Ucapan syukur datang lebih cepat daripada perkiraan dan diantara tugas akhir dari mata kuliahnya sekarang seluruh jadwal sudah sedikit longgar. Lizzie tahu bahwa dia harus pulang ke rumahnya, alasan merindukan masakan ibu adalah alasannya. Tapi pulang ke rumah itu juga berarti dia harus berhadapan dengan ayahnya. Itu membuatnya memikirkan ulang keputusannya.Sebab menghadapi ayahnya sama dengan dia harus kembali diingatkan bahwa dia bukanlah anak ideal yang didambakan oleh sang ayah. Membuat dia harus berkali-kali menghadapi cela bahwa dia adalah seorang anak yang mengecewakan dan gagal.Sejujurnya jika disuruh memilih tentu saja dia akan lebih suka datang ke rumah Daxon untuk liburannya, demi menghindari sang ayah. Tapi dia perlu beralasan dengan cara yang bagus kepada kedua orangtuanya yang akan bertanya-tanya bila dia tidak pulang saat liburan tengah semester tiba.“Oh photografi?”Hasilnya dia pulang ke rumah pada akhir pekan dan membicarakan soal rencana jangka panjangnya.Lizzie
Untuk beberapa alasan Lizzie berpikir bahwa barangkali ayahnya tidak akan pulang karena ibunya bilang dia selalu sibuk di satu minggu terakhir. Jadi Lizzie rasa malam ini kemungkinan dia bisa makan malam bersama ibunya saja. Meski sayangnya anggapan itu terbukti salah lantaran sang ayah tetap pulang meski sedikit terlambat dan bergabung di meja makan bersama mereka.Elliza dengan ceria menceritakan semua hal yang Lizzie katakan padanya seharian ini kepada suaminya, dia juga bahkan memperlihatkan jadwal kelas Lizzie di kampus kepada pria dengan watak dingin tersebut. Melihat pria itu menyipitkan matanya pada kertas yang ada ditangan, saat itu pula Lizzie sadar bahwa badai perdebatan akan segera terjadi cepat atau lambat.Badai? Ah, mungkin dia perlu meralatnya. Lizzie rasa mungkin akan lebih cocok dianalogikan sebagai ranjau darat daripada badai bila berhubungan soal sang ayah bermulut pedas yang kerap kali mendorong mentalnya hingga jatuh ke dasar.“Bagaimana seluruh kelasmu saat ini?
Armant tersenyum mendengar penuturan dari Lizzie.“Senang mendengarmu bersemangat,” kata Mina yang tampaknya tidak mau kalah menunjukan apreasiasi. “Aku juga sangat bersemangat dengan kelasku semester depan. Akhirnya aku bisa mulai mengambil ilmu gizi.”“Mina, jangan terlalu memaksakan diri seperti yang kau lakukan disemester ini,” sahut Armant dengan cepat menambahkan. “Semester ini kau kewalahan dengan banyak pilihan mata kuliah.”“Aku bisa mengatasinya dengan baik kok. Lihat aku!” Mina menyanggah, tidak terima mendapatkan peringatan dari Armant.“Minum kopi sebagai pengganti tidur, dan begadang nyaris setiap malam jelas terlihat memaksakan diri dimataku.”“Oh ayolah, Armant. Beri dia kesempatan untuk membela dirinya. Meski aku juga setuju dengan pernyataanmu,” kata Lizzie menatap sepupunya. “Aku tahu kau baik-baik saja dan sangat baik mengatasi semuanya. Tapi yang sekarang tolong jangan mengambil terlalu banyak.”“Kau juga sama Lizzie,” timpal Armant sambil mencubit pangkal hidung
“Tidak sepenuhnya, setidaknya aku memakai celana dalamku dan sekarang sedang mencari celana untuk aku gunakan.” Lizzie menggigit bibirnya sendiri tatkala membayangkan gambaran itu menjadi terlalu jelas di dalam benaknya. Daxon yang basah dengan handuk yang disampirkan di bahunya yang lebar, berkeliaran di sekitar rumah dengan kondisi setengah telanjang, dan otot-ototnya yang kuat dia pamerkan dengan jelas. Ah, itu adalah sesuatu yang sudah lama sekali tidak Lizzie lihat dan kemudian Lizzie tiba-tiba menjadi lebih serakah. Dia menyadari bahwa dia merindukan lebih dari suara Daxon. “Kalau begitu Om harus tetap berada dalam kondisi itu,” ujar Lizzie sambil menggodanya, mengusap pipinya yang memerah karena malu dan terasa panas dari pada yang bisa dia duga. “Lalu kirimi aku fotonya.” “Kau serius mau menginginkan fotoku yang sedang telanjang?” “Uh … yeah.” “Horny little girl.” “Apa?!” Lizzie tertawa dengan sebutan baru yang Daxon sematkan untuknya. “Aku hanya sudah lama tidak bertemu
