"Kenapa kau diam?" tanya Arnes yang sejak tadi memandangi wajah cantik Sheila di antara sinar mentari pagi dari jendela kamar. "Apakah kau menyesalinya?" tanyanya mulai mencecar.Sebagai seorang pria, ia cukup tahu diri bahwa usia muda Sheila pastilah membuat sesal datang belakangan. Nampak sekali sang gadis tak lagi bergairah untuk berbincang dengannya. Yang dilakukan sepuluh menit terakhir hanyalah termenung memandangi lampu gantung.Namun senyum di wajah Arnes muncul tatkala Sheila menggelengkan kepalanya, pertanda bahwa kekhawatirannya tak terbukti. Gadis itu malah merebahkan kepalanya dipelukan dada bidang sang dokter. "Bagaimana bisa aku menyesal ketika Paman memberikan kenikmatan seperti tadi?" tanyanya tersenyum malu-malu.Arnes memeluk mesra Sheila. Diendusnya wangi rambut panjang yang terlihat berantakan. Tapi itu semua sama sekali tak mengurangi kesempurnaan Sheila di matanya pagi ini.Bak dimakan cinta buta, pria itu melupakan jadwal praktiknya yang harusnya mulai pukul t
"Ada yang telepon, lalu aku..."Wajah Arnes berubah tegang. Disambarnya ponsel di tangan Sheila dengan cepat. Tanpa perlu berlama-lama, pria itu menekan tombol merah tanda komunikasi tertutup. Jantungnya nyaris copot karena hampir saja ketahuan."Dari siapa?" tanya Sheila penasaran."Oh, klinik!" jawab Arnes seraya memasukkan ponselnya ke dalam saku dalam jas. "Aku harus berangkat sekarang, kau di rumah sebentar, aku segera kembali sebelum siang." Pria itu mengecup kening Sheila cepat sebelum benar-benar meninggalkan sang gadis di dalam rumah.Sementara Sheila sendiri terpaku sesaat, mulai mencurigai tindak-tanduk Arnes. Paman dokternya itu tak biasanya terburu-buru seperti saat ini. Belum lagi banyak pertanyaan yang tak dijawab, seperti diawal cerita hubungan mereka, di mana Arnes berusaha menutupi perasaannya.Gadis itu berusaha melupakan semua kejadian pagi tadi dengan menyibukkan diri membuka buku pelajaran. Semangat untuk kembali meraih cita-citanya muncul. Apalagi dengan ijin da
"Aku datang!" seru Sheila yang baru saja muncul setelah seharian berkecimpung dengan dunia pelajarnya lagi.Arnes melambaikan tangannya yang masih memegangi bolpoin. Jam dinding menunjukkan pukul lima sore, pertanda jam kerjanya sudah selesai satu jam lalu. Tapi dengan sengaja ia menunggu Sheila yang masih harus mendapatkan pelajaran tambahan.Sudah hampir sebulan keduanya menjalani kegiatan masing-masing. Arnes dengan kegiatan operasi dan pengembangan klinik menjadi rumah sakit. Sementara Sheila harus fokus mengejar mimpinya untuk menjadi dokter dengan sekolah, pelajaran tambahan dan juga les khusus masuk perguruan tinggi. Nyaris tak ada waktu bagi mereka pergi libur atau sekedar bersenang-senang. Semua kegiatan dilakukan di rumah, bersama."Bagaimana hari ini?" tanya Arnes dengan tangan yang mendorong minumannya ke arah Sheila."Luar biasa!" serunya setengah mengeluh. "Aku ketinggalan banyak, terutama Fisika dan Kimia. Urgh!" keluhnya.Pria itu menertawakan sikap Sheila yang begitu
