Dua tahun berlalu seperti bisikan lembut angin yang menyapu hamparan waktu, membawa Mark dan Dania ke malam istimewa di restoran mewah.Lampu kristal menggantung di atas mereka, memancarkan cahaya hangat yang memeluk ruang, sementara orkestra kecil mengalunkan melodi romantis di sudut ruangan. Hanya mereka berdua malam itu.Clara yang kecil, tawa riangnya sementara waktu dititipkan pada Amy dan Sean, memberi mereka ruang untuk merayakan cinta yang telah tumbuh semakin kuat.“Happy anniversary, Sayang,” ujar Mark dengan suara rendah dan penuh kasih, matanya menatap Dania seperti memandangi bintang yang paling terang di langit malam. “Tidak terasa, kita sudah memasuki tahun kedua pernikahan kita.”Dania tersenyum, senyum yang mampu mencairkan es paling dingin sekalipun. “Ya, happy anniversary, Mark. Aku tidak menyangka, pernikahan dadakan yang kita jalani rupanya membawa kita pada kebahagiaan yang tidak terduga,” ucapnya, nada suaranya seperti alunan harpa yang merdu.Mark meraih tangan
Dania dan Mark menjejakkan kaki di Yunani, tanah yang dibalut legenda dan keindahan abadi. Langit biru bersinar cerah, berpadu dengan lautan yang membentang sejauh mata memandang, menyerupai sutra biru tua yang bergelombang lembut.Clara, sang buah hati yang kini telah berusia satu tahun enam bulan, tertawa ceria dalam gendongan Mark, melengkapi suasana yang sudah begitu sempurna.“Akhirnya, setelah sekian lama, kita berlibur lagi,” ucap Dania, senyumnya merekah bak bunga yang mekar di musim semi. Ia mendorong pintu villa yang menghadap langsung ke pantai, tempat ombak bersenandung lembut, memanggil-manggil mereka ke dalam pelukan pasir keemasan.Mark menghampiri Dania, dengan Clara yang mulai menggeliat ingin turun. “Nikmati pemandangan ini sepuasnya, Sayang. Kita akan berlibur selama sepuluh hari di sini,” katanya, suaranya dalam namun penuh kelembutan yang menenangkan.Dania menoleh, bibirnya melengkung membentuk senyum penuh godaan. “Apakah CEO tampan, incaran para wanita murahan
Usia kandungan Dania sudah memasuki sembilan bulan, dan malam itu, tepat pukul dua dini hari, rasa mulas yang luar biasa menyergapnya seperti gelombang pasang yang tak tertahan. Kamar tidur yang tadinya tenang seketika berubah menjadi arena kepanikan.Napas Dania tersengal, keringat dingin membasahi dahinya. Matanya menatap Mark yang masih setengah sadar, berusaha mencerna situasi dengan tatapan penuh kantuk.“Kau akan melahirkan di malam hari, Sayang?” tanyanya dengan nada bingung, wajahnya tercampur panik dan sisa kantuk.Dania menatap suaminya dengan tajam, meski wajahnya memucat menahan rasa sakit. “Apa kau gila? Jam melahirkan tidak kenal waktu, Mark! Cepat, bawa aku ke rumah sakit! Perutku sudah sakit sekali!” serunya, suaranya menggema seperti perintah seorang ratu di tengah kekacauan.Mark langsung terjaga sepenuhnya, kepanikannya terlihat jelas. Ia segera meraih ponsel di meja samping, menghubungi rumah sakit agar ruang bersalin segera disiapkan. Dalam waktu singkat, ia sudah
