Siang tadi, Langit baru saja turun ke lobi untuk pergi ke kantin. Dia menunggu Bintang tapi ternyata tidak mengirim pesan atau menghubungi sama sekali. Langit sendiri tidak ingin menghubungi dulu karena takut jika Bintang sibuk.“El.”Langit baru saja menginjakkan kaki di lobi, saat mendengar suara Joya memanggil. Dia menoleh dan melihat sang mama berjalan mendekat.“Mau ke mana?” tanya Joya saat sudah sampai di depan Langit.“Makan siang,” jawab Langit sambil menunjuk ke kantin, “Mimi dari mana?” tanya Langit kemudian.“Check up,” jawab Joya, “makan di ruangan mimi saja. Mimi juga bawa makan siang.” Joya menunjukkan makanan yang dibawanya.Langit mengangguk menanggapi ajakan sang mimi, lantas kembali masuk lift dan pergi menuju ruang kerja ibunya.Di ruangan Joya, Langit makan bersama sang mimi. Sang mimi masih bekerja sebagai desainer di sana.“Mimi ga ngajak Papi makan siang? Dia pasti cemburu kalau tahu Mimi malah ngajak aku makan siang bersama bukan dia,” celoteh Langit mengajak
Langit menatap Bintang yang sudah tidur pulas. Dia mengusap lembut kening dan pipi istrinya itu, melihat senyum manis di wajah Bintang yang tidur, membuat perasaan Langit begitu tenang.Langit baru saja mengingat ucapan sang mimi siang tadi. Andai Joya tidak mengajaknya bicara terlebih dulu, mungkin saat ini Langit tidak bisa tidur dan masih bertengkar karena syok mengetahui Bintang hamil.“El.” Bintang terbagun dan melihat suaminya yang masih duduk dan belum tidur.“Hm, ada apa?” Langit membelai rambut Bintang dengan lembut.“Kenapa tidak tidur?” tanya Bintang sedikit mendongak untuk bisa memandang istrinya.Langit membaringkan tubuh di samping Bintang, setelah mendengar pertanyaan istrinya itu. Dia lantas berbaring miring saling berhadapan dengan Bintang.“Baru selesai mengecek beberapa berkas yang tadi belum selesai,” jawab Langit sambil memeluk Bintang.Bintang masih memperhatikan suaminya, hingga kemudian menenggelamkan wajah saat Langit memeluknya.“El.”“Hm ….”“Kamu benar-bena
Bintang dan Langit benar-benar ke rumah sakit lagi. Tentu saja karena Langit yang ingin melihat calon bayi mereka. Hal ini membuat Bintang sangat bahagia saat Langit menerima kehamilannya.Langit menoleh ke kanan dan kiri, melihat beberapa pasang suami-istri yang menunggu giliran dipanggil.“Ternyata banyak yang hamil,” ucap Langit malah keheranan sambil memandangi satu per satu.Bintang tertawa kecil mendengar ucapan suaminya. Dia lantas menautkan jemari mereka, menatap suaminya dengan penuh kebahagiaan.“Kamu menggemaskan sekali,” ucap Bintang yang merasa kalau suaminya lucu karena keheranan.“Apanya menggemaskan?” tanya Langit keheranan, bahkan mata sampai menyipit memandang istrinya.Bintang melebarkan senyum, kemudian mencubit hidung suaminya.“Kamulah, masa suami orang,” seloroh Bintang menjawab pertanyaan Langit.Tentu saja sikap Bintang dan Langit mengundang perhatian beberapa pasang suami-istri yang ada di sana. Mungkin berpikir jika keduanya pengantin baru dan masih mesra-me
“Kenapa aku merasa kalau sekretarismu tidak menyukaiku?” Bintang merasa sensitif setelah Lani tidak membalas sapaannya sama sekali.Langit menoleh dan mengerutkan dahi mendengar ucapan Bintang. Dia menarik tangan istrinya itu agar lebih dekat dengannya yang duduk di kursi, memegang telapak tangan Bintang sambil mengulas senyum.“Sejak kapan kamu peduli pada pandangan orang tentangmu?” tanya Langit keheranan karena Bintang mengeluh soal sikap Lani.Bintang sedikit menunduk untuk bisa menatap Langit.“Ya, aku peduli karena dia setiap hari berinteraksi denganmu. Sebagai sekretaris, aku rasa penampilannya berlebihan, terlalu minim dan ….” Bintang sengaja menjeda ucapannya sambil memutar bola mata malas.Langit ingin membalas ucapan Bintang, tapi urung karena mendengar suara ketukan pintu.Lani masuk membawa berkas yang diminta Langit, berjalan mendekat dengan ekspresi wajah malas.“Ini berkas yang Anda minta, Pak.” Lani meletakkan berkas itu di meja.“Ya,” balas Langit tanpa senyum, atau
