Rian menatap ke arah pintu yang kini tertutup rapat, menahan napas sejenak sebelum menghela panjang. Ia tahu ini hanyalah permulaan dari babak baru dalam hidup mereka.Dari sudut ruangan, Bu Hanan masih terduduk lemas di sofa, tatapannya kosong. Wanita itu kehilangan segalanya dalam satu malam. Suaminya, putranya, dan juga kebanggaan keluarganya.Luna, yang berdiri tidak jauh darinya, tampak frustasi. Dia masih tidak percaya bahwa rencananya berbalik melawan dirinya sendiri. "Ini tidak bisa berakhir seperti ini..." gumamnya, menggertakkan giginya.Namun, kali ini, tidak ada yang peduli pada Luna atau Bu Hanan. Semua orang sudah lelah.Sandi, yang berdiri di dekat pintu, akhirnya mendekati Rian. "Saya akan mengurus sisanya. Polisi masih perlu investigasi lebih lanjut, tapi untuk sementara ini, Anda bisa bernapas lega."Rian mengangguk. "Terima kasih, Sandi. Tanpamu, aku mungkin tidak akan bisa bertahan sejauh ini."Sandi tersenyum kecil, lalu menoleh ke a
Zara membuka pintu rumah mereka perlahan, aroma khas yang begitu akrab langsung menyambutnya. Meskipun sudah lama mereka tinggalkan, rumah ini tetap terasa hangat dan nyaman, tidak seperti rumah besar milik keluarga Rian yang selalu dipenuhi ketegangan.Semua perabot masih tertata rapi, tidak ada satu pun yang berubah. Seakan rumah ini setia menunggu mereka kembali. Semua itu tentu berkat Bu Sari, ibu Zara, yang dengan penuh kasih menjaga rumah ini selama mereka pergi.Saat mendengar suara pintu terbuka, Bu Sari keluar dari dapur dengan celemek masih melilit pinggangnya. Matanya membelalak begitu melihat Zara dan Rian berdiri di ambang pintu, terlebih saat melihat keadaan Rian yang masih dalam kursi roda."Zara? Rian?" suara Bu Sari bergetar, antara terkejut dan cemas.Zara tersenyum kecil, berjalan mendekati ibunya lalu memeluknya erat. "Ibu… kami pulang."Bu Sari menghela napas lega, tangannya membelai rambut putrinya penuh kasih. "Syukurlah, Nak… syukurlah kal
Pintu depan terbuka, dan Luna berdiri di sana, dengan ekspresi yang sulit dibaca. Rian tetap duduk di kursi rodanya, tatapannya keras, sementara Zara memandang dari balik meja makan, merasa perasaan tidak nyaman menyelimuti dirinya.Luna menundukkan kepala, sejenak terdiam, seolah mencari kata-kata yang tepat. Akhirnya, dengan suara bergetar, ia berkata,"Rian... Aku datang untuk memohon.""Memohon? Untuk apa?" tanyanya tajam.Luna mengangkat kepala, menatap Rian dengan mata yang penuh air mata. "Tolong bebaskan Jerry. Aku tahu dia di penjara karena perbuatannya, tapi aku... aku hamil anaknya."Suaranya hampir seperti bisikan, tetapi cukup keras untuk terdengar jelas.Zara merasa tubuhnya tiba-tiba terasa ringan, seperti terangkat dari tanah. Matanya membelalak, mulutnya kering. Hanya kata-kata "hamil anaknya" yang berputar-putar di pikirannya, membuat kepalanya pening."Apa... apa yang kamu katakan?" Zara akhirnya bisa mengucapkan kata-kata itu, suaranya bergetar, seolah tidak percay
