Ratusan komentar pada unggahan foto dirinya di akun seseorang membuat Lita terkejut. Ia memeriksanya dan menghela nafas panjang ketika mengetahui bahwa orang yang mengunggah fotonya adalah wanita paruh baya yang tidak lain adalah tantenya Ardan. Banyak yang memuji kecantikan Lita juga gaun yang dikenakannya. Puspa memang memilih foto yang tidak begitu memperlihatkan jelas wajah Lita. Hanya saja itu justru membuat banyak orang semakin penasaran. ‘Aku melihatnya saat pesta hari jadi H&U Group, dia lebih cantik dari di foto…’ ‘Itu istri Ardan? Dia memang tidak semanis Lisa, tapi menurut ku dia sangat mempesona dan terlihat anggun.’ Beberapa orang memang membandingkan dirinya dengan Lisa, tapi ia enggan memikirkan itu dan sama sekali merasa tidak tersinggung. Lita terus membaca satu persatu komentar pada unggahan itu. Ia tersenyum lalu ikut mengomentari foto dirinya. Ia memuji Puspa yang memotret dirinya dengan baik sehingga terlihat memukau. Setelah itu ia memasukkan ponselnya ke d
Setelah Alen mengungkapkan permintaan hadiah ulang tahun. Lita dan Ardan berjanji menuruti bocah itu. Sudah tiga hari ini mereka tidur di ranjang yang sama dan tidak lagi pergi ke kamarnya masing-masing setelah Alen terlelap. Sebagian baju Lita juga diletakkan di lemari pada kamar tersebut sesuai dengan permintaan Alen. Ia tetap menuruti bocah itu meski sebenarnya tidak nyaman. Rasa tanggungjawab yang melekat di hati masing-masing membuat Lita maupun Ardan tidak ingin melanggar janji yang telah dibuatnya. Keduanya mengesampingkan rasa canggung hanya untuk membuat bocah kecil itu merasa tenang dan tidak lagi kesepian. Alen terkadang masih terbangun pada tengah malam untuk memastikan apakah ‘orang tuanya’ masih ada di sampingnya atau tidak. Bocah itu akan memandangi wajah ayah dan ibunya secara bergantian sambil tersenyum sebelum kemudian tidur kembali. Lita berusaha menekan rasa canggungnya dengan fokus memikirkan Alen. Ia mengabaikan kehadiran Ardan dan hanya berbicara seperlun
Lita mengusap dahinya pelan. “Ehmm, aku hanya teringat beberapa hal buruk.” “Hal buruk?” Ardan melangkah mendekat ke arah Lita. Ia menempelkan tangannya di dahi perempuan itu. “Suhu badan mu masih belum turun?” Ekspresi terkejut Lita tidak bisa disembunyikan lagi. Bukan karena Ardan yang tiba-tiba menyentuh dahinya, tapi karena ia bisa melihat bekas luka samar pada leher Ardan. Ingatannya tentang malam itu memang tidak jelas, tapi ia tidak lupa pada ekspresi Ardan saat marah setelah ia melakukan sesuatu yang bodoh itu. Pria di hadapan Lita langsung memundurkan langkahnya begitu melihat ekspresi kaget ‘istrinya’. “Ehemm, istirahatlah kalau kamu sedang kurang sehat.” ‘Lita, kamu benar-benar bodoh…’ “Aku akan istirahat di kamar atas,” ucap Lita yang kemudian terburu-buru pergi. Alen menatap Ardan dengan ekspresi bingung. “Mama sakit? Mama belum makan…” “Biarkan mama mu istirahat… nanti dia akan makan saat lapar.” “Tapi kenapa mama tidak istirahat di kamar?” “Supaya kamu tidak