"Kenapa kau diam?" tanya Arnes di dalam mobil yang membawa keduanya menuju rumah.Sheila menggeleng pelan. Sejak tadi ia memang lebih banyak diam dibanding biasanya, bergelayut manja atau mengajak paman dokternya itu bercanda. Suasana hening itu membuat Arnes bingung."Apa ada sesuatu?" tanyanya lagi.Entah harus berterus terang atau tetap diam seperti saat ini, Sheila sendiri tak tahu. Ia ingin sekali meluapkan semua isi kepalanya yang tentu saja berbentuk negatif. Tapi ada ketakutan yang menciutkan niatnya itu."Katakanlah! Aku tak suka melihatmu begini," kata Arnes berusaha untuk mengulik sesuatu yang membuat gadisnya murung.Dengan sisa keberanian yang ada, Sheila menatap mata elang yang sesekali melirik ke arahnya. "Apakah ada rahasia yang kau sembunyikan dariku, Paman?" tanyanya ragu.Arnes mengernyit. Wajahnya menunjukkan tanda berpikir keras. Walau sebenarnya jawaban itu sudah nyata ada di dalam kepala. Satu rahasia besar yang selama ini ia simpan rapat-rapat adalah tentang pe
"Apa yang kau katakan pada Sheila?" tanya Arnes dengan tatapan marah.Pagi-pagi sekali ia sudah menyambangi ruang kerja Anne. Tentu saja bukan tanpa alasan pria itu muncul tanpa membuat janji terlebih dahulu. Ia bahkan harus memundurkan jam praktiknya setengah jam untuk berbincang dengan rekan kerjanya itu."Apa yang seharusnya dia tahu!" jawab Anne santai.Tak ada raut bersalah di wajahnya. Sepertinya sang dokter sudah tahu bahwa Arnes akan marah. Dan seperti dugaannya yang lain, pria itu akan menemuinya. Tapi tak disangka akan secepat itu, bahkan mungkin terlalu cepat."Apa yang kau inginkan?" tanyanya kesal."Jangan mendustai pernikahanmu!" jawab Anne setengah berteriak. "Berlagak seolah kau adalah pria tanpa istri dan bisa menggoda gadis kecil sepertinya! Come on, kau bukan pria seperti itu, Nes!" katanya.Arnes meraup wajahnya, tanda amarah sudah merasuk sampai ke kepala. Ia tak bisa berpikir jernih sejak semalam. Apalagi melihat Sheila yang sama kalutnya, membuat pria itu merasa
"Jam berapa ini?" tanya Sheila yang menghampiri ruang kerja Arnes di lantai satu.Gadis itu melirik jam dinding yang nyaris menunjukkan pukul 12 malam. Sayangnya jarum panjang masih ada di angka sebelas, yang berarti lima menit lagi menuju waktu yang ditunggu-tunggu. Arnes masih sibuk dengan buku-buku tebal yang berserakan di meja, sambil memperhatikan latar laptopnya. Pria itu masih sibuk belajar meskipun pengalamannya dalam spesialisasi bedah sudah cukup baik. Ia bahkan berhasil melakukan penelitian dalam bidang-bidang tertentu dengan hasil luar biasa.Sheila yang melihatnya tak henti mengagumi paman dokternya. Sejak awal ia sudah menduga bahwa Arnes bukanlah orang sembarangan. Tanggung jawab dan kharismnya membuat ketampanan pria itu berpuluh lipat dibandingkan anak muda seusianya. "Kenapa ditutup?" tanya Sheila begitu tanda silang diklik oleh Arnes."Aku sudah selesai," jawabnya mengalah.Pria itu sudah tak sabar menantikan hasil yang ditunggu-tunggu oleh gadisnya. Dan kebetulan
"Apa yang terjadi?" tanya Sheila yang terkejut melihat Arnes naik ke lantai dua dengan wajah tegang.Pria itu tak menjawab, namun langkah kakinya semakin mantap masuk ke dalam kamar. Dan tanpa diminta Sheila mengikuti dari belakang. Ia masih menanti jawaban dari paman dokternya."Ada Anne di bawah, aku harus bersiap. Tunggulah di luar!" perintahnya tanpa menjawab pertanyaan gadis itu.Arnes masuk ke dalam kamar mandi dan bersikap acuh, seolah tak pernah ada Sheila dalam hidupnya. Gadis yang terabaikan itu merasa kesal, tapi tahu bahwa semua jawab itu ada pada wanita yang kini duduk manis di ruang tamu. Kakinya melangkah pasti mendekati Anne yang langsung menatap tak suka ke arahnya."Kalau kau berhubungan dengan seseorang, minimal kau harus tahu akan kehidupannya. Bukankah begitu?"Anne mendekati Sheila yang diam saja sejak tadi. Tatapan matanya sama sekali tak membuat gadis itu takut. Yang ia tangkap malah sebaliknya, sorot marah penuh kebencian terarah padanya."Apakah kau tertarik
