"Selamat pagi Signora!" Diana menyapa Sasmaya saat wanita itu keluar dari kamarnya dan duduk di teras yang menghadap ke laut."Selamat pagi! Bisakah kau memberitahu Helena untuk menyiapkan kopi dan sarapan kami di sini?" Sasmaya meminta tolong pada gadis itu dengan ramah dan sopan."Baik Signora!" Diana menyahut dengan ketus dan bergegas menuju dapur.Sasmaya tertegun melihat sikapnya yang ketus dan tidak bersahabat. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya dan mengabaikan sikap gadis itu terhadapnya."Maaf Signor!" Terdengar lagi suara gadis itu. Sepertinya dia berpapasan dengan Andrea."Tidak apa!" Terdengar suara Andrea menyahut dengan nada datar tanpa emosi seperti biasanya."Signor apa Anda ingin sesuatu untuk sarapan?" Kembali terdengar suara gadis itu.Sasmaya menoleh dan menatap mereka dari tempatnya duduk. Nampak gadis itu menundukkan kepalanya dan bersikap begitu sopan dan ramah. Sasmaya baru menyadari pakaian gadis itu cukup terbuka."Astaga!" Hampir saja Sasmaya tertawa tergelak
"Sas, aku serius dengan ucapanku tadi." Andrea menatap Sasmaya yang tengah menikmati kopinya."Aku tahu." Sahut Sasmaya pelan. Sasmaya bukan gadis muda yang naif dan lugu. Jauh sebelum ini, Andrea telah beberapa kali mengungkapkan keinginannya untuk menikahi dirinya."Sekarang kau hidup sendiri. Tidak akan ada yang menghalangi keputusanmu bukan?" Andrea meraih jari jemarinya dan meremasnya pelan.Dahulu, ibunda Sasmaya menentang hubungannya dengan Andrea dengan berbagai alasan. Salah satunya perbedaan adat, budaya dan ras. Sasmaya menganggap wajar opini sang ibunda saat itu, tetapi kini setelah semua yang terjadi dalam hidupnya dia menyadari satu hal.Sedari awal sang ibunda telah memperlakukannya berbeda. Alasannya hanyalah karena Jessica, sang kakak sakit-sakitan dan ringkih sedari kecil. Dia harus selalu mengalah untuknya termasuk saat sang kakak menginginkan hidupnya tak bahagia juga suaminya."Andrea benarkah ada cinta di antara kita?" Sasmaya menatap pria itu lekat-lekat.Jauh d
Beberapa hari di Santorini, membuat Sasmaya terhibur. Dia melupakan kesepiannya dengan menikmati hari-harinya bersama Signora Nora Belucci, ibu kandung Andrea Belucci."Sas, kalian tidak ingin menikah?" Pertanyaan Nora membuat Sasmaya hampir tersedak kejunya."Maksud Tante?" Sasmaya menanggapi dengan hati-hati ucapan wanita itu setelah meneguk segelas besar air mineral."Kalian sama-sama sendiri, kenapa tidak menikah? Kalian sudah cukup lama saling mengenal bukan?" Nora memperjelas ucapannya tadi dengan santai.Wanita tua itu sudah tidak lagi seperti dahulu, seperti di awal-awal kedekatan mereka. Dahulu Nora kerap mempertanyakan hubungan mereka yang menurutnya lebih dari sekadar berteman."Atau kau sudah memiliki pilihan hati? Alejandro Castillo mungkin?" Nora melanjutkan ucapannya dan tersenyum kecil menggodanya."Kenapa Tante berpikir begitu?" Sasmaya menatap wanita di hadapannya seraya tersenyum manis."Aku melihat fo
Kembali ke Singapura, suasana hati Sasmaya semakin tidak karuan. Dia memutuskan untuk menyerahkan masalah tim SoS pada Julian. Sedangkan bisnisnya yang lain kepada Andrew."Aku lelah!" Hanya itu alasan yang dikemukakannya pada Julian dan Andrew.Mereka berdua tidak lagi bertanya. Semenjak meninggalnya Finn dua tahun lalu, Sasmaya bak hidup enggan mati pun segan. Bak mayat hidup yang hanya menjalani kehidupan tanpa jiwa."Beristirahatlah dan nikmati hari-harimu dengan segala hal yang kau sukai dan membuatmu bahagia." Julian menepuk bahunya dengan lembut sedangkan Andrew memeluknya dan mengecup rambutnya dengan sayang."Terima kasih sudah mau mengerti diriku," gumam Sasmaya lirih.Kini seperti yang dikatakan Julian, dia beristirahat di rumah bersama kedua anabul kesayangannya, Oyen dan Uyik. Kedua hewan berbulu itu menjadi teman pelipur laranya."Aih, kalian gemoy sekali!" Serunya seraya menepuk-nepuk kepala Oyen dan menggaruk-garu
