"Aku memiliki ide!" seru Chloe hampir membuat seluruh pengunjung menoleh padanya termasuk Ara yang membulatkan matanya dengan alis menukik ke bawah. "Maaf aku terlalu antusias," cicitnya usai tersenyum kikuk pada beberapa pengunjung resto."Ide apa? Kuharap tak membuatku malu seperti kau menyerukan suaramu barusan," bisik Ara.Chloe menampilkan deret giginya dan mendekati Ara yang dimintanya untuk mendekat juga lalu ia berbisik. Seketika Ara menjauhkan telinganya dari Chloe dan menggeleng tak menyetujui ide Chloe."Tidak mau. Apa kau gila, Chloe!" pekik Ara kini yang mengundang perhatian pengunjung lain. "Lebih baik kau pikirkan usulku semalam, apa itu cukup meyakinkan?" tanya Ara."Alasanmu yang satu itu cukup membosankan sebenarnya, tetapi bagaimana jika dia mengajakmu untuk menjenguk Kim sedangkan kau tahu Kim tak bisa dihubungi sampai detik ini," tutur Chloe masuk akal.Ara kembali menghela napasnya. "Hah sudahlah, pikirkan itu nanti. Temani aku membeli bahan kue aku harus mempers
Tiga hari kemudian tak terasa akhir pekan tiba seakan melesat tanpa berhenti. Membuat Ara mulai sibuk sejak pagi demi membuat pesanan Christopher. Dia berkutat di dapur menggunakan kaos sehari-hari dan celemek berwarna pastel serta celana kain pendek agar ia dapat bergerak leluasa.Setelah setengah jam ia mempersiapkan bahan dan kebutuhan yang ada, tiba-tiba bunyi suara pintu dibuka terdengar disusul suara Chloe yang masuk dengan antusias penuh unsur mencurigakan karena tak biasanya wanita itu sudah mampir pada minggu pagi seperti ini."Morning, Arabelle sudah selesaikah kau membuatkan cookies pesanan putraku," sapanya memperagakan gaya Christian menyapanya.Ara enggan menoleh apalagi berbalik dia sedang serius menakar tiap bahan yang sempat salah saat pertama menuangkan tepung hingga membuat wajahnya sedikit cemong."Bisakah kau tak melakukan itu untuk menggodaku? kau membuatku gugup tiap kali mendengar gaya bicaranya terlebih memanggil namaku," ujar Ara hendak berbalik sambil kembal
Leonard mematikan sambungan teleponnya ketika nomor yang dituju tak kunjung menjawab panggilannya. Ia mengerutkan keningnya menatap nama yang tertera pada ponsel bertuliskan first women "Eve" sambil menghela napas ia kembali memastikan nomor yang diberikan Jayden padanya."Tak mungkin aku salah menyimpan nomornya. Jelas-jelas aku menyalin dan menyimpannya tanpa mengedit nomornya," gerutunya sambil membetulkan posisi bersandar di balkon kamar menikmati kopi hangat dalam keadaan setengah polos.Tak seperti biasanya pada malam minggu ia mencari mangsa wanita untuk menghangatkan ranjangnya. Namun, kini ranjang itu kosong—tanpa ada wanita telanjang berselimut putih di sana karena semalam usai ia menemui Jayden di kelab demi mendapat nomor Eve, dirinya segera pulang ke apartemen tanpa berniat menikmati wanita malam di sana."Apa mungkin Jayden menipuku?" terkanya lalu menyeruput kopi hangat di tangan.Lantas Leonard teringat kata-kata terakhir Eve yang mengatakan hendak menemui adiknya. Son
Leon menghentikan mobilnya tepat di depan rumah Chloe dengan perhentian secara mendadak tentunya seperti yang selalu ia lakukan. Setelah mematikan mesin ia keluar dari si biru berkaki empat kesayangannya itu dan melihat ke balkon rumah bercat kuning cerah di hadapannya sudah terdapat Christoph yang berjingkrak akan kehadirannya seolah menunjukkan pada wanita di sampingnya.Terdengar suara kencang Christopher yang berseru, "That's my uncle!" Christopher lalu bergegas hendak menghampiri pamannya.Sementara itu Chloe masih tak bisa bergerak dan malah terperangah melihat kehadiran Leonard—yang selama ini sangat dikaguminya—sungguh berada di depan rumahnya. Terlihat memukau mengenakan kaos putih dipadukan celana jeans yang disempurnakan dengan sepatu kets biru senada dengan warna mobilnya. Pria itu menyadari tatapan kagum Chloe dan membuka kacamatanya menunjukkan ketampanan maksimal seperti biasanya."Hi, Girl," sapanya dengan suara berat sedikit serak sambil tersenyum.Sehingga membuat Ch
