Tiga bulan kemudian…Langit kelabu menaungi pemakaman Alex, seolah alam turut berkabung atas akhir perjalanan hidupnya yang getir. Hembusan angin dingin menyapu dedaunan kering yang berserakan, menciptakan irama kesepian di tengah keheningan pekuburan.Mark berdiri tegak di sisi pusara, wajahnya kaku seperti pahatan marmer, namun di balik matanya yang kosong tersimpan gelombang emosi yang tak terucap. Di sisinya, Dania memeluk dirinya sendiri, seakan mencoba melindungi hati yang rawan dari duka yang tak kasat mata."Akhir yang mengenaskan," ucap Dania dengan nada berbisik, suaranya serupa helai sutra yang terseret angin. Ia melirik Mark yang tetap terpaku, seolah akar dari pepohonan tua di sekitarnya telah merambat dan menahannya di tempat.Mark menarik napas panjang, udara terasa berat saat ia menghirupnya. "Dia sudah menyusul anaknya yang telah dia bunuh, Sayang. Mungkin ini adalah doa seorang bayi tak berdosa, yang hidupnya direnggut oleh tangan ayahnya sendiri," jawabnya, suaranya
Yonas, pria yang selama ini hanya menjadi bayangan samar dalam pikiran Mark, kini berdiri di hadapannya dengan tatapan penuh beban.Fakta bahwa Yonas adalah ayah kandung Dania—ayah mertuanya sendiri—terasa seperti angin dingin yang merayap, membawa kepingan masa lalu yang sulit diterima.Mark, dengan wajah dinginnya yang seolah tak dapat ditembus oleh emosi apa pun, memandang Yonas dengan sorot mata tajam, seolah mampu membaca isi hati pria itu dalam sekejap."Aku tahu, maksudmu menghubungi Dania itu apa," ucapnya, suaranya seperti bilah es yang tajam, memotong keheningan di antara mereka.Seperti biasanya, sikap dingin Mark adalah tameng yang ia gunakan untuk menjauhkan diri dari mereka yang dianggapnya sebagai ancaman—boomerang dalam hidupnya. Dan Yonas, dengan masa lalunya yang penuh keterkaitan dengan Alex, berada tepat di garis bidik Mark."Maafkan aku, Mark, Dania," ujar Yonas, suaranya bergetar seperti ranting yang melawan angin kencang."Aku baru menghubungimu karena aku bingu
"Rapat pemegang saham akan dimulai. Terima kasih telah hadir di acara pertemuan penting ini," ucapnya, suaranya menggema hingga ke sudut aula yang paling jauh.Aula megah itu diselimuti oleh gemerlap lampu kristal yang memantulkan cahaya keemasan, menciptakan suasana yang mengesankan namun penuh ketegangan.Ratusan kursi telah terisi oleh para pemegang saham, investor, serta media yang menunggu dengan napas tertahan. Suara pengisi acara yang formal namun tegas memecah kesunyian.Kerumunan itu seakan menjadi lautan manusia yang tak sabar menanti momen besar. Kamera-kamera berlomba mengabadikan setiap gerakan, setiap kata, setiap ekspresi wajah yang mencerminkan ambisi, kegelisahan, dan harapan."Seperti yang telah kita ketahui," lanjut pembicara dengan intonasi yang penuh wibawa, "selama lima bulan terakhir, saham Kv’s Group terus mengalami peningkatan yang signifikan. Kerja sama strategis dengan beberapa perusahaan besar telah membawa dampak positif. Nilai saham perusahaan dalam satu
