Selang beberapa jam malam pun datang dan meja panjang telah disusun membentuk persegi panjang dengan deretan kursi yang berjajar di kiri dan kanan sisi juga pada tiap ujung meja. Terdapat empat meja panjang dan masing-masing memiliki sepuluh kursi di tiap meja.Aroma daging bakar juga sosis mulai membuat perut-perut kelaparan berteriak memanggil pemangsanya. Suara lagu klasik dari salah satu kru memainkan sound system terasa menghangatkan suasana makan malam tim sukses Paul. Pria itu memang baik dan menyenangkan, tak ayal pekerjanya kini sudah mencapai empat puluhan orang sebagai tim sukses yang sudah dipercaya oleh berbagai produser ternama.Eve duduk bersama tim penata rias yang kebanyakan para wanita, sedangkan Leon di meja lain bersama beberapa tim editing photoshoot tampak menunjukkan beberapa gambar dari kamera yang dibawa sang photographer di sebelahnya. Jayden bersama Paul berada di meja tengah antara meja Eve dan Leon yang berjauhan, tetapi dalam posisi berhadapan. Eve meliri
"Leon, saat aku mengatakan akan teriak. Aku tak main-main, jika kau—""Jika aku apa, Eve?" tantang Leonard sudah memojokkan Eve pada salah satu pintu toilet di belakangnya."Jika kau macam-macam aku akan teriak dan–" Seketika ucapan Eve kembali tertelan, tetapi kali ini bukan karena perkataan sarkas Leon melainkan bibir Leon yang melumat kasar bibirnya meraupnya rakus sehingga membuat Eve cukup kesulitan untuk menghindar terlebih kedua tangannya yang kini terkunci ke sisi kiri dan kanan dalam genggaman kuat Leonard.Dasar berengsek! umpat Eve dalam hati dan dengan usaha terakhirnya ia menggunakan lutut untuk menendang kemaluan Leon sehingga dalam sekejap pagutan mereka terlepas disusul dengan teriakan Leon yang meraung kesakitan."Damn! Apa kau sudah gila!" umpat Leon menyergah sambil memegangi pangkal pahanya.Tamparan keras menjawab umpatannya yang sontak mengingatkan Leon kembali pada tamparan yang diberikan ibunya berikut dengan ucapan sarkas sang ibu. "Jangan pernah menilai wanita
"Sial, ponselku!" Eve kembali mengumpat dan hendak turun mengambil ponselnya. Sayangnya, karena tak hati-hati dirinya malah hampir terpeleset akibat tanah basah yang ada di pijakannya. "Aku baru kemb- hei hati-hati!" pekik Leon meraih tangan Eve untuk menolong wanita itu hingga membuat tubuh ramping Eve berbalik arah. Mereka pun mengulang adegan pemotretan tadi sore. Eve menghela napas dan menabrak dada Leon hingga membuatnya terkejut. Selang beberapa detik kemudian Leon melepaskannya perlahan membuat Eve mulai tersadar dari keterkejutan. "Bisakah kau berhati-hati?!" sentaknya terdengar kesal. "Jika bukan karenamu, ponselku tak akan terjatuh. Aku terkejut akibat kedatanganmu yang seperti hantu!" balas Eve tak kalah sengit. Akan tetapi, Leon tak membalas dan hanya menghela napas. Dia melengos meninggalkan Eve berusaha menghindari masalah baru lainnya, sedangkan Eve tak puas dengan respon Leon. Lantas sembari mengambil ponselnya dengan sangat hati-hati ia kembali memancing. "Jadi
Mendengar ucapan Leon barusan, membuat Eve tertawa dan sempat menyesap winenya. Seakan menghindari suasana canggung, Eve membuka pertanyaan lainnya. "Lalu apa yang kau alami hingga bersikap defensif padaku? Apa aku memang tipe wanita berbahaya yang bisa membuat seorang Leonard Hugo jatuh cinta?" goda Eve kembali membuat Leon terkekeh sambil mengalihkan pandangannya. Wajah keduanya memerah entah akibat minuman atau rasa yang menggelitik saat saling menggoda walau tahu maksud godaan itu hanyalah gurauan semata. Leonard menenggak sisa winenya dan meletakan gelas berkaki lancip itu ke meja. "Baiklah, kuceritakan," tekadnya menyerah sambil membetulkan posisi ia menerawang ke api unggung di hadapannya. "Semua berawal saat orang tuaku berpisah. Aku dan kakakku-Chris juga harus berpisah. Chris ikut dengan ayahku karena saat itu hanya dialah yang bisa membantu usaha ayahku, sedangkan aku tak bisa memilih dan diminta ayahku untuk menjaga ibuku. Namun, nyatanya kami malah sering bertengkar set