Di pagi hari yang cerah, Sasmaya membawa buket bunga Lily kesayangan putrinya. Hari ini dia memutuskan untuk mengunjungi makam Chelsea."Hei anak gadis mami," gumamnya pelan seraya menyentuh nisan berukirkan nama sang putri, Chelsea."Mami rindu padamu," bisiknya lagi. Menatap nisan yang membisu.Terbayang kembali kenangan bersama putri tunggalnya itu. Gadis kecil yang tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah. Di saat dia menemukan figur ayah dalam diri Finn, Tuhan memintanya untuk kembali ke haribaannya."Mami, terima kasih sudah menyayangi Chelsea. Mami jangan menangis lagi, karena Chelsea tidak akan merasakan sakit lagi." Ucapan terakhir sang putri selalu terngiang di telinganya."Uncle Finn, terima kasih sudah mau menjadi ayah Chelsea. Selamanya hanya Uncle, ayah Chelsea." Gadis itu menggenggam erat tangan keduanya dmsebelum benar-benar menutup mata untuk selamanya."Dunia mami runtuh saat kau pergi, sayang. Tetapi mami harus i
Ale menatap smartphone-nya. Akhir-akhir ini dia kerap menatap alat komunikasi itu, berharap ada sebuah pesan atau bahkan panggilan telepon atau pun video."Ada apa dengannya?" gumamnya perlahan. Sungguh dia merasa kesal karena akhir-akhir ini Sasmaya hampir tidak pernah menghubunginya.Terakhir kali mereka sepakat untuk bertemu jika dirinya memiliki waktu luang. Namun itu tidak pernah terwujud karena setelah itu Sasmaya tidak menghubunginya lagi."Haruskah aku ke sana?" gumamnya lagi. Perlahan diletakkannya benda itu di atas mejanya.Kembali menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Ini bukan pertama kalinya Sasmaya mengabaikan dirinya. Dahulu wanita itu bahkan tidak pernah menganggap serius dirinya."Dia memang kerap mengamatiku tetapi bukan sebagai seorang pria, sebagai pesepakbola yang diincarnya," keluhnya dalam hati mengingat masa-masa Sasmaya kerap memujinya.Ale tertegun sebentar, pada akhirnya dia memilih untuk tidak terlalu
"Pagi mi amor!" Alicia menyambutnya saat Ale turun ke ruang makan. Dia tertegun menatap kekasihnya yang tengah sibuk menyiapkan sarapan."Libur?" tanyanya seraya membuka lemari es mengambil sebutir apel."Hanya dua hari. Bagaimana kalau kita pergi ke suatu tempat berdua saja?" Alicia mendekatinya dan memeluk pinggangnya, menatapnya penuh harap."Aku mau, tetapi sayangnya jadwalku lumayan padat beberapa hari ini." Ale tersenyum dan mengecup bibirnya sekilas."Tidak bisakah kau mengambil libur? Kita semakin jarang menghabiskan waktu bersama," keluh Alicia memelas.Ale menghela napas pelan. Ditatapnya Alicia lekat-lekat. Dia pun menyadari, mereka semakin menjauh dan semakin jarang bersama. Baginya ini bukan masalah dan dia yakin ini juga bukan masalah bagi Alicia."Bukankah kita sudah terbiasa dengan ini?" tanyanya dengan acuh."Iya, tetapi ada kalanya aku ingin bersamamu tanpa diganggu oleh siapa pun." Alicia tersenyum dan mulai menggodanya dengan memagut bibirnya.Ale memeluknya erat-e
"Ada apa?" Ale tertegun saat Alena memasuki ruang kerjanya tanpa mengetuk pintu."Bagaimana bisa Alicia mengetahui keberadaan Sasmaya di rumah peristirahatanmu?" Alena memberikan smartphone-nya.Ale menatapnya sebentar dan mengambil benda itu kemudian menyentuh layarnya. Nampak sebuah video yang membuat suasana hatinya seketika berubah."Biarkan saja!" Ale menyerahkan smartphone itu kepada pemiliknya.Alena menerimanya dan menatap Ale tak mengerti. "Maksudmu? Kau akan membiarkan mereka berdua berkonfrontasi?""Tidak! Sasmaya tidak akan meladeni Alicia." Sahut Ale dengan santai. "Ngomong-ngomong aku sedang tidak ingin membicarakan keduanya. Ada hal lain yang lebih penting. Bersiaplah untuk menemaniku awal pekan depan." Ale memberikan sebuah berkas pada Alena.Alena duduk di kursi dan membaca berkas itu dengan seksama. Sesama Ale melanjutkan pekerjaannya."Kau serius?" Alena meletakkan berkas itu di meja dan tertawa pelan."Tentu saja serius!" Sahut Ale dengan tegas. "Karena itu tidak p