((Peringatan!! bab ini mengandung hal sensitif seperti kekerasan dan pelecehan. Bagi pembaca yang merasa tidak nyaman dengan konten tersebut dianjurkan untuk tidak membacanya.))
--
.
.
Suasana kantor H&U Media hari itu tetap seperti biasanya meski hujan turun dengan sangat deras.
Hujan yang akhirnya turun setelah sekian lama itu tidak disadari oleh banyak orang yang sibuk dengan pekerjaannya.
Lita meregangkan badannya perlahan setelah menyelesaikan laporan kinerja tim untuk bulan itu.
Ia meraih ponselnya lalu membaca pesan yang dikirimkan Ardan pada 9.30 lalu.
‘Dia serius?’
Pandangannya beralih ke arah jam tangannya. 20 menit lagi jam istirahat tiba. Ia membalas pesan tersebut, menolak ajakan Ardan dan beralasan akan makan sendiri di kantin.
/Tok…tok…/
“Ya masuk…”
Nia masuk sambil membawa satu kantong plastik di tangan kanannya. “Ada oleh-oleh dari bu Fani.”
“Oleh-oleh? Memang
Ardan melepas jasnya lalu memakaikannya ke Lita. “Sudah tidak apa-apa, aku disini…” Aroma parfum dari jas itu membuat kesadaran Lita perlahan kembali. Tatapan matanya yang kosong menatap Ardan yang berjongkok tidak jauh darinya. “Ardan?” “Ya, ini aku…” Ekspresi marah pria itu justru membuat Lita merasa takut. “Aku– aku tidak tau kenapa dipanggil kesini.” Pria itu memang tampak marah, tapi ia sebenarnya sedang marah kepada dirinya sendiri karena membuat Lita berada dalam bahaya. Air mata perempuan itu berjatuhan dan ia merasa benci dengan dirinya sendiri karena membuat Ardan melihat kondisinya yang sangat buruk. “Ya, nanti katakan pada ku kalau kamu memang ingin mengatakannya… kamu bisa berjalan? Ayo pindah ke ruangan ku.” Pandangan mata Lita beralih ke tangan Ardan yang terkena darah lalu beralih ke Rendy yang tergeletak tidak sadarkan diri. Lita mencoba bangkit tapi kakinya terasa sangat lemas. Ia menggertakan
Ardan kembali ke ruangannya setelah mengurus semua hal yang diperlukan. Ia menatap Lita yang masih berbaring dalam waktu lama. Tatapan matanya tidak sedingin biasanya, ekspresinya tidak datar seperti sebelumnya. Kali ini rasa bersalah terlihat jelas pada wajahnya. “Aku benar-benar minta maaf,” ucap Ardan lirih. /tok…tok…/ “Masuk.” Seorang perempuan berambut bob klasik dengan kacamata hitam dan tas besar masuk ke ruangan tersebut. “Apalagi ini Ardan?” ucapnya sambil melepas kacamata. “Seperti yang sudah ku jelaskan di telepon…” “Aku mengerti, tapi apa kamu tidak salah memanggil dokter spesialis penyakit dalam untuk urusan seperti ini?” “Kamu dokter, meski bukan keahlian mu, tapi kamu pasti bisa melakukan sesuatu.” “Ku sarankan bawa ke rumah sakit saja…” “Kamu tau aku tidak bisa melakukan itu, aku sudah memberitahu mu.” Wanita berambut bob klasik itu menghela nafas lalu mengalihkan pandangannya ke arah Lita. Ia mendekat lalu memeriksa perempuan itu perlahan. Terdapat sediki
Suasana menjadi hening kembali selama beberapa waktu. Hanya terdengar bunyi detik jam dan itu membuat Ardan semakin merasa canggung. “Aku ada kenalan psikolog yang bagus kalau kamu perlu,“ ucap Ardan ragu. “Kamu tidak perlu memikirkan itu.” Lita menatap gelas berisi air di hadapannya dengan ekspresi sendu, lalu pandangannya beralih ke Ardan kembali. Ia ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi yang Lita lakukan hanyalah menghela nafas panjang. ‘Dia bisa juga berekspresi seperti itu ternyata…’ Setelah percakapan tersebut, Lita dan Ardan kembali terdiam. Masing-masing dari mereka sibuk dengan pikirannya sendiri. Tidak lama setelah suasana hening dalam ruangan tersebut, terdengar ketukan pintu. Ardan bangkit lalu membuka pintu. Ia berbicara sebentar dengan seseorang perempuan yang tidak Lita kenali suaranya. Pria itu menutup pintu lalu melangkah menuju Lita kemudian menyerahkan paperbag berisi satu set pakaian lengkap. Perempuan