"Arnes tunggu!" seru Anne menghalangi pria yang baru saja akan mengejar gadisnya. "Mau ke mana? Kita harus jemput Mia!" tambahnya.Dengan kasar, pria itu mendorong tubuh Anne agar tak lagi menghalangi langkahnya. Tatapan tajam ia tujukan penuh amarah. Untuk pertama kalinya Arnes merasa bahwa keberadaan Anne cukup mengganggu. Padahal sudah bertahun-tahun keduanya saling mengenal."Apa yang kau katakan padanya, hah?" tanyanya kasar."Sebuah kebenaran yang harusnya kau jelaskan sejak awal!" jawab Anne tegas."Bullshit!" serunya meninggalkan wanita itu sendirian.Arnes bergegas mengejar Sheila, namun sayang ia kehilangan jejak. Coba dibukanya aplikasi yang biasa digunakan untuk menemukan lokasi gadis itu. Tapi sayang, akses terputus. Sepertinya hal ini sengaja dilakukan agar ia tak bisa mengikuti gadisnya lagi."Sial!" seru Arnes kesal.Tangannya menegang, memegangi kemudi erat. Otaknya tak bisa berpikir dengan jernih. Bayangan wajah Sheila yang marah dan juga kemungkinan bahwa Mia akan m
"Dan kau merahasiakan ini semua dariku?" Arnes bertanya dengan tatapan tajam ke arah manik cokelat kekasihnya. Sesekali diliriknya perut Sheila yang mulai membesar. Tanda-tanda kehamilan tak keduanya rasakan saat bersama terakhir kali. Sehingga pria itu masih tak percaya jika wanita di hadapannya benar tengah mengandung."Aku hanya tak ingin merepotkan Paman!" jawab Sheila dengan penuh penekanan.Semua yang ia lakukan tiada lain karena ingin membantu kekasihnya itu. Semakin Arnes fokus, semakin masalah mereka akan selesai, dan pada akhirnya akan bertemu tanpa ada masa lalu yang perlu diurus. Dengan begitu keduanya akan hidup damai sejahtera, seperti mimpi yang pernah dirajut bersama."Kau boleh menyimpan semuanya, tapi tidak dengan informasi sepenting ini! Apa kau pikir aku tega meninggalkanmu berdua saja menjalani hari dengan kondisi begini? Laki-laki macam apa yang tega membiarkan wanita yang dicintainya menderita, Sheila?" cecar Arnes yang diakhiri dengan adegan menjambak rambutn
"Aku akan kirimkan uang untuk kebutuhanmu sebulan ini. Kau tak perlu khawatir tak ada pasien."Sheila mendengarkan celoteh dan juga nasihat-nasihat Arnes yang tak bisa ia rasakan kehadirannya. Sudah berbulan-bulan lamanya dan ia mulai merasa jengah. Ucapan yang sama selalu ia dengar, mulai dari jaga diri, jangan telat makan dan bergembira.Kata terakhir sungguh menyiksanya. Ia harus hidup tanpa pria yang sudah menghamilinya. Dan yang paling menyebalkan adalah, Arnes belum tahu jika Sheila mengandung. Semua disembunyikan sedemikian rupa hanya untuk membuat fokus sang dokter tertuju pada rumah sakit. Harapannya tentu saja penyelesaian masalah menjadi cepat dan keduanya segera bertemu."Tapi sampai kapan aku harus menunggu di sini?" tanya Sheila dengan nada yang begitu rendah, nyaris tak terdengar.Wanita yang tengah mengelus-elus perutnya yang mulai membesar itu hanya bisa meratapi nasib ditinggal berdua dengan sang bibi, tanpa kejelasan dari sang kekasih. Jangankan mengajak ke pernikah
