"Apa ini?" tanya Mas Ryan ketika aku mengulurkan amplop berwarna cokelat kepadamya.
"Nisya besok minta ijin mau menampingi murid yang akan mengikuti olimpiade," Aku menyebutkan kota yang akan kukunjungi, "dan yang Mas pegang itu adalah surat tugasnya yang sudah Nisya tanda tangani."
Setelah mengutarakan tujuanku, aku lantas berkemas dengan mengambil tas ransel untuk tempat perlengkapanku selama disana."Kenapa baru bilang sekarang?" menghela napas kasar sepertinya dia tidak terima soal ijinku, "setelah kamu mempersiapkan keberangkatanmu!" lanjutnya."Maaf, kemarin lupa mau bilangnya." "Berapa lama?" tanyanya kembali."Tiga hari.""Salama itu? Apa memang harus kamu yang ikut?""Ada guru lain juga, berhubung Nisya sebagai wali murid siswa yang akan mengikuti lomba, jadi mau nggak mau Nisya yang harus mendampingi mereka.""Laki-laki apa perempuan?""Apanya?""Guru lainya yang ikut pergi."<Jelas itu bukan suaraku, melainkan sosok yang sedari tadi sudah memenuhi pikiranku. Mas Ryan, tanpa aba-aba langsung menarikku ke sisinya. Aku cukup terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba menyusulku ke sini."Maaf, kalau begitu saya permisi ingin menyusul anak-anak."Pak Adit melangkah meninggalkanku dan Mas Ryan, kulihat dia sedang menahan emosi, terlihat jelas dari rahangnya yang mengeras dan juga wajahnya merah padam.Mas Ryan tanpa kata membawaku ke salah satu kamar hotel yang mungkin saja sudah dipesannya entah dari kapan, sepertinya Mas Ryan sempat beristirahat juga di sini sebab tempat tidurnya yang sudah tak serapi ketika pertama kali datang.Dengan sedikit kasar Mas Ryan melepaskan genggaman tangannya, "Apa sudah cukup waktumu bersenang-senang, Nisya!" ucapnya penuh penekanan disetiap perkataannya."Maksud Mas apa?""Sepertinya kamu sangat menikmati kebersamaan kalian di sini.""Nisya nggak ngerti sama arah pembicaraan
"Nisya! kenapa bisa sampaidropbegini, sih."Arsena, dia datang mengunjungiku berikut pasukannya ikut serta, Mas Biru juga keponakan tengilnya, Wira. Sakitku kemarin berujung aku yang berada di sini, di tempat yang paling kuhindari, apalagi dengan selang infus yang menempel di punggung tanganku.Aku dilarikan ke rumah sakit oleh Mas Ryan, sehari setelah kepulanganku. Demam yang kurasakan tidak kunjung turun dan malah semakin parah sehingga membuatku harus mendapatkan perawatan di rumah sakit."Aku manusia Sen, bukan robot yang hanya butuh diisi baterai jika tenaganya habis.""Tetap ya Nis, dalam keadaan sakit pun perkataanmu masih saja ngeselin," ketusnya."Sakit apa, Nis?" tanya Mas Biru yang sedari tadi hanya melihat keributan yang tunangannya perbuat."Kecapean saja Mas," balasku menatapnya, "terimaksih sudah mau jenguk Nisya," sambungku."Bu Nisya cepat sembuh ya, hampir satu minggu ibu absen tidak ke sekolah,
Malam ini aku sudah mempersiapkan keperluan Mas Ryan, untuk menghadiri acara serah terima jabatan. Meski dengan sedikit paksaan dariku akhirnya Mas Ryan mau juga datang ke acaranya."Sayang, Mas masih nggak tega ninggalin kamu di rumah sendirian," Mas Ryan tidak henti-hentinya mengucapkan kalimat itu berulang-ulang, entah sudah yang keberapa kali aku mendengarnya.Menghela napas kasar aku lantas menyahutinya. "Mas, ini itu acara penting buat Mas! Untuk bisa mendapatkan posisi ini tidaklah mudah, Nisya sendiri saksinya bagaimana perjuangan Mas satu bulan terakhir. Apa Mas rela melepaskan apa yang sudah susah payah Mas perjuangkan? Kesempatan ini tidak akan datang dua kali, Mas, jadi datanglah dan terima apa yang memang seharusnya menjadi milik Mas.""Tapi, Mas beneran nggak bisa ninggalin kamu sendirian, Sayang! Apalagi kalau nanti kamu butuh sesuatu, dan mas nggak ada di rumah."Terlihat Mas Ryan seperti tengah memikirkan sesuatu den
Menjelang satu bulan menuju pernikahan Arsena, sosok sahabatku itu tak henti-hentinya untuk menerorku. Seperti sekarang ini, tepatnya ketika jam istirahat tiba, dirinya segera menyeretku untuk sekedar menemaninyafittingbaju.berikutYasa, yang mungkin sedang sibuk-sibuknya tapi berkat ancaman darinya dia datang juga, entah apa yang dilakukan Sena, sehingga bisa membuat si gila kerja ini beranjak dari kursi kebesarannya."Sumpah ya, Sen? Kamu kurang kerjaan banget. Sialan! Aku bela-belain kesini cuma demi lihat kamu ganti baju doang?Fix, losakitjiwa tahu, nggak!"Umpatan yang didapatkan dari Yasa, sama sekali tidak dihiraukan oleh Sena, dengan santainya dia malah mengibaskan kedua tangannya."Lagian, kemana Mas Birumu? Yang mau nikah itu kamu sama dia, kenapa kita-kita yang mesti kamu sibukkan Arsena!" seruku yang ikut merasa jengkel."Ck, kalian bawel banget dari tadi
