"Arnes tunggu!" seru Anne menghalangi pria yang baru saja akan mengejar gadisnya. "Mau ke mana? Kita harus jemput Mia!" tambahnya.Dengan kasar, pria itu mendorong tubuh Anne agar tak lagi menghalangi langkahnya. Tatapan tajam ia tujukan penuh amarah. Untuk pertama kalinya Arnes merasa bahwa keberadaan Anne cukup mengganggu. Padahal sudah bertahun-tahun keduanya saling mengenal."Apa yang kau katakan padanya, hah?" tanyanya kasar."Sebuah kebenaran yang harusnya kau jelaskan sejak awal!" jawab Anne tegas."Bullshit!" serunya meninggalkan wanita itu sendirian.Arnes bergegas mengejar Sheila, namun sayang ia kehilangan jejak. Coba dibukanya aplikasi yang biasa digunakan untuk menemukan lokasi gadis itu. Tapi sayang, akses terputus. Sepertinya hal ini sengaja dilakukan agar ia tak bisa mengikuti gadisnya lagi."Sial!" seru Arnes kesal.Tangannya menegang, memegangi kemudi erat. Otaknya tak bisa berpikir dengan jernih. Bayangan wajah Sheila yang marah dan juga kemungkinan bahwa Mia akan m
"Aku ingin kembali ke rumahku!" seru Sheila.Arnes meraup wajahnya dengan kesal. Untuk kesekian kalinya ia kecolongan. Pertemuan dengan Reno tadi memang cukup mengejutkan. Ia terlalu percaya pada sang pengacara hingga tanpa sadar membiarkan pria itu bebas.Dan dengan tegas Arnes menggelengkan kepalanya. Sejak tadi ia sudah sibuk menelepon pengacaranya untuk mengusut kasus Reno dan mengosongkan rumah Sheila. Dokter bedah itu tak ingin ada siapapun yang masuk ke sana, termasuk gadis yang kini akan mendapat perhatian khusus darinya."Itu rumahku! Aku tak akan membiarkan Paman dan Bibi menguasainya! Jadi, kembalikan aku sekarang juga!" seru gadis itu kesal."Lalu membiarkanmu menjadi bulan-bulanan mereka? Begitu?" Arnes menatap tajam. Maniknya tertuju pada kulit putih yang menjadi lebam karena siksaan Nina. "Aku tak akan membiarkanmu kembali ke sana!" tegasnya.Gadis itu terperangah mendengar kalimat paman dokternya. Ia sedikit tak menyangka bahwa Arnes masih bisa mempertahankannya, padah
"I-ini Sheila," kata Arnes gugup. Matanya mengamati perubahan di wajah Sheila dan juga Mia.Pria itu mempersilakan Sheila untuk menyalami istrinya. Sementara sang gadis masih diam tak percaya bahwa hari itu tiba dalam secepat kilat. Baru beberapa jam yang lalu ia mengetahui semuanya dan kini Tuhan langsung menyuguhkan drama kehidupan di depan mata. Patah hatinya masih terasa sangat, dan kini ia dipaksa menerima semua cobaan itu.Ya, untuk pertama kalinya mereka bertemu satu sama lain. Dan Sheila tak bisa lagi berkata-kata. Kecantikan yang sempat ia lihat lewat foto, terpampang nyata di hadapan. Mia tak sekedar cantik, tapi nyaris sempurna. Entah karena make up atau bukan, tapi begitulah di matanya.Sheila mengulurkan tangan ragu-ragu. Hatinya diliputi rasa sedih, takut sekaligus kecewa. Diciumnya tangan Mia sebagai bentuk penghormatan pada yang lebih tua. Wangi lavender dari punggung tangan wanita itu tercium jelas. "Sheila, ini istriku," kata Arnes berat.Gadis itu tersenyum, walau
"Apakah makanannya enak?" tanya Mia pada gadis bergaun putih yang ada di hadapannya.Sheila mengangguk lemah. Tak seperti biasanya, gadis itu lebih banyak diam dan sibuk memilah makanannya. Tubuhnya masih terasa ngilu, tapi dengan terpaksa disanggupinya ajakan Mia. "Tapi kau seperti tak selera makan," sindir wanita itu cepat.Arnes ingin sekali membuka mulutnya, tapi entah mengapa nyalinya menjadi ciut. Seperti yang biasa terjadi, Mia mengambil alih semua hal dalam hidupnya. Kharisma dan semua kata-kata manisnya meredup, bak ditelan bumi.Pria itu benar-benar bertekuk lutut di hadapan sang istri. Harta dan tahta membutakan mata, hingga wajah Sheila yang muram tak diliriknya sama sekali. Sang dokter benar-benar fokus pada Mia."Apakah kalian selalu begini?" tanya Mia menunjuk suami dan gadis baru dalam pernikahannya. "Padahal sudah dua bulan kau tinggal di rumahku," sindirnya.Bibir Sheila kelu, tak bisa menjawab. Arnes sendiri tak berani buka suara, karena ia sama sekali belum tahu a
"Pagi, Sheila!" Manik cokelat sang gadis tersentak begitu melihat sepasang suami istri yang baru saja datang. Wajah keduanya berkeringat, dengan pakaian olahraga yang kini menempel di tubuh masing-masing. Sheila langsung bisa menebak bahwa Mia dan Arnes baru selesai berolahraga."Kau baru bangun?" tanyanya berbasa-basi.Gadis itu tersenyum, seolah menyetujui tebakan Mia. Matanya tertunduk malas, melihat bagaimana wanita itu menggamit mesra lengan sang suami. Sementara ia masih berpakaian lusuh dengan muka bantal yang khas."Katanya kau akan ke Universitas Buana hari ini? Mau ku antar?" tawar Mia.Wanita itu mendekati Sheila dan mengelus lengannya dengan lembut, seperti anaknya sendiri. Sayangnya, hal itu malah membuat sang gadis menciut. Senyumnya yang manis bak nenek sihir di mata Sheila. Bibirnya bergetar, hampir tak bisa tersenyum. Tapi dengan segenap kekuatan yang ada, dicoba hingga muncul seluruh gigi serinya."I-iya, Tante." Sheila tergagap.Mia terkejut mendengar jawaban itu.