"Hari ini enggak ada pasien?" tanya Sheila sembari keluar dari ruang praktinya dengan wajah penasaran.Wanita paruh baya yang duduk manis di meja pendaftaran menggelengkan kepalanya, menjawab pertanyaan dari sang keponakan. Nina menoleh ke arah teras klinik kecil yang biasanya ramai. Tapi entah mengapa sudah beberapa hari terakhir nampak sepi pengunjung.Sudah beberapa bulan terakhir masyarakat Desa Waduk menghampiri klinik sekaligus tempat tinggal Sheila dan Nina untuk berobat. Hal ini dikarenakan Puskesmas yang letaknya cukup jauh. Jika menggunakan motor saja bisa satu jam lamanya. Itupun belum tentu mendapatkan antrean, karena keterbatasan tenaga kesehatan dan membludaknya pasien yang meliputi beberapa Desa."Tumben ya, Bi?" tanya Sheila sembari mengelus perutnya yang mulai membesar.Nina tersenyum kecut. Wanita berbedan besar itu sebenarnya tahu betul apa yang membuat masyarakat enggan pergi ke tempat mereka. Tapi bibirnya kelu, tak sanggup menjelaskan alasan itu pada Sheila. Ia t
Sheila menatap bayangannya di cermin. Pakaian dan tangannya masih penuh darah, bersama air mata yang mengalir penuh sesal. Tangisnya pecah, menunduk dalam. Tubuhnya bergetar hebat setelah mengalami sekaligus menjadi saksi sebuah kejadian yang tak akan pernah ia lupakan seummur hidup."Sheila!"Suara bariton yang cukup ia kenal memanggil dari balik pintu kamar mandi. Tubuhnya begitu berat untuk bergerak. Tapi ia tetap melakukannya, sembari memutar kenop pintu pelan."Polisi bilang kita sudha boleh pulang," katanya sembari melepaskan jas putih dokter miliknya dan meletakkannya di bahu Sheila. "Aku akan mengantarmu pulang, setelah itu...""Aku ingin ke rumah sakit!" katanya setengah merengek. "Aku ingin tahu kondisi Paman Reno dan Andrew," tambahnya melemah.Entah apakah Sheila masih pantas menyebut dua nama itu ketika semua masalahnya malah membawa kedua orang itu ke dalam derita. Tapi ia hanya ingin melihat dua orang yang kini menjadi korban dari tembakan brutal Mia."Kau tak perlu ke
"Kenapa Paman baru angkat teleponku?" tanya Sheila dengan kesal.Sudah sejak 30 menit yang lalu ia menghubungi pria paruh baya itu. Namun baru kali ini teleponnya dijawab. Rasa khawatir dan panik muncul setelah muncul beberapa video Arnes yang muncul di beranda sosial medianya."Apa yang kau lakukan? Kau ingin hancur sendirian, hah? Apa begini caramu memulai hidup denganku?" cecarnya berapi-api.Sheila belum melihat secara utuh hasil konferensi pers yang baru saja dilakukan paman dokternya itu. Tapi dari potongan-potongan yang beredar saja, ia sudah bisa memastikan bahwa Arnes berniat mengarahkan semua amarah padanya. Padahal kenyataannya tak demikian."Temui aku sekarang atau kau tak akan pernah bertemu denganku lagi!" ancamnya seraya menutup telepon.Emosinya meletup-letup, tak terima dengan semua pernyataan yang tentu akan menghancurkan nama baik Arnes. Padahal selama puluhan tahun ia memupuk rasa percaya pada pasiennya, memberikan pelayanan terbaik, berusaha untuk mengembangkan il
"Jadi kau akan memilih perempuan itu, hah?" Mia memandang ke luar jendela, di mana langit biru dengan terik sinar mentari yang mulai tinggi. Panasnya menjalar ke hati yang kini membara setelah mendengar keputusan sang suami. Sementara jari-jarinuya sudah sejak tadi mencengkeram tas tangan yang sejak tadi ia bawa."Kau benar-benar akan membuang semua yang kau miliki saat ini? Demi dia?" cecarnya memaksa Arnes untuk menjawab pertanyaan itu di depan wajahnya langsung.Pria paruh baya itu memandang wanita cantik yang sampai saat ini tak pernah berubah sejak pertama kali ia temui. Tanda-tanda penuaan mungkin nampak, tapi tak terlalu jelas bagi seorang Mia yang memiliki banyak waktu dan uang untuk mengalokasikan kecantikannya sebagai tujuan utama. Kakinya melangkah maju, mendekati istri yang sudah lebih dari dua puluh tahun menemaninya."Aku tak bisa menjadi Arnes yang terus berada di belakangmu untuk mendapat apa yang dia inginkan. Aku harus berusaha dan sedikit berkorban untuk tahu rasan
