"Apa yang kau lakukan?" tanya Sheila bingung.Tubuhnya sudah tersudutkan di pinggir ranjang empuk. Satu dorongan kecil dari Arnes, rasanya mampu membuatnya jatuh ke atas ranjang. Namun keraguan di manik cokelat itu membuat sang dokter menahan diri untuk bertindak lebih jauh."Bergerak!" jawab Arnes singkat."Be-bergerak?" tanya sang gadis tak mengerti."Karena yang mencintai yang harus melakukan pergerakan," jawabnya seraya mendorong tubuhnya untuk mendekat ke arah Sheila.Bibirnya dengan cepat menyentuh kening Sheila dengan sangat lembut. Tangannya mengelus puncak kepala sang gadis, mengikuti alunan musik dalam kepala. Sementara sang gadis hanya diam, sambil memejamkan mata.Sheila mulai merasakan hidungnya tergelitik oleh sentuhan Arnes. Lalu tak lama bibirnya mulai dikecup, dan semakin lama menjadi hangat. Tanpa sadar ia mulai membuka mulut dan membiarkan lidah Arnes bermain di setiap sela rongga mulutnya. Tak hanya diam, Sheila mulai meremas rambut Arnes yang merundukkan tubuh be
"Kenapa kau diam?" tanya Arnes yang sejak tadi memandangi wajah cantik Sheila di antara sinar mentari pagi dari jendela kamar. "Apakah kau menyesalinya?" tanyanya mulai mencecar.Sebagai seorang pria, ia cukup tahu diri bahwa usia muda Sheila pastilah membuat sesal datang belakangan. Nampak sekali sang gadis tak lagi bergairah untuk berbincang dengannya. Yang dilakukan sepuluh menit terakhir hanyalah termenung memandangi lampu gantung.Namun senyum di wajah Arnes muncul tatkala Sheila menggelengkan kepalanya, pertanda bahwa kekhawatirannya tak terbukti. Gadis itu malah merebahkan kepalanya dipelukan dada bidang sang dokter. "Bagaimana bisa aku menyesal ketika Paman memberikan kenikmatan seperti tadi?" tanyanya tersenyum malu-malu.Arnes memeluk mesra Sheila. Diendusnya wangi rambut panjang yang terlihat berantakan. Tapi itu semua sama sekali tak mengurangi kesempurnaan Sheila di matanya pagi ini.Bak dimakan cinta buta, pria itu melupakan jadwal praktiknya yang harusnya mulai pukul t
"Ada yang telepon, lalu aku..."Wajah Arnes berubah tegang. Disambarnya ponsel di tangan Sheila dengan cepat. Tanpa perlu berlama-lama, pria itu menekan tombol merah tanda komunikasi tertutup. Jantungnya nyaris copot karena hampir saja ketahuan."Dari siapa?" tanya Sheila penasaran."Oh, klinik!" jawab Arnes seraya memasukkan ponselnya ke dalam saku dalam jas. "Aku harus berangkat sekarang, kau di rumah sebentar, aku segera kembali sebelum siang." Pria itu mengecup kening Sheila cepat sebelum benar-benar meninggalkan sang gadis di dalam rumah.Sementara Sheila sendiri terpaku sesaat, mulai mencurigai tindak-tanduk Arnes. Paman dokternya itu tak biasanya terburu-buru seperti saat ini. Belum lagi banyak pertanyaan yang tak dijawab, seperti diawal cerita hubungan mereka, di mana Arnes berusaha menutupi perasaannya.Gadis itu berusaha melupakan semua kejadian pagi tadi dengan menyibukkan diri membuka buku pelajaran. Semangat untuk kembali meraih cita-citanya muncul. Apalagi dengan ijin da
"Aku datang!" seru Sheila yang baru saja muncul setelah seharian berkecimpung dengan dunia pelajarnya lagi.Arnes melambaikan tangannya yang masih memegangi bolpoin. Jam dinding menunjukkan pukul lima sore, pertanda jam kerjanya sudah selesai satu jam lalu. Tapi dengan sengaja ia menunggu Sheila yang masih harus mendapatkan pelajaran tambahan.Sudah hampir sebulan keduanya menjalani kegiatan masing-masing. Arnes dengan kegiatan operasi dan pengembangan klinik menjadi rumah sakit. Sementara Sheila harus fokus mengejar mimpinya untuk menjadi dokter dengan sekolah, pelajaran tambahan dan juga les khusus masuk perguruan tinggi. Nyaris tak ada waktu bagi mereka pergi libur atau sekedar bersenang-senang. Semua kegiatan dilakukan di rumah, bersama."Bagaimana hari ini?" tanya Arnes dengan tangan yang mendorong minumannya ke arah Sheila."Luar biasa!" serunya setengah mengeluh. "Aku ketinggalan banyak, terutama Fisika dan Kimia. Urgh!" keluhnya.Pria itu menertawakan sikap Sheila yang begitu
