yuhuuuu bagaimana bestie? sejauh ini membaca apakah sudah ada yang ngeship?
Mendengar ucapan Leon barusan, membuat Eve tertawa dan sempat menyesap winenya. Seakan menghindari suasana canggung, Eve membuka pertanyaan lainnya. "Lalu apa yang kau alami hingga bersikap defensif padaku? Apa aku memang tipe wanita berbahaya yang bisa membuat seorang Leonard Hugo jatuh cinta?" goda Eve kembali membuat Leon terkekeh sambil mengalihkan pandangannya. Wajah keduanya memerah entah akibat minuman atau rasa yang menggelitik saat saling menggoda walau tahu maksud godaan itu hanyalah gurauan semata. Leonard menenggak sisa winenya dan meletakan gelas berkaki lancip itu ke meja. "Baiklah, kuceritakan," tekadnya menyerah sambil membetulkan posisi ia menerawang ke api unggung di hadapannya. "Semua berawal saat orang tuaku berpisah. Aku dan kakakku-Chris juga harus berpisah. Chris ikut dengan ayahku karena saat itu hanya dialah yang bisa membantu usaha ayahku, sedangkan aku tak bisa memilih dan diminta ayahku untuk menjaga ibuku. Namun, nyatanya kami malah sering bertengkar set
Fajar datang dan pemotretan kembali hendak dilaksanakan. Kali ini dari tempat penginapan mereka harus melakukan perjalanan ke sebuah danau. Letaknya menuju arah pulang yang terdapat di seberang tempat dari penginapan, maka dari itu mereka bersiap merapikan barang bawaan untuk sekalian kembali ke kota.Di dalam perjalanan menuju danau, Eve menyempatkan untuk menghubungi pihak sekolah perihal dirinya yang tak bisa hadir hari ini dengan alasan yang sudah direncanakannya semalam. Dia juga menghubungi Chloe hendak berjanji temu dengannya siang nanti.Tanpa drama dan dilakukan dengan sangat cepat hanya mengambil ending di atas perahu kayu. Eve menggunakan dress putih bersama dengan Leon yang menggunakan kemeja putih. Keduanya saling berhadap-hadapan lalu menatap hutan di seberangnya.Sampai jam sembilan rombongan Paul sudah dalam perjalanan kembali ke kota. Mereka berniat untuk makan siang bersama sebelum berpisah. Akan tetapi, Eve harus menolak lantaran ia harus segera kembali menjadi Ara d
"Aku memiliki ide!" seru Chloe hampir membuat seluruh pengunjung menoleh padanya termasuk Ara yang membulatkan matanya dengan alis menukik ke bawah. "Maaf aku terlalu antusias," cicitnya usai tersenyum kikuk pada beberapa pengunjung resto."Ide apa? Kuharap tak membuatku malu seperti kau menyerukan suaramu barusan," bisik Ara.Chloe menampilkan deret giginya dan mendekati Ara yang dimintanya untuk mendekat juga lalu ia berbisik. Seketika Ara menjauhkan telinganya dari Chloe dan menggeleng tak menyetujui ide Chloe."Tidak mau. Apa kau gila, Chloe!" pekik Ara kini yang mengundang perhatian pengunjung lain. "Lebih baik kau pikirkan usulku semalam, apa itu cukup meyakinkan?" tanya Ara."Alasanmu yang satu itu cukup membosankan sebenarnya, tetapi bagaimana jika dia mengajakmu untuk menjenguk Kim sedangkan kau tahu Kim tak bisa dihubungi sampai detik ini," tutur Chloe masuk akal.Ara kembali menghela napasnya. "Hah sudahlah, pikirkan itu nanti. Temani aku membeli bahan kue aku harus mempers
Tiga hari kemudian tak terasa akhir pekan tiba seakan melesat tanpa berhenti. Membuat Ara mulai sibuk sejak pagi demi membuat pesanan Christopher. Dia berkutat di dapur menggunakan kaos sehari-hari dan celemek berwarna pastel serta celana kain pendek agar ia dapat bergerak leluasa.Setelah setengah jam ia mempersiapkan bahan dan kebutuhan yang ada, tiba-tiba bunyi suara pintu dibuka terdengar disusul suara Chloe yang masuk dengan antusias penuh unsur mencurigakan karena tak biasanya wanita itu sudah mampir pada minggu pagi seperti ini."Morning, Arabelle sudah selesaikah kau membuatkan cookies pesanan putraku," sapanya memperagakan gaya Christian menyapanya.Ara enggan menoleh apalagi berbalik dia sedang serius menakar tiap bahan yang sempat salah saat pertama menuangkan tepung hingga membuat wajahnya sedikit cemong."Bisakah kau tak melakukan itu untuk menggodaku? kau membuatku gugup tiap kali mendengar gaya bicaranya terlebih memanggil namaku," ujar Ara hendak berbalik sambil kembal