Alen mendekatkan dirinya ke arah Lita perlahan. Tatapan matanya memastikan sang ayah masih sibuk di dapur. “Sebelumnya Alen pikir papa menyuruh mama kembali hanya karena Alen,” ucap bocah itu dengan suara pelan. Lita masih diam menunggu Alen melanjutkan perkataannya meski dalam hati ia merasa bingung kenapa bocah kecil tersebut bisa berpikir sampai seperti itu. “Tapi sekarang Alen tau perasaan papa.” ‘Tunggu, kalau aku bertanya bukankah aku justru bisa membuat Alen ragu kembali?’ “Ehmm ya tentu saja kami saling mencintai, kenapa kamu sebelumnya tidak berpikir begitu?” tanya Lita dengan suara pelan juga. Perempuan itu mengutuki lidahnya sendiri yang semakin terbiasa berbicara omong kosong. “Terlihat begitu…,” jawab Alen dengan ekspresi serius. Keduanya bertatapan dalam waktu lama lalu Alen menyenderkan dirinya di pangkuan sang ibu. “Jadi apa yang membuat mu mengetahui perasaan papa mu?” “Papa hanya memasak untuk orang yang dicintainya, Alen… lalu mama,” ucap bocah itu sambil
Nia tertawa pelan saat mendengar respon Lita. “Lalu kenapa kamu memakai baju yang berbeda saat pulang kemarin?” “Itu– itu ehmm baju ku terkena saus…,” jawab Lita asal. Ia masih belum menemukan alasan yang tepat dalam situasi mendadak itu. Namun perempuan itu enggan mengiyakan tebakan Nia yang terlalu jauh. ‘Hahh seharusnya aku memikirkan semuanya kemarin…,’ keluh Lita dalam hati. “Ya ya saus, hehe, terkena saus, hehe,” ucap Nia sambil tertawa. Ia melangkah lebih dulu meninggalkan Lita yang masih membeku di tempatnya. Perempuan itu sesekali menoleh sambil tersenyum geli melihat wajah Lita yang bersemu merah. ‘Astaga… kenapa sih dia itu selalu saja…’ “Pagi Tara…” “Hai Lina, pagi,” balas Lita yang masih berusaha mengendalikan ekspresinya. “Kamu kenapa pagi-pagi begitu wajah mu terlihat memerah? Demam?” “Ehmm bukan kok,” jawab Lita canggung. Kedua perempuan itu melangkah bersama dan baru berpisah ket
Lita dan Ardan keluar dari kamar usai memastikan Alen terlelap. Perempuan itu sudah berjanji untuk membicarakan tentang pesan teror yang didapatkannya sejak Februari lalu usai perayaan hari jadi H&U Group. Semua pesan yang diterimanya tadi siang sudah dihapus, tapi pesan lain berdatangan dan kali ini Lita membiarkan pesan tersebut ada dalam ponselnya. Ia duduk dengan ekspresi tidak tenang, dahinya sesekali mengerut. Lita sebenarnya masih ragu untuk mengatakan semuanya, tapi ia merasa Ardan mungkin bisa menjawab rasa penasarannya. Ardan datang sambil membawa dua gelas kopi lalu meletakkannya di meja. Ekspresi pria itu tetap datar meski melihat Lita yang tampak sedang cemas. “Jadi apa yang membuat mu berpikir Rendy mungkin berkaitan dengan pesan teror yang kamu dapat?” Pertanyaan dari Ardan sempat membuat fokus Lita buyar. Ia mengira pria itu akan bertanya lebih dulu tentang pesan teror yang didapatkannya. “Orang itu sempat menyebut ‘mereka’…” Pria di sebelah Lita itu mengernyitk
