Lizzie entah bagaimana bisa mengatasi Daxon, dan kini telah berada di destinasi selanjutnya. Sebuah tempat spa dan pijat. Meskipun Lizzie menolak rencana Daxon untuk membelikannya pakaian dalam baru dan itu sempat membuat si om cemberut sepanjang perjalanan. Tapi setelah tubuh pria itu telungkup diatas kasur khusus pemijatan tampaknya kekecewaan besar karena tidak bisa membelikan pakaian dalam baru untuk Lizzie sedikit memudar.Lizzie sendiri bisa sedikit lebih tenang pula ditempatnya. Daxon benar, pijatan memang sangat dibutuhkan setelah dia menggunakan tubuhnya dan mengalami banyak hal. Bagi Daxon ini mungkin caranya untuk membuat dirinya nyaman setelah dibebankan oleh banyaknya pekerjaan yang hectic dan nyaris membuatnya gila. Mengingat Daxon adalah tipe yang perfeksionis, dia tidak bisa menerima kesalahan seperti orang-orang yang salah menaruh file, satu ruangan dengan orang jorok yang tidak bisa menjaga kebersihan, dokumen penting yang dihapus oleh orang bodoh tak punya otak, dan
Lizzie tidak mengira sama sekali bahwa keberuntungannya dalam hal-hal seperti ini betulan minim. Kenapa bila berhubungan soal Levin kebetulan yang menyebalkan harus terjadi? Dan lagi sapaan Levin kepada Daxon cukup menghentikan langkah pria itu, dan kini sudah menarik perhatiannya secara penuh. Situasi Lizzie sekarang sudah terhalangi dari Daxon oleh punggung Levin dan ini sudah sangat terlambat baginya untuk melarikan diri.Daxon sebagai yang tertua dalam situasi ini segera menyesuaikan diri, mendekati ketiga orang yang baru saja memasuki fase dewasa tersebut dengan hati-hati sementara Lizzie mundur dari sana. Marie yang menyadari adanya ketegangan disana hanya dapat berdehem sambil tersenyum.“Senang bertemu denganmu lagi disini, Lizzie,” ungkap Marie sambil melirik ke arah Daxon, setengah menggodanya. Lizzie paham bahwa saat ini Marie sedang mencoba sebisa mungkin untuk meredakan suasana yang terlanjur canggung diantara mereka berdua.“Ya,” sahut Lizzie sembari menelan ludahnya sen
“Jadi kau betulan berbohong pada ibumu?”Lizzie sedikit terlonjak karena cibiran yang Daxon berikan kepadanya. Saat ini gadis itu sedang duduk di kursi mobil Porsche yang sedang mereka kendarai. Suara mesinnya bergemuruh keras dan Lizzie memberikan pria itu sebuah gesture mengangkat bahu sebelum memberikan jawaban lisan.“Apa lagi yang bisa aku lakukan, Om?” tanya balik Lizzie sambil melirik pada si pria yang sedang mengemudi disebelahnya. “Apa aku harus mengatakan sejelas-jelasnya bahwa aku pergi ke Prancis bersama Papi gulaku, begitu?”Daxon memutar kedua bola matanya. “Kau kan bisa bilang kau pergi dengan pacarmu. Aku rasa izin seperti itu akan berhasil.”“Tapi setelah itu? ibuku pasti ingin bertemu denganmu, dan jika dia tahu siapa kau, aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Satu hal yang ada di benakku saat itu adalah dia pasti akan memarahiku.”“Karena usiaku?”“Ya, dan karena kau juga kenal dengan Armant,” kata Lizzie. “Aku hanya … entahlah aku belum siap.”“Jad
Ungkapan Daxon barusan terus terang terlihat sedikit tajam dan itu cukup membuat Lizzie terperanjat. Tapi Prof. Zoe tampaknya tidak terganggu sama sekali, dia malah mengerang sambil menyandarkan kepalanya di bahu wanita yang duduk disebelahnya. Kalau tidak salah namanya Mona.“Dia tidak membuatku takut,” ungkap Lizzie setelah situasi kembali tenang. “Aku berhasil melewati kelasnya dengan baik.”“Ah! Aku tahu kau gadis muda! pantas saja kau tidak asing dimataku!” seru Prof. Zoe lagi yang cukup berapi-api, memandang Lizzie dan Daxon secara bergantian. “Jadi, bagaimana kalian bisa bertemu?”Lizzie menatap ke arah Daxon untuk mengisyaratkan pada pria itu agar memberikan jawaban yang bagus. Mengakui bahwa mereka terlibat one night stand yang kemudian berubah menjadi sebuah kesepakatan tentang hubungan papi gula dan sugar baby, tentunya tidak mungkin dibicarakan keras-keras disini. Bisa dibilang itu adalah cerita yang paling Lizzie ingin tutupi dari siapa pun juga.Daxon yang mengerti langs
