Waktu telah merangkak ke angka delapan malam, menggantungkan gelap yang melukis langit dengan pekatnya. Amy baru saja menidurkan Clara, bayi mungil itu akhirnya terlelap setelah tangis histeris yang mengguncang rumah selama setengah jam penuh.Tangisannya yang melengking kini tergantikan oleh helaan napas kecil yang ritmis, serupa bisikan lembut angin malam yang meredakan jiwa.Dengan penuh kasih, Amy mengusap sisi wajah Clara yang lembut seperti sutra. Senyum tipis terukir di bibirnya, seolah semua kerumitan dunia menguap hanya dengan melihat kedamaian sang bayi. Di sampingnya, Stevan berdiri, matanya berbinar memandangi adiknya.“Ibu, lihatlah,” ucap Stevan dengan semangat polosnya, telunjuk mungilnya menunjuk wajah Clara. “Matanya sangat mirip dengan Ayahnya.”Amy menoleh ke arah Stevan, sorot matanya melembut. Ia mengangguk pelan, merasakan kilasan memori yang membuat dadanya hangat.“Ya, kau benar, Sayang. Meski usianya baru satu minggu, tapi wajahnya sudah terlihat identik denga
Dalam ruang rawat yang dipenuhi aroma antiseptik dan bunyi pelan dari mesin-mesin medis, ketegangan menggantung tebal, memenuhi udara yang dihirup setiap orang di sana.Mark masih terbaring tak berdaya di atas ranjang putih, tubuhnya nyaris tertelan oleh alat-alat yang menopang kehidupannya. Wajahnya pucat, sebagian tertutup perban, seolah menyembunyikan luka-luka yang lebih dalam daripada sekadar goresan fisik.Vicky berdiri dengan tegap di ujung ruangan, wajahnya serius, seperti seseorang yang membawa kabar berat yang tak bisa dihindari.“Menurut hasil pemeriksaan,” ia memulai dengan suara datar, tetapi tegas, “rem mobil Tuan Mark memang sengaja disabotase. Dua orang komplotan telah berhasil diringkus oleh polisi.”Kata-kata itu meledak dalam keheningan, membuat semua kepala menoleh padanya. Sorot mata Dania berubah tajam, seperti bara api yang tersulut oleh angin amarah. Ia bangkit dari kursinya, tubuhnya gemetar halus karena emosi yang ditahan.“Dua orang itu … pasti anak buah Kev
“Di mana ini?” Mark bergumam pelan, langkahnya terhenti di tengah hamparan hijau yang membentang luas.Pepohonan pinus menjulang tinggi seperti penjaga setia, sementara kabut tipis mengambang di udara, menciptakan suasana magis yang asing namun menenangkan.Kicauan burung terdengar riang, namun kesunyian yang meresap ke dalam tempat itu terasa begitu ganjil.Mark berputar, pandangannya menyapu setiap sudut, mencari sesuatu—atau seseorang. “Kenapa tidak ada satu pun manusia di sini?” gumamnya lagi, suaranya nyaris tenggelam oleh desau angin yang lembut.Lalu, sebuah suara memanggilnya, begitu lembut namun memenuhi udara seperti melodi yang lama dirindukan. “Mark?”Mark menoleh cepat, matanya melebar saat menemukan sosok itu. Seorang wanita paruh baya berdiri tak jauh darinya, mengenakan gaun panjang berwarna putih polos yang melambai-lambai diterpa angin.Wajahnya dipenuhi kehangatan, senyum tipis yang menyembul begitu mirip dengan milik Dania, namun lebih matang, lebih lembut. “Ibu?”