Setelah mengingat hal bodoh yang dilakukannya seusai pesta hari jadi H&U Group, Lita berusaha menghindari Ardan. Baik di kantor maupun di rumah, perempuan itu memandang ke arah lain saat Ardan berbicara dengannya. Alen yang terus memperhatikan mulai merasa sikap mamanya aneh. Ia tampak cemas karena Lita tampak berusaha menghindari ayahnya. Setelah pulang kerja hari itu, Lita izin untuk pergi makan bersama dengan anggota divisinya. Ia menolak saat Alen ingin ikut dan hal tersebut membuat bocah itu semakin kesal dengan Ardan. “Ini semua pasti gara-gara papa..,” ucap Alen dengan dahi mengerut. Ardan memandang putranya dengan ekspresi bingung. “Gara-gara papa?” “Ya, papa pasti melakukan kesalahan jadi mama kesal… Jadi Alen tidak boleh ikut pergi.” Pipi bulatnya semakin mengembang karena bocah itu cemberut. ‘Kenapa malah jadi gara-gara aku?’ “Itu karena mama sedang ada acara dengan teman-teman kerjanya, Alen,” ucap Ardan beralasan. “Tapi biasanya Alen boleh ikut kemanapun mama perg
Pada layar ponsel Lita muncul pemberitahuan pesan dari nomor tidak dikenal yang menyebutnya perempuan penggoda. Ardan tidak bisa melihat semuanya karena ponsel itu terkunci. Ia melirik ke arah Lita untuk memastikan perempuan itu tidak terbangun. Rasa penasaran yang muncul membuat Ardan meraih tangan Lita. Ia dengan hati-hati mengarahkan jari perempuan itu untuk membuka kunci dengan sidik jari miliknya. Setelah berhasil membuka kunci layar ponsel tersebut. Ardan melangkah pelan menuju sofa kecil dekat jendela. Ia menyalakan tabletnya lalu menyambungkannya dengan ponsel Lita. Ia membaca semua pesan dari nomor tidak dikenal itu. Wajahnya yang tampak serius berubah marah ketika ia melihat begitu banyak pesan serupa dalam ******** tersebut. 08xxxxx3 : [Sepertinya dengan memamerkan tubuh mu, kamu bisa menggoda semua pria ya?] 08xxxxx1 : [Daripada kamu, ku rasa Lisa lebih cocok menjadi istri Ardan, mereka memiliki latar belakang keluarga yang serupa.] 08xxxxx7 : [Cara mendapatkan pria
Mobil putih itu sampai di gedung H&U Media tepat pukul sembilan. Halaman depan maupun tempat parkir tidak terlalu ramai. Beberapa orang tampak berbisik-bisik saat melihat Lita dan Ardan datang secara bersamaan. Sebagiannya lagi langsung menyapa dengan senyum ramah di wajah. “Kamu masih takut makan siang di kantin?” tanya Ardan setelah berada di elevator. “Aku tidak takut, lalu sudah ku bilang aku bisa mengurus diriku sendiri, kamu tidak perlu membawakan makanan setiap hari.” “Kalau tidak takut, kenapa kamu jarang sekali makan di kantin?” “Aku bosan dengan makanan di kantin,” jawab Lita beralasan. “Begitu? Apa aku perlu minta pengelola kantin mengubah menu?” ‘Dia sebenarnya kenapa?’ “Tidak perlu, Ardan. Jangan lakukan itu. Kamu mau ada rumor apalagi tentang ku? Istri dirut tidak suka makanan di kantin lalu semua menu diubah?” Ardan menatap Lita dengan ekspresi serius. “Sepertinya itu ide bagus.” “Hei, aku bercanda…. Jangan pernah lakukan itu.” ‘Apa dia tidak pernah bercanda
((Peringatan!! bab ini mengandung hal sensitif seperti kekerasan dan pelecehan. Bagi pembaca yang merasa tidak nyaman dengan konten tersebut dianjurkan untuk tidak membacanya.)) -- . . Suasana kantor H&U Media hari itu tetap seperti biasanya meski hujan turun dengan sangat deras. Hujan yang akhirnya turun setelah sekian lama itu tidak disadari oleh banyak orang yang sibuk dengan pekerjaannya. Lita meregangkan badannya perlahan setelah menyelesaikan laporan kinerja tim untuk bulan itu. Ia meraih ponselnya lalu membaca pesan yang dikirimkan Ardan pada 9.30 lalu. ‘Dia serius?’ Pandangannya beralih ke arah jam tangannya. 20 menit lagi jam istirahat tiba. Ia membalas pesan tersebut, menolak ajakan Ardan dan beralasan akan makan sendiri di kantin. /Tok…tok…/ “Ya masuk…” Nia masuk sambil membawa satu kantong plastik di tangan kanannya. “Ada oleh-oleh dari bu Fani.” “Oleh-oleh? Memang