"I'm so sorry, Sheila, tapi ada panggilan mendadak yang membuatku harus ke butik."Gadis itu mengangguk lemah. Ada perasaan lega karena setelah ini tak akan lagi bertemu dengan Mia. Walau malah sebaliknya, Arneslah yang akan mengantarnya ke Universitas Buana untuk melakukan konfirmasi sebagai penerima beasiswa penuh."Aku jalan sekarang, bye!" pamit Mia setelah sebelumnya mengecup bibir sang suami dengan lembut.Namun apapun yang dilakukan, rasanya tak akan mampu mengubah perasaan sang suami padanya. Arnes tetap berdiri tegak, tanpa membalas sentuhan Mia. Bahkan lebih parahnya lagi, pria itu sama sekali tak menoleh ke arahnya.Sheila yang menjadi saksi hanya diam tanpa kata. Keberadaannya membuat suasana semakin canggung. Apalagi sebagai orang baru yang belum terlalu mengenal Mia.Deru mobil sedan merah milik Mia terdengar mulai meninggalkan rumah. Tapi tak satupun dari Sheila atau Arnes yang beranjak dari meja makan. Keduanya masih diam, memandangi makanan tanpa bernafsu untuk menela
"Aku harus mengambil beberapa berkas untuk konfirmasi ke pihak kampus," kata Sheila yang sudah siap dengan gaun pendek berwarna biru langit. Sang pendengar hanya mengangguk-anggukkan kepala, tanda setuju. Pria itu sama sekali tak keberatan. Ke mana pun Sheila pergi, asal itu bersamanya, akan dilakukan. Karena dengan begitulah Arnes merasa tenang."Nanti kita mampir ke rumah dulu, baru ke kampus!" katanya lagi."Iya, bawel!" balas Arnes yang mencubit pipi gadisnya saking gemasnya.Keduanya terkekeh bersama dan buru-buru bersiap menuju ke rumah Sheila yang lokasinya cukup jauh dari rumah mewah Arnes. Sang dokter sengaja mengosongkan jadwalnya untuk menemani kegiatan gadisnya seharian ini. Sadar bahwa urusan konfirmasi itu akan memakan banyak waktu.Berbeda dari perjalanan sebelumnya, Arnes dan Sheila lebih menikmati kesempatan berdua yang mungkin akan sulit ditemukan. Karena yang pertama, mereka tak tahu sampai kapan Mia akan berada di Indonesia. Lalu yang kedua, kesibukan baru yang se
"Istirahatlah, kita ketemu besok pagi!" kata Arnes yang diakhiri dengan kecupan ringan di kening Sheila.Sang gadis masuk ke kamar dan membersihkan diri seperti biasa. Pikirannya melayang jauh, menghadapi hari-hari yang akan berbeda, tapi tetap dengan Arnes di sisi. Senyum mengembang, dengan manik ke arah meja, di mana tanda terima beasiswa penuhnya sudah selesai.Langkah menggapai cita-cita semakin dekat di depan mata. Semangatnya kembali timbul, sambil memandangi cincin di jari manisnya. Kepercayaannya pada Arnes pun semakin mantap, karena janji manis sang dokter. Namun semua bayangan itu pecah karena suara teriakan Mia dari bawah. "Arnes!"Sheila melirik ke arah pintu kamarnya. Ada keengganan untuk turun ke bawah dan menghampiri wanita yang sedang meracau tak jelas. Tapi rasa penasaran membuat tubuhnya bergerak. Perlahan tapi pasti, ia mulai memutar kenop pintu hingga sedikit terbuka. Lantai dua masih terlihat sepi. Tak ada tanda-tanda Mia apalagi Arnes yang tadi datang bersamanya