“Mama bangun!” Kelopak mata Lita terbuka perlahan karena mendengar bisikan di telinganya. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali dan berusaha membangunkan kesadarannya. “Selamat pagi, Alen.” Bocah kecil itu tersenyum lalu mencium dahi Lita. “Ayo cepat bersiap, papa masak lagi loh.” “Masak? Pagi-pagi begini?” “Ya, ayo cepat,” balas Alen sambil tersenyum riang. Lita tersenyum lalu turun dari ranjang. Ia segera membuka lemari lalu memilih pakaian yang akan digunakan hari itu. Setelah mandi dan bersiap, ia segera keluar dari kamar menuju ruang makan. Ardan tampak sedang menata makanan di kotak bekal sedangkan Alen sedang duduk tenang di kursi sambil menatap hidangan di meja. “Kamu mau membawa bekal?” tanya Lita bingung. Ardan menoleh sekilas lalu melanjutkan menata bekal. “Ini untuk Alen, papa datang dan meminta Alen berkunjung.” “Ya, ini untuk ku,” ucap Alen ikut menjawab. “Kenapa harus membawa bekal?” “Alen tidak boleh jajan sembarangan.” Lita mengangguk lalu duduk dan menat
Ekspresi Ardan tetap datar begitu ia mengucapkan gosip yang didengarnya barusan. Saat itu ia berpikir bahwa Lita lah yang beralasan begitu untuk menutupi kejadian waktu lalu. Wajah Lita memerah begitu mendengar ucapan Ardan. “Kamu tidak sedang bercanda kan?” Dahi Ardan mengernyit. “Bukannya kamu yang mengatakan itu lalu menyebar hingga menjadi gosip?” “Tentu saja tidak, kamu pikir aku sudah gila?” Tentu saja Lita sempat berpikir beralasan seperti itu. Namun ia mengurungkan niatnya karena tidak ingin membuat citranya semakin memburuk. Perempuan itu menghela nafas panjang. Pikirannya tiba-tiba teringat perkataan Nia kemarin. ‘Itu tidak mungkin kan? Mungkin saja orang yang memberitahu Nia itu yang mengarang cerita…’ “Hmm kalau kamu yang beralasan, sebenarnya aku mau membiarkannya, tapi karena bukan kamu, sepertinya aku perlu mencari tahu.” “Tentu saja itu harus diluruskan, aku tidak mau dianggap tidak profesional dalam bek
Ardan menyilangkan tangannya. “Itu karena kamu menyibukkan diri dengan mengerjakan banyak hal tanpa menyempatkan diri mengobrol santai dengan yang lain bukan?“Kamu juga tidak pernah mau ku ajak makan bersama atau pulang bersama, tentu wajar jika mulai ada rumor seperti itu,” tambah Ardan.Lita terdiam, ia selama ini memang sengaja mengambil pekerjaan sebanyak mungkin untuk mengalihkan pikiran juga untuk menghindari pertemuan yang terlalu sering dengan Ardan.‘Sial… aku terlalu fokus dengan diriku sendiri tanpa memperhatikan apa yang terjadi di sekitar,’ keluh Lita dalam hati.“Maaf, aku tidak berpikir kalau akan ada rumor seperti itu.”Ardan menatap ‘istrinya’. Namun Lita tidak bisa memahami makna dari ekspresi tersebut.“Apa kamu bertemu dengan teman masa kecil mu lagi?”“Teman masa kecil? Siapa?” Lita mencoba mengingat semua kegiatannya lalu menggeleng. “Aku tidak bertemu dengan teman ku selama sebulan ini, yang ku temui hanya rekan kerja.”“Aku tidak tau sebenarnya ada apa, tapi f
Lita memijat dahinya pelan. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa lagi. Perasaan terlarang yang tumbuh alami tanpa bisa dihentikan itu membuat ia merasa benci dengan dirinya sendiri.Meski ia sudah berusaha menepis dan mengalihkan perhatiannya kepada hal lain. Ia tetap tidak bisa mengurangi perasaan itu. Walaupun ia berusaha bersikap ketus dan dingin, ia kembali merasa hanyut saat Ardan bersikap hangat.Waktu sudah berlalu satu bulan sejak Ardan menegurnya, tapi Lita masih enggan menggunakan uang jatah bulanan yang ia dapatkan. Perempuan itu masih saja menggunakan uangnya sendiri untuk keperluannya dan juga membelikan makanan maupun mainan untuk Alen. Meski statusnya dalam keluarga itu hanyalah sebatas perjanjian, ia ingin menunjukkan rasa sayangnya yang tulus kepada Alen.Tentu saja Ardan masih memantau penggunaan uang yang diberikannya. Namun karena awal tahun disibukkan dengan berbagai macam pekerjaan, ia masih belum menegur Lita lagi secara langsung.Lita sengaja mengambil ban