“Hasil DNA-nya sudah keluar,” ujar dokter Louis, suaranya terdengar bagaikan lonceng gereja yang menggema di aula hening, memecah ketegangan di antara Amy dan Sean yang duduk berhadap-hadapan dengannya.Ia menyerahkan secarik kertas hasil tes itu—selembar kertas yang seakan menjadi kunci jawaban bagi pertanyaan yang selama ini menggores relung hati Amy.Tangan Amy, gemetar seperti dedaunan digoyang angin kencang, meraih kertas tersebut dengan ragu.Perlahan, ia membuka lipatannya, seakan waktu sendiri enggan bergerak maju. Napasnya tercekat, dadanya berdegup kencang bak genderang perang, namun rasa tak sabar mengalir di balik gemuruh itu. Ketika matanya menyapu tulisan yang tertera, dunia seakan berhenti berputar.Amy menutup mulutnya dengan tangan yang masih gemetar, matanya membola, membingkai keterkejutan yang begitu nyata. Kata-kata dokter Louis berikutnya seolah menjadi simfoni yang mengisi kekosongan:“Menurut hasil lab yang telah kami periksa, DNA Nyonya Amy dan Tuan Mark serat
“Kalian bicaralah bertiga,” ucap Dania, suaranya lembut namun penuh ketegasan, seperti angin yang berbisik di antara pepohonan, memaksa semua yang mendengarnya untuk mendengarkan.Ia berdiri perlahan, menatap sang suami dengan penuh kasih yang tak terucapkan, seolah menyalurkan kekuatan dalam diam.“Aku keluar sebentar. Kalian harus bicara,” lanjutnya, sebelum membungkukkan tubuhnya untuk mencium kening Mark dengan lembut.Sentuhan bibirnya terasa seperti mantra pelindung, meninggalkan kehangatan yang meresap hingga ke dalam hati Mark, seolah ingin berkata bahwa apa pun yang akan terjadi, ia akan selalu ada untuknya.Amy dan Sean tetap berdiri di tempat mereka, seperti patung-patung hidup yang terperangkap di antara waktu dan keraguan.Sementara itu, Mark hanya bisa menatap mereka dengan ekspresi penuh tanda tanya, kebingungan yang membayangi wajahnya seperti kabut yang menutupi cahaya pagi.“Ada apa?” tanyanya pelan, suaranya nyaris berbisik, namun cukup untuk memecah keheningan yang
“Hasilnya sudah keluar, dan Mark juga sudah tahu.” Suara Sean terdengar berat namun tegas saat ia menyerahkan amplop berisi hasil tes DNA kepada Sarah, yang baru saja tiba di rumah sakit untuk menjenguk Mark.Di bawah cahaya neon yang dingin, amplop itu tampak seperti beban tak kasatmata, sarat dengan kenyataan yang telah lama terkubur dalam rahasia.Tangan Sarah gemetar saat meraih selembar kertas di dalamnya. Jemarinya terasa seperti tersentuh api dingin, menggenggam bukti yang akan mengubah segala hal.Napasnya tersendat ketika matanya membaca deretan angka yang tidak terbantahkan.“Jadi benar,” bisiknya, suaranya serak dan hampir tenggelam dalam keheningan ruangan, “Mark adalah anak kalian?”Tatapannya yang buram oleh air mata mengarah kepada Sean, mencari konfirmasi terakhir. Pria itu mengangguk perlahan, sorot matanya penuh penyesalan dan kelegaan yang bercampur menjadi satu.“Ya,” jawabnya lirih, seolah tiap kata memiliki bobot berton-ton. “Mark adalah anak kandungku dengan Amy