Lima tahun kemudian…Langit senja merekah seperti lukisan indah yang menggantung di cakrawala, memancarkan warna jingga keemasan yang membias di kaca mobil Stevan. Suara tawa seorang gadis kecil pecah, memecah ketenangan sore itu.“Uncle Stevan!” Clara berlari dengan langkah kecil yang riang, rambutnya yang halus tergerai ditiup angin. Matanya berbinar seperti bintang kecil yang menyala, wajahnya dihiasi senyuman tulus penuh cinta.Stevan membuka pintu mobilnya dan segera mengulurkan tangannya. “Gendong, Uncle. Gendong,” pinta Clara dengan nada yang manja.Tawa ringan keluar dari bibir Stevan, seperti melodi lembut yang memenuhi udara. Dengan penuh kasih, ia mengangkat tubuh mungil Clara yang kini telah tumbuh menjadi gadis kecil berusia tujuh tahun."Apa kau merindukanku, hm?" tanyanya lembut, menatap dalam mata Clara yang cerah seperti permata biru langit.Clara mengangguk dengan semangat, rambutnya yang harum terayun mengikuti gerakannya. "Sangat merindukan Uncle! Kenapa Uncle baru
"Setelah kau dewasa, Clara. Jika aku menikahimu sekarang, aku akan ditangkap polisi, dan kita tidak bisa bulan madu," ucap Stevan, setengah bercanda, setengah mencoba menenangkan tawa yang nyaris meledak.Dania, yang berdiri tak jauh, memutar mata dan menghela napas panjang. Suaranya seperti angin yang menyerah melawan badai kecil. "Stevan!" serunya, separuh protes, separuh kelelahan.Clara, tanpa sedikit pun merasa terganggu, malah menatap Stevan dengan mata yang penuh rasa ingin tahu. "Ah, begitu. Berapa lama lagi aku akan menjadi dewasa, Uncle?"Stevan mengerutkan kening, berpura-pura berpikir keras, lalu menjawab, "Um … mungkin tiga belas tahun yang akan datang?" Matanya berbinar penuh canda, menikmati obrolan ringan ini.Mark, yang sedari tadi berdiri menyaksikan percakapan absurd ini, akhirnya menyerah dengan senyum tipis di sudut bibirnya."Baiklah, baiklah. Aku tidak perlu pusing memikirkan siapa jodoh Clara di masa depan. Karena jodoh Clara sudah tercipta dari sekarang," kata
Dania menepuk jidatnya, napasnya tertahan sejenak setelah mendengar cerita dari Stevan.Ada rasa geli sekaligus kelelahan yang bercampur dalam ekspresinya, seperti seorang ibu yang tak habis pikir dengan tingkah anak-anaknya, tetapi tetap tak bisa menahan senyum kecil di ujung bibir."Jangan dengarkan apa pun yang Clara katakan. Kau berhak memiliki kekasih, Stevan. Wanita di London banyak yang cantik dan pasti akan memikat hatimu," ucapnya, suaranya terdengar setengah serius, setengah bercanda, namun ada ketegasan khas seorang kakak yang selalu menginginkan yang terbaik untuk adiknya.Stevan mengangkat bahu dengan santai, senyumnya tipis namun penuh arti. "Aku tidak yakin, Kak."Dania menyipitkan matanya, tatapan seorang wanita yang tahu ada sesuatu yang disembunyikan."Why? Jangan bilang kalau kau sudah memiliki rasa pada anakku, Stevan? Kau akan dicap pedofil meskipun tidak melakukan apa pun pada anakku. Justru Clara lah yang sering memeluk dan menciummu."Mark hanya menghela napas
Empat tahun berlalu dengan gemuruh waktu yang tak henti-hentinya mengukir cerita.Siang itu, langit biru seperti kanvas kosong, hanya dihiasi sejumput awan yang melayang malas.Namun, suasana hati Mark terasa sebaliknya—penuh beban yang sulit diterjemahkan, seperti awan kelabu yang bergulung di dada."Anak Anda terlibat baku hantam dengan teman sekelasnya, Arnold. Namun, yang mengalami luka memar di wajahnya adalah Arnold. Sepertinya Clara sangat jago bela diri, Tuan Mark," ucap Mrs. Anneth, suaranya lembut tapi tajam, seperti pisau yang baru diasah.Mark memijat keningnya, tarikan napasnya berat seakan membawa beban dunia. "Maafkan anak saya, Mrs. Anneth. Dia memang sedikit bar-bar dan sulit sekali dinasihati," katanya, dengan nada yang terdengar lebih seperti permintaan maaf kepada dirinya sendiri daripada kepada wali kelas itu.Tanpa banyak bicara lagi, ia melangkah menuju ruang administrasi. Setiap langkahnya terdengar seperti dentang jam di aula kosong, menggema dengan rasa tanggu