Zara menghela napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian untuk menghadapi Rian. Ia tahu, sejak tadi suaminya diam bukan karena tidak peduli, melainkan karena menahan banyak hal dalam pikirannya. Dengan langkah pelan, Zara mendekati Rian yang duduk di dekat jendela, memandangi langit malam yang kelam."Rian…" suara Zara lirih, hampir bergetar.Rian tidak langsung menoleh, tetapi Zara tahu suaminya mendengarnya. Dengan hati-hati, Zara berlutut di hadapan Rian. Ia meraih tangan Rian dan menggenggamnya erat."Aku minta maaf," lanjutnya dengan suara penuh penyesalan. "Tidak seharusnya aku bersikap seperti itu di hadapanmu. Aku terlalu larut dalam emosiku, dalam ketakutanku, sampai aku lupa kalau aku masih memiliki seseorang yang selalu ada di sisiku."Rian akhirnya menoleh, matanya menatap lurus ke dalam mata Zara. Ada sorot kesedihan di sana, tetapi juga ketegasan yang tak pernah luntur. Ia mengangkat tangan, menyentuh pipi Zara dengan
Ruang sidang hari itu penuh sesak. Para wartawan dan pengunjung memenuhi setiap sudut, beberapa sibuk mencatat, sementara yang lain berbisik-bisik, mendiskusikan kasus yang tengah menggemparkan kota.Kasus ini bukan perkara biasa. Tiga terdakwa, satu warisan besar, dan serangkaian kejahatan yang sudah tertutupi selama bertahun-tahunDi barisan depan, Zara duduk bersama Rian, tangannya menggenggam erat jemari suaminya. Hatinya berdegup kencang. Hari ini, akhirnya kasus yang menghantui hidupnya selama ini akan dibuka.Hakim mengetuk palu tiga kali, mengisyaratkan bahwa sidang akan segera dimulai. Semua orang menahan napas.“Sidang perkara pembunuhan berencana, percobaan pembunuhan, penggelapan dana, serta penjualan aset ilegal atas nama terdakwa Tuan Arman, Jerry, dan Aldo resmi dibuka.”Semua orang di ruangan berdiri sejenak sebelum kembali duduk.Jaksa segera berdiri, membuka sidang dengan pernyataan, “Yang Mulia, hari ini kami menghadirkan tiga tersangka yang terkait dalam beberapa
Bu Hanan berjalan dengan tenang, meskipun matanya menyiratkan kelelahan. Ia berdiri di kursi saksi, menarik napas dalam sebelum akhirnya berbicara."Nama saya Hanan. Saya adalah istri dari Tuan Arman selama lebih dari empat puluh tahun."Suasana ruangan terasa tegang. Tak ada yang menyangka wanita ini akan berdiri di sini, di hadapan hakim, melawan suaminya sendiri.Jaksa menatap Bu Hanan dengan seksama. "Bu Hanan, bisakah Anda menjelaskan apa yang Anda ketahui tentang keterlibatan suami Anda dalam kasus ini?"Bu Hanan mengepalkan tangannya, seolah berusaha mengumpulkan keberanian. Matanya menatap lurus ke depan, tidak sedikit pun melirik ke arah pria yang selama ini menjadi suaminya."Saya tahu banyak hal. Terlalu banyak." Suaranya bergetar, tetapi ia melanjutkan, "Selama bertahun-tahun, saya diam. Saya berpikir bahwa itu tugas saya sebagai istri untuk selalu patuh. Tapi semakin lama saya menyadari… saya bukan hanya istri, saya juga seor
Zara menatap Bu Hanan dengan mata berkaca-kaca. Sejenak, ia ragu. Wanita itu selalu terlihat begitu tegas dan emosinal, seolah tak ada yang bisa mendikte hidupnya. Dia juga tampak begitu patuh pada suaminya.Namun hari ini, di hadapan pengadilan, Bu Hanan telah melakukan hal yang tidak pernah Zara bayangkan. Berdiri melawan suaminya sendiri, mengungkap semua kejahatannya.Dengan hati yang penuh rasa haru dan terima kasih, Zara melangkah maju dan memeluk Bu Hanan erat. Wanita itu sedikit terkejut, tetapi perlahan-lahan membalas pelukan Zara."Terima kasih..." suara Zara bergetar. "Aku tidak menyangka Ibu akan bersaksi… Terima kasih karena telah berani mengatakan yang sebenarnya."Bu Hanan mengelus punggung Zara dengan lembut. "Aku hanya melakukan hal yang seharusnya sudah kulakukan sejak lama," suaranya bergetar. "Aku terlalu takut selama ini, membiarkan Arman berbuat sesuka hatinya… Aku hampir kehilangan anakku karena kebodohanku sendiri."