Ardan melepas jasnya lalu memakaikannya ke Lita. “Sudah tidak apa-apa, aku disini…” Aroma parfum dari jas itu membuat kesadaran Lita perlahan kembali. Tatapan matanya yang kosong menatap Ardan yang berjongkok tidak jauh darinya. “Ardan?” “Ya, ini aku…” Ekspresi marah pria itu justru membuat Lita merasa takut. “Aku– aku tidak tau kenapa dipanggil kesini.” Pria itu memang tampak marah, tapi ia sebenarnya sedang marah kepada dirinya sendiri karena membuat Lita berada dalam bahaya. Air mata perempuan itu berjatuhan dan ia merasa benci dengan dirinya sendiri karena membuat Ardan melihat kondisinya yang sangat buruk. “Ya, nanti katakan pada ku kalau kamu memang ingin mengatakannya… kamu bisa berjalan? Ayo pindah ke ruangan ku.” Pandangan mata Lita beralih ke tangan Ardan yang terkena darah lalu beralih ke Rendy yang tergeletak tidak sadarkan diri. Lita mencoba bangkit tapi kakinya terasa sangat lemas. Ia menggertakan
Ardan menyilangkan tangannya. “Itu karena kamu menyibukkan diri dengan mengerjakan banyak hal tanpa menyempatkan diri mengobrol santai dengan yang lain bukan?“Kamu juga tidak pernah mau ku ajak makan bersama atau pulang bersama, tentu wajar jika mulai ada rumor seperti itu,” tambah Ardan.Lita terdiam, ia selama ini memang sengaja mengambil pekerjaan sebanyak mungkin untuk mengalihkan pikiran juga untuk menghindari pertemuan yang terlalu sering dengan Ardan.‘Sial… aku terlalu fokus dengan diriku sendiri tanpa memperhatikan apa yang terjadi di sekitar,’ keluh Lita dalam hati.“Maaf, aku tidak berpikir kalau akan ada rumor seperti itu.”Ardan menatap ‘istrinya’. Namun Lita tidak bisa memahami makna dari ekspresi tersebut.“Apa kamu bertemu dengan teman masa kecil mu lagi?”“Teman masa kecil? Siapa?” Lita mencoba mengingat semua kegiatannya lalu menggeleng. “Aku tidak bertemu dengan teman ku selama sebulan ini, yang ku temui hanya rekan kerja.”“Aku tidak tau sebenarnya ada apa, tapi f
Lita memijat dahinya pelan. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa lagi. Perasaan terlarang yang tumbuh alami tanpa bisa dihentikan itu membuat ia merasa benci dengan dirinya sendiri.Meski ia sudah berusaha menepis dan mengalihkan perhatiannya kepada hal lain. Ia tetap tidak bisa mengurangi perasaan itu. Walaupun ia berusaha bersikap ketus dan dingin, ia kembali merasa hanyut saat Ardan bersikap hangat.Waktu sudah berlalu satu bulan sejak Ardan menegurnya, tapi Lita masih enggan menggunakan uang jatah bulanan yang ia dapatkan. Perempuan itu masih saja menggunakan uangnya sendiri untuk keperluannya dan juga membelikan makanan maupun mainan untuk Alen. Meski statusnya dalam keluarga itu hanyalah sebatas perjanjian, ia ingin menunjukkan rasa sayangnya yang tulus kepada Alen.Tentu saja Ardan masih memantau penggunaan uang yang diberikannya. Namun karena awal tahun disibukkan dengan berbagai macam pekerjaan, ia masih belum menegur Lita lagi secara langsung.Lita sengaja mengambil ban