Langit dan Bintang menoleh. Mereka melihat siapa yang memanggil. Bahkan orang yang memanggil kini sudah tersenyum hangat ke arah keduanya. "Bintang juga di sini?" tanya Kenzo saat melihat menantunya di perusahaan itu. Bintang tidak pernah ke sana, ini adalah pertama kalinya bagi Bintang mendatangi perusahaan suaminya. Kenzo dan Joya baru saja keluar dari lift yang berbeda dengan Langit dan Bintang, membuat mereka langsung menyapa begitu melihat anak dan menantunya itu. "Iya, Pi. Tadi kami dari rumah sakit, terus mampir sebentar karena ada pekerjaan yang harus aku selesaikan," jawab Langit menjelaskan. Joya menatap Bintang dan Langit bergantian, sedikit cemas jika keduanya ke rumah sakit bukan untuk membahas soal kehamilan Bintang, tapi ada hal lainnya. "Kalian mau makan siang bersama? Mimi dan Papi mau makan di kantin hari ini," ajak Joya. Dia sekalian ingin memastikan apakah hubungan Langit dan Bintang baik-baik saja. Langit menoleh Bintang, melihat istrinya menganggukkan kepal
Langit terkejut mendengar suara benda terjatuh. Dia berlari ke dapur, hingga di sana melihat Bintang yang hendak berjongkok mengambil baskom di lantai.“Biar aku bereskan, Mi.” Bintang ingin mengambil baskom tadi, tapi dicegah oleh Annetha.“Biar mami saja.” Annetha mengambil baskom, kemudian meminta pembantu untuk membersihkan lantai.Bintang menatap sendu ke Annetha, berpikir jika sang mami pasti syok dan tidak suka akan kehamilannya.Langit sendiri melihat istrinya sedih, tapi tidak mendekat karena sadar jika Bintang mungkin butuh waktu bicara dengan Annetha.“Mami marah?” tanya Bintang menatap sendu ke Annetha.Annetha terkejut mendengar pertanyaan Bintang, menoleh dan melihat bola mata putrinya yang berkaca-kaca. Dia malah terlihat bingung, apalagi saat melihat Bintang yang seperti ingin menangis. Annetha pun mendekat kemudian tersenyum ke Bintang.“Kenapa mami harus marah, hm?” Annetha menatap penuh kasih sayang, lantas mengusap rambut Bintang dengan lembut.“Kalau tidak marah,
Annetha dan Bintang kembali ke meja makan setelah bicara. Bintang membawa dua piring cake untuk dirinya dan Langit.“Tadi kamu mau bicara apa?” tanya Arlan mengingat jika Bintang sempat menjeda ucapannya.Bintang terkejut karena langsung ditodong pertanyaan. Dia melirik Annetha, sebelum kemudian menatap Arlan.“Itu, aku mau izin untuk berhenti bekerja,” jawab Bintang. Dia benar-benar tidak jadi menyampaikan tentang kehamilannya.Langit menatap Bintang, bertanya-tanya kenapa Bintang tidak jadi bicara soal kehamilan itu.Arlan agak terkejut mendengar ucapan Bintang, hingga menatap sang putri yang terlihat serius.“Kenapa kamu mau berhenti?” tanya Arlan penasaran.Bintang mengulum bibir karena bingung harus menjawab apa, bahkan memandang ke Annetha dan Langit secara bergantian.“Kamu sakit?” tanya Arlan kemudian.Bintang menggelengkan kepala sambil mengulum senyum, kemudian menjawab, “Tidak, Pi. Aku hanya mau fokus pada kesehatan saja. Lagi pula dulu bersikukuh ingin kerja karena aku bos
“Bin, tenang.” Langit berusaha menenangkan Bintang yang panik dan menangis.Arlan harus dibawa ke rumah sakit karena kondisinya tidak stabil. Baik Annetha maupun yang tentu saja panik dan syok karena Arlan sampai seperti itu.“Bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan Papi? Ini salahku, El.” Bintang menyalahkan diri sendiri atas kejadian yang menimpa sang papi.Langit memeluk erat Bintang. Mereka duduk di kursi selasar panjang. Bintang menangis sesenggukan karena sudah membuat penyakit Arlan kambuh.“Bukan salahmu. Papi hanya syok, Bin. Jangan menyalahkan dirimu sendiri,” ujar Langit mencoba menenangkan Bintang.Meski begitu, Bintang masih saja syok dan sedih, hingga pandangannya mulai kabur dan kepalanya pusing.Langit menyadari lengan Bintang yang terlihat muncul ruam. Dia pun langsung melepas pelukan dan menatap istrinya.“Bin, penyakitmu kambuh?” Langit panik. Dia buru-buru mencari obat Bintang yang biasa dibawa di tas.Langit meminta Bintang minum obat, agar penyakit Bintang tidak s