Beberapa hari kemudian, sidang kedua dilanjutkan. Ruang sidang kembali penuh. Kali ini, suasana lebih panas daripada sebelumnya. Wartawan bahkan terlihat semakin banyak, kamera siap mengabadikan setiap momen penting dari kasus ini. Sementara di kursi pengunjung, keluarga dan orang-orang terkait duduk dengan ekspresi penuh harap dan ketegangan. Jerry Hendrawan duduk di kursi terdakwa, ekspresinya tampak tenang, tetapi sorot matanya menyiratkan kecemasan. Di sebelahnya, Tuan Arman, pria yang selama ini ia anggap sebagai ayah juga duduk sebagai terdakwa. Sementara itu, Aldo, kaki tangan Tuan Arman yang terlibat dalam sabotase kecelakaan Jerry, duduk di kursi ketiga. Hakim mengetuk palu, menandakan sidang dimulai. "Sidang lanjutan ini akan membahas kasus terdakwa Jerry Hendrawan, yang didakwa atas penggelapan dana, penjualan aset ilegal, serta penyerangan terhadap saksi Rian." Jerry tetap diam, sementara pengacaranya bersiap memberikan pembelaan. Jaksa berdiri, berjalan menuju meja
Di kamar, suasana terasa semakin tegang. Rian duduk di ujung ranjang, sementara Zara berdiri di dekat jendela, merenung, dengan pandangan kosong yang menembus keluar. Rian memerhatikan setiap gerakan Zara, menyadari betapa dalamnya pikiran istrinya, namun hatinya tetap kokoh dengan keputusan yang sudah diambil.“Zara, aku tahu kamu peduli pada Jerry,” suara Rian pecah, lembut namun penuh penekanan. “Tapi kita tidak bisa membiarkan perasaan itu mengaburkan kenyataan. Dia sudah melakukan banyak hal yang merusak hidup kita. Kita tidak bisa membiarkan dia melangkah bebas begitu saja.”Zara menoleh, menatap Rian dengan mata yang dipenuhi kebingungannya. “Tapi… Rian, dia juga manusia. Dia punya sisi baik, dan aku tahu itu. Aku ingin dia mendapatkan kesempatan untuk berubah.”Rian mendekat, bergeser dengan langkah pelan hingga berada di belakang Zara. Tangannya meraih tangan Zara, lembut namun tegas. “Aku mengerti perasaanmu, tapi ingat, ada batasnya. Aku tidak akan membiarkan
Hari itu, Zara mengatur pertemuan dengan Arka di sebuah kafe yang cukup tenang di pusat kota. Ia mengenakan gaun sederhana berwarna biru muda, dengan mantel panjang untuk melindungi tubuhnya dari angin yang cukup dingin.Saat ia tiba, Arka sudah duduk di salah satu sudut kafe. Pria itu tampak rapi seperti biasa, mengenakan kemeja hitam yang dipadukan dengan jas abu-abu.“Zara,” sapa Arka dengan senyum tipis.Zara tersenyum kecil dan duduk di hadapannya. “Terima kasih sudah meluangkan waktu.”Arka mengangguk. “Tentu. Aku juga ingin berbicara denganmu.”Zara terdiam sejenak, memperhatikan ekspresi pria di depannya. Sekalipun Rian menyebutnya sebagai Riko, tidak ada jejak kebencian atau kesombongan di wajahnya saat ini.“Kamu mengenal Luna dengan baik, kan?” tanya Zara akhirnya.Arka menghela napas pelan. “Dia adikku. Tentu saja aku mengenalnya.”“Tapi kamu tidak datang saat pemakamannya.”Arka menatap Zara dengan mata yang dalam. “Karena aku tidak i
Zara duduk di ruang tamu keluarga Hendrawan, mengusap perutnya yang mulai membesar. Sudah beberapa hari sejak pemakaman Luna, tapi pikirannya masih dipenuhi oleh pria yang muncul hari itu. Arka. Kakak Luna yang tiba-tiba hadir dalam hidup mereka.Dia merasa ada yang janggal.Zara memang tidak begitu mengenal Luna secara pribadi, tapi dia tahu bahwa keluarga perempuan itu cukup terpandang. Seharusnya ada anggota keluarga yang datang di hari pemakamannya. Namun, yang muncul hanya Arka. Dan sekarang, pria itu tiba-tiba menjadi bagian dari kehidupannya lagi.Saat Rian masuk ke ruangan, Zara langsung menatapnya dengan penuh tanda tanya.“Kamu sudah menyelidiki Arka, kan?” tanyanya tanpa basa-basi.Rian terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Ya.”Zara mencondongkan tubuhnya ke depan, penasaran. “Dan? Siapa dia sebenarnya?”Rian menarik napas dalam. Dia tahu cepat atau lambat Zara pasti akan bertanya. “Arkana Rikovan… dia bukan orang asing bagiku,” katanya perlahan.