Dua tahun berlalu seperti bisikan lembut angin yang menyapu hamparan waktu, membawa Mark dan Dania ke malam istimewa di restoran mewah.Lampu kristal menggantung di atas mereka, memancarkan cahaya hangat yang memeluk ruang, sementara orkestra kecil mengalunkan melodi romantis di sudut ruangan. Hanya mereka berdua malam itu.Clara yang kecil, tawa riangnya sementara waktu dititipkan pada Amy dan Sean, memberi mereka ruang untuk merayakan cinta yang telah tumbuh semakin kuat.“Happy anniversary, Sayang,” ujar Mark dengan suara rendah dan penuh kasih, matanya menatap Dania seperti memandangi bintang yang paling terang di langit malam. “Tidak terasa, kita sudah memasuki tahun kedua pernikahan kita.”Dania tersenyum, senyum yang mampu mencairkan es paling dingin sekalipun. “Ya, happy anniversary, Mark. Aku tidak menyangka, pernikahan dadakan yang kita jalani rupanya membawa kita pada kebahagiaan yang tidak terduga,” ucapnya, nada suaranya seperti alunan harpa yang merdu.Mark meraih tangan
Dania dan Mark menjejakkan kaki di Yunani, tanah yang dibalut legenda dan keindahan abadi. Langit biru bersinar cerah, berpadu dengan lautan yang membentang sejauh mata memandang, menyerupai sutra biru tua yang bergelombang lembut.Clara, sang buah hati yang kini telah berusia satu tahun enam bulan, tertawa ceria dalam gendongan Mark, melengkapi suasana yang sudah begitu sempurna.“Akhirnya, setelah sekian lama, kita berlibur lagi,” ucap Dania, senyumnya merekah bak bunga yang mekar di musim semi. Ia mendorong pintu villa yang menghadap langsung ke pantai, tempat ombak bersenandung lembut, memanggil-manggil mereka ke dalam pelukan pasir keemasan.Mark menghampiri Dania, dengan Clara yang mulai menggeliat ingin turun. “Nikmati pemandangan ini sepuasnya, Sayang. Kita akan berlibur selama sepuluh hari di sini,” katanya, suaranya dalam namun penuh kelembutan yang menenangkan.Dania menoleh, bibirnya melengkung membentuk senyum penuh godaan. “Apakah CEO tampan, incaran para wanita murahan
Usia kandungan Dania sudah memasuki sembilan bulan, dan malam itu, tepat pukul dua dini hari, rasa mulas yang luar biasa menyergapnya seperti gelombang pasang yang tak tertahan. Kamar tidur yang tadinya tenang seketika berubah menjadi arena kepanikan.Napas Dania tersengal, keringat dingin membasahi dahinya. Matanya menatap Mark yang masih setengah sadar, berusaha mencerna situasi dengan tatapan penuh kantuk.“Kau akan melahirkan di malam hari, Sayang?” tanyanya dengan nada bingung, wajahnya tercampur panik dan sisa kantuk.Dania menatap suaminya dengan tajam, meski wajahnya memucat menahan rasa sakit. “Apa kau gila? Jam melahirkan tidak kenal waktu, Mark! Cepat, bawa aku ke rumah sakit! Perutku sudah sakit sekali!” serunya, suaranya menggema seperti perintah seorang ratu di tengah kekacauan.Mark langsung terjaga sepenuhnya, kepanikannya terlihat jelas. Ia segera meraih ponsel di meja samping, menghubungi rumah sakit agar ruang bersalin segera disiapkan. Dalam waktu singkat, ia sudah
Lima tahun kemudian…Langit senja merekah seperti lukisan indah yang menggantung di cakrawala, memancarkan warna jingga keemasan yang membias di kaca mobil Stevan. Suara tawa seorang gadis kecil pecah, memecah ketenangan sore itu.“Uncle Stevan!” Clara berlari dengan langkah kecil yang riang, rambutnya yang halus tergerai ditiup angin. Matanya berbinar seperti bintang kecil yang menyala, wajahnya dihiasi senyuman tulus penuh cinta.Stevan membuka pintu mobilnya dan segera mengulurkan tangannya. “Gendong, Uncle. Gendong,” pinta Clara dengan nada yang manja.Tawa ringan keluar dari bibir Stevan, seperti melodi lembut yang memenuhi udara. Dengan penuh kasih, ia mengangkat tubuh mungil Clara yang kini telah tumbuh menjadi gadis kecil berusia tujuh tahun."Apa kau merindukanku, hm?" tanyanya lembut, menatap dalam mata Clara yang cerah seperti permata biru langit.Clara mengangguk dengan semangat, rambutnya yang harum terayun mengikuti gerakannya. "Sangat merindukan Uncle! Kenapa Uncle baru