“Apa ini? Ada yang berulang tahun?” tanya Lita memastikan. Ardan mendekat lalu memberikan buket bunga dan hadiah ke Lita. “Tidak, tapi ini hari yang penting.” Lita menerima buket bunga dan hadiah itu sambil tersenyum meski merasa bingung. Ia berusaha menyembunyikan perasaan sebenarnya karena kakek dan neneknya sedang melihat. “Kamu pasti lupa kalau pada tanggal ini kita bertemu untuk pertama kalinya dulu,” ucap Ardan lagi. ‘Dia gila ya? apa perlu sejauh itu berpura-pura?? Lagi pula kakek dan nenek tidak perlu diperlihatkan seperti ini pun tetap percaya kalau dia suami ku…’ Pandangan mata Lita beralih ke Alen lalu menampilkan senyum senang. “Tentu aku ingat, itu hari yang spesial, tapi aku tidak menyangka kalau kamu menyiapkan ini.” “Ya, yang ku maksud urusan penting itu untuk menyiapkan ini.” ‘Seharusnya dia memang jadi aktor saja…’ gerutu Lita dalam hati. “Oh begitu? Kamu masih saja tetap romantis seperti dulu,” balas Lita dengan senyum yang dipaksakan. “Dia sangat perhatian
“Ehmm, sepertinya tidak bisa sekarang. Aku sudah janji akan langsung pulang begitu selesai acara…” “Janji?” Davin memandang ragu ke arah Lita lalu mengangguk pelan. “Oh begitu… maaf membuat mu tidak nyaman karena malah menawarkan minum kopi bersama.” “Tidak, tidak… aku senang, mungkin lain kali aku bisa meluangkan waktu.” “Tidak perlu memaksakan diri, aku bertemu dengan mu begini saja sudah senang.” Percakapan keduanya terhenti saat Rini tiba-tiba mendekat. “Lita, kamu sudah ingat dengan teman mu yang ini?” “Tentu aku ingat, walau tadi sempat tidak mengenali…” “Dia Davin yang ku maksud, yang titip salam untuk mu.” Dahi Lita mengernyit, ia baru teringat saat Rini mengatakan ia mendapat salam dari seseorang. Pandangan matanya beralih ke arah Davin yang tersenyum ke arahnya. “Oh… maaf, karena sudah lama tidak bertemu, aku jadi lupa…” “Kamu melupakan teman masa kecil mu?” tanya Davin yang kemudian tertawa. “
Alen sejak tadi menatap Lita yang sedang bersiap untuk acara reuni. Ekspresi bocah itu terlihat sedih meski sudah dijelaskan bahwa ibunya hanya pergi sebenar.“Aku tidak boleh ikut?” tanya Alen lagi.“Alen, mama hanya pergi sebentar kok.”“Tapi mama akan kembali kan?”“Tentu saja, kenapa bertanya begitu?”Bocah kecil itu tidak menjawab. Ia masih terlihat murung tapi tidak sampai menangis atau menahan Lita agar tidak pergi.Lita mendekati ‘putranya’ lalu mengusap pelan kepala bocah itu. “Mama hanya bertemu dengan teman-teman mama, setelah selesai nanti langsung pulang.”“Bagaimana kalau mama bertemu dengan orang lain?”‘Apa maksudnya? Orang lain? Tentu saja aku bertemu teman-teman ku yang adalah orang lain?’/klek…/Obrolan keduanya terhenti saat Ardan masuk ke ruangan itu. Pandangan mata pria itu menyelidik penampilan Lita mulai dari sepatu sampai anting yang dipakai.“Teman mu sudah datang.”“Oke.”Pandangan mata Lita beralih ke Alen lalu ia mencium keningnya. “Mama pergi dulu ya?”B
Perjalanan menuju rumah pada sore hari itu berlangsung panjang. Jalanan yang macet membuat waktu tempuh menjadi lebih lama dari seharusnya. Lita terbangun tepat saat mobil yang mereka naiki memasuki area komplek GrandC. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali lalu menoleh ke sebelahnya. Alen terlihat tidur sambil bersandar di lengannya. “Maaf ya, tuan, nyonya, perjalanannya jadi sangat lama karena macet,” ucap pak supir begitu memasuki pekarangan rumah Ardan. “Tidak apa-apa kok, saya malah ada kesempatan istirahat.” “Ponsel mu sejak tadi sepertinya terus bunyi,” ucap Ardan mengabaikan perkataan pak supir. “Oh iya? Aku tidak dengar…” Ardan turun membawa Alen lebih dulu kemudian masuk rumah. Ekspresi pria itu terlihat seperti sedang memikirkan banyak hal dan itu membuat Lita merasa bingung. ‘Dia kenapa lagi?’ Lita masih terdiam di halaman rumah begitu turun dari kendaraan. Ia tiba-tiba kembali teringat saat pertama kali menginjakkan kaki di kediaman itu. ‘Kalau waktu itu aku tida
