Bintang menatap Langit dengan rasa tidak percaya. Bagaimana bisa pria itu menyerah begitu mudah, padahal bukan itu yang diharapkan oleh Bintang.“Kamu ngomong apa, hah!” Bintang memukul lengan Langit dengan sangat keras karena emosi.Langit hanya diam saat Bintang memukulnya.“Kamu benar-benar membuatku kesal! Bagaimana bisa kamu berucap sepasrah itu! Bagaimana bisa kamu tidak memperjuangkanku! Seharusnya kamu menculikku, menyekapku, atau apa saja agar aku tidak pergi. Tapi apa? Kamu malah ikhlas, pasrah, mana janjimu yang tidak akan melepasku, hah!” Bintang terus mengamuk, di setiap kalimat yang meluncur, selalu diakhiri dengan sebuah pukulan.Bintang emosi hingga napasnya tak beraturan. Dia menatap Langit yang masih diam menunduk.Langit menatap nanar Bintang, sebulir kristal bening masih menggantung di ujung kelopak mata.“Bagaimana jika kamu terus terluka? Bagaimana jika kamu terpaksa dan tidak bahagia? Aku bisa menahanmu, membuatmu terus disisiku dengan paksaan, tapi apa kamu aka
“Papi bilang seperti itu?”Bintang sangat terkejut mendengar cerita Langit. Tidak percaya jika Arlan sampai meminta Langit menceraikannya.“Aku saja belum membuat keputusan, kenapa Papi begitu?” Bintang kesal karena Arlan membuat keputusan tanpa persetujuannya.Langit mempererat pelukan saat mendengar ucapan Bintang. Keduanya kini duduk di sofa dan membicarakan keputusan Arlan.“Jangan salahkan Papi, Bin. Bagaimanapun apa yang diputuskan olehnya, memang semata-mata untuk melindungimu. Dia hanya takut kamu menderita,” ujar Langit menyadari jika semua memang kesalahannya, bukan keputusan Arlan.“Tapi Papi juga tidak harus mengambil keputusan seperti itu, sebelum mendengar keputusanku,” balas Bintang tetap tidak terima.“Papi mengambil keputusan karena melihatmu menderita, aku pun tidak menyalahkannya,” ujar Langit yang diakhiri mengecup pucuk kepala Bintang.Bintang melepas pelukan, bangkit sambil menatap Langit yang juga sudah memandangnya.“Apa kamu ingin melepasku karena ucapan Papi?
“Ada apa?” tanya Arlan yang baru saja pulang, tapi melihat Annetha mondar-mandir dengan ekspresi wajah cemas. Annetha menoleh Arlan yang baru datang. Dia lantas menghampiri suaminya yang sedang berjalan ke arahnya. “Bintang belum pulang sampai sekarang. Dia pergi dari siang, tapi sampai sore pun belum balik,” jawab Annetha sambil memasang mimik wajah cemas. Arlan mengerutkan alis, kemudian melepaskan jas sambil bertanya, “Sudah kamu hubungi dan tanya di mana dia sekarang?” “Sudah, tapi tidak diangkat. Lalu aku coba kirim pesan juga tidak dibaca,” jawab Annetha sambil menunjukkan pesan yang dikirimkan ke Bintang. “Aku hanya cemas, Mas. Apalagi sikap Bintang pagi tadi sangat aneh,” ujar Annetha mengemukakan pendapat, apalagi Bintang sedang dalam kondisi terguncang. “Sudah tanya Ion? Barangkali dia di tempatnya?” tanya Arlan. “Sudah. Ion sedang bekerja di kafe. Dia tidak melihat Bintang,” jawab Annetha frustasi. “Anta? Bintang jadi ibu angkatnya Bumi, barangkali Bintang di sana,”
“Papi tidak bisa memutuskan sepihak seperti ini? Aku belum memutuskan, tapi kenapa Papi minta Langit untuk menceraikanku? Dan sekarang memintaku berpisah darinya?”Bintang terlalu emosi, hingga dia keceplosan bicara tentang yang dikatakan oleh Langit.Arlan terkejut menatap Bintang, dugaannya tentang Bintang yang bertemu Langit ternyata benar.“Kamu bertemu dengannya, kan?” Arlan menatap tajam Bintang, tatapan yang sangat berbeda dari biasanya.Bintang terlanjur ketahuan bicara, hingga memilih menjawab dengan tegas.“Ya, karena kami masih ingin bersama,” jawab Bintang tanpa rasa takut.Arlan menatap Bintang yang tidak memiliki rasa takut sama sekali, hingga kemudian berkata, “Papi tidak pernah memaksamu melakukan keinginan papi, bahkan selalu menuruti semua keinginanmu. Bisakah kali ini saja, dengarkan papi, karena keputusanmu kali ini salah.”Bintang terkejut mendengar Arlan masih bersikukuh memintanya berpisah dengan Langit. Dia pun menggelengkan kepala pelan.“Tidak, Pi. Yang salah