“Jadi, kau mengenalnya?” tanya Bu Hanan yang tampak bingung dengan reaksi Zara.Zara mengangguk perlahan, masih belum bisa menyembunyikan keterkejutannya. “Dia… dia dulu hampir menjadi pengacaraku.”Lena langsung menoleh tajam. “Apa?!”Pria itu mengangguk. “Namaku Arka. Aku memang seorang pengacara, dan saat itu aku menerima permintaan untuk menangani perceraianmu. Tapi sebelum semuanya dimulai, aku mendadak mendapat panggilan lain, dan ternyata kamu menarik kembali tuntutan itu.”Zara ingat. Saat itu, ia sangat berharap bisa mendapatkan pengacara yang bisa membantunya keluar dari pernikahannya dengan Rian. Arka adalah salah satu pengacara terbaik, tapi tiba-tiba ia menarik diri dari kasusnya, tanpa penjelasan yang jelas.Sekarang semuanya mulai masuk akal. Jika Arka adalah kakak Luna, mungkin itulah alasan dia mundur dari kasusnya, karena keterkaitan keluarganya dengan situasi yang lebih besar.“Kenapa kamu ingin bertemu denganku?” tanya Zara akhirnya, suara
Lena dan Zara turun dari mobil dengan langkah yang sedikit ragu. Udara sore yang sejuk menyelimuti halaman luas kediaman keluarga Hendrawan, tapi kehangatan itu tidak cukup untuk mengusir kegelisahan dalam hati Zara.Sudah berbulan-bulan sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di rumah ini. Sejak ia meninggalkan semua yang ada di sini dan memilih membangun hidup baru bersama Rian.Ia tidak pernah berpikir akan kembali, apalagi dalam keadaan seperti ini, membawa dua nyawa dalam kandungannya dan kembali sebagai istri Rian secara resmi, bukan hanya sekadar wanita yang terikat dalam pernikahan tanpa cinta seperti dulu.Pelayan-pelayan di rumah itu menyambut mereka dengan sopan, tapi Zara masih bisa merasakan sisa-sisa tatapan meremehkan yang dulu pernah ia terima. Meskipun kini Bu Hanan, ibu mertuanya, sudah mulai menunjukkan perubahan, trauma akan masa lalu masih melekat kuat di dalam hatinya.“Bu Hanan ada di dalam, Nona,” kata salah satu pelayan, membukakan pintu bes
Zara duduk di dalam mobil dengan gelisah. Hatinya dipenuhi berbagai perasaan yang bercampur aduk. Rian sudah memintanya untuk fokus pada kehamilannya, tapi ada sesuatu yang masih mengganjal pikirannya."Lena, sebelum kita pulang... Aku ingin bertemu dengan Jerry dulu," katanya tiba-tiba.Lena menoleh dengan alis berkerut. "Kamu yakin? Bukannya Rian sudah bilang untuk tidak terlalu memikirkan hal ini?""Aku tahu," Zara menghela napas. "Tapi aku merasa harus bertemu dengannya. Aku ingin mengucapkan terima kasih. Kalau bukan karena darahnya, mungkin aku dan bayi-bayiku..." Suaranya melemah, tak sanggup menyelesaikan kalimatnya.Lena terdiam sejenak, lalu akhirnya mengangguk. "Baiklah, kita mampir sebentar."Mobil pun berbelok menuju kantor polisi tempat Jerry ditahan. Begitu sampai, Zara langsung merasakan atmosfer yang dingin dan suram. Ruangan yang dipenuhi jeruji besi itu seakan menekan perasaannya.Petugas mengizinkan mereka untuk bertemu dengan Jerry di rua
