"Stevan, kau masih di sini rupanya." Suara lembut Dania membelah keheningan malam, mengalir bak alunan melodi yang membelai telinga. Langkahnya yang ringan membawa dirinya mendekati sosok muda yang tengah duduk dengan tatapan sendu di samping tempat tidur Clara. Remaja dua belas tahun itu menoleh perlahan, sorot matanya memantulkan kilau hangat dari lampu temaram yang menggantung di langit-langit kamar. Ia menatap Dania dengan keheningan yang hanya mampu dimiliki oleh seseorang yang memahami arti kediaman. "Ya," gumamnya, suaranya terdengar seperti bisikan angin lembut yang menyusup di sela-sela malam. "Aku masih di sini. Kebetulan aku libur sekolah, jadi aku bisa menemani Clara sementara Bibi menemani Uncle Mark di rumah sakit." Dania mengangguk pelan, senyumnya mengembang seperti cahaya fajar yang menyapa pagi. "Begitu rupanya," balasnya, suaranya mengalun penuh ketenangan. Namun, kilat misteri terselip di sorot matanya yang dalam, seperti lautan yang menyimpan rahasia di dasarn
Berita itu mengguncang seluruh penjuru kota, seperti petir yang menggelegar di siang bolong.‘Kasus pembunuhan yang telah terkubur dalam waktu selama tiga puluh satu tahun kini menyeruak ke permukaan, membuka luka lama yang seharusnya telah membeku.‘Bayi yang tak berdosa itu—jiwa kecil yang seharusnya mendapatkan cinta dan perlindungan—justru menjadi korban ambisi dingin dan keegoisan seorang ayah.‘Alex, dengan hati yang membatu, mengorbankan darah dagingnya sendiri demi kebebasan dari ikatan pernikahan dengan Sarah.‘Namun, siapa yang menduga, takdir bermain dengan cara yang kejam namun penuh ironi. Bayi itu, yang selama ini diyakini sebagai putra dari Sean Devandra, ternyata adalah buah hati Alex yang nyawanya nyaris terenggut di awal kehidupannya.Pertukaran nasib yang terjadi di keranjang bayi tiga dekade lalu kini menjadi inti dari sebuah pengungkapan besar.‘Esok hari, Alex akan menghadapi pengadilan, membawa dosa-dosa lamanya untuk dipertanggungjawabkan.‘Komplotannya, yang h
Ruang sidang dipenuhi dengan keheningan tegang, seolah setiap sudutnya menyimpan napas tertahan para hadirin yang menanti keputusan hakim.Setelah mendengar seluruh laporan dari ibu kandung korban—mantan istri dari tersangka, Alex Romanov—dan menyimak barang bukti yang tak terbantahkan, hakim akhirnya berbicara dengan nada yang tajam namun penuh otoritas.“Pengadilan memutuskan, Alex Romanov dinyatakan bersalah atas pembunuhan yang dilakukannya. Sebagai hukuman yang setimpal, majelis hakim menjatuhkan hukuman mati kepada terdakwa.”Ketukan palu yang menggema di ruangan itu terasa seperti bunyi akhir dari sebuah era kelam. Dua kali palu diketuk, namun dampaknya terasa ribuan kali lipat, menghancurkan setiap upaya Alex untuk menyangkal dosa-dosanya.Wajah Alex memerah seperti bara api, matanya yang penuh amarah menatap tajam ke arah Sean, yang berdiri tenang di ujung ruang sidang.“Kurang ajar!” pekik Alex dengan suara yang memecah keheningan, penuh dengan kebencian yang membakar.Ia me