“CCTV-nya sudah sangat buruk kualitasnya,” suara Bernard terdengar berat, seolah setiap kata membawa beban yang menyesakkan. “Tapi, timku berhasil memperbaikinya. Anakmu dibunuh oleh Alex.”Mata Sean membola, terperangah mendengar kenyataan pahit yang mengguncang fondasi hatinya. Napasnya tertahan, seakan ruangan itu mendadak kehilangan udara.Ia menatap layar kecil di depannya, rekaman hitam putih dengan resolusi rendah yang perlahan memperlihatkan adegan yang tak pernah ia bayangkan.Di sana, Alex muncul, mengenakan seragam perawat dengan senyuman yang begitu dingin hingga menggigilkan tulang.Ia memasuki kamar bayi dengan langkah tenang namun penuh tujuan. Tangan besarnya meraih bantal dari keranjang bayi yang kosong, lalu dengan gerakan mengerikan, ia membekap wajah mungil seorang bayi.“Dia salah sasaran,” suara Bernard terdengar lagi, memecah keheningan mencekam. “Yang ingin dia bunuh adalah anaknya sendiri. Tapi, malah membunuh anakmu. Karena itulah, sejak saat itu dia selalu m
"Stevan, kau masih di sini rupanya." Suara lembut Dania membelah keheningan malam, mengalir bak alunan melodi yang membelai telinga. Langkahnya yang ringan membawa dirinya mendekati sosok muda yang tengah duduk dengan tatapan sendu di samping tempat tidur Clara. Remaja dua belas tahun itu menoleh perlahan, sorot matanya memantulkan kilau hangat dari lampu temaram yang menggantung di langit-langit kamar. Ia menatap Dania dengan keheningan yang hanya mampu dimiliki oleh seseorang yang memahami arti kediaman. "Ya," gumamnya, suaranya terdengar seperti bisikan angin lembut yang menyusup di sela-sela malam. "Aku masih di sini. Kebetulan aku libur sekolah, jadi aku bisa menemani Clara sementara Bibi menemani Uncle Mark di rumah sakit." Dania mengangguk pelan, senyumnya mengembang seperti cahaya fajar yang menyapa pagi. "Begitu rupanya," balasnya, suaranya mengalun penuh ketenangan. Namun, kilat misteri terselip di sorot matanya yang dalam, seperti lautan yang menyimpan rahasia di dasarn
Stevan mengerutkan keningnya, sorot matanya tertuju pada Clara yang sedari tadi hanya memutar-mutar spaghettinya tanpa minat.Piring di depannya terlihat seperti kanvas yang hanya dilukis separuh hati, gerakan garpu yang berulang menciptakan pola tanpa arah, mencerminkan pikiran yang penuh gejolak.Mereka kini duduk di sebuah restoran kecil nan hangat, dindingnya dihiasi lukisan klasik yang seolah ingin membawa pengunjung ke era lampau.Di luar, matahari siang mengintip malu-malu dari balik awan kelabu, sinarnya yang redup memantul lembut di permukaan meja kayu tempat mereka duduk.“Honey?” panggil Stevan, suaranya penuh perhatian, seperti alunan nada piano yang lembut di tengah hening.“Are you okay?” tanyanya dengan nada sedikit cemas, matanya menatap Clara dengan intensitas yang sulit diabaikan.Clara mendongakkan kepala, memandang Stevan dengan mata yang tampak berkilau namun terselubung bayangan kegelisahan. “Ya. I’m okay,” ucapnya lirih, bibirnya yang pucat membentuk senyum tipi
"Clara? Apa kau tidak merasakan sesuatu?"Suara Mark memecah keheningan dengan nada yang tenang namun penuh teka-teki, seperti bisikan angin malam yang membawa rahasia gelap dari kejauhan.Tatapan matanya mengunci Clara, seolah mencari jawaban yang tak pernah terucap."Apa maksudmu, Dad? Aku tidak mengerti sedikit pun," jawab Clara dengan alis yang berkerut.Ia melanjutkan kunyahannya pada cokelat batang yang mulai meleleh di sudut bibirnya, sementara matanya terpaku pada lembaran buku yang baru saja dibelinya.Mark menghela napas panjang, mengangkat kepalanya perlahan seolah mencari kata-kata yang tepat di langit-langit ruang tamu yang redup. “Sudah berapa lama kau dan Stevan menjalin hubungan?”Pertanyaan itu melayang di udara seperti percikan api kecil di tengah kabut, membakar rasa penasaran dalam dada Clara.Clara melirik ke arah ayahnya dengan pandangan setengah penasaran, setengah jengkel. Jarinya mengetuk meja, menghitung pelan.“Sepertinya sudah mau lima bulan. Kenapa, Dad? A