Malam semakin larut, tetapi pikiran Rian tak bisa tenang. Ia duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop yang menampilkan laporan keuangan terakhir. Lima miliar rupiah bukan hanya angka biasa, itu adalah serangan langsung terhadap perusahaan dan dirinya.Ia tahu bahwa menjadi pemimpin bukanlah hal mudah, tetapi semakin hari, semakin banyak yang ingin melihatnya jatuh. Apalagi setelah keluarga Hendrawan hancur, banyak pihak yang merasa kehilangan pegangan. Mereka mencari celah, dan sekarang, pencurian dana ini bisa jadi bagian dari permainan mereka.Zara berjalan mendekat, membawa secangkir teh hangat. "Kamu belum tidur?" tanyanya lembut.Rian tersenyum tipis, menerima cangkir itu. "Banyak yang harus kupikirkan."Zara duduk di sampingnya. "Menurutmu, ini ada hubungannya dengan keluarga Hendrawan?"Rian mengangguk. "Kemungkinan besar. Setelah keluarga kita jatuh, banyak pihak yang kehilangan perlindungan dan mulai bergerak sendiri. Aku tidak terkejut kalau sekara
Saat Jerry kembali digiring oleh dua polisi menuju mobil tahanan, Zara menghela napas berat. Ia ingin melepaskan segala kepenatan ini, tapi matanya terusik oleh sesuatu.Di kejauhan, di balik pohon yang sedikit tertutup kabut hujan, seorang pria tampak mengawasi mereka. Sosoknya tinggi, mengenakan jaket gelap dengan tudung yang menutupi sebagian wajahnya. Sekilas, Zara bisa melihat rahangnya yang tegas dan tatapan tajamnya yang menusuk.Zara menoleh ke Rian, memastikan apakah suaminya juga menyadarinya. Namun, Rian justru sibuk menyesuaikan tongkatnya di tanah becek."Rian..." Zara berbisik, sedikit menarik lengannya. "Ada seseorang di sana. Sejak tadi dia berdiri di balik pohon dan memperhatikan kita."Rian menoleh ke arah yang dimaksud, tapi pria itu segera berbalik, berjalan menjauh sebelum akhirnya menghilang di antara pepohonan pemakaman.Lena dan Sandi yang mendengar percakapan mereka ikut melihat ke sekitar. "Kamu yakin, Zara?" tanya Lena."Aku yakin.
"Zara, sebenarnya Jerry mendonorkan banyak darah untukmu. Jika bukan karena dia, aku tida tahu apa yang terjadi padamu dan si kembar." Rian berkata dengan berat hati, namun Zara harus tetap tahu.Zara terdiam sejenak, mencerna kata-kata Rian. Matanya menatap kosong ke depan, pikirannya melayang pada kejadian beberapa hari lalu, saat dirinya terbaring lemah, nyaris kehilangan segalanya."Jerry...?" gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.Rian mengangguk, menatap wajah Zara dengan serius. "Iya, dia yang menyelamatkanmu. Darahmu langka, dan rumah sakit tidak punya stok. Kalau bukan karena Jerry yang mendonorkan darahnya, aku nggak tahu apa yang akan terjadi."Zara menggigit bibirnya, perasaannya bercampur aduk. Jerry orang yang dulu sempat menjadi bagian dari hidupnya, kini terasa terikat dengan takdirnya dalam cara yang tidak pernah ia bayangkan."Jadi... aku hidup karena dia?" tanyanya pelan, lebih kepada dirinya sendiri."Bukan cuma kam