"Apa yang kau katakan pada Sheila?" tanya Arnes dengan tatapan marah.Pagi-pagi sekali ia sudah menyambangi ruang kerja Anne. Tentu saja bukan tanpa alasan pria itu muncul tanpa membuat janji terlebih dahulu. Ia bahkan harus memundurkan jam praktiknya setengah jam untuk berbincang dengan rekan kerjanya itu."Apa yang seharusnya dia tahu!" jawab Anne santai.Tak ada raut bersalah di wajahnya. Sepertinya sang dokter sudah tahu bahwa Arnes akan marah. Dan seperti dugaannya yang lain, pria itu akan menemuinya. Tapi tak disangka akan secepat itu, bahkan mungkin terlalu cepat."Apa yang kau inginkan?" tanyanya kesal."Jangan mendustai pernikahanmu!" jawab Anne setengah berteriak. "Berlagak seolah kau adalah pria tanpa istri dan bisa menggoda gadis kecil sepertinya! Come on, kau bukan pria seperti itu, Nes!" katanya.Arnes meraup wajahnya, tanda amarah sudah merasuk sampai ke kepala. Ia tak bisa berpikir jernih sejak semalam. Apalagi melihat Sheila yang sama kalutnya, membuat pria itu merasa
"Jam berapa ini?" tanya Sheila yang menghampiri ruang kerja Arnes di lantai satu.Gadis itu melirik jam dinding yang nyaris menunjukkan pukul 12 malam. Sayangnya jarum panjang masih ada di angka sebelas, yang berarti lima menit lagi menuju waktu yang ditunggu-tunggu. Arnes masih sibuk dengan buku-buku tebal yang berserakan di meja, sambil memperhatikan latar laptopnya. Pria itu masih sibuk belajar meskipun pengalamannya dalam spesialisasi bedah sudah cukup baik. Ia bahkan berhasil melakukan penelitian dalam bidang-bidang tertentu dengan hasil luar biasa.Sheila yang melihatnya tak henti mengagumi paman dokternya. Sejak awal ia sudah menduga bahwa Arnes bukanlah orang sembarangan. Tanggung jawab dan kharismnya membuat ketampanan pria itu berpuluh lipat dibandingkan anak muda seusianya. "Kenapa ditutup?" tanya Sheila begitu tanda silang diklik oleh Arnes."Aku sudah selesai," jawabnya mengalah.Pria itu sudah tak sabar menantikan hasil yang ditunggu-tunggu oleh gadisnya. Dan kebetulan
"Apa yang terjadi?" tanya Sheila yang terkejut melihat Arnes naik ke lantai dua dengan wajah tegang.Pria itu tak menjawab, namun langkah kakinya semakin mantap masuk ke dalam kamar. Dan tanpa diminta Sheila mengikuti dari belakang. Ia masih menanti jawaban dari paman dokternya."Ada Anne di bawah, aku harus bersiap. Tunggulah di luar!" perintahnya tanpa menjawab pertanyaan gadis itu.Arnes masuk ke dalam kamar mandi dan bersikap acuh, seolah tak pernah ada Sheila dalam hidupnya. Gadis yang terabaikan itu merasa kesal, tapi tahu bahwa semua jawab itu ada pada wanita yang kini duduk manis di ruang tamu. Kakinya melangkah pasti mendekati Anne yang langsung menatap tak suka ke arahnya."Kalau kau berhubungan dengan seseorang, minimal kau harus tahu akan kehidupannya. Bukankah begitu?"Anne mendekati Sheila yang diam saja sejak tadi. Tatapan matanya sama sekali tak membuat gadis itu takut. Yang ia tangkap malah sebaliknya, sorot marah penuh kebencian terarah padanya."Apakah kau tertarik
"Arnes tunggu!" seru Anne menghalangi pria yang baru saja akan mengejar gadisnya. "Mau ke mana? Kita harus jemput Mia!" tambahnya.Dengan kasar, pria itu mendorong tubuh Anne agar tak lagi menghalangi langkahnya. Tatapan tajam ia tujukan penuh amarah. Untuk pertama kalinya Arnes merasa bahwa keberadaan Anne cukup mengganggu. Padahal sudah bertahun-tahun keduanya saling mengenal."Apa yang kau katakan padanya, hah?" tanyanya kasar."Sebuah kebenaran yang harusnya kau jelaskan sejak awal!" jawab Anne tegas."Bullshit!" serunya meninggalkan wanita itu sendirian.Arnes bergegas mengejar Sheila, namun sayang ia kehilangan jejak. Coba dibukanya aplikasi yang biasa digunakan untuk menemukan lokasi gadis itu. Tapi sayang, akses terputus. Sepertinya hal ini sengaja dilakukan agar ia tak bisa mengikuti gadisnya lagi."Sial!" seru Arnes kesal.Tangannya menegang, memegangi kemudi erat. Otaknya tak bisa berpikir dengan jernih. Bayangan wajah Sheila yang marah dan juga kemungkinan bahwa Mia akan m