Mark mengundang Stevan, Sean, Amy, dan juga Lisa untuk makan malam di rumahnya. Clara sendiri tidak tahu jika Mark mengadakan makan malam ini, sehingga suasana di meja makan terasa lebih intim, namun ada juga ketegangan yang menggantung di udara.“Terima kasih atas kehadirannya di acara makan malam ini,” ucap Mark dengan suara berat, matanya menyapu ke seluruh wajah yang hadir, memberikan kesan bahwa setiap kata yang keluar dari bibirnya tidak bisa dianggap remeh.Clara menoleh ke arah Samuel, merasakan kegelisahan yang mulai tumbuh di dada. Pria itu hanya mengendikan bahunya, tanda bahwa dia pun tak tahu jika Mark mengundang orang tuanya dan ibu Stevan ke rumah mereka malam ini.“Terima kasih juga sudah mengundangku pada acara ini, Mark,” ucap Lisa dengan nada lembutnya, namun ada nada yang agak dipaksakan dalam suaranya, seperti yang sering terlihat pada orang yang berusaha menyembunyikan perasaan tidak nyaman.Mark tersenyum tip
“Apa yang kau bawa dari London? Aku sudah tidak sabar melihatnya.” Clara, yang sebelumnya bersumpah tidak akan memaafkan Stevan, justru merasa seolah tak bisa menjauh dari pria itu.Pertahanannya luluh, begitu cepat dan begitu tiba-tiba, saat tatapan Stevan menyentuhnya dengan kekuatan yang tak terungkapkan.Ada sesuatu dalam mata pria itu yang begitu memikat, seakan ia menarik Clara ke dalam pusaran perasaan yang sulit ditolak.Stevan menatap wajah Clara dengan intensitas yang dalam, seakan ingin membaca setiap jejak emosi yang bersembunyi di dalamnya.Dengan gerakan yang begitu lembut namun penuh tekad, ia menarik wajah Clara mendekat.Bibir mereka bertemu dalam ciuman yang begitu mendalam, tak terduga, dan penuh gairah. Ciuman itu bukan sekadar pertanda rindu, melainkan sebuah ledakan emosi yang membakar seluruh penahanan mereka.Clara terkejut, hatinya berdebar dengan cepat dan hampir tak teratur. Ciuman itu datang tanpa aba-
Dua minggu kemudian...Perpisahan Lisa dan Randy akhirnya resmi selesai, menyisakan babak baru yang dimulai dengan rasa lega bercampur keraguan.Di bawah langit kelabu New York yang seolah mengerti beratnya perjalanan ini, Lisa mengikuti langkah Stevan memasuki rumah sederhana yang telah disiapkan untuknya.“Ini rumahmu selama di sini,” ucap Stevan singkat, suaranya datar, tetapi ada sekilas kelembutan yang sulit disembunyikan.Lisa melangkah perlahan, matanya mengamati setiap sudut rumah dengan sorot yang sarat makna.Dinding putih bersih, perabotan minimalis, dan suasana hangat rumah itu memberi rasa nyaman yang sudah lama ia rindukan. Sebuah senyum kecil menghiasi wajahnya, seolah menghapus jejak beban dari masa lalunya.“Terima kasih, Nak. Aku tidak akan merepotkanmu selama di sini,” ucapnya lembut, namun suaranya mengandung getar haru.Stevan hanya mengangguk tipis, wajahnya sulit dibaca. Hatinya terbelah&
Ketika pintu apartemen terbuka dengan suara berderit yang berat, Randy berdiri di ambang pintu, tatapan matanya seperti kilatan petir yang menyambar langit malam.Udara di dalam ruangan mendadak terasa dingin, menciptakan suasana tegang yang mengancam meledak kapan saja.“Kau,” desis Randy dengan suara serak yang dipenuhi kemarahan, langkahnya mendekati Stevan dengan berat seperti membawa dendam yang membara. “Kau yang telah menghasut ibumu untuk bercerai denganku, huh?”Stevan berdiri tegak di sisi ruangan, wajahnya tenang namun matanya menyala dengan amarah terpendam.“Memangnya kau masih mengharapkan ibuku?” tanyanya, suaranya tegas seperti pisau yang menusuk ke dalam.“Selama ini kau hanya memanfaatkan ibuku agar mau membujukku untuk membangun perusahaanmu, Tuan Randy yang terhormat.”Randy menggeram, tangannya mengepal hingga buku-bukunya memutih. “Kurang ajar!” ia men