Fajar datang dan pemotretan kembali hendak dilaksanakan. Kali ini dari tempat penginapan mereka harus melakukan perjalanan ke sebuah danau. Letaknya menuju arah pulang yang terdapat di seberang tempat dari penginapan, maka dari itu mereka bersiap merapikan barang bawaan untuk sekalian kembali ke kota.Di dalam perjalanan menuju danau, Eve menyempatkan untuk menghubungi pihak sekolah perihal dirinya yang tak bisa hadir hari ini dengan alasan yang sudah direncanakannya semalam. Dia juga menghubungi Chloe hendak berjanji temu dengannya siang nanti.Tanpa drama dan dilakukan dengan sangat cepat hanya mengambil ending di atas perahu kayu. Eve menggunakan dress putih bersama dengan Leon yang menggunakan kemeja putih. Keduanya saling berhadap-hadapan lalu menatap hutan di seberangnya.Sampai jam sembilan rombongan Paul sudah dalam perjalanan kembali ke kota. Mereka berniat untuk makan siang bersama sebelum berpisah. Akan tetapi, Eve harus menolak lantaran ia harus segera kembali menjadi Ara d
"Aku memiliki ide!" seru Chloe hampir membuat seluruh pengunjung menoleh padanya termasuk Ara yang membulatkan matanya dengan alis menukik ke bawah. "Maaf aku terlalu antusias," cicitnya usai tersenyum kikuk pada beberapa pengunjung resto."Ide apa? Kuharap tak membuatku malu seperti kau menyerukan suaramu barusan," bisik Ara.Chloe menampilkan deret giginya dan mendekati Ara yang dimintanya untuk mendekat juga lalu ia berbisik. Seketika Ara menjauhkan telinganya dari Chloe dan menggeleng tak menyetujui ide Chloe."Tidak mau. Apa kau gila, Chloe!" pekik Ara kini yang mengundang perhatian pengunjung lain. "Lebih baik kau pikirkan usulku semalam, apa itu cukup meyakinkan?" tanya Ara."Alasanmu yang satu itu cukup membosankan sebenarnya, tetapi bagaimana jika dia mengajakmu untuk menjenguk Kim sedangkan kau tahu Kim tak bisa dihubungi sampai detik ini," tutur Chloe masuk akal.Ara kembali menghela napasnya. "Hah sudahlah, pikirkan itu nanti. Temani aku membeli bahan kue aku harus mempers
Tiga hari kemudian tak terasa akhir pekan tiba seakan melesat tanpa berhenti. Membuat Ara mulai sibuk sejak pagi demi membuat pesanan Christopher. Dia berkutat di dapur menggunakan kaos sehari-hari dan celemek berwarna pastel serta celana kain pendek agar ia dapat bergerak leluasa.Setelah setengah jam ia mempersiapkan bahan dan kebutuhan yang ada, tiba-tiba bunyi suara pintu dibuka terdengar disusul suara Chloe yang masuk dengan antusias penuh unsur mencurigakan karena tak biasanya wanita itu sudah mampir pada minggu pagi seperti ini."Morning, Arabelle sudah selesaikah kau membuatkan cookies pesanan putraku," sapanya memperagakan gaya Christian menyapanya.Ara enggan menoleh apalagi berbalik dia sedang serius menakar tiap bahan yang sempat salah saat pertama menuangkan tepung hingga membuat wajahnya sedikit cemong."Bisakah kau tak melakukan itu untuk menggodaku? kau membuatku gugup tiap kali mendengar gaya bicaranya terlebih memanggil namaku," ujar Ara hendak berbalik sambil kembal
Leonard mematikan sambungan teleponnya ketika nomor yang dituju tak kunjung menjawab panggilannya. Ia mengerutkan keningnya menatap nama yang tertera pada ponsel bertuliskan first women "Eve" sambil menghela napas ia kembali memastikan nomor yang diberikan Jayden padanya."Tak mungkin aku salah menyimpan nomornya. Jelas-jelas aku menyalin dan menyimpannya tanpa mengedit nomornya," gerutunya sambil membetulkan posisi bersandar di balkon kamar menikmati kopi hangat dalam keadaan setengah polos.Tak seperti biasanya pada malam minggu ia mencari mangsa wanita untuk menghangatkan ranjangnya. Namun, kini ranjang itu kosong—tanpa ada wanita telanjang berselimut putih di sana karena semalam usai ia menemui Jayden di kelab demi mendapat nomor Eve, dirinya segera pulang ke apartemen tanpa berniat menikmati wanita malam di sana."Apa mungkin Jayden menipuku?" terkanya lalu menyeruput kopi hangat di tangan.Lantas Leonard teringat kata-kata terakhir Eve yang mengatakan hendak menemui adiknya. Son