"Pernikahan yang kami jalani, berbeda dari pernikahan kebanyakan," kata Arnes membuka ceritanya dengan sebuah kalimat yang membuat semua mata tertuju kepadanya.Beberapa media semakin mengarahkan kamera ke arahnya. Mulai dari tampak depan, samping kanan dan kiri, semuanya tak lepas dari sorot yang menunjukkan ekspresi wajahnya kini. Kejujuran itu nyata, tanpa ada lagi sandiwara seperti biasa.Para pewarta sibuk menuliskan keterangan penuh kontroversi yang disebutkan oleh direktur sekaligus suami dari pemilik rumah sakit tersebut. Berbagai macam pasang mata menyaksikannya dengan tatapan yang berbeda-beda. Mulai dari mencemooh, sedih, kecewa bahkan marah, hadir di sana.Aula yan dipenuhi dengan banyak orang itu mulai riuh. Ada beberapa pertanyaan yang mereka bisikkan satu sama lain. Namun tak ada satupun dari mereka yang mengangkat tangan untuk bertanya secara langsung kepada Arnes yang mash berdiri tegak di atas panggung. Mereka semua menunggu penjelasan lanjutan yang disampaikan penuh
"Paman!"Sheila bangun dalam keadaan tak ada orang di sisinya. Sinar mentari masuk dari balik jendela yang sudah terbuka. Tapi matanya langsung berkeliling mencari seseorang yang harusnya sejak semalam ada di sana, bersamanya. "Paman!" serunya lagi, berharap pria itu bisa mendengar suaranya yang mulai kencang.Tapi beberapa menit berselang, tak ada tanda-tanda bahwa Arnes ada di sana. Hingga akhirnya Sheila memutuskan untuk bangkit dan bergerak menuju keluar dari kamar. Tujuan utamanya langsung ke arah dapur yang nyatanya kosong melompong."Kok enggak ada?" tanyanya pada diri sendiri.Kakinya mulai menjelajahi setiap sudut di rumah sederhana yang dibangun sang ayah dengan penuh cinta. Mulai dari kamar mandi, kamar tamu sampai halaman depan. Namun tak ada tanda-tanda kehadiran Arnes di sana. Bahkan mobil pria itupun tak nampak.Sheila mulai mengerutkan kening. Tangannya memutar-mutar ponsel yang sejak tadi diam tanpa suara. Tak ada tanda-tanda akan ada pesan atau telepon masuk dari sa
"Jangan bergerak!" seru Sheila yang masih sibuk dengan kegiatannya mengobati seorang pasien yang nyatanya begitu menyebalkan.Sudah hampir setengah jam Sheila berkutat dengan obat-obatan dan tak ada tanda-tanda akan segera selesai. Kali ini pasiennya terlalu banyak mengeluh, menolak dan mengelak setiap kali ia mendekatkan kapas ke arah lukanya."Kapan aku bisa selesai kalau Paman terus begini?" gerutunya kesal.Arnes memanyunkan bibir, tak suka ketika gadisnya mulai memarahi dirinya yang tentu lebih tua banyak tahun dari Sheila. Sementara tak ada tatap mengalah dari manik cokelat yang terus melotot tajam. "Kalau enggak cepat diobati nanti jadi berbekas, belum lagi kalau infeksi, terus..."CUP!Arnes memberikan sebuah kecupan yang akhirnya mampu membuat Sheila berhenti mengoceh. Itu adalah satu-satunya cara yang ada dalam kepalanya. "Kau tak lupa kalau aku juga seorang dokter, kan?" tanyanya merasa dipermainkan.Namun dengan wajah galak, Sheila melipat kedua tangannya di depan dada. I