Sementara itu di tempat Arabelle dan Christian berada mereka sudah mulai menghias cookies-cookies tersebut dengan telaten yang kali ini dikerjakan oleh Ara sendiri, sedangkan Christian tetap memasang wajah charmingnya di hadapan wanita itu sehingga semua pekerjaannya terasa begitu lama.Christian memang sangat meresahkan dan itu membuat Ara tersiksa menahan diri agar tak terlalu percaya diri bahwa pria di hadapannya tersebut menginginkannya seperti ia mengagumi sosok rupawan tersebut."Bisa kau berhenti menatapku seperti itu karena kau sungguh membuatku gugup. Alih-alih membuat wajahmu lebih baik aku malah takut mengacaukannya," cicit Ara di akhir ucapannya.Christian kembali menunjukkan lesung pipinya dan memutari meja tinggi itu untuk berada di samping Ara. "Kalau begitu ajari aku menghias atau sibukkan aku selain memerhatikanmu," ujar Christian memiliki usul."Hm, mungkin itu lebih baik. Kau bisa membungkus cookies yang hiasannya sudah kering ke dalam plastik dan mengikatnya dengan
Seketika ucapan Leon membuat Christian terkekeh dan menepuk pelan bahu sang adik."Tentu kau sudah menemuinya sekali kemarin itu, tetapi kau dan Arabelle belum berkenalan dengan benar, bukan?" Ucapan Christian mengingatkan Ara akan pertemuannya dengan Leon sebagai Ara untuk pertama kalinya di sekolah.Oh, ya Leon pernah menemuiku dalam wujud Ara sebelum ini. Dasar bodoh kenapa aku bisa melupakan pertemuan pertama menyebalkan dengan Leon dalam wujud Ara. Kembali Ara membatin sambil merutuki kebodohannya saat ini sehingga ia hanya bisa meringis melihat Leon dan terkekeh pada Christian."Ya, setidaknya kita harus mengubah kesan pertama yang tak mengenakan itu sekarang," ujar Leon akhirnya sungguh melegakan bagi Ara. "Terlebih jika kelak kemungkinan besar kau akan menjadi iparku," celetuk Leon menimpali."Leonard!" peringat Christian dengan suara rendah dan tersenyum mencurigakan."Ops sepertinya aku sedikit keceplosan. Yah, perkenalkan aku Leonard Hugo dan jangan menatapku begitu di depa
"Berhenti di sana, Nona Stewart!" panggil suara berat dan kasar dari belakangnya yang seketika membuat bulu halus di sekitar tengkuk Ara berdiri serta tubuhnya menegang mendengar suara yang dihafalnya itu."Arabelle masuklah sepertinya dia bukan orang baik," ujar Christian yang melihat pada pria besar berjanggut dari kejauhan mendekat ke arah mereka."Tidak, Chris. Bisakah kau saja yang masuk dan beri aku waktu untuk bicara padanya sebentar," pinta Ara menatap Christian penuh permohonan."Kau yakin?" tanya Christian tampak cemas terlihat dari keningnya yang mengerut.Ara mengangguk cepat dan kembali memelas. "Please, Chris. Aku ….""Baiklah, kulakukan untuk menghargai privasimu, tapi jika mereka melakukan hal yang mengancam keselamatanmu, aku akan keluar dan ....""Ya, lakukan apa pun jika mereka berlaku kasar padaku," sela Ara dengan cepat saat dirasa suara pria bertubuh besar itu sudah semakin dekat.Lantas Christian terpaksa melangkah tepat saat pria berbadan tegap itu berada di de
Christian dan Arabelle akhirnya kembali kei dalam rumah, setelah Ara tak sanggup menjelaskan apa yang dialaminya pada Christian. Dirinya masuk ke rumah begitu saja dan menangis meluapkan emosi. Entah rasa kesal, marah pada adiknya juga takut akan kehilangan rumah peninggalan sang ayah dan yang pasti perasaan malu terhadap Christian karena mengetahui semua kesulitannya.Namun, pria itu tetap diam dan tak berkata apa pun membiarkan Ara menenangkan dirinya. Sejenak Christian memberikan bahunya untuk Arabelle meluapkan emosinya."Sudah lebih baik?" tanya Christian membantu Ara meletakan gelas minumnya.Wanita itu mengangguk dan menatap Christian sekilas dengan seulas senyum tipis lalu tertunduk sambil mengusap sisa air matanya."Maaf membuatmu harus mengetahui semua ini. Aku sangat malu juga marah pada adik tiriku dan takut jika sampai ...." Ara menjeda ucapannya dan menatap sekeliling rumahnya sehingga matanya kembali berlapis air bening.Christian mengeluarkan sapu tangannya dan memberi