“Apa ini? Ada yang berulang tahun?” tanya Lita memastikan. Ardan mendekat lalu memberikan buket bunga dan hadiah ke Lita. “Tidak, tapi ini hari yang penting.” Lita menerima buket bunga dan hadiah itu sambil tersenyum meski merasa bingung. Ia berusaha menyembunyikan perasaan sebenarnya karena kakek dan neneknya sedang melihat. “Kamu pasti lupa kalau pada tanggal ini kita bertemu untuk pertama kalinya dulu,” ucap Ardan lagi. ‘Dia gila ya? apa perlu sejauh itu berpura-pura?? Lagi pula kakek dan nenek tidak perlu diperlihatkan seperti ini pun tetap percaya kalau dia suami ku…’ Pandangan mata Lita beralih ke Alen lalu menampilkan senyum senang. “Tentu aku ingat, itu hari yang spesial, tapi aku tidak menyangka kalau kamu menyiapkan ini.” “Ya, yang ku maksud urusan penting itu untuk menyiapkan ini.” ‘Seharusnya dia memang jadi aktor saja…’ gerutu Lita dalam hati. “Oh begitu? Kamu masih saja tetap romantis seperti dulu,” balas Lita dengan senyum yang dipaksakan. “Dia sangat perhatian
“Ehmm, sepertinya tidak bisa sekarang. Aku sudah janji akan langsung pulang begitu selesai acara…” “Janji?” Davin memandang ragu ke arah Lita lalu mengangguk pelan. “Oh begitu… maaf membuat mu tidak nyaman karena malah menawarkan minum kopi bersama.” “Tidak, tidak… aku senang, mungkin lain kali aku bisa meluangkan waktu.” “Tidak perlu memaksakan diri, aku bertemu dengan mu begini saja sudah senang.” Percakapan keduanya terhenti saat Rini tiba-tiba mendekat. “Lita, kamu sudah ingat dengan teman mu yang ini?” “Tentu aku ingat, walau tadi sempat tidak mengenali…” “Dia Davin yang ku maksud, yang titip salam untuk mu.” Dahi Lita mengernyit, ia baru teringat saat Rini mengatakan ia mendapat salam dari seseorang. Pandangan matanya beralih ke arah Davin yang tersenyum ke arahnya. “Oh… maaf, karena sudah lama tidak bertemu, aku jadi lupa…” “Kamu melupakan teman masa kecil mu?” tanya Davin yang kemudian tertawa. “
Alen sejak tadi menatap Lita yang sedang bersiap untuk acara reuni. Ekspresi bocah itu terlihat sedih meski sudah dijelaskan bahwa ibunya hanya pergi sebenar.“Aku tidak boleh ikut?” tanya Alen lagi.“Alen, mama hanya pergi sebentar kok.”“Tapi mama akan kembali kan?”“Tentu saja, kenapa bertanya begitu?”Bocah kecil itu tidak menjawab. Ia masih terlihat murung tapi tidak sampai menangis atau menahan Lita agar tidak pergi.Lita mendekati ‘putranya’ lalu mengusap pelan kepala bocah itu. “Mama hanya bertemu dengan teman-teman mama, setelah selesai nanti langsung pulang.”“Bagaimana kalau mama bertemu dengan orang lain?”‘Apa maksudnya? Orang lain? Tentu saja aku bertemu teman-teman ku yang adalah orang lain?’/klek…/Obrolan keduanya terhenti saat Ardan masuk ke ruangan itu. Pandangan mata pria itu menyelidik penampilan Lita mulai dari sepatu sampai anting yang dipakai.“Teman mu sudah datang.”“Oke.”Pandangan mata Lita beralih ke Alen lalu ia mencium keningnya. “Mama pergi dulu ya?”B