Lizzie terdiam dan mendengarkan dengan seksama soal suara yang memanggil namanya tadi. Memastikan itu bukan hanya halusinasinya saja. Tapi kemudian dia melompat dari tempat tidurnya tatkala mendengar ketukan dari luar pintu. Sial! Ternyata itu betulan suara Mina. Dia melompat dan mengambil celana dalamnya dan mengenakan kaos oblong kebesarannya lagi.“Hei Om, aku tutup dulu telponnya ya, bye,” kata Lizzie dan langsung melemparkan ponselnya ke atas ranjang.“Kau mau masuk?” kata Lizzie kepada Mina yang tampaknya masih berada di depan pintu.“Ya,” sahutnya.Lizzie secara terburu-buru mengenakan celana pendeknya sebelum berlari menuju ke arah pintu. Dia membukanya kemudian, berusaha sebisa mungkin untuk tampil normal di hadapan sepupunya.“Apa yang sedang kau lakukan di dalam?” tanya Mina yang langsung menatap Lizzie dari atas ke bawah dengan sorot mata penuh curiga.“Melukis. Ada apa? kenapa kau kembali? apa sesuatu terjadi?” tanya Lizzie cepat dalam satu tarikan napas, kata-kata itu ke
Lizzie mendongak dari buku sketsanya, dia mengamati wajah Daxon sebelum kembali menggoreskan pensi pada kertas yang telah dia bubuhi beberapa garis. Di bukunya, Daxon telah menjadi sebuah subjek penggambaran favorit Lizzie. Jawabannya mudah, karena pria itu indah dan dia bisa berada dalam posisi yang sama untuk waktu yang terbilang cukup lama sehingga Lizzie dapat menggambar pria itu dibukunya tanpa harus kesulitan.“Apa yang akan kau lakukan Sabtu depan?” Daxon bertanya, mendongak dari laptopnya menatap ke arah Lizzie.“Uhh … aku tidak ada rencana,” kata Lizzie. “Kenapa?”Daxon menghela napasnya kemudian menyandarkan punggung ke kursi, melepas kacamata dan menarik pangkal hidungnya dengan ekspresi yang lelah. “Apa kau tertarik untuk pergi makan di luar?”Kata-kata yang keluar sedikit ragu-ragu, Lizzie menatap aneh pada tingkah polah Daxon yang tidak biasanya. Dia tidak pernah melihat pria itu gelisah hanya karena mengajaknya keluarnya. Biasanya dia selalu percaya diri untuk hal-hal s
“Aku ingin sesuatu yang manis. Donat mungkin memenuhi yang aku inginkan,” jawab Lizzie sambil tersenyum.“Oke baiklah, apa pun yang akan membuatmu bahagia.”Lizzie memekik gembira dan memimpin selangkah menuju sebuah kedai donat sambil menggenggam tangan Daxon bersamanya. Lizzie berdiri di konter, matanya terlihat berkilat dan lapar menatap beberapa donat yang dipajang di etalase. Hasilnya dia memilih enam rasa berbeda untuk satu kotak porsi yang dibungkus dalam sebuah kotak.“Tidak tunggu!” ujar Daxon tersentak ketika melihat Lizzie mengeluarkan dompet dari saku celananya. Lizzie menatap pria itu dengan tatapan menuntut.“Om, biar aku yang membayarnya sendiri kali ini, oke?” ujarnya sambil menyerahkan uang yang dia pegang kepada kasir dan transaksi selesai dalam hitungan menit. Membuat Lizzie tertawa karena Daxon hanya bisa terdiam, membiarkan tangannya berada di samping tubuh.“Kau benar-benar licik.”Ekspresi kemenangan muncul dari wajah Lizzie ketika dia mengambil sekotak donat ya
Lizzie entah bagaimana bisa mengatasi Daxon, dan kini telah berada di destinasi selanjutnya. Sebuah tempat spa dan pijat. Meskipun Lizzie menolak rencana Daxon untuk membelikannya pakaian dalam baru dan itu sempat membuat si om cemberut sepanjang perjalanan. Tapi setelah tubuh pria itu telungkup diatas kasur khusus pemijatan tampaknya kekecewaan besar karena tidak bisa membelikan pakaian dalam baru untuk Lizzie sedikit memudar.Lizzie sendiri bisa sedikit lebih tenang pula ditempatnya. Daxon benar, pijatan memang sangat dibutuhkan setelah dia menggunakan tubuhnya dan mengalami banyak hal. Bagi Daxon ini mungkin caranya untuk membuat dirinya nyaman setelah dibebankan oleh banyaknya pekerjaan yang hectic dan nyaris membuatnya gila. Mengingat Daxon adalah tipe yang perfeksionis, dia tidak bisa menerima kesalahan seperti orang-orang yang salah menaruh file, satu ruangan dengan orang jorok yang tidak bisa menjaga kebersihan, dokumen penting yang dihapus oleh orang bodoh tak punya otak, dan