“Maaf, aku tidak memberitahumu karena urusanku sangat mendadak,” suara Stevan terdengar di seberang sana, tenang namun mengandung jejak kelelahan yang sulit disembunyikan.Clara menghela napas panjang, dadanya terasa sesak oleh kekhawatiran dan amarah yang bercampur menjadi satu. “Sekarang jelaskan, apa yang kau lakukan di sana sampai pergi mendadak seperti ini?” tanyanya, suaranya bergetar, antara menahan rasa kecewa dan desakan ingin tahu.“Ibuku memaksaku untuk datang,” jawab Stevan akhirnya, suaranya terdengar berat, seperti seseorang yang menanggung beban yang terlalu besar. “Suaminya mengancam akan membunuh ibuku jika aku tidak pergi, Clara. Meskipun dia sudah menyakitiku, dia tetap ibuku.”Kata-kata itu menggantung di udara, menusuk relung hati Clara. Ia menelan salivanya dengan pelan, mencoba meredakan gemuruh emosinya. “Memangnya ayah tirimu sejahat itu, Uncle?” tanyanya, nada suaranya penuh dengan campuran simpati dan ketakutan.“Entahlah,” Stevan menjawab, suaranya nyaris s
Clara melangkah mendekati Mark yang baru saja memasuki ruang tamu, aroma malam yang dingin masih menempel di jas kerjanya. Wajah lelaki itu tampak lelah, namun ia tetap menyunggingkan senyum kecil untuk putrinya.“Daddy... ada apa?” Clara membuka percakapan dengan nada gelisah, mata beningnya menatap wajah Mark dengan penuh kekhawatiran.“Kenapa kau baru pulang selarut ini? Uncle Stevan di mana?” Suaranya bergetar, seperti angin yang menyelinap di antara dedaunan malam.Mark, dengan gerakan lembut yang sarat kasih sayang, mengusap sisi kepala Clara, jari-jarinya menyisir rambut putrinya seperti angin musim gugur yang pelan menyapa dedaunan.“Stevan harus pergi ke London untuk mengurus orang tuanya, Clara,” jawabnya, suara baritonnya terdengar berat, seolah ada rahasia yang ingin ia sembunyikan di balik kata-katanya.Clara mengerutkan keningnya, tatapannya mengunci pada Mark, mencari kebenaran di balik penjelasan yang terasa terlalu datar.“Kenapa lagi dengan mereka, Dad?” tanyanya, su
“Mulai detik ini, aku yang akan menjadi pemimpin di kampus ini sesuai dengan perintah dari Daddy,” suara Emma menggema di ruang rapat seperti lonceng perak yang memancarkan kewibawaan.Tatapan tajamnya menyapu wajah-wajah di sekitarnya, memancarkan aura kepemimpinan yang tak terbantahkan. “Maka dari itu, beritahu aku apa pun yang terjadi di kampus ini.”Rapat pergantian pimpinan di Label’s University berlangsung dalam keheningan yang sarat dengan ketegangan.Emma telah menjejakkan langkahnya di New York, membawa ambisi dan tekad yang tak tertandingi untuk memimpin kampus itu.“Nyonya Aneth?” panggil Emma ketika rapat telah usai, suaranya dingin namun terukur, seperti angin musim dingin yang menyusup ke sela-sela jendela.“Ada yang bisa dibantu, Nona Emma?” Aneth menjawab dengan nada sopan, berdiri dengan tubuh tegap seperti seorang prajurit yang setia.“Anda mengenal mahasiswi bernama Clara Evander?” Tanya Emma, kali ini lebih menajamkan sorot matanya, seolah mencari jawaban yang lebi