Jovie menarik tangan Corey saat pria itu akan menjawab panggilan telpon dari Jace dengan raut wajah memohon. “Jangan membahas masalah yang kuceritakan semalam, dan jangan memberitahunya aku mengalami kecelakaan hari ini. oke?”Meskipun Corey tidak sependapat dengan apa yang diinginkan Jovie, tapi pada akhirnya dia mengangguk untuk menyetujui. Dia keluar dari ruangan untuk menerima panggilan itu, meninggalkan Jovie yang masih melihatnya dengan raut cemas.Tak lama, Corey kembali masuk ke ruangan emergency room, bertepatan dengan sang dokter yang mencari wali dari Jovie untuk menyampaikan informasi terkait kondisi Jovie.“Karena ada benturan yang keras di kepala Nona Montgomery, kami menyarankan rawat inap satu malam untuk memantau efek sampingnya. Jika besok siang tidak terjadi masalah, maka Nona Montgomery bisa pulang,” ucap dokter menjelaskan.Corey mengangguk tanpa berpikir lagi. “Tolong siapkan kamar VIP untuk Nona Montgomery, Dok. Saya akan menanda tangani persetujuan rawat inap s
“Maafkan aku,” ucap Jovie pada akhirnya. “Kurasa kita tidak bisa bersama lagi. Sekalipun mencoba untuk kembali, pasti hubungan kita tidak akan bisa sama seperti sebelumnya.”Jace tak ingin menyerah begitu saja. Bahkan puluhan penolakan dari Jovie pun akan dia terima dengan lapang dada asalkan wanita itu pada akhirnya bersedia untuk kembali membuka hati padanya.“Bagaimana kau bisa menyimpulkan tentang hubungan kita yang tidak akan bisa sama seperti sebelumnya jika kita tidak mencobanya lagi?” jawab Jaec sedikit memaksa.Jovie kembali menunduk. Entah bagaimana lagi dia harus menjelaskan semuanya agar Jace mengerti tentang apa yang dia rasakan. “Semua hal yang telah kulihat dan kudengar, sulit untuk menghilangkannya begitu saja. Jadi, daripada hal itu akan menjadi senjata pada hubungan kita nantinya, lebih baik benar-benar kita akhiri sampai di sini saja.”Perasaan sakit semakin menyebar dari dadanya. Jovie memang serius dengan ucapannya, tapi dia tidak menyangka dengan mengatakannya sep
“Nona Montgomery, ada Tuan Sherwood yang menunggumu di lobby,” ucap resepsionis melalui interkom yang menghubungkan langsung pada ruangan Jovie.Kening wanita itu mengerut dalam. Semua perkataannya di rumah sakit waktu itu, nyatanya tidak pernah didengarkan oleh Jace. Well, mungkin saja didengarkan, tapi tidak untuk dilakukan. Pria itu benar-benar akan melakukan hal sesuka hatinya.“Baiklah, sebentar lagi aku akan turun. Terima kasih.”Jovie meletakkan gagang interkom dengan dengkusan kasar dari hidungnya. Dadanya berdebar kencang. Jovie mulai kesal pada dirinya sendiri karena tiba-tiba menjadi gugup karena kedatangan pria berengsek itu. Berkali-kali dia mengancam hatinya sendiri untuk tidak menunjukkan eskpresi selain dingin dan angkuh.Suara ketukan high heels dari langkah kaki Jovie terdengar berirama. Kaki jenjangnya melangkah pasti saat keluar dari lift. Sosok yang dia kenal telah berdiri di sana, menunggunya.“How’s your day, Jovie? Semuanya lancar dan baik-baik saja?” tanya Jace
“Semuanya sudah aman, kan?” tanya Corey setelah membantu Jovie mengangkat kopernya dari bagasi mobil. “Paspor sudah?”Jovie terkekeh melihat sikap Corey. Awalnya, dia ragu apakah Corey akan memberikan izin cuti padanya di tengah situasi hotel yang sedang hectic. Namun ternyata, Corey justru langsung menyuruhnya untuk mengurus visa saat dia mengatakan ingin berlibur ke Jerman, tepat satu bulan yang lalu.“Tenang saja, Corey. Semua sudah aman di dalam tasku.” Jovie menunjuk tas kecil di pinggang. “Kau bisa kembali sekarang. Dua jam lagi kau ada pertemuan dengan klien yang akan membahas investasi hotel di Hawaii, kan?”Corey mengangguk. Kedua tangannya terbentang, memeluk Jovie singkat sebelum berakhir dengan mengacak rambut sahabatnya itu. “Kabari kalau sudah landing di Frankfurt, dan segera kabari juga kalau kau mendapat masalah di sana.”Jovie mencebik. “Astaga, Corey, aku bukan anak kecil. Aku bisa mengurus diriku sendiri.”Corey tertawa. Kejadian bulan lalu saat Jovie mengalami sera