Tiga bulan kemudian…Langit kelabu menaungi pemakaman Alex, seolah alam turut berkabung atas akhir perjalanan hidupnya yang getir. Hembusan angin dingin menyapu dedaunan kering yang berserakan, menciptakan irama kesepian di tengah keheningan pekuburan.Mark berdiri tegak di sisi pusara, wajahnya kaku seperti pahatan marmer, namun di balik matanya yang kosong tersimpan gelombang emosi yang tak terucap. Di sisinya, Dania memeluk dirinya sendiri, seakan mencoba melindungi hati yang rawan dari duka yang tak kasat mata."Akhir yang mengenaskan," ucap Dania dengan nada berbisik, suaranya serupa helai sutra yang terseret angin. Ia melirik Mark yang tetap terpaku, seolah akar dari pepohonan tua di sekitarnya telah merambat dan menahannya di tempat.Mark menarik napas panjang, udara terasa berat saat ia menghirupnya. "Dia sudah menyusul anaknya yang telah dia bunuh, Sayang. Mungkin ini adalah doa seorang bayi tak berdosa, yang hidupnya direnggut oleh tangan ayahnya sendiri," jawabnya, suaranya
Yonas, pria yang selama ini hanya menjadi bayangan samar dalam pikiran Mark, kini berdiri di hadapannya dengan tatapan penuh beban.Fakta bahwa Yonas adalah ayah kandung Dania—ayah mertuanya sendiri—terasa seperti angin dingin yang merayap, membawa kepingan masa lalu yang sulit diterima.Mark, dengan wajah dinginnya yang seolah tak dapat ditembus oleh emosi apa pun, memandang Yonas dengan sorot mata tajam, seolah mampu membaca isi hati pria itu dalam sekejap."Aku tahu, maksudmu menghubungi Dania itu apa," ucapnya, suaranya seperti bilah es yang tajam, memotong keheningan di antara mereka.Seperti biasanya, sikap dingin Mark adalah tameng yang ia gunakan untuk menjauhkan diri dari mereka yang dianggapnya sebagai ancaman—boomerang dalam hidupnya. Dan Yonas, dengan masa lalunya yang penuh keterkaitan dengan Alex, berada tepat di garis bidik Mark."Maafkan aku, Mark, Dania," ujar Yonas, suaranya bergetar seperti ranting yang melawan angin kencang."Aku baru menghubungimu karena aku bingu
"Rapat pemegang saham akan dimulai. Terima kasih telah hadir di acara pertemuan penting ini," ucapnya, suaranya menggema hingga ke sudut aula yang paling jauh.Aula megah itu diselimuti oleh gemerlap lampu kristal yang memantulkan cahaya keemasan, menciptakan suasana yang mengesankan namun penuh ketegangan.Ratusan kursi telah terisi oleh para pemegang saham, investor, serta media yang menunggu dengan napas tertahan. Suara pengisi acara yang formal namun tegas memecah kesunyian.Kerumunan itu seakan menjadi lautan manusia yang tak sabar menanti momen besar. Kamera-kamera berlomba mengabadikan setiap gerakan, setiap kata, setiap ekspresi wajah yang mencerminkan ambisi, kegelisahan, dan harapan."Seperti yang telah kita ketahui," lanjut pembicara dengan intonasi yang penuh wibawa, "selama lima bulan terakhir, saham Kv’s Group terus mengalami peningkatan yang signifikan. Kerja sama strategis dengan beberapa perusahaan besar telah membawa dampak positif. Nilai saham perusahaan dalam satu
Dua tahun berlalu seperti bisikan lembut angin yang menyapu hamparan waktu, membawa Mark dan Dania ke malam istimewa di restoran mewah.Lampu kristal menggantung di atas mereka, memancarkan cahaya hangat yang memeluk ruang, sementara orkestra kecil mengalunkan melodi romantis di sudut ruangan. Hanya mereka berdua malam itu.Clara yang kecil, tawa riangnya sementara waktu dititipkan pada Amy dan Sean, memberi mereka ruang untuk merayakan cinta yang telah tumbuh semakin kuat.“Happy anniversary, Sayang,” ujar Mark dengan suara rendah dan penuh kasih, matanya menatap Dania seperti memandangi bintang yang paling terang di langit malam. “Tidak terasa, kita sudah memasuki tahun kedua pernikahan kita.”Dania tersenyum, senyum yang mampu mencairkan es paling dingin sekalipun. “Ya, happy anniversary, Mark. Aku tidak menyangka, pernikahan dadakan yang kita jalani rupanya membawa kita pada kebahagiaan yang tidak terduga,” ucapnya, nada suaranya seperti alunan harpa yang merdu.Mark meraih tangan