Zoe mengerang sambil menggosok pelipisnya dengan jari, Mona menepuk punggungnya tatkala Mike hanya menonton dalam diam.“Aku hanya kaget, itu saja,” kata Smith. “Aku pikir kau akan memilih seseorang yang seumuranmu lagi dibandingkan dengan bocah ingusan ini. Lagipula dengan tampangmu kau bisa mendapatkan yang lebih seksi dan cantik.”Siapa yang sedang dibicarakan oleh si tua bangka ini? apakah itu aku?Lizzie menarik napasnya, mencoba untuk menenangkan diri saat pria itu terang-terangan menghinanya begini. Wajahnya sudah memerah dan kedua matanya jelas memperlihatkan amarah yang meluap-luap di dalam. Menjadi penyabar ternyata sangat sulit. Itulah pelajaran yang dia dapatkan dari pria itu.“Ya, memang,” kata Daxon. “Tapi Lizzie jelas lebih dari sekadar muda, cantik, dan seksi. Dia milikku, dan aku sangat akan menghargai jika kau tidak menyusahkannya. Dia ada disini bukan untuk bersenang-senang saja, melainkan datang sebagai patner kencanku.”“Jadi bukan peliharaanmu?”“Lizzie bukan bin
Lizzie menggelengkan kepala sambil menggigit bibir bawahnya, sedikit tergoda dengan ucapan Daxon tapi dia memilih untuk menahannya. “Tidak untuk malam ini, Om. Aku hanya ingin kita berdua bersenang-senang dan menikmatinya.” Daxon merasakan bagian dari dirinya mulai terasa menyakitkan dibalik celana yang dia kenakan. Pria itu menarik Lizzie agar jatuh ke pangkuannya, mengulurkan tangan untuk mengelus bagian yang paling menggoda keimanannya sementara tangan yang lain bergerilya melepaskan kain transparan yang menutupi bagian dada. Kemudian fokus memainkannya dengan sebelah tangan dengan gemas. Lizzie menguatkan dirinya diatas pangkuan Daxon, lengannya sudah gemetar akibat sentuhan yang pria itu buat. Bagian depan celana dalam dari lingerie yang dia kenakan mulai terasa basah tapi Daxon tidak bergerak sama sekali untuk melepaskannya. Ah, bukan. Tapi lebih ke belum mau. Dia menarik Lizzie dari pangkuannya dan mendudukannya di sofa, mengambil dasinya sendiri dan melirik ke arah Lizzie y
Sisa tiga hari sebelum keberangkatan Lizzie, ibunya cukup sibuk menyiapkan banyak hal yang perlu dia bawa. Mulai dari kaos kaki hingga pakaian dalam baru. Tentu saja jenis pakaian dalam yang fungsional dan bukan sesuatu yang berbau estetika macam kesukaan Daxon. Sangat polos sederhana. Ibunya memang tahu betul bahwa Lizzie orangnya cukup simple, dan bukan orang yang akan pilih-pilih karena itu kenyamanan berada pada tingkat teratas dari pemilihan pakaian baru yang ibunya siapkan.Yang berbeda adalah dia mendapatkan sesuatu dari ayahnya pula. Sejujurnya Lizzie agak ragu membukanya, dia yakin bahwa hadiah tersebut mungkin hanyalah satu set obat-obatan sesuai dengan profesinya atau berupa sindiran semata. Namun ketika gadis itu membuka bungkusan yang diberikan oleh ayahnya, Lizzie hanya bisa diam dan menahan air mata.“Terima kasih, Ayah.”Pria itu hanya angkat bahu dan bergumam sebagai balasan. “Jika aku tidak bisa menolongmu dari tindakan membuang waktu demi melakukan hal yang kau sang
Lizzie sudah selesai mengemas seluruh barangnya lebih dulu, dia berpikir akan jauh lebih praktis seperti itu karena akan merepotkan bila melakukannya pada H-1. Setidaknya masih tersisa satu hari sebelum keberangkatan, dan Daxon jauh lebih sibuk dari pada hari-hari sebelumnya. Tetapi di pertemuan terakhir yang singkat pria itu menitipkan kartu kreditnya untuk Lizzie gunakan berbelanja keperluan. Tak ingin egois, akhirnya Lizzie memutuskan pergi ke toko buku hari itu, setidaknya dia membeli sesuatu yang bisa mereka baca atau dengarkan saat berada di pesawat nanti untuk membunuh waktu.Lizzie berkeliling sendiri setelah menemukan banyak barang yang dia butuhkan, dia hanya membeli sebuah buku novel misteri yang barangkali masuk ke dalam selera Daxon. Hal itu tentu saja karena Lizzie kerap melihat koleksi buku pria itu selalu didominasi oleh buku memusingkan, jadi Lizzie berharap buku yang dia beli cukup untuk penerbangan panjang mereka. Tak hanya disitu, Lizzie tiba-tiba saja tergoda deng