"Setelah kau dewasa, Clara. Jika aku menikahimu sekarang, aku akan ditangkap polisi, dan kita tidak bisa bulan madu," ucap Stevan, setengah bercanda, setengah mencoba menenangkan tawa yang nyaris meledak.Dania, yang berdiri tak jauh, memutar mata dan menghela napas panjang. Suaranya seperti angin yang menyerah melawan badai kecil. "Stevan!" serunya, separuh protes, separuh kelelahan.Clara, tanpa sedikit pun merasa terganggu, malah menatap Stevan dengan mata yang penuh rasa ingin tahu. "Ah, begitu. Berapa lama lagi aku akan menjadi dewasa, Uncle?"Stevan mengerutkan kening, berpura-pura berpikir keras, lalu menjawab, "Um … mungkin tiga belas tahun yang akan datang?" Matanya berbinar penuh canda, menikmati obrolan ringan ini.Mark, yang sedari tadi berdiri menyaksikan percakapan absurd ini, akhirnya menyerah dengan senyum tipis di sudut bibirnya."Baiklah, baiklah. Aku tidak perlu pusing memikirkan siapa jodoh Clara di masa depan. Karena jodoh Clara sudah tercipta dari sekarang," kata
Tidak membutuhkan waktu lama. Persis dua jam kemudian. Konferensi pers di gelar mendadak.Kilatan lampu kamera menyilaukan, memenuhi ruangan konferensi pers yang penuh sesak.Wartawan dari berbagai media berebut posisi terbaik, mikrofon teracung ke depan, siap menangkap setiap kata yang keluar dari mulut Randy. Ketika langkah Rendy menuju meja konferensi."Pak Randy, apa benar Anda mengakui telah mencuri desain Stevan?" seru seorang reporter, suaranya nyaring menembus hiruk-pikuk saat Randy melangkah tergesa menuju meja utama konferensi pers."Apakah ini berarti semua tuduhan terhadap Stevan tidak benar?" tanya yang lain, matanya berbinar, mencium aroma skandal besar.Randy menelan ludah. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia mencoba membuka mulut, tetapi suara gemuruh kamera dan bisik-bisik wartawan membuat dadanya semakin sesak.Ia bukan lagi penguasa ruangan. Sekarang ia hanya seorang pria yang terpojok di bawah sorotan lampu.Randy berdiri di depan puluhan mic dari berbagai m
"Siapa yang mengizinkanmu memasuki ruanganku, Mark?" pekik Randy, suaranya melengking, dipenuhi keterkejutan yang tak mampu ia sembunyikan.Matanya membulat, seperti seekor tikus yang baru saja menemukan dirinya terperangkap dalam sarang ular."Kenapa?" Mark menjawab dengan nada sedingin es yang menetes perlahan-lahan, menusuk hingga ke tulang."Bukankah kau selalu menantangku di media? Kenapa setelah aku datang, kau malah terkejut seperti itu?" Matanya menatap Randy tajam, bagaikan elang yang mengintai mangsanya dari ketinggian, siap untuk menerkam tanpa ampun.Tatapan itu membuat Randy tersentak. Nyali yang sebelumnya membara di layar media kini menciut, redup seperti lilin di tengah badai.Kata-kata penuh keberanian yang biasa ia lontarkan berubah menjadi gumaman yang kehilangan arah."Bukan kau yang aku singgung, tapi Stevan!" ujar Randy, suaranya masih mencoba terdengar tegas, meski jelas ada getaran kecil yang mencemari nada itu."Baik aku maupun Stevan, sama saja," ujar Mark, s
