“Tidak apa, menangislah agar sedikit lega.”Cheryl masih memeluk sambil mengusap punggung Bintang. Untuk saat ini, hanya hal itu yang bisa dilakukan oleh Cheryl.Cheryl menunggu Bintang bercerita dengan pikiran tenang. Dia tahu serumit apa hubungan antara Bintang dan Langit. Dia mungkin tidak tahu bagaimana perasaan Bintang, tapi Cheryl tahu bagaimana perasaan Langit.Setelah cukup lama Bintang menangis, akhirnya bisa menenangkan diri. Adanya Cheryl di sana, bisa sedikit membuat perasaan Bintang tenang.“Sudah mendingan?” tanya Cheryl penuh kelembutan. Secara umur dan memahami kehidupan, mungkin Cheryl memiliki nilai plus ketimbang Bintang.Bintang mengangguk-angguk. Cheryl sendiri mengambil tisu, kemudian menghapus jejak air mata yang masih menggenang di bawah pelupuk mata.“Ceritakan padaku, apa yang terjadi? Apa yang dilakukan Langit? Juga apa yang membuatmu merasa berat,” pinta Cheryl dengan suara lembut. Meski dia bisa menebak penyebab Bintang sedih, tapi dia ingin mendengar dari
“Puncak dari sebuah keikhlasan adalah saat kamu bisa menerima masa lalu terburuk dari orang yang kamu cintai.”Cheryl kembali bicara saat Bintang terlihat tenang dan lebih baik.“Aku tidak memaksamu mempercayai itu, tapi aku sedang bercermin pada apa yang ada di sekitarku. Daddy yang menerima segala kekurangan Mommy, ikhlas menerima seberapa kelam masa lalu Mommy. Ion yang menerimaku juga masa laluku, seharusnya bukan dia yang bertanggung jawab, tapi dia ikhlas menerima semuanya. Mungkin berbeda dengan ceritamu, tapi ini bisa dijadikan gambaran, bagaimana kamu akan memutuskan nantinya.”Cheryl masih mencoba membuat Bintang lepas dari kebimbangan dan keputusan yang salah.Bintang mencoba tersenyum mencengar ucapan Cheryl. Dia sedikit lega karena bebannya dibagi, kemudian mendengar hal-hal yang tidak pernah diketahui selama ini.“Terima kasih karena sudah berbagi cerita denganku.” Bintang memeluk adik iparnya itu.“Jangan sungkan. Kita keluarga, sudah sewajarnya berbagi, asal masih dala
Joya menatap Langit, kini sedang membantu putranya mengoleskan salep di lebam pipi, setelah Arlan dan Orion pergi.“Aku bisa sendiri, Mi.” Langit ingin menolak sang mimi membantu.“Tidak usah nolak atau protes, kamu sedang tidak dalam posisi boleh melakukan itu!” bentak Joya yang gemas. Dia tetap memaksa mengobati pipi putranya.Langit akhirnya hanya diam tanpa mau memandang Joya yang duduk di depannya.Kenzo pun di sana, bersedekap dada memandang putranya.“Ucapan mertuamu, jangan dimasukkan ke dalam hati, El. Bisa saja dia hanya sedang emosi,” ucap Kenzo, cemas jika sampai Langit melakukan apa yang dikatakan Arlan.Joya menoleh suaminya yang baru saja selesai bicara. Dia pun cemas jika sampai Langit melakukan apa yang dikatakan Arlan. Joya kemudian menatap Langit yang hanya diam, masih memalingkan wajah darinya dan Kenzo. Dia melihat bola mata Langit yang berkaca.“Benar, El. Kemungkinan Pak Arlan hanya sedang emosi saja,” timpal Joya.Langit tidak memberi reaksi apa pun. Dia menole
Waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Bintang belum tidur, hanya berbaring miring sambil memandang gorden kamar. Hingga terdengar perutnya yang berbunyi, dia lapar sebab sejak sore belum makan sesuatu. Bintang juga menolak makan malam saat Orion membujuknya makan.Menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan, Bintang pun akhirnya turun dari ranjang. Dia keluar kamar untuk mengambil makanan di dapur.“Tidak ada apa-apa.” Bintang bingung harus makan apa. Ada lauk di tempat penyimpanan, tapi Bintang tidak tahu apakah lauk itu menggunakan bawang atau tidak, hingga tidak berani memakannya.“Kak Bin.”Bintang terkejut saat mendengar suara Orion bersamaan dengan lampu dapur yang menyala. Dia menoleh dan melihat adiknya itu berjalan menghampiri.“Kamu menginap?” tanya Bintang yang tidak tahu Orion di rumah.“Ya,” jawab Orion, “Kak Bin lapar?” tanya Orion kemudian.Bintang mengangguk-angguk mendengar pertanyaan Orion. Adiknya itu pun tersenyum, lantas membuka lemari pendingin.“Biar aku buatkan
