“Papi tidak bisa memutuskan sepihak seperti ini? Aku belum memutuskan, tapi kenapa Papi minta Langit untuk menceraikanku? Dan sekarang memintaku berpisah darinya?”Bintang terlalu emosi, hingga dia keceplosan bicara tentang yang dikatakan oleh Langit.Arlan terkejut menatap Bintang, dugaannya tentang Bintang yang bertemu Langit ternyata benar.“Kamu bertemu dengannya, kan?” Arlan menatap tajam Bintang, tatapan yang sangat berbeda dari biasanya.Bintang terlanjur ketahuan bicara, hingga memilih menjawab dengan tegas.“Ya, karena kami masih ingin bersama,” jawab Bintang tanpa rasa takut.Arlan menatap Bintang yang tidak memiliki rasa takut sama sekali, hingga kemudian berkata, “Papi tidak pernah memaksamu melakukan keinginan papi, bahkan selalu menuruti semua keinginanmu. Bisakah kali ini saja, dengarkan papi, karena keputusanmu kali ini salah.”Bintang terkejut mendengar Arlan masih bersikukuh memintanya berpisah dengan Langit. Dia pun menggelengkan kepala pelan.“Tidak, Pi. Yang salah
“Bin.” Langit lebih dulu meraih tubuh Bintang.“Singkirkan tanganmu darinya!” Arlan berusaha mengambil paksa Bintang.“Pi, ini bukan saatnya kamu meluapkan amarahmu. Sekarang bawa Bintang ke rumah sakit!” amuk Annetha karena geram putrinya pingsan.Arlan menatap Annetha yang cemas dan marah, lantas memandang Bintang yang sudah berada di pelukan Langit.“El, bawa Bintang ke rumah sakit,” kata Annetha.Langit langsung menggendong Bintang, lantas berjalan cepat disusul oleh Arlan dan Annetha. Mereka naik mobil Langit yang memang ada di belakang mobil Bintang, tapi sopir pribadi Arlan yang mengemudi.Mereka sudah sampai di IGD. Langit sendiri yang menggendong dan membawa Bintang masuk ke IGD agar mendapat penanganan.“El,” lirih Bintang saat Langit sedang menurunkan tubuhnya di atas ranjang pesakitan.“Aku di sini,” balas Langit.Arlan dan Annetha melihat Langit yang memberi perhatian ke Bintang. Bahkan Langit terus menggenggam tangan Bintang yang dibawa masuk ke ruang pemeriksaan.“Kita
“Apa masih sakit?”Bintang menatap wajah Langit yang memar karena terkena pukulan dari Arlan. Bintang sudah sepenuhnya sadar dan kini berada di ruang inap.“Tidak apa, ini hanya pukulan kecil,” ucap Langit agar Bintang tidak terlalu cemas.Bintang menatap nanar, hingga kemudian berkata, “Seharusnya kamu tidak ke rumah, El.”Langit menautkan jemari mereka, bahkan mendekatkan genggaman ke bibir lantas mengecup punggung tangan Bintang.“Aku mencemaskanmu, tiba-tiba saja takut membayangkan kamu menghadapi Papi sendirian, jika kamu ketahuan menemuiku. Dugaanku benar, kan? Papi tahu dan kalian akhirnya berdebat,” ujar Langit menjelaskan.Bintang menurunkan pandangan sejenak, lantas kembali memandang Langit.“Iya, memang benar. Tapi sekarang masalahnya semakin runyam, aku mencemaskan kondisi Papi,” ujar Bintang yang sebenarnya juga merasa bersalah karena sudah menentang keinginan sang ayah, sebab pendapat mereka berbeda.“Mami bilang, Papi hanya butuh menenangkan diri dulu. Kamu jangan berpi
Annetha masuk ke kamar, melihat suaminya yang sudah seharian berada di kamar, meski masih mengurus pekerjaan.“Kamu tidak mau menengok Bintang?” tanya Annetha membuka pembicaraan. Dia duduk berhadapan dengan suaminya yang sedang mengecek berkas.Arlan tidak menjawab pertanyaan Annetha. Tatapannya masih fokus ke berkas yang sedang dipegang.“Mas.” Annetha benar-benar tidak paham dengan pemikiran suaminya.“Dia sudah baik-baik saja bersama suaminya, untuk apa aku menengoknya.” Akhirnya Arlan bicara meski tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Annetha.Annetha sendiri terkejut, kenapa suaminya jadi begini.“Mas, tapi Bintang memikirkanmu. Apa kamu benar-benar tidak mau melihatnya?” tanya Annetha lagi.Arlan diam tanpa kata. Bohong jika dia tidak mau melihat kondisi Bintang, tapi ada hal yang tidak bisa diungkapkan begitu saja.“Seperti katamu, bukankah dia sudah mengambil keputusan, memilih yang terbaik untuknya. Ya sudah, aku mau apa lagi?” Arlan kembali bicara, tapi semua kalimat