"Kenapa kau diam?" tanya Arnes di dalam mobil yang membawa keduanya menuju rumah.Sheila menggeleng pelan. Sejak tadi ia memang lebih banyak diam dibanding biasanya, bergelayut manja atau mengajak paman dokternya itu bercanda. Suasana hening itu membuat Arnes bingung."Apa ada sesuatu?" tanyanya lagi.Entah harus berterus terang atau tetap diam seperti saat ini, Sheila sendiri tak tahu. Ia ingin sekali meluapkan semua isi kepalanya yang tentu saja berbentuk negatif. Tapi ada ketakutan yang menciutkan niatnya itu."Katakanlah! Aku tak suka melihatmu begini," kata Arnes berusaha untuk mengulik sesuatu yang membuat gadisnya murung.Dengan sisa keberanian yang ada, Sheila menatap mata elang yang sesekali melirik ke arahnya. "Apakah ada rahasia yang kau sembunyikan dariku, Paman?" tanyanya ragu.Arnes mengernyit. Wajahnya menunjukkan tanda berpikir keras. Walau sebenarnya jawaban itu sudah nyata ada di dalam kepala. Satu rahasia besar yang selama ini ia simpan rapat-rapat adalah tentang pe
"Apa yang kau katakan pada Sheila?" tanya Arnes dengan tatapan marah.Pagi-pagi sekali ia sudah menyambangi ruang kerja Anne. Tentu saja bukan tanpa alasan pria itu muncul tanpa membuat janji terlebih dahulu. Ia bahkan harus memundurkan jam praktiknya setengah jam untuk berbincang dengan rekan kerjanya itu."Apa yang seharusnya dia tahu!" jawab Anne santai.Tak ada raut bersalah di wajahnya. Sepertinya sang dokter sudah tahu bahwa Arnes akan marah. Dan seperti dugaannya yang lain, pria itu akan menemuinya. Tapi tak disangka akan secepat itu, bahkan mungkin terlalu cepat."Apa yang kau inginkan?" tanyanya kesal."Jangan mendustai pernikahanmu!" jawab Anne setengah berteriak. "Berlagak seolah kau adalah pria tanpa istri dan bisa menggoda gadis kecil sepertinya! Come on, kau bukan pria seperti itu, Nes!" katanya.Arnes meraup wajahnya, tanda amarah sudah merasuk sampai ke kepala. Ia tak bisa berpikir jernih sejak semalam. Apalagi melihat Sheila yang sama kalutnya, membuat pria itu merasa
"Jam berapa ini?" tanya Sheila yang menghampiri ruang kerja Arnes di lantai satu.Gadis itu melirik jam dinding yang nyaris menunjukkan pukul 12 malam. Sayangnya jarum panjang masih ada di angka sebelas, yang berarti lima menit lagi menuju waktu yang ditunggu-tunggu. Arnes masih sibuk dengan buku-buku tebal yang berserakan di meja, sambil memperhatikan latar laptopnya. Pria itu masih sibuk belajar meskipun pengalamannya dalam spesialisasi bedah sudah cukup baik. Ia bahkan berhasil melakukan penelitian dalam bidang-bidang tertentu dengan hasil luar biasa.Sheila yang melihatnya tak henti mengagumi paman dokternya. Sejak awal ia sudah menduga bahwa Arnes bukanlah orang sembarangan. Tanggung jawab dan kharismnya membuat ketampanan pria itu berpuluh lipat dibandingkan anak muda seusianya. "Kenapa ditutup?" tanya Sheila begitu tanda silang diklik oleh Arnes."Aku sudah selesai," jawabnya mengalah.Pria itu sudah tak sabar menantikan hasil yang ditunggu-tunggu oleh gadisnya. Dan kebetulan
"Apa yang terjadi?" tanya Sheila yang terkejut melihat Arnes naik ke lantai dua dengan wajah tegang.Pria itu tak menjawab, namun langkah kakinya semakin mantap masuk ke dalam kamar. Dan tanpa diminta Sheila mengikuti dari belakang. Ia masih menanti jawaban dari paman dokternya."Ada Anne di bawah, aku harus bersiap. Tunggulah di luar!" perintahnya tanpa menjawab pertanyaan gadis itu.Arnes masuk ke dalam kamar mandi dan bersikap acuh, seolah tak pernah ada Sheila dalam hidupnya. Gadis yang terabaikan itu merasa kesal, tapi tahu bahwa semua jawab itu ada pada wanita yang kini duduk manis di ruang tamu. Kakinya melangkah pasti mendekati Anne yang langsung menatap tak suka ke arahnya."Kalau kau berhubungan dengan seseorang, minimal kau harus tahu akan kehidupannya. Bukankah begitu?"Anne mendekati Sheila yang diam saja sejak tadi. Tatapan matanya sama sekali tak membuat gadis itu takut. Yang ia tangkap malah sebaliknya, sorot marah penuh kebencian terarah padanya."Apakah kau tertarik