Tidak sulit untuk menemukan kedai dengan review bintang lima yang Jovie dapatkan dari internet. Terletak di kawasan Altstadt—kota tua yang menjadi tempat berkumpulnya banyak pertokoan, kedai, dan restoran. Map yang membantunya semenjak keluar dari hotel tadi telah menunjukkan titik lokasi yang dituju.Tidak begitu besar, tapi interiornya sangat menggambarkan Eropa pada keseluruhan. Setelah memesan makan siangnya, Jovie memutuskan untuk duduk di meja teras, lalu lalang orang yang melintas di jalanan Altstadt menarik perhatiannya.Sambil menyandarkan tubuhnya, Jovie mengingat kapan terakhir kali dia merasakan bebas seperti ini. Dia bahkan tidak berhasil mengingatnya. Hidup Jovie benar-benar terlalu disibukkan dengan pekerjaan. Oleh karena itu, selagi dia di sini, sebisa mungkin dia ingin menikmati liburan tanpa memikirkan hal yang membuatnya lelah.Seorang pelayan kedai membawa nampan berisi pesanan Jovie. Senyum manis dari wanita itu tersungging, bersamaan dengan ucapan terima kasih. S
Kedua mata Jovie memejam erat, menahan rasa kesal yang mulai meledak. Tangannya mengepal kencang, sebelum akhirnya menjatuhkan diri pada kasur sambil menggeram kasar. Beberapa kali terlihat berguling-guling, kemudian duduk lagi dengan tatapan mata tajam yang mengarah ke pintu.“Corey!” tuduhnya.Secepatnya dia mengambil ponsel yang masih berada di tas. Tak ada tersangka lain selain Corey. Hanya temannya itu yang menjadi satu-satunya orang yang tahu di mana keberadaannya sekarang.Sambungan jarak jauh telah tersambung, satu kata pertama yang diucapkan oleh Jovie adalah :“Corey, What have you done?!”“Hei, kenapa kau tiba-tiba marah? Apa yang telah kulakukan?” “Jangan berpura-pura tidak tahu, Corey! Kenapa kau memberi tahu Jace tentang keberadaanku saat ini?!”Corey terdengar terkekeh. “Nikmati saja liburanmu, Jovie. Anggaplah aku membawakan kejutan untukmu.”“Kejutaan with this shit? Oh, come on, Corey! Kau bahkan ingin sekali menghajarnya. Kenapa sekarang jadi bersekongkol dengannya
Jace masih setia mengikuti Jovie, bahkan sampai hari beranjak malam. Suhu udara di puncak musim gugur menjadi semakin dingin. Jace mulai khawatir dengan Jovie yang terlihat beberapa kali mengusap kedua tangannya untuk menghalau dingin.Jace kembali mendekat, berjalan di sebelah Jovie yang masih dengan keputusannya untuk tidak menghiraukan keberadaan Jace. Di sudut mata Jace, dia melihat ada sebuah bar yang berjarak tiga toko dari tempatnya sekarang.“Jovie, kau butuh menghangatkan badan, kan? Ayo kita masuk ke bar di depan untuk minum wine,” ajak Jace.Jovie menggelengkan kepalanya. “Masuk saja kalau kau mau, tidak perlu repot-repot mengajakku.”Jace menghela napasnya. Dia harus mengakui bahwa pendirian Jovie sangatlah kuat. Namun kali ini, dia harus berinisiatif untuk mendapatkan waktu yang tepat agar bisa mengajak Jovie berbicara lebih lama, dan mendalam.Tanpa menghiraukan penolakan Jovie, Jace telah menarik tangan wanita itu dan membawanya masuk ke dalam bar. Jovie tersentak, beru
Jovie terduduk di tepi ranjang, memandang Jace yang sedang menatapnya dalam. Sentuhan yang tadi sempat dirasakan olehnya, kini membuat hatinya menjadi bimbang. Bolehkah dia merasakannya lagi? jujur dari dalam hatinya, dia juga menginginkan Jace. Namun kenapa saat ini dia menjadi bimbang?Seakan tahu dengan apa yang dipikirkan oleh Jovie, Jace semakin mendekat, merengkuh tubuh wanita itu dan memeluknya erat. “Aku benar-benar mencintaimu, Jovie.”Ciuman kembali membungkam bibir Jovie, tak memberi kesempatan pada wanita itu untuk membalas pernyataan cinta yang baru saja dilontarkan oleh Jace. Pada akhirnya, Jovie menyerah. Dia kembali jatuh pada pelukan Jace, dan memutuskan untuk membuka hatinya lagi, memberi kesempatan kedua.Keduanya terjatuh di ranjang. Tubuh Jovie berada di bawah, tertindih oleh Jace yang menatapnya liar. Kerinduan yang mendalam, membuatnya menjadi tak tertahankan.Dalam sekejap, tubuh mereka telah polos, tak tampak sehelai benang pun. Jace mulai memainkan permainann