Leonard mematikan sambungan teleponnya ketika nomor yang dituju tak kunjung menjawab panggilannya. Ia mengerutkan keningnya menatap nama yang tertera pada ponsel bertuliskan first women "Eve" sambil menghela napas ia kembali memastikan nomor yang diberikan Jayden padanya."Tak mungkin aku salah menyimpan nomornya. Jelas-jelas aku menyalin dan menyimpannya tanpa mengedit nomornya," gerutunya sambil membetulkan posisi bersandar di balkon kamar menikmati kopi hangat dalam keadaan setengah polos.Tak seperti biasanya pada malam minggu ia mencari mangsa wanita untuk menghangatkan ranjangnya. Namun, kini ranjang itu kosong—tanpa ada wanita telanjang berselimut putih di sana karena semalam usai ia menemui Jayden di kelab demi mendapat nomor Eve, dirinya segera pulang ke apartemen tanpa berniat menikmati wanita malam di sana."Apa mungkin Jayden menipuku?" terkanya lalu menyeruput kopi hangat di tangan.Lantas Leonard teringat kata-kata terakhir Eve yang mengatakan hendak menemui adiknya. Son
Leon menghentikan mobilnya tepat di depan rumah Chloe dengan perhentian secara mendadak tentunya seperti yang selalu ia lakukan. Setelah mematikan mesin ia keluar dari si biru berkaki empat kesayangannya itu dan melihat ke balkon rumah bercat kuning cerah di hadapannya sudah terdapat Christoph yang berjingkrak akan kehadirannya seolah menunjukkan pada wanita di sampingnya.Terdengar suara kencang Christopher yang berseru, "That's my uncle!" Christopher lalu bergegas hendak menghampiri pamannya.Sementara itu Chloe masih tak bisa bergerak dan malah terperangah melihat kehadiran Leonard—yang selama ini sangat dikaguminya—sungguh berada di depan rumahnya. Terlihat memukau mengenakan kaos putih dipadukan celana jeans yang disempurnakan dengan sepatu kets biru senada dengan warna mobilnya. Pria itu menyadari tatapan kagum Chloe dan membuka kacamatanya menunjukkan ketampanan maksimal seperti biasanya."Hi, Girl," sapanya dengan suara berat sedikit serak sambil tersenyum.Sehingga membuat Ch
Sementara itu di tempat Arabelle dan Christian berada mereka sudah mulai menghias cookies-cookies tersebut dengan telaten yang kali ini dikerjakan oleh Ara sendiri, sedangkan Christian tetap memasang wajah charmingnya di hadapan wanita itu sehingga semua pekerjaannya terasa begitu lama.Christian memang sangat meresahkan dan itu membuat Ara tersiksa menahan diri agar tak terlalu percaya diri bahwa pria di hadapannya tersebut menginginkannya seperti ia mengagumi sosok rupawan tersebut."Bisa kau berhenti menatapku seperti itu karena kau sungguh membuatku gugup. Alih-alih membuat wajahmu lebih baik aku malah takut mengacaukannya," cicit Ara di akhir ucapannya.Christian kembali menunjukkan lesung pipinya dan memutari meja tinggi itu untuk berada di samping Ara. "Kalau begitu ajari aku menghias atau sibukkan aku selain memerhatikanmu," ujar Christian memiliki usul."Hm, mungkin itu lebih baik. Kau bisa membungkus cookies yang hiasannya sudah kering ke dalam plastik dan mengikatnya dengan
Seketika ucapan Leon membuat Christian terkekeh dan menepuk pelan bahu sang adik."Tentu kau sudah menemuinya sekali kemarin itu, tetapi kau dan Arabelle belum berkenalan dengan benar, bukan?" Ucapan Christian mengingatkan Ara akan pertemuannya dengan Leon sebagai Ara untuk pertama kalinya di sekolah.Oh, ya Leon pernah menemuiku dalam wujud Ara sebelum ini. Dasar bodoh kenapa aku bisa melupakan pertemuan pertama menyebalkan dengan Leon dalam wujud Ara. Kembali Ara membatin sambil merutuki kebodohannya saat ini sehingga ia hanya bisa meringis melihat Leon dan terkekeh pada Christian."Ya, setidaknya kita harus mengubah kesan pertama yang tak mengenakan itu sekarang," ujar Leon akhirnya sungguh melegakan bagi Ara. "Terlebih jika kelak kemungkinan besar kau akan menjadi iparku," celetuk Leon menimpali."Leonard!" peringat Christian dengan suara rendah dan tersenyum mencurigakan."Ops sepertinya aku sedikit keceplosan. Yah, perkenalkan aku Leonard Hugo dan jangan menatapku begitu di depa