebetulan baru menyelesaikan pertemuan dengan direktur rumah sakit, melihat Tasya yang terlihat lelah."Masih sibuk?" tanya Jerry sambil menyandarkan tangannya di meja.Tasya menoleh dan tersenyum tipis. "Iya, harus menyelesaikan ini dulu sebelum pulang. Kamu sendiri, kenapa masih di sini?"Jerry mengangkat bahunya. "Menunggu seseorang," jawabnya santai."Menunggu siapa?" Tasya bertanya sambil melirik jam tangannya. Rumah sakit sudah mulai sepi, hanya tersisa beberapa staf yang juga bersiap untuk pulang.Jerry tersenyum kec
Jerry melangkah memasuki supermarket dengan langkah santai. Acara pernikahan Lena dan Sandi tadi cukup melelahkan, dan sekarang ia hanya ingin membeli minuman dingin untuk menyegarkan pikirannya.Setelah mengambil sebotol air mineral dari lemari pendingin, ia beranjak ke kasir. Saat itu, matanya menangkap sosok seorang wanita yang sedang sibuk merapikan barang di rak dekat kasir.Rambut panjangnya diikat ke belakang, dan ia mengenakan seragam pegawai supermarket berwarna hijau. Ketika wanita itu berbalik, mata mereka bertemu, dan keduanya terdiam."Tasya?" Jerry mengernyit, mencoba memastikan bahwa penglihatannya tidak salah.Wanita itu pun terkejut, lalu tersenyum setelah memastikan siapa yang berdiri di hadapannya. "Jerry? Ya ampun, lama sekali kita tidak bertemu!" serunya dengan nada antusias.Jerry mengangguk pelan, masih memproses fakta bahwa ia bertemu dengan teman Zara di masa lalu. "Sudah lama sekali. Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini."
Rian tiba-tiba saja berjongkok di hadapan istrinya, mengeluarkan sebuah kotak dari sakunya. Dia mengungkapkan cintanya, melamar Zara lagi. Dia bilang, mungkin dulu mereka menikah karena paksaan dan Rian hanyalah peran pengganti Jerry. Namun, sekarang Rian ingin hidup bersama dengan Zara, saling mencintai.Zara menatap Rian dengan mata berkaca-kaca. Dadanya bergemuruh, campuran antara keterkejutan dan kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan. "Rian..." suaranya hampir tak terdengar.Rian membuka kotak kecil itu, menampilkan cincin berlian yang berkilauan di bawah cahaya lampu taman mereka. "Zara, aku ingin kita memulai kembali. Kali ini, bukan karena keadaan atau paksaan. Aku ingin menikahimu lagi, dengan sepenuh hati dan dengan rasa cinta yang tak terbantahkan."Zara menutup mulutnya, air mata mulai mengalir. Hatinya berdesir hangat mendengar pengakuan itu. Sejak dulu, ia selalu mempertanyakan bagaimana perasaan Rian sebenarnya. Apakah ia hanya menjadi bayanga
Hari itu, suasana di Hendrawan Group terasa berbeda. Para karyawan berbisik-bisik sejak pagi, membicarakan satu hal yang menjadi pusat perhatian mereka. Kembalinya Jerry Hendrawan sedang menjadi topik hangat. Setelah empat tahun berlalu, nama Jerry kembali menggema di dalam gedung perusahaan.Sejak kepergiannya, banyak hal telah berubah. Rian, yang selama ini mengelola perusahaan, sudah menyiapkan semuanya. Ia tidak ingin ada kekacauan atau ketidakjelasan dalam transisi ini. Bagaimanapun, Jerry adalah pemilik sah Hendrawan Group, dan Rian tahu saatnya sudah tiba untuk mengembalikan hak tersebut.Saat Jerry memasuki gedung, semua mata tertuju padanya. Pria itu mengenakan setelan hitam dengan kemeja putih bersih, langkahnya tegas dan penuh percaya diri. Tidak ada lagi bayangan pria yang dulu penuh kemarahan dan dendam. Wajahnya terlihat lebih matang, lebih tenang, meskipun masih menyimpan ketegasan yang khas.Ketika lift membawanya ke lantai eksekutif, sekretaris Rian sege
Zara melangkah memasuki rumah sakit dengan perasaan campur aduk. Setelah sekian lama absen dari dunia medis, hari ini adalah hari pertamanya kembali bertugas sebagai dokter.Meskipun ia sudah terbiasa membantu Rian di perusahaan, dunia rumah sakit adalah tempat di mana hatinya benar-benar berada. Perasaan nostalgia langsung menyergapnya begitu ia melewati koridor yang dulu sangat akrab baginya."Selamat datang kembali, Dokter Zara," sapa salah satu perawat yang dikenalnya, Rina, dengan senyum ramah.Zara membalas dengan anggukan hangat. "Terima kasih, Rina. Bagaimana keadaan di sini? Apa ada perubahan besar selama aku pergi?"Rina tertawa kecil. "Tidak banyak, hanya saja kami kehilangan seorang dokter yang sangat berdedikasi. Sekarang, kami senang karena dokter itu kembali."Zara tersenyum, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang ganti. Ia mengenakan jas putihnya dengan perasaan familiar yang menyenangkan. Setelah merapikan rambutnya, ia menuju ruang rapat untuk