Sampai sepuluh menit kemudian. Arabelle sudah berubah menjadi Eve dengan gaun simple berwarna gading dan rambut panjangnya terurai sedikit bergelombang di bagian bawahnya. Tak menunggu lama ia sudah memasuki mobil Jayden dan mendaratkan bokongnya di samping kursi kemudi."So, di mana si berengsek itu berada?" tanya Arabelle. Oh, Bukan lagi Ara melainkan kini sudah menjadi Eve."Tenangkan dirimu dulu dan tarik napas," pinta Jayden membuat Eve mengerutkan keningnya bingung."Untuk apa aku melakukannya? Kau pikir aku tak cukup sabar dengannya yang menghilang tepat setelah Kim masuk rumah sakit.""Sebelum masuk rumah sakit lebih tepatnya karena Nick pergi usai pertengkaran dan di saat itu Kim masih baik-baik saja sampai ia tak bisa menahan emosi dan-""Aku tak peduli bagaimana kronologinya, Jay. Katakan saja sekarang di mana dia?" tuntut Eve."Dia di apartemen Leon.""Apa?!" pekik Eve cukup terkejut dan merasa Jayden membohonginya. "Kau yakin dia di sana? Kau sudah memastikannya sendiri?"
Malam pun tiba begitu juga dengan Eve yang kini sudah berhadap-hadapan dengan Leonard di depan pintu apartemennya. Saling menatap tanpa berkedip seolah tengah berbicara melalui sorot yang tak dapat diartikan. Sedikit flashback siang tadi saat perjalanan menuju apartemen Leon. Eve mendapatkan panggilan dari Kim bahwa Leon mendatangi apartemen Kim. Hal tersebut membelokkan rencana ke sana, tetapi saat sampai di apartemen Kim. Leon juga sudah pergi dengan mengatakan bahwa Nick ada di tempatnya."Hei," sapa Eve."Hei," balas Leon masih memasang raut wajah terkejut akan kedatangan Eve."Apa kau ingin pergi?" tanya Eve menilik penampilan Leon dari atas sampai bawah tampak mengenakan setelan formal.Leon turut melihat kembali penampilannya yang memang berbeda dari biasanya. Tampak menawan dengan setelan jas putih gading yang melapisi kaos putih polos dan celana senada dengan jas lalu jangan lupakan rambutnya yang tampak menggunakan pomade tertata rapi ke belakang."Ya, aku ada janji makan ma
"Wow, itu kejujuran yang cukup mengejutkan," komentar Leon ketika mendengar apa yang dikatakan Eve.Ya, aku tak tahu pasti apa arti dari yang kukatakan barusan, tapi semua itu seolah hatiku yang menyuruh berkata jujur di saat otakku penuh memikirkan Christian. Eve meringis dalam hati berkata demikian."Baiklah, aku tak mau membuatmu jadi canggung. Sekarang kau mau kuantarkan pulang atau ...."Bunyi suara perut Eve menjawab sebelum Leon menyelesaikan ucapannya. Sontak wanita itu semakin meringis memejamkan mata sejenak menahan malu. "Well, apa tawaran makan malam di sini masih berlaku?" tanya Eve.Leon pun tertawa dan mengajak Eve kembali ke dapur terbukanya untuk duduk sejenak di kursi tinggi. "Aku hanya bisa membuat steak biasa itu pun mendapatkan resep dari mendiang kakak iparku.""Ibu Christoph?" tanya Eve mendapat anggukan dari Leon yang meletakkan jasnya ke sandaran sofa panjang sambil menyalakan televisi sebagai pengisi kesunyian tempat tersebut."Ya, dulu Christian sering melaku
"Ya?!" jawab Eve seolah jiwanya baru kembali.Leonard terkekeh. "Apa yang kau lamunkan? Aku menanyakan tugasmu. Apa kentangmu sudah siap untuk direbus?" tanya Leon untuk kedua kalinya setelah sebelumnya pertanyaan itu terabaikan dan panggilan namanya sebanyak lima kali tak terjawab. "Karena air rebusan yang kusiapkan tadi sudah mendidih." Tunjuk Leon bahkan Eve tak menyadari kapan pria itu menyiapkan air di dalam panci kecil yang kini sudah mendidih.Omg! Sepertinya aku mulai gila membayangkan hal tadi. Apa otakku rusak?! rutuk Eve meringis. "Ya, aku akan merebusnya sebentar," cicitnya pelan yang kembali mendapat kekehan dari Leon.Pria itu sudah selesai menyiapkan salad dan hendak mengeluarkan daging dari oven serta memindahkannya ke teflon lalu melakukan teknik pan seared guna memberikan tekstur luar agar tampak lebih menarik."Maaf tadi aku melamun," cicit lagi Eve usai mencemplungkan semua kentang ke dalam air mendidih.Leon menoleh sekilas dan tersenyum. "Well, apa pun yang kau l