Langit terbangun di pagi hari saat mendengar suara ribut dari luar. Dia membuka kelopak mata, hingga menyadari jika Sashi sudah tidak ada di sampingnya. Pria itu menoleh ke kanan dan kiri mencari keberadaan Sashi, tapi putrinya itu tidak ada di sana.Setelah menajamkan pendengaran, Langit baru menyadari jika suara di depan kamar adalah suara Sashi. Tampaknya pembantu rumah kesusahan berkomunikasi dengan Sashi yang hanya bisa menggunakan bahasa Inggris.Langit pun buru-buru turun dari ranjang, berjalan cepat ke arah pintu dengan wajah lesu dan rambut yang berantakan.“Bukan itu. Sashi tidak mau itu.” Sashi bicara dengan bahasa Inggris, tentu saja membuat pembantu rumah bingung.“Duh, Non minta apa. Bibi ga paham.” Pembantu itu kebingungan karena tidak paham dengan yang diucapkan Sashi.“Ada apa?” tanya Langit yang baru saja keluar.Pembantu menoleh Langit kemudian mengangguk sopan, lantas menjawab, “Saya tidak paham yang dikatakannya.”Langit menoleh ke Sashi yang juga bingung, mungkin
Langit membeku di tempatnya, memandang seseorang yang duduk di tepian ranjang dan kini sama-sama sedang memandang ke arahnya.Bintang menurunkan pandangan saat menyadari tatapannya bertemu dengan pria yang baru saja datang. Bintang memangku buku gambar Sashi, melihat apa yang digambar gadis kecil itu sebab sebelumnya Sashi berkata agar Bintang melihat gambar yang dibuatnya.Belum lagi, beberapa saat lalu ketika Bintang sedang di jalan, Sashi menghubunginya menggunakan ponsel pembantu, meminta Bintang mengambilkan buku gambarnya dengan alasan Langit ke kantor. Namun, siapa sangka jika Langit di sana, berdiri di ambang pintu memandang dirinya.Langit tidak bicara, begitu juga dengan Bintang. Keduanya hanya saling diam, merasa canggung satu sama lain.“Aku ke sini ingin mengambil buku gambar Sashi,” ucap Langit yang akhirnya bicara.Bintang menatap buku di tangannya. Dia lantas berdiri membawa buku itu ke arah Langit berdiri. Bintang mengulurkan buku itu agar dibawa Langit.“Sashi juga m
Bintang menatap Langit dengan rasa tidak percaya. Bagaimana bisa pria itu menyerah begitu mudah, padahal bukan itu yang diharapkan oleh Bintang.“Kamu ngomong apa, hah!” Bintang memukul lengan Langit dengan sangat keras karena emosi.Langit hanya diam saat Bintang memukulnya.“Kamu benar-benar membuatku kesal! Bagaimana bisa kamu berucap sepasrah itu! Bagaimana bisa kamu tidak memperjuangkanku! Seharusnya kamu menculikku, menyekapku, atau apa saja agar aku tidak pergi. Tapi apa? Kamu malah ikhlas, pasrah, mana janjimu yang tidak akan melepasku, hah!” Bintang terus mengamuk, di setiap kalimat yang meluncur, selalu diakhiri dengan sebuah pukulan.Bintang emosi hingga napasnya tak beraturan. Dia menatap Langit yang masih diam menunduk.Langit menatap nanar Bintang, sebulir kristal bening masih menggantung di ujung kelopak mata.“Bagaimana jika kamu terus terluka? Bagaimana jika kamu terpaksa dan tidak bahagia? Aku bisa menahanmu, membuatmu terus disisiku dengan paksaan, tapi apa kamu aka
“Papi bilang seperti itu?”Bintang sangat terkejut mendengar cerita Langit. Tidak percaya jika Arlan sampai meminta Langit menceraikannya.“Aku saja belum membuat keputusan, kenapa Papi begitu?” Bintang kesal karena Arlan membuat keputusan tanpa persetujuannya.Langit mempererat pelukan saat mendengar ucapan Bintang. Keduanya kini duduk di sofa dan membicarakan keputusan Arlan.“Jangan salahkan Papi, Bin. Bagaimanapun apa yang diputuskan olehnya, memang semata-mata untuk melindungimu. Dia hanya takut kamu menderita,” ujar Langit menyadari jika semua memang kesalahannya, bukan keputusan Arlan.“Tapi Papi juga tidak harus mengambil keputusan seperti itu, sebelum mendengar keputusanku,” balas Bintang tetap tidak terima.“Papi mengambil keputusan karena melihatmu menderita, aku pun tidak menyalahkannya,” ujar Langit yang diakhiri mengecup pucuk kepala Bintang.Bintang melepas pelukan, bangkit sambil menatap Langit yang juga sudah memandangnya.“Apa kamu ingin melepasku karena ucapan Papi?