Ardan tidak langsung menjawab, ia meletakkan ponsel dan dompetnya lalu berjalan menuju koper kemudian mengambil kaos lengan panjang. “Zan menghubungi ku, ada hal yang perlu ku periksa,” balas Ardan asal. “Bukankah dia juga sedang libur?” “Ya…” Lita mengalihkan pandangan matanya begitu Ardan langsung berganti pakaian di tempat. ‘Kenapa dia tidak ganti di kamar mandi saja sih?’ gerutu Lita dalam hati. Saat Lita mengalihkan pandangannya, Ardan tersenyum kecil. Ia menggantung kemeja yang tadi ia lepas lalu duduk di kursi dekat pintu. “Kenapa belum tidur?” Tatapan mata Lita kembali mengarah ke Ardan yang saat ini sedang menuang minuman. Ia bisa melihat dengan jelas ekspresi pria itu terlihat jauh lebih hangat dari sebelumnya. “Tadi siang aku sudah tidur, jadi sekarang aku belum mengantuk.” Setelah meneguk minuman di gelas, pandangan mata Ardan beralih ke putranya yang sedang terlelap. Kali ini ia terlihat sed
Ardan terdiam selama beberapa detik lalu secepat mungkin menutup pintu kembali. Lita yang sadar dari keterkejutannya pun langsung memakai kaos yang dipegangnya. Perempuan tersebut menghela nafas panjang lalu menyesali tindakannya. ‘Seharusnya aku berganti pakaian di kamar mandi…’ Sepuluh menit setelah itu Ardan baru masuk kembali ke dalam kamar dengan ekspresi canggung. “Aku mau ambil dompet…” “Oh… ya, ya.” balas Lita sambil mengangguk. Ada rasa canggung yang terlihat jelas dari gerak tubuhnya. “Aku akan keluar bersama saudara sepupu ku sampai malam… jadi tidak usah menunggu.” Lita mengangguk lagi. “Oke…” Pandangan keduanya bertemu, tapi Ardan langsung mengalihkan tatapannya ke arah Alen. Ia berusaha mengalihkan pikirannya. ‘Sial…’ “Kalau Alen terbangun dan menanyakan ku, hubungi aku,” ucap Ardan asal. “Ya…” “Kalau begitu, aku pergi dulu.” “Hati-hati di jalan…” Ardan melangkah pergi
Lita, Ardan dan Alen kembali ke kediaman Tanoro menjelang tengah malam. Ardan memang sengaja tidak di rumah neneknya lebih lama karena tidak ingin Lita bertemu dengan paman-pamannya lebih awal. Pria tersebut mengajak Lita dan Alen berkeliling ke berbagai tempat. Setelah mengenalkan kota kelahiran ibu kandungnya, mereka baru kembali ke rumah. “Maaf kami baru kembali, saya jadi tidak membantu menyiapkan makan malam,” ucap Lita dengan ekspresi bersalah. “Tidak apa-apa kok, nenek dengar Ardan memang sangat posesif,” balas Lasti Tanoro dengan senyum tipis. ‘Posesif?’ gumam Lita dalam hati sambil tetap mempertahankan ekspresi tenangnya. Sara yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya, akhirnya mendekat ke arah Lita. “Ya, Ardan memang posesif, dia bahkan tidak mengijinkan Lita menginap di tempat ku terlalu lama.” Belum sempat membuka suara, Lita dikejutkan dengan suara berat seorang pria dari belakangnya. “Oh, ini istri Ardan?” ucap seorang pria paruh baya berkacamata. Lita menoleh ke ar