Dania dan Mark menjejakkan kaki di Yunani, tanah yang dibalut legenda dan keindahan abadi. Langit biru bersinar cerah, berpadu dengan lautan yang membentang sejauh mata memandang, menyerupai sutra biru tua yang bergelombang lembut.Clara, sang buah hati yang kini telah berusia satu tahun enam bulan, tertawa ceria dalam gendongan Mark, melengkapi suasana yang sudah begitu sempurna.“Akhirnya, setelah sekian lama, kita berlibur lagi,” ucap Dania, senyumnya merekah bak bunga yang mekar di musim semi. Ia mendorong pintu villa yang menghadap langsung ke pantai, tempat ombak bersenandung lembut, memanggil-manggil mereka ke dalam pelukan pasir keemasan.Mark menghampiri Dania, dengan Clara yang mulai menggeliat ingin turun. “Nikmati pemandangan ini sepuasnya, Sayang. Kita akan berlibur selama sepuluh hari di sini,” katanya, suaranya dalam namun penuh kelembutan yang menenangkan.Dania menoleh, bibirnya melengkung membentuk senyum penuh godaan. “Apakah CEO tampan, incaran para wanita murahan
Stevan mengerutkan keningnya, sorot matanya tertuju pada Clara yang sedari tadi hanya memutar-mutar spaghettinya tanpa minat.Piring di depannya terlihat seperti kanvas yang hanya dilukis separuh hati, gerakan garpu yang berulang menciptakan pola tanpa arah, mencerminkan pikiran yang penuh gejolak.Mereka kini duduk di sebuah restoran kecil nan hangat, dindingnya dihiasi lukisan klasik yang seolah ingin membawa pengunjung ke era lampau.Di luar, matahari siang mengintip malu-malu dari balik awan kelabu, sinarnya yang redup memantul lembut di permukaan meja kayu tempat mereka duduk.“Honey?” panggil Stevan, suaranya penuh perhatian, seperti alunan nada piano yang lembut di tengah hening.“Are you okay?” tanyanya dengan nada sedikit cemas, matanya menatap Clara dengan intensitas yang sulit diabaikan.Clara mendongakkan kepala, memandang Stevan dengan mata yang tampak berkilau namun terselubung bayangan kegelisahan. “Ya. I’m okay,” ucapnya lirih, bibirnya yang pucat membentuk senyum tipi
"Clara? Apa kau tidak merasakan sesuatu?"Suara Mark memecah keheningan dengan nada yang tenang namun penuh teka-teki, seperti bisikan angin malam yang membawa rahasia gelap dari kejauhan.Tatapan matanya mengunci Clara, seolah mencari jawaban yang tak pernah terucap."Apa maksudmu, Dad? Aku tidak mengerti sedikit pun," jawab Clara dengan alis yang berkerut.Ia melanjutkan kunyahannya pada cokelat batang yang mulai meleleh di sudut bibirnya, sementara matanya terpaku pada lembaran buku yang baru saja dibelinya.Mark menghela napas panjang, mengangkat kepalanya perlahan seolah mencari kata-kata yang tepat di langit-langit ruang tamu yang redup. “Sudah berapa lama kau dan Stevan menjalin hubungan?”Pertanyaan itu melayang di udara seperti percikan api kecil di tengah kabut, membakar rasa penasaran dalam dada Clara.Clara melirik ke arah ayahnya dengan pandangan setengah penasaran, setengah jengkel. Jarinya mengetuk meja, menghitung pelan.“Sepertinya sudah mau lima bulan. Kenapa, Dad? A