“El, jangan lupa siang ini kita akan mendaftarkan Sashi sekolah,” ucap Bintang saat merapikan dasi suaminya.Ini sudah seminggu semenjak Bintang keluar dari rumah sakit. Dia, Langit, dan Sashi sudah kembali tinggal di apartemen. Mereka berniat mendaftarkan Sashi sekolah meski pendaftaran tahun ajaran baru belum dimulai, hanya tidak ingin terlewat dalam memberikan pendidikan ke Sashi, apalagi Sashi belum bisa mengeyam pendidikan di sekolah biasa karena terkendala bahasa.“Iya, nanti siang aku akan menjemput kalian setelah menyelesaikan pekerjaan,” balas Langit sambil mengusap lembut pipi Bintang.Bintang mengangguk dengan senyum lebar. Memejamkan mata saat suaminya memberikan kecupan penuh kasih sayang di kening.Mereka keluar dari kamar, melihat Sashi yang berada di ruang makan dan sedang menuang jus dingin.“Kenapa ga bilang mommy?” tanya Bintang sambil buru-buru mendekat ke Sashi.“Mommy lagi sibuk, jadi Sashi menuang jus sendiri,” jawab Sashi mengabaikan kecemasan Bintang.Sashi su
“Aku tahu jika keputusanku pasti membuat Papi kecewa. Tapi aku yakin dengan pilihanku, bagiku El adalah segalanya. Aku ingin menebus kesalahanku dulu, Pi. Aku bisa saja melupakan itu, tapi perasaanku tidak. Sejak kejadian itu, hari demi hari, tahun berganti, aku sebenarnya tidak bisa melupakannya. Bertemu dengannya lagi dan bisa bersamanya adalah sesuatu yang aku nanti. Meski dia datang dalam kondisi tidak sempurna, aku menerimanya. Aku menerima baik dan buruknya dia, karena bagiku itulah kasih sayang. Aku tidak bisa hanya menerima sisi baiknya saja, tapi aku juga harus menerima sisi buruknya.”Bintang bicara dengan begitu tegas. Dia menatap sang papi yang masih memasang wajah datar. Meski Bintang terlihat tenang, tapi jauh di lubuk hatinya merasa takut, bahkan tubuhnya terlihat gemetar tapi ditahan agar tidak kentara.Arlan menarik napas panjang lantas menghela perlahan. Menekan emosi yang bercokol di dada, mengomando agar bisa mengoontrolnya.Arlan tiba-tiba berdiri, membuat Bintang
“Bin, kenapa matamu bengkak?”Siang itu Langit pulang untuk mengantar Bintang mendaftarkan sekolah Sashi. Dia terkejut melihat Bintang yang baru saja menangis.“Apa aku membuat kesalahan sampai membuatmu menangis?” tanya Langit yang panik dan cemas, takut istrinya sedih lagi karena dirinya. Bahkan dia sampai menangkup kedua pipi Bintang, menengadahklan wajah istrinya agar berhadapan dengannya.Bintang menggelengkan kepala, bahkan senyum penuh kelegaan terbit di wajah.“Jangan bohong. Jika aku salah, aku minta maaf. Jangan menangis, hm ….” Langit benar-benar takut jika menyakiti hati Bintang lagi.Bintang menggenggam telapak tangan Langit yang ada di pipinya, lantas menurunkan sambil menatap lembut penuh dengan senyum bahagia.“Aku baik-baik saja, El. Aku menangis bukan karena sedih, tapi bahagia,” ucap Bintang meyakinkan.Langit masih tidak percaya mendengar ucapan Bintang. Hingga istrinya itu kembali bicara.“Papi tadi ke sini. Dia sudah menerima hubungan kita lagi, aku benar-benar l
Langit menarik napas dalam-dalam, lantas mengembuskan perlahan tanpa suara. Dia duduk sambil meremas kedua lutut, sedikit menunduk menurunkan pandangan agar tidak dikira sedang menantang.Arlan sendiri menatap Langit, mengajak pria itu bicara di ruang kerja tapi sudah duduk selama hampir lima belas menit belum berkata sepatah kata pun. Tatapan matanya pun membuat lawan bicaranya hanya diam menunduk.Arlan menghela napas kasar, hingga kemudian akhirnya bicara.“Aku memang memberi restu lagi, tapi bukan berarti akan menerima atau melupakan kejadian sebelumnya dengan mudah. Apa yang aku lakukan semata-mata hanya untuk Bintang. Bagiku dia yang akan jadi prioritas utamaku, memang aku ingin memisahkan kalian, tapi karena itu akan menyakiti hati putriku, membuatku memilih mengalah dengan keputusannya.”Arlan bicara dengan suara yang tidak terlalu lantang, tapi terkesan begitu menekan.Langit sendiri tidak membalas ucapan Arlan, hanya mengangkat wajah dan menatap pria itu yang sedang bicara a