“Pawangnya telah kembali. Dia akan melunak jika dinasihati oleh Stevan,” ujar Mark dengan nada penuh keyakinan, lalu menggandeng tangan Dania, membawanya masuk ke dalam rumah.Di balik gerbang sore yang berwarna jingga, mereka menghilang ke dalam kehangatan rumah, meninggalkan Clara dan Stevan di halaman yang masih diterangi sisa-sisa cahaya matahari.Stevan, dengan senyum kecil yang selalu terasa menenangkan, merangkul Clara. Gadis kecil itu kini telah tumbuh lebih tinggi, tapi masih ada keusilan dan keberanian khas yang sulit disembunyikan dari wajahnya.“Ayo, masuk,” ajaknya dengan lembut, membimbing Clara ke sofa ruang tengah, tempat mereka biasa berbincang seperti dua sahabat yang berbagi rahasia dunia.Ia duduk di sebelah Clara, menatapnya dengan pandangan yang penuh kehangatan sekaligus kekhawatiran. "Hm, apa yang kau lakukan kali ini? Baku hantam lagi?" tebak Stevan, seraya meraih tangan Clara yang kemerahan, jari-jarinya memar akibat perkelahian.Stevan menggeleng pelan, napas
Stevan mengerutkan keningnya, sorot matanya tertuju pada Clara yang sedari tadi hanya memutar-mutar spaghettinya tanpa minat.Piring di depannya terlihat seperti kanvas yang hanya dilukis separuh hati, gerakan garpu yang berulang menciptakan pola tanpa arah, mencerminkan pikiran yang penuh gejolak.Mereka kini duduk di sebuah restoran kecil nan hangat, dindingnya dihiasi lukisan klasik yang seolah ingin membawa pengunjung ke era lampau.Di luar, matahari siang mengintip malu-malu dari balik awan kelabu, sinarnya yang redup memantul lembut di permukaan meja kayu tempat mereka duduk.“Honey?” panggil Stevan, suaranya penuh perhatian, seperti alunan nada piano yang lembut di tengah hening.“Are you okay?” tanyanya dengan nada sedikit cemas, matanya menatap Clara dengan intensitas yang sulit diabaikan.Clara mendongakkan kepala, memandang Stevan dengan mata yang tampak berkilau namun terselubung bayangan kegelisahan. “Ya. I’m okay,” ucapnya lirih, bibirnya yang pucat membentuk senyum tipi
"Clara? Apa kau tidak merasakan sesuatu?"Suara Mark memecah keheningan dengan nada yang tenang namun penuh teka-teki, seperti bisikan angin malam yang membawa rahasia gelap dari kejauhan.Tatapan matanya mengunci Clara, seolah mencari jawaban yang tak pernah terucap."Apa maksudmu, Dad? Aku tidak mengerti sedikit pun," jawab Clara dengan alis yang berkerut.Ia melanjutkan kunyahannya pada cokelat batang yang mulai meleleh di sudut bibirnya, sementara matanya terpaku pada lembaran buku yang baru saja dibelinya.Mark menghela napas panjang, mengangkat kepalanya perlahan seolah mencari kata-kata yang tepat di langit-langit ruang tamu yang redup. “Sudah berapa lama kau dan Stevan menjalin hubungan?”Pertanyaan itu melayang di udara seperti percikan api kecil di tengah kabut, membakar rasa penasaran dalam dada Clara.Clara melirik ke arah ayahnya dengan pandangan setengah penasaran, setengah jengkel. Jarinya mengetuk meja, menghitung pelan.“Sepertinya sudah mau lima bulan. Kenapa, Dad? A