"Argh! Sial!" seru Emma, suaranya melengking di tengah gemuruh musik yang menghentak.Cahaya neon ungu dan merah berkedip-kedip, membelah bayangan tubuhnya yang bergetar oleh frustrasi. Wajahnya yang memerah oleh amarah terlihat kontras dengan lipstik merah tua yang menghiasi bibirnya.Ia mencengkeram gelas koktail di tangannya hingga jari-jarinya memutih, seolah ingin menyalurkan kemarahan ke dalam benda mati itu.Sudah hampir dua bulan di New York, namun sosok Stevan yang diinginkannya masih saja tak tersentuh, bagai bayang-bayang yang terus menghindar dari cahaya."Sudahlah, Emma," ujar Rose lembut namun tajam, sambil menyandarkan tubuh rampingnya ke sofa empuk."Stevan tidak akan mau padamu. Jika dia menyukaimu, dia pasti sudah menyatakan cinta sejak kalian kuliah. Tapi itu tidak pernah terjadi, bukan?" Rose mengangkat alis, bibirnya melengkung membentuk senyuman kecil yang terasa seperti belati.Emma mendengus kasar, matanya menyipit dengan amarah yang membara. "Itu karena dia su
Stevan mengerutkan keningnya, sorot matanya tertuju pada Clara yang sedari tadi hanya memutar-mutar spaghettinya tanpa minat.Piring di depannya terlihat seperti kanvas yang hanya dilukis separuh hati, gerakan garpu yang berulang menciptakan pola tanpa arah, mencerminkan pikiran yang penuh gejolak.Mereka kini duduk di sebuah restoran kecil nan hangat, dindingnya dihiasi lukisan klasik yang seolah ingin membawa pengunjung ke era lampau.Di luar, matahari siang mengintip malu-malu dari balik awan kelabu, sinarnya yang redup memantul lembut di permukaan meja kayu tempat mereka duduk.“Honey?” panggil Stevan, suaranya penuh perhatian, seperti alunan nada piano yang lembut di tengah hening.“Are you okay?” tanyanya dengan nada sedikit cemas, matanya menatap Clara dengan intensitas yang sulit diabaikan.Clara mendongakkan kepala, memandang Stevan dengan mata yang tampak berkilau namun terselubung bayangan kegelisahan. “Ya. I’m okay,” ucapnya lirih, bibirnya yang pucat membentuk senyum tipi
"Clara? Apa kau tidak merasakan sesuatu?"Suara Mark memecah keheningan dengan nada yang tenang namun penuh teka-teki, seperti bisikan angin malam yang membawa rahasia gelap dari kejauhan.Tatapan matanya mengunci Clara, seolah mencari jawaban yang tak pernah terucap."Apa maksudmu, Dad? Aku tidak mengerti sedikit pun," jawab Clara dengan alis yang berkerut.Ia melanjutkan kunyahannya pada cokelat batang yang mulai meleleh di sudut bibirnya, sementara matanya terpaku pada lembaran buku yang baru saja dibelinya.Mark menghela napas panjang, mengangkat kepalanya perlahan seolah mencari kata-kata yang tepat di langit-langit ruang tamu yang redup. “Sudah berapa lama kau dan Stevan menjalin hubungan?”Pertanyaan itu melayang di udara seperti percikan api kecil di tengah kabut, membakar rasa penasaran dalam dada Clara.Clara melirik ke arah ayahnya dengan pandangan setengah penasaran, setengah jengkel. Jarinya mengetuk meja, menghitung pelan.“Sepertinya sudah mau lima bulan. Kenapa, Dad? A