Pagutan yang kian memanas membuat kedua insan tersebut lupa bahwa kini mereka masih berada di dalam lift berdinding kaca yang terlihat dari luar gedung dalam keadaan lift yang meluncur turun melewati setiap lantai terasa begitu lama. Membuat udara di dalam kotak kecil itu kian kekurangan oksigen akibat sahutan dari tiap lumatan terasa menghirup habis napas keduanya dan membuat desiran darah di tubuh mereka mendidih.Tangan Leon bahkan terasa gemas dan mulai turun dari pinggang menuju paha yang terangkat karena tubuh Eve terdorong ke belakang dan tangan Eve otomatis berpegangan pada leher Leon. Keduanya seakan lupa bahwa mereka masih berpijak. Baik Eve maupun Leon seolah tengah dibuat melayang oleh hasrat dari pagutan tersebut.Sampai saat sebuah bunyi terdengar keduanya kompak melepaskan diri dan berdiri bersisian merapat ke dinding kaca lift tersebut sambil melirik merapikan penampilan sebelum pintu lift terbuka dan masuklah dua orang pria berjas ke dalam lift sambil mengobrol. Entah
"Eve kau sudah kembali?" tanya Jayden begitu berpapasan dengan manajernya di lift."Jay, kau sudah mau pulang?" tanya Eve tak jadi memasuki lift.Mereka pun menepi dari lift dan duduk di sofa dekat lobby."Ya. Lusa aku baru kembali bekerja dan kau harus bisa memutuskannya malam ini. Kau sudah berjanji," ujar Jayden mengingatkan.Eve mengangguk walau masih ragu. "Malam ini aku akan kirim kau pesan mengenai keputusanku. Sekarang aku harus bersiap ke tempat Christian. Apa Kim dan Nick sudah berbaikan lagi?""Ya, mereka sungguh masih labil kurasa kita harus mengawasi keduanya kalau-kalau kembali bertengkar. Mereka masih terlalu muda untuk mengurus diri apa lagi harus mengurus anak mereka kelak."Eve kembali mengangguk. "Kita bisa mengawasi, tetapi tak bisa terlalu mencampurinya lagi. Asalkan keduanya memiliki tanggung jawab atas perbuatannya aku rasa cukup." Eve menambahkan Jayden mengangguk setuju."Baiklah, aku akan mengganti pakaian dulu.""Hei, kuantar kau ke tempat Christian. Kebetul
Arabelle susah payah menelan salivanya seperti ada sesuatu yang tercekat di tenggorokannya. Terlebih saat tatapan rupawan yang ditujukan Christian sangat mengganggu kewarasannya. Ia tak pernah bisa berhenti mengagumi tatapan biru milik Christian dengan sorot seolah memohon untuk dituruti.Tangan Christian mulai terangkat dan membuka ikatan rambut Arabelle sehingga seketika surai cokelat gelap itu turun berhamburan. Christian juga membuka perlahan kacamata berbingkai tebal milik Arabelle lalu ia melangkah mundur menelisik penampilan Arabelle saat ini.Mungkinkah mirip? batin Christian ternyata memiliki maksud dari perlakuannya. Tidak! Sepertinya aku berpikiran terlalu jauh, ujarnya lagi dalam hati."Chris kenapa kau membuka ikat rambut dan kacamataku lalu melamun?" tanya Arabelle tak mengerti apa yang tengah pria itu lakukan.Christian menoleh dan tersenyum. Lebih baik kutanyakan nanti perihal syal yang mirip dengan wanita yang bersama Leon tempo hari. Niat Christian tak bersuara.Pria
Arabelle menoleh saat suara Christian terdengar di ambang pintu. Bertepatan dengan itu dirinya terkejut saat hendak mengembalikan pigura itu ke dalam rak dan malah menjatuhkannya."Ah! Maaf, Christian. Aku tak sengaja dan terkejut," gelagap Arabelle tak memerhatikan Christian yang menghampiri dan menghentikannya."Hei, it's okay. Biar aku yang bereskan kau minumlah teh ini," ujar Christian menyodorkan tehnya."Tapi, Chris -"Christian meraih tangan Arabelle yang masih berusaha hendak mengambil pecahan kaca dari pigura tersebut lalu menyerahkan secangkir teh ke tangan Arabelle. Wanita itu akhirnya tersenyum tak enak hati sembari menyambut teh yang dibuatkan Christian. "Thanks," ujarnya mendapat senyuman. "Sungguh aku tak sengaja dan tak bermaksud membuat bingkainya pecah, seharusnya aku—""Tidak apa, Arabelle. Mungkin foto ini memang harus diganti denganmu," ujar Christian sambil menatap Arabelle intens melalui sorot teduhnya yang lagi-lagi membuat wanita itu tertegun selama beberapa d