"Kamu sengaja, kan?"Yasa, monodongku dengan pertanyaan yang aku sendiri tidak tahu apa yang dimaksud. Setelah selesai dengan urusan Sena, aku memilih untuk mengikutinya kembali ke kantor dari pada harus terjebak berada disatu mobil dengan Sena dan tunangannya."Apa? Yang jelas kalau ngomong, aku bukan cenayang yang bisa baca pikiranmu!""Aku benar-benar pusing, Nisya! Apalagi kamu yang tidak mau lagi ambil bagian menangani klienmerepotkan kemarin.""Tunggu! jadi ini masih masalah yang sama? Ada apa rupanya, kenapa aku merasa seperti ada sesuatu yang lain di sini," ucapku memicingkan mata kearahnya."Nggak usah mikir yang aneh-aneh, aku sama sekali nggak berminat lagi nanganin proyek itu, bodoh amat sama denda yang akan kita dapatkan.""Jangan asal kalau ambil keputusan, aku nggak mau ya, nanti jika ada drama di kantor ini.""Maksudnya?""Aku tahu Yasa, tentang siapa klien
Satu minggu menjelang hari pernikahan Sena, sosok sahabat yang semakin kesini aku menjadi engan menyebutkan sahabat. Demi Tuhan! dia tidak pernah bosan buat mengganggu ketenanganku, ada saja masalah yang dikeluhkannya."Aku bingung, Nisya. Rasanya aku sudah tidak bisa berpikir lagi saking gugupnya." Dan aku sama sekali tidak ingin merespon ucapanya, kubiarkan saja dia dengan keluhan yang menurutku tidak begitu penting."Kamu dengerin aku nggak, sih?" tangannya terulur merebut benda persegi yang tengah kumainkan."Sena!" seruku tidak terima dan mencoba meraih kembali ponsel yang direbutnya."Salah sendiri aku ngomong panjang lebar tidak kamu hiraukan malah asyik sama game bercocok tanam yang nggak guna itu." Sungutnya tidak terima karena aku abaikan."Tanpa aku dengar pun di kepalaku sudah terekam jelas apa saja yang kamu omongin dari sejam yang lalu Arsena! jadi berhenti mengoceh dan kembalikan ponselku," kurebut kembali ponsel dari t
"Nis, tolong jangan pergi dulu mas bisa jelasin sama kamu tanpa berdebat lagi, bisa?" Aku menggeleng. "Kupikir, Mas hanya akan mengajaknya saja untuk sekedar bermain dan bersenang-senang, nyatanya aku sudah terlalu berprasangka baik pada Mas. Lebih dari itu, aku bahkan melihat kalian sedang asyik berbelanja dan mengabaikan keberadaan Alshad. Mas, sorry kalau ini terdengar kasar tapi aku tidak tahan lagi untuk tidak berkata 'bodoh' buat kalian selaku orang tuanya!"Tuntas sudah amarahku untuk mereka, aku tidak tahan lagi untuk meluapkan emosiku dihadapannya langsung. Sementara itu Mas Ryan, hanya bisa diam tertunduk dan tidak mampu melakukan pembelaan lagi. Dan seperti itu lah dia, yang terlalu menurut sama mantan istrinya. Benar-benar devinisi bucin parah, iya kalau bucinnya sama istri tidak ada larangannya. Nah dia, susah untuk aku jelaskan dengan kata-kata.Untuk menghindari drama yang akan mereka lakukan, aku menyeret paksa Sena agar segera pergi. Ka
Semakin kesini, aku semakin bingung dengan perasanku sendiri. Ingin abai seperti dulu mengenai hubungan Mas Ryan dengan masa lalunya, tapi tidak bisa. Ingin juga mengatakan yang sebenarnya, kalau aku tidak suka melihat kedekatannya dengan Mbak Sarah, tapi egoku seakan melarangnya. Namun jika harus memendamnya terus menerus aku jugabyang merasakan sakitnya.Mungkin dulu aku belum memiki perasaan ini, tapi sekarang aku mulai merasa tidak rela jika perhatian Mas Ryan terbagi apalagi sama perempuan selainku. Meskipun itu mantan istrinya, dan aku membenci itu sekarang. Melihat interaksi yang mereka lakukan sudut terdalamku ingin sekali memerontak, terlebih jika itu menyangkut masalah anak. Ingin sekali aku berteriak sekencangnya jika aku tidak suka."Kenapa tidak di angkat?" tanyaku.Bisa kulihat dari tempatku duduk jika sedari tadi ponselnya tak berhenti berdering, dengan nama Mbak Sarah yang muncul di layar utamanya."Nanti kamu marah, kalau mas sibuk dengan