Perjalanan menuju rumah pada sore hari itu berlangsung panjang. Jalanan yang macet membuat waktu tempuh menjadi lebih lama dari seharusnya. Lita terbangun tepat saat mobil yang mereka naiki memasuki area komplek GrandC. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali lalu menoleh ke sebelahnya. Alen terlihat tidur sambil bersandar di lengannya. “Maaf ya, tuan, nyonya, perjalanannya jadi sangat lama karena macet,” ucap pak supir begitu memasuki pekarangan rumah Ardan. “Tidak apa-apa kok, saya malah ada kesempatan istirahat.” “Ponsel mu sejak tadi sepertinya terus bunyi,” ucap Ardan mengabaikan perkataan pak supir. “Oh iya? Aku tidak dengar…” Ardan turun membawa Alen lebih dulu kemudian masuk rumah. Ekspresi pria itu terlihat seperti sedang memikirkan banyak hal dan itu membuat Lita merasa bingung. ‘Dia kenapa lagi?’ Lita masih terdiam di halaman rumah begitu turun dari kendaraan. Ia tiba-tiba kembali teringat saat pertama kali menginjakkan kaki di kediaman itu. ‘Kalau waktu itu aku tida
Ardan tidak langsung menjawab, ia meletakkan ponsel dan dompetnya lalu berjalan menuju koper kemudian mengambil kaos lengan panjang. “Zan menghubungi ku, ada hal yang perlu ku periksa,” balas Ardan asal. “Bukankah dia juga sedang libur?” “Ya…” Lita mengalihkan pandangan matanya begitu Ardan langsung berganti pakaian di tempat. ‘Kenapa dia tidak ganti di kamar mandi saja sih?’ gerutu Lita dalam hati. Saat Lita mengalihkan pandangannya, Ardan tersenyum kecil. Ia menggantung kemeja yang tadi ia lepas lalu duduk di kursi dekat pintu. “Kenapa belum tidur?” Tatapan mata Lita kembali mengarah ke Ardan yang saat ini sedang menuang minuman. Ia bisa melihat dengan jelas ekspresi pria itu terlihat jauh lebih hangat dari sebelumnya. “Tadi siang aku sudah tidur, jadi sekarang aku belum mengantuk.” Setelah meneguk minuman di gelas, pandangan mata Ardan beralih ke putranya yang sedang terlelap. Kali ini ia terlihat sed
Ardan terdiam selama beberapa detik lalu secepat mungkin menutup pintu kembali. Lita yang sadar dari keterkejutannya pun langsung memakai kaos yang dipegangnya. Perempuan tersebut menghela nafas panjang lalu menyesali tindakannya. ‘Seharusnya aku berganti pakaian di kamar mandi…’ Sepuluh menit setelah itu Ardan baru masuk kembali ke dalam kamar dengan ekspresi canggung. “Aku mau ambil dompet…” “Oh… ya, ya.” balas Lita sambil mengangguk. Ada rasa canggung yang terlihat jelas dari gerak tubuhnya. “Aku akan keluar bersama saudara sepupu ku sampai malam… jadi tidak usah menunggu.” Lita mengangguk lagi. “Oke…” Pandangan keduanya bertemu, tapi Ardan langsung mengalihkan tatapannya ke arah Alen. Ia berusaha mengalihkan pikirannya. ‘Sial…’ “Kalau Alen terbangun dan menanyakan ku, hubungi aku,” ucap Ardan asal. “Ya…” “Kalau begitu, aku pergi dulu.” “Hati-hati di jalan…” Ardan melangkah pergi
Lita, Ardan dan Alen kembali ke kediaman Tanoro menjelang tengah malam. Ardan memang sengaja tidak di rumah neneknya lebih lama karena tidak ingin Lita bertemu dengan paman-pamannya lebih awal. Pria tersebut mengajak Lita dan Alen berkeliling ke berbagai tempat. Setelah mengenalkan kota kelahiran ibu kandungnya, mereka baru kembali ke rumah. “Maaf kami baru kembali, saya jadi tidak membantu menyiapkan makan malam,” ucap Lita dengan ekspresi bersalah. “Tidak apa-apa kok, nenek dengar Ardan memang sangat posesif,” balas Lasti Tanoro dengan senyum tipis. ‘Posesif?’ gumam Lita dalam hati sambil tetap mempertahankan ekspresi tenangnya. Sara yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya, akhirnya mendekat ke arah Lita. “Ya, Ardan memang posesif, dia bahkan tidak mengijinkan Lita menginap di tempat ku terlalu lama.” Belum sempat membuka suara, Lita dikejutkan dengan suara berat seorang pria dari belakangnya. “Oh, ini istri Ardan?” ucap seorang pria paruh baya berkacamata. Lita menoleh ke ar