"Aku ingin kembali ke rumahku!" seru Sheila.Arnes meraup wajahnya dengan kesal. Untuk kesekian kalinya ia kecolongan. Pertemuan dengan Reno tadi memang cukup mengejutkan. Ia terlalu percaya pada sang pengacara hingga tanpa sadar membiarkan pria itu bebas.Dan dengan tegas Arnes menggelengkan kepalanya. Sejak tadi ia sudah sibuk menelepon pengacaranya untuk mengusut kasus Reno dan mengosongkan rumah Sheila. Dokter bedah itu tak ingin ada siapapun yang masuk ke sana, termasuk gadis yang kini akan mendapat perhatian khusus darinya."Itu rumahku! Aku tak akan membiarkan Paman dan Bibi menguasainya! Jadi, kembalikan aku sekarang juga!" seru gadis itu kesal."Lalu membiarkanmu menjadi bulan-bulanan mereka? Begitu?" Arnes menatap tajam. Maniknya tertuju pada kulit putih yang menjadi lebam karena siksaan Nina. "Aku tak akan membiarkanmu kembali ke sana!" tegasnya.Gadis itu terperangah mendengar kalimat paman dokternya. Ia sedikit tak menyangka bahwa Arnes masih bisa mempertahankannya, padah
"I-ini Sheila," kata Arnes gugup. Matanya mengamati perubahan di wajah Sheila dan juga Mia.Pria itu mempersilakan Sheila untuk menyalami istrinya. Sementara sang gadis masih diam tak percaya bahwa hari itu tiba dalam secepat kilat. Baru beberapa jam yang lalu ia mengetahui semuanya dan kini Tuhan langsung menyuguhkan drama kehidupan di depan mata. Patah hatinya masih terasa sangat, dan kini ia dipaksa menerima semua cobaan itu.Ya, untuk pertama kalinya mereka bertemu satu sama lain. Dan Sheila tak bisa lagi berkata-kata. Kecantikan yang sempat ia lihat lewat foto, terpampang nyata di hadapan. Mia tak sekedar cantik, tapi nyaris sempurna. Entah karena make up atau bukan, tapi begitulah di matanya.Sheila mengulurkan tangan ragu-ragu. Hatinya diliputi rasa sedih, takut sekaligus kecewa. Diciumnya tangan Mia sebagai bentuk penghormatan pada yang lebih tua. Wangi lavender dari punggung tangan wanita itu tercium jelas. "Sheila, ini istriku," kata Arnes berat.Gadis itu tersenyum, walau
"Apakah makanannya enak?" tanya Mia pada gadis bergaun putih yang ada di hadapannya.Sheila mengangguk lemah. Tak seperti biasanya, gadis itu lebih banyak diam dan sibuk memilah makanannya. Tubuhnya masih terasa ngilu, tapi dengan terpaksa disanggupinya ajakan Mia. "Tapi kau seperti tak selera makan," sindir wanita itu cepat.Arnes ingin sekali membuka mulutnya, tapi entah mengapa nyalinya menjadi ciut. Seperti yang biasa terjadi, Mia mengambil alih semua hal dalam hidupnya. Kharisma dan semua kata-kata manisnya meredup, bak ditelan bumi.Pria itu benar-benar bertekuk lutut di hadapan sang istri. Harta dan tahta membutakan mata, hingga wajah Sheila yang muram tak diliriknya sama sekali. Sang dokter benar-benar fokus pada Mia."Apakah kalian selalu begini?" tanya Mia menunjuk suami dan gadis baru dalam pernikahannya. "Padahal sudah dua bulan kau tinggal di rumahku," sindirnya.Bibir Sheila kelu, tak bisa menjawab. Arnes sendiri tak berani buka suara, karena ia sama sekali belum tahu a
"Pagi, Sheila!" Manik cokelat sang gadis tersentak begitu melihat sepasang suami istri yang baru saja datang. Wajah keduanya berkeringat, dengan pakaian olahraga yang kini menempel di tubuh masing-masing. Sheila langsung bisa menebak bahwa Mia dan Arnes baru selesai berolahraga."Kau baru bangun?" tanyanya berbasa-basi.Gadis itu tersenyum, seolah menyetujui tebakan Mia. Matanya tertunduk malas, melihat bagaimana wanita itu menggamit mesra lengan sang suami. Sementara ia masih berpakaian lusuh dengan muka bantal yang khas."Katanya kau akan ke Universitas Buana hari ini? Mau ku antar?" tawar Mia.Wanita itu mendekati Sheila dan mengelus lengannya dengan lembut, seperti anaknya sendiri. Sayangnya, hal itu malah membuat sang gadis menciut. Senyumnya yang manis bak nenek sihir di mata Sheila. Bibirnya bergetar, hampir tak bisa tersenyum. Tapi dengan segenap kekuatan yang ada, dicoba hingga muncul seluruh gigi serinya."I-iya, Tante." Sheila tergagap.Mia terkejut mendengar jawaban itu.