Mark mengundang Stevan, Sean, Amy, dan juga Lisa untuk makan malam di rumahnya. Clara sendiri tidak tahu jika Mark mengadakan makan malam ini, sehingga suasana di meja makan terasa lebih intim, namun ada juga ketegangan yang menggantung di udara.“Terima kasih atas kehadirannya di acara makan malam ini,” ucap Mark dengan suara berat, matanya menyapu ke seluruh wajah yang hadir, memberikan kesan bahwa setiap kata yang keluar dari bibirnya tidak bisa dianggap remeh.Clara menoleh ke arah Samuel, merasakan kegelisahan yang mulai tumbuh di dada. Pria itu hanya mengendikan bahunya, tanda bahwa dia pun tak tahu jika Mark mengundang orang tuanya dan ibu Stevan ke rumah mereka malam ini.“Terima kasih juga sudah mengundangku pada acara ini, Mark,” ucap Lisa dengan nada lembutnya, namun ada nada yang agak dipaksakan dalam suaranya, seperti yang sering terlihat pada orang yang berusaha menyembunyikan perasaan tidak nyaman.Mark tersenyum tip
“Apa yang kau bawa dari London? Aku sudah tidak sabar melihatnya.” Clara, yang sebelumnya bersumpah tidak akan memaafkan Stevan, justru merasa seolah tak bisa menjauh dari pria itu.Pertahanannya luluh, begitu cepat dan begitu tiba-tiba, saat tatapan Stevan menyentuhnya dengan kekuatan yang tak terungkapkan.Ada sesuatu dalam mata pria itu yang begitu memikat, seakan ia menarik Clara ke dalam pusaran perasaan yang sulit ditolak.Stevan menatap wajah Clara dengan intensitas yang dalam, seakan ingin membaca setiap jejak emosi yang bersembunyi di dalamnya.Dengan gerakan yang begitu lembut namun penuh tekad, ia menarik wajah Clara mendekat.Bibir mereka bertemu dalam ciuman yang begitu mendalam, tak terduga, dan penuh gairah. Ciuman itu bukan sekadar pertanda rindu, melainkan sebuah ledakan emosi yang membakar seluruh penahanan mereka.Clara terkejut, hatinya berdebar dengan cepat dan hampir tak teratur. Ciuman itu datang tanpa aba-
Dua minggu kemudian...Perpisahan Lisa dan Randy akhirnya resmi selesai, menyisakan babak baru yang dimulai dengan rasa lega bercampur keraguan.Di bawah langit kelabu New York yang seolah mengerti beratnya perjalanan ini, Lisa mengikuti langkah Stevan memasuki rumah sederhana yang telah disiapkan untuknya.“Ini rumahmu selama di sini,” ucap Stevan singkat, suaranya datar, tetapi ada sekilas kelembutan yang sulit disembunyikan.Lisa melangkah perlahan, matanya mengamati setiap sudut rumah dengan sorot yang sarat makna.Dinding putih bersih, perabotan minimalis, dan suasana hangat rumah itu memberi rasa nyaman yang sudah lama ia rindukan. Sebuah senyum kecil menghiasi wajahnya, seolah menghapus jejak beban dari masa lalunya.“Terima kasih, Nak. Aku tidak akan merepotkanmu selama di sini,” ucapnya lembut, namun suaranya mengandung getar haru.Stevan hanya mengangguk tipis, wajahnya sulit dibaca. Hatinya terbelah&
Ketika pintu apartemen terbuka dengan suara berderit yang berat, Randy berdiri di ambang pintu, tatapan matanya seperti kilatan petir yang menyambar langit malam.Udara di dalam ruangan mendadak terasa dingin, menciptakan suasana tegang yang mengancam meledak kapan saja.“Kau,” desis Randy dengan suara serak yang dipenuhi kemarahan, langkahnya mendekati Stevan dengan berat seperti membawa dendam yang membara. “Kau yang telah menghasut ibumu untuk bercerai denganku, huh?”Stevan berdiri tegak di sisi ruangan, wajahnya tenang namun matanya menyala dengan amarah terpendam.“Memangnya kau masih mengharapkan ibuku?” tanyanya, suaranya tegas seperti pisau yang menusuk ke dalam.“Selama ini kau hanya memanfaatkan ibuku agar mau membujukku untuk membangun perusahaanmu, Tuan Randy yang terhormat.”Randy menggeram, tangannya mengepal hingga buku-bukunya memutih. “Kurang ajar!” ia men