“Bin.” Langit lebih dulu meraih tubuh Bintang.“Singkirkan tanganmu darinya!” Arlan berusaha mengambil paksa Bintang.“Pi, ini bukan saatnya kamu meluapkan amarahmu. Sekarang bawa Bintang ke rumah sakit!” amuk Annetha karena geram putrinya pingsan.Arlan menatap Annetha yang cemas dan marah, lantas memandang Bintang yang sudah berada di pelukan Langit.“El, bawa Bintang ke rumah sakit,” kata Annetha.Langit langsung menggendong Bintang, lantas berjalan cepat disusul oleh Arlan dan Annetha. Mereka naik mobil Langit yang memang ada di belakang mobil Bintang, tapi sopir pribadi Arlan yang mengemudi.Mereka sudah sampai di IGD. Langit sendiri yang menggendong dan membawa Bintang masuk ke IGD agar mendapat penanganan.“El,” lirih Bintang saat Langit sedang menurunkan tubuhnya di atas ranjang pesakitan.“Aku di sini,” balas Langit.Arlan dan Annetha melihat Langit yang memberi perhatian ke Bintang. Bahkan Langit terus menggenggam tangan Bintang yang dibawa masuk ke ruang pemeriksaan.“Kita
“Apa masih sakit?”Bintang menatap wajah Langit yang memar karena terkena pukulan dari Arlan. Bintang sudah sepenuhnya sadar dan kini berada di ruang inap.“Tidak apa, ini hanya pukulan kecil,” ucap Langit agar Bintang tidak terlalu cemas.Bintang menatap nanar, hingga kemudian berkata, “Seharusnya kamu tidak ke rumah, El.”Langit menautkan jemari mereka, bahkan mendekatkan genggaman ke bibir lantas mengecup punggung tangan Bintang.“Aku mencemaskanmu, tiba-tiba saja takut membayangkan kamu menghadapi Papi sendirian, jika kamu ketahuan menemuiku. Dugaanku benar, kan? Papi tahu dan kalian akhirnya berdebat,” ujar Langit menjelaskan.Bintang menurunkan pandangan sejenak, lantas kembali memandang Langit.“Iya, memang benar. Tapi sekarang masalahnya semakin runyam, aku mencemaskan kondisi Papi,” ujar Bintang yang sebenarnya juga merasa bersalah karena sudah menentang keinginan sang ayah, sebab pendapat mereka berbeda.“Mami bilang, Papi hanya butuh menenangkan diri dulu. Kamu jangan berpi
Annetha masuk ke kamar, melihat suaminya yang sudah seharian berada di kamar, meski masih mengurus pekerjaan.“Kamu tidak mau menengok Bintang?” tanya Annetha membuka pembicaraan. Dia duduk berhadapan dengan suaminya yang sedang mengecek berkas.Arlan tidak menjawab pertanyaan Annetha. Tatapannya masih fokus ke berkas yang sedang dipegang.“Mas.” Annetha benar-benar tidak paham dengan pemikiran suaminya.“Dia sudah baik-baik saja bersama suaminya, untuk apa aku menengoknya.” Akhirnya Arlan bicara meski tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Annetha.Annetha sendiri terkejut, kenapa suaminya jadi begini.“Mas, tapi Bintang memikirkanmu. Apa kamu benar-benar tidak mau melihatnya?” tanya Annetha lagi.Arlan diam tanpa kata. Bohong jika dia tidak mau melihat kondisi Bintang, tapi ada hal yang tidak bisa diungkapkan begitu saja.“Seperti katamu, bukankah dia sudah mengambil keputusan, memilih yang terbaik untuknya. Ya sudah, aku mau apa lagi?” Arlan kembali bicara, tapi semua kalimat
“El, jangan lupa siang ini kita akan mendaftarkan Sashi sekolah,” ucap Bintang saat merapikan dasi suaminya.Ini sudah seminggu semenjak Bintang keluar dari rumah sakit. Dia, Langit, dan Sashi sudah kembali tinggal di apartemen. Mereka berniat mendaftarkan Sashi sekolah meski pendaftaran tahun ajaran baru belum dimulai, hanya tidak ingin terlewat dalam memberikan pendidikan ke Sashi, apalagi Sashi belum bisa mengeyam pendidikan di sekolah biasa karena terkendala bahasa.“Iya, nanti siang aku akan menjemput kalian setelah menyelesaikan pekerjaan,” balas Langit sambil mengusap lembut pipi Bintang.Bintang mengangguk dengan senyum lebar. Memejamkan mata saat suaminya memberikan kecupan penuh kasih sayang di kening.Mereka keluar dari kamar, melihat Sashi yang berada di ruang makan dan sedang menuang jus dingin.“Kenapa ga bilang mommy?” tanya Bintang sambil buru-buru mendekat ke Sashi.“Mommy lagi sibuk, jadi Sashi menuang jus sendiri,” jawab Sashi mengabaikan kecemasan Bintang.Sashi su