Mark mengundang Stevan, Sean, Amy, dan juga Lisa untuk makan malam di rumahnya. Clara sendiri tidak tahu jika Mark mengadakan makan malam ini, sehingga suasana di meja makan terasa lebih intim, namun ada juga ketegangan yang menggantung di udara.“Terima kasih atas kehadirannya di acara makan malam ini,” ucap Mark dengan suara berat, matanya menyapu ke seluruh wajah yang hadir, memberikan kesan bahwa setiap kata yang keluar dari bibirnya tidak bisa dianggap remeh.Clara menoleh ke arah Samuel, merasakan kegelisahan yang mulai tumbuh di dada. Pria itu hanya mengendikan bahunya, tanda bahwa dia pun tak tahu jika Mark mengundang orang tuanya dan ibu Stevan ke rumah mereka malam ini.“Terima kasih juga sudah mengundangku pada acara ini, Mark,” ucap Lisa dengan nada lembutnya, namun ada nada yang agak dipaksakan dalam suaranya, seperti yang sering terlihat pada orang yang berusaha menyembunyikan perasaan tidak nyaman.Mark tersenyum tip
“Apa yang kau bawa dari London? Aku sudah tidak sabar melihatnya.” Clara, yang sebelumnya bersumpah tidak akan memaafkan Stevan, justru merasa seolah tak bisa menjauh dari pria itu.Pertahanannya luluh, begitu cepat dan begitu tiba-tiba, saat tatapan Stevan menyentuhnya dengan kekuatan yang tak terungkapkan.Ada sesuatu dalam mata pria itu yang begitu memikat, seakan ia menarik Clara ke dalam pusaran perasaan yang sulit ditolak.Stevan menatap wajah Clara dengan intensitas yang dalam, seakan ingin membaca setiap jejak emosi yang bersembunyi di dalamnya.Dengan gerakan yang begitu lembut namun penuh tekad, ia menarik wajah Clara mendekat.Bibir mereka bertemu dalam ciuman yang begitu mendalam, tak terduga, dan penuh gairah. Ciuman itu bukan sekadar pertanda rindu, melainkan sebuah ledakan emosi yang membakar seluruh penahanan mereka.Clara terkejut, hatinya berdebar dengan cepat dan hampir tak teratur. Ciuman itu datang tanpa aba-
Dua minggu kemudian...Perpisahan Lisa dan Randy akhirnya resmi selesai, menyisakan babak baru yang dimulai dengan rasa lega bercampur keraguan.Di bawah langit kelabu New York yang seolah mengerti beratnya perjalanan ini, Lisa mengikuti langkah Stevan memasuki rumah sederhana yang telah disiapkan untuknya.“Ini rumahmu selama di sini,” ucap Stevan singkat, suaranya datar, tetapi ada sekilas kelembutan yang sulit disembunyikan.Lisa melangkah perlahan, matanya mengamati setiap sudut rumah dengan sorot yang sarat makna.Dinding putih bersih, perabotan minimalis, dan suasana hangat rumah itu memberi rasa nyaman yang sudah lama ia rindukan. Sebuah senyum kecil menghiasi wajahnya, seolah menghapus jejak beban dari masa lalunya.“Terima kasih, Nak. Aku tidak akan merepotkanmu selama di sini,” ucapnya lembut, namun suaranya mengandung getar haru.Stevan hanya mengangguk tipis, wajahnya sulit dibaca. Hatinya terbelah&
Ketika pintu apartemen terbuka dengan suara berderit yang berat, Randy berdiri di ambang pintu, tatapan matanya seperti kilatan petir yang menyambar langit malam.Udara di dalam ruangan mendadak terasa dingin, menciptakan suasana tegang yang mengancam meledak kapan saja.“Kau,” desis Randy dengan suara serak yang dipenuhi kemarahan, langkahnya mendekati Stevan dengan berat seperti membawa dendam yang membara. “Kau yang telah menghasut ibumu untuk bercerai denganku, huh?”Stevan berdiri tegak di sisi ruangan, wajahnya tenang namun matanya menyala dengan amarah terpendam.“Memangnya kau masih mengharapkan ibuku?” tanyanya, suaranya tegas seperti pisau yang menusuk ke dalam.“Selama ini kau hanya memanfaatkan ibuku agar mau membujukku untuk membangun perusahaanmu, Tuan Randy yang terhormat.”Randy menggeram, tangannya mengepal hingga buku-bukunya memutih. “Kurang ajar!” ia men