“Maaf, aku tidak memberitahumu karena urusanku sangat mendadak,” suara Stevan terdengar di seberang sana, tenang namun mengandung jejak kelelahan yang sulit disembunyikan.Clara menghela napas panjang, dadanya terasa sesak oleh kekhawatiran dan amarah yang bercampur menjadi satu. “Sekarang jelaskan, apa yang kau lakukan di sana sampai pergi mendadak seperti ini?” tanyanya, suaranya bergetar, antara menahan rasa kecewa dan desakan ingin tahu.“Ibuku memaksaku untuk datang,” jawab Stevan akhirnya, suaranya terdengar berat, seperti seseorang yang menanggung beban yang terlalu besar. “Suaminya mengancam akan membunuh ibuku jika aku tidak pergi, Clara. Meskipun dia sudah menyakitiku, dia tetap ibuku.”Kata-kata itu menggantung di udara, menusuk relung hati Clara. Ia menelan salivanya dengan pelan, mencoba meredakan gemuruh emosinya. “Memangnya ayah tirimu sejahat itu, Uncle?” tanyanya, nada suaranya penuh dengan campuran simpati dan ketakutan.“Entahlah,” Stevan menjawab, suaranya nyaris s
Clara melangkah mendekati Mark yang baru saja memasuki ruang tamu, aroma malam yang dingin masih menempel di jas kerjanya. Wajah lelaki itu tampak lelah, namun ia tetap menyunggingkan senyum kecil untuk putrinya.“Daddy... ada apa?” Clara membuka percakapan dengan nada gelisah, mata beningnya menatap wajah Mark dengan penuh kekhawatiran.“Kenapa kau baru pulang selarut ini? Uncle Stevan di mana?” Suaranya bergetar, seperti angin yang menyelinap di antara dedaunan malam.Mark, dengan gerakan lembut yang sarat kasih sayang, mengusap sisi kepala Clara, jari-jarinya menyisir rambut putrinya seperti angin musim gugur yang pelan menyapa dedaunan.“Stevan harus pergi ke London untuk mengurus orang tuanya, Clara,” jawabnya, suara baritonnya terdengar berat, seolah ada rahasia yang ingin ia sembunyikan di balik kata-katanya.Clara mengerutkan keningnya, tatapannya mengunci pada Mark, mencari kebenaran di balik penjelasan yang terasa terlalu datar.“Kenapa lagi dengan mereka, Dad?” tanyanya, su
“Mulai detik ini, aku yang akan menjadi pemimpin di kampus ini sesuai dengan perintah dari Daddy,” suara Emma menggema di ruang rapat seperti lonceng perak yang memancarkan kewibawaan.Tatapan tajamnya menyapu wajah-wajah di sekitarnya, memancarkan aura kepemimpinan yang tak terbantahkan. “Maka dari itu, beritahu aku apa pun yang terjadi di kampus ini.”Rapat pergantian pimpinan di Label’s University berlangsung dalam keheningan yang sarat dengan ketegangan.Emma telah menjejakkan langkahnya di New York, membawa ambisi dan tekad yang tak tertandingi untuk memimpin kampus itu.“Nyonya Aneth?” panggil Emma ketika rapat telah usai, suaranya dingin namun terukur, seperti angin musim dingin yang menyusup ke sela-sela jendela.“Ada yang bisa dibantu, Nona Emma?” Aneth menjawab dengan nada sopan, berdiri dengan tubuh tegap seperti seorang prajurit yang setia.“Anda mengenal mahasiswi bernama Clara Evander?” Tanya Emma, kali ini lebih menajamkan sorot matanya, seolah mencari jawaban yang lebi