Mark mengundang Stevan, Sean, Amy, dan juga Lisa untuk makan malam di rumahnya. Clara sendiri tidak tahu jika Mark mengadakan makan malam ini, sehingga suasana di meja makan terasa lebih intim, namun ada juga ketegangan yang menggantung di udara.“Terima kasih atas kehadirannya di acara makan malam ini,” ucap Mark dengan suara berat, matanya menyapu ke seluruh wajah yang hadir, memberikan kesan bahwa setiap kata yang keluar dari bibirnya tidak bisa dianggap remeh.Clara menoleh ke arah Samuel, merasakan kegelisahan yang mulai tumbuh di dada. Pria itu hanya mengendikan bahunya, tanda bahwa dia pun tak tahu jika Mark mengundang orang tuanya dan ibu Stevan ke rumah mereka malam ini.“Terima kasih juga sudah mengundangku pada acara ini, Mark,” ucap Lisa dengan nada lembutnya, namun ada nada yang agak dipaksakan dalam suaranya, seperti yang sering terlihat pada orang yang berusaha menyembunyikan perasaan tidak nyaman.Mark tersenyum tip
“Apa yang kau bawa dari London? Aku sudah tidak sabar melihatnya.” Clara, yang sebelumnya bersumpah tidak akan memaafkan Stevan, justru merasa seolah tak bisa menjauh dari pria itu.Pertahanannya luluh, begitu cepat dan begitu tiba-tiba, saat tatapan Stevan menyentuhnya dengan kekuatan yang tak terungkapkan.Ada sesuatu dalam mata pria itu yang begitu memikat, seakan ia menarik Clara ke dalam pusaran perasaan yang sulit ditolak.Stevan menatap wajah Clara dengan intensitas yang dalam, seakan ingin membaca setiap jejak emosi yang bersembunyi di dalamnya.Dengan gerakan yang begitu lembut namun penuh tekad, ia menarik wajah Clara mendekat.Bibir mereka bertemu dalam ciuman yang begitu mendalam, tak terduga, dan penuh gairah. Ciuman itu bukan sekadar pertanda rindu, melainkan sebuah ledakan emosi yang membakar seluruh penahanan mereka.Clara terkejut, hatinya berdebar dengan cepat dan hampir tak teratur. Ciuman itu datang tanpa aba-
Dua minggu kemudian...Perpisahan Lisa dan Randy akhirnya resmi selesai, menyisakan babak baru yang dimulai dengan rasa lega bercampur keraguan.Di bawah langit kelabu New York yang seolah mengerti beratnya perjalanan ini, Lisa mengikuti langkah Stevan memasuki rumah sederhana yang telah disiapkan untuknya.“Ini rumahmu selama di sini,” ucap Stevan singkat, suaranya datar, tetapi ada sekilas kelembutan yang sulit disembunyikan.Lisa melangkah perlahan, matanya mengamati setiap sudut rumah dengan sorot yang sarat makna.Dinding putih bersih, perabotan minimalis, dan suasana hangat rumah itu memberi rasa nyaman yang sudah lama ia rindukan. Sebuah senyum kecil menghiasi wajahnya, seolah menghapus jejak beban dari masa lalunya.“Terima kasih, Nak. Aku tidak akan merepotkanmu selama di sini,” ucapnya lembut, namun suaranya mengandung getar haru.Stevan hanya mengangguk tipis, wajahnya sulit dibaca. Hatinya terbelah&
Ketika pintu apartemen terbuka dengan suara berderit yang berat, Randy berdiri di ambang pintu, tatapan matanya seperti kilatan petir yang menyambar langit malam.Udara di dalam ruangan mendadak terasa dingin, menciptakan suasana tegang yang mengancam meledak kapan saja.“Kau,” desis Randy dengan suara serak yang dipenuhi kemarahan, langkahnya mendekati Stevan dengan berat seperti membawa dendam yang membara. “Kau yang telah menghasut ibumu untuk bercerai denganku, huh?”Stevan berdiri tegak di sisi ruangan, wajahnya tenang namun matanya menyala dengan amarah terpendam.“Memangnya kau masih mengharapkan ibuku?” tanyanya, suaranya tegas seperti pisau yang menusuk ke dalam.“Selama ini kau hanya memanfaatkan ibuku agar mau membujukku untuk membangun perusahaanmu, Tuan Randy yang terhormat.”Randy menggeram, tangannya mengepal hingga buku-bukunya memutih. “Kurang ajar!” ia men