“Maaf, aku tidak memberitahumu karena urusanku sangat mendadak,” suara Stevan terdengar di seberang sana, tenang namun mengandung jejak kelelahan yang sulit disembunyikan.Clara menghela napas panjang, dadanya terasa sesak oleh kekhawatiran dan amarah yang bercampur menjadi satu. “Sekarang jelaskan, apa yang kau lakukan di sana sampai pergi mendadak seperti ini?” tanyanya, suaranya bergetar, antara menahan rasa kecewa dan desakan ingin tahu.“Ibuku memaksaku untuk datang,” jawab Stevan akhirnya, suaranya terdengar berat, seperti seseorang yang menanggung beban yang terlalu besar. “Suaminya mengancam akan membunuh ibuku jika aku tidak pergi, Clara. Meskipun dia sudah menyakitiku, dia tetap ibuku.”Kata-kata itu menggantung di udara, menusuk relung hati Clara. Ia menelan salivanya dengan pelan, mencoba meredakan gemuruh emosinya. “Memangnya ayah tirimu sejahat itu, Uncle?” tanyanya, nada suaranya penuh dengan campuran simpati dan ketakutan.“Entahlah,” Stevan menjawab, suaranya nyaris s
Clara melangkah mendekati Mark yang baru saja memasuki ruang tamu, aroma malam yang dingin masih menempel di jas kerjanya. Wajah lelaki itu tampak lelah, namun ia tetap menyunggingkan senyum kecil untuk putrinya.“Daddy... ada apa?” Clara membuka percakapan dengan nada gelisah, mata beningnya menatap wajah Mark dengan penuh kekhawatiran.“Kenapa kau baru pulang selarut ini? Uncle Stevan di mana?” Suaranya bergetar, seperti angin yang menyelinap di antara dedaunan malam.Mark, dengan gerakan lembut yang sarat kasih sayang, mengusap sisi kepala Clara, jari-jarinya menyisir rambut putrinya seperti angin musim gugur yang pelan menyapa dedaunan.“Stevan harus pergi ke London untuk mengurus orang tuanya, Clara,” jawabnya, suara baritonnya terdengar berat, seolah ada rahasia yang ingin ia sembunyikan di balik kata-katanya.Clara mengerutkan keningnya, tatapannya mengunci pada Mark, mencari kebenaran di balik penjelasan yang terasa terlalu datar.“Kenapa lagi dengan mereka, Dad?” tanyanya, su
“Mulai detik ini, aku yang akan menjadi pemimpin di kampus ini sesuai dengan perintah dari Daddy,” suara Emma menggema di ruang rapat seperti lonceng perak yang memancarkan kewibawaan.Tatapan tajamnya menyapu wajah-wajah di sekitarnya, memancarkan aura kepemimpinan yang tak terbantahkan. “Maka dari itu, beritahu aku apa pun yang terjadi di kampus ini.”Rapat pergantian pimpinan di Label’s University berlangsung dalam keheningan yang sarat dengan ketegangan.Emma telah menjejakkan langkahnya di New York, membawa ambisi dan tekad yang tak tertandingi untuk memimpin kampus itu.“Nyonya Aneth?” panggil Emma ketika rapat telah usai, suaranya dingin namun terukur, seperti angin musim dingin yang menyusup ke sela-sela jendela.“Ada yang bisa dibantu, Nona Emma?” Aneth menjawab dengan nada sopan, berdiri dengan tubuh tegap seperti seorang prajurit yang setia.“Anda mengenal mahasiswi bernama Clara Evander?” Tanya Emma, kali ini lebih menajamkan sorot matanya, seolah mencari jawaban yang lebi