Lizzie mengangguk sambil menarik kemeja Daxon. Pria itu menggigit puncak dadanya, seraya menanggalkan pakaiannya sendiri begitu pula Lizzie yang melakukan hal serupa. Daxon meraih gadis itu dan menciumnya dalam-dalam, membuat mulutnya terasa panas. Daxon kembali meraih sela-sela kaki Lizzie, kali ini melepaskan mainan yang menyumbatnya menciptakan bunyi yang lucu dan basah disana. Lizzie bergidik karena Daxon memeluk erat dirinya ketika sensasi tersebut menyapu dirinya. Sambil melingkarkan lengannya di pinggang Lizzie, Daxon membantu gadis itu untuk duduk dipangkuannya. Lizzie membuka lebar kedua kakinya, seraya memegang bahu Daxon dengan jarinya yang gemetaran. Dengan hati-hati Lizzie memposisikan dirinya di pangkuan Daxon, menemukan bagian diri dari Daxon yang menggodanya ketika dia mencoba memposisikan dirinya disana. Secara perlahan Lizzie meraihnya, menyelipkan bagian itu ke dalam dirinya. Dengan pelan, dengan sangat hati-hati setiap inchi dari bend aitu mulai melesak masuk pada
Tiga tahun kemudian …Lizzie bersenandung seraya meletakan paletnya, mundur selangkah dari posisi untuk mengagumi lukisan baru hasil buah tangannya selama berjam-jam. Bunga-bunga berwarna biru dengan gradasi ungu yang disusun sedemikian rupa di sebuah lapangan yang hijau, sangatlah kontras dengan lukisan yang sebelumnya dia selesaikan dan bertemakan soal medan perang terpencil yang hanya memuat tiga bunga yang tercecer darah dari prajurit. Jika disuruh memilih jelas, Lizzie lebih suka lukisan terbarunya. Tentang ladang bunga yang sedang mekar dan memberikan nuansa penuh kedamaian dan ketenangan di bandingkan lukisan perang. Tentu ada perbedaan signifikan, mulai dari hasil akhirnya sampai pada bagaimana cara dia menyapukan kuasnya dan pemilihan warna juga. Tetapi karena perasaan yang ditimbulkan setelah dia menyelesaikan luksian itu, dia entah kenapa merasakan seperti sebuah kenangan disana. Padahal jelas-jelas Lizzie tidak hidup pada zaman itu. Tetapi lukisan ini adalah representasi a
Ketika itu cukup pagi, Lizzie dan ibunya telah berada di bandara. Armant yang bertugas mengantarkan mereka sampai ke sana, karena Dion harus bekerja, tetapi faktanya Lizzie memang punya niatan untuk pergi pagi-pagi sekali supaya tidak perlu berpamitan dengan pria itu. Sungguh, meski hubungan mereka sudah jauh lebih baik tetapi dia masih saja merasa canggung kepada pria itu. Terlepas dari hal-hal gila yang terjadi diantara mereka berdua yang dipicu oleh Lizzie yang memutuskan keluar dari jalur yang digariskan ayahnya dan memilih menjadi seorang seniman alih-alih menjadi dokter idaman. Tetapi setidaknya hubungan mereka berada sekarang sudah terbilang sedikit lebih sehat dibandingkan sebelum-sebelumnya. Bisa dibilang insiden yang tercipta dari perpisahannya dengan Daxon dua tahun lalu, memberikan sebuah hikmah tersendiri. Lizzie mendapatkan kembali hubungan baik dengan ayahnya. Ya, itu patut disyukuri.Lizzie memeluk mereka berdua sebelum benar-benar pergi. “Kamu tidak merasa terlalu pay
“Aku mencintaimu, Om,” bisik Lizzie, matanya terpejam rapat. “Aku mencintaimu dan aku akan selalu begitu.”Kata-kata itu sesungguhnya kata yang manis, tetapi sekarang saat dia mendengarnya itu jadi begitu menyakitkan. Meskipun memang dia bersungguh-sungguh mengatakannya tetapi setelah dia melakukan sabotase seperti ini. Sudah jelas tidak mungkin pria itu masih ada di balik pintu dan menunggunya, atau mendobrak pintu dan menyangkal penolakan Lizzie terhadapnya. Namun dia tahu, jauh dilubuk hatinya, Lizzie telah menghancurkan segala kemungkinan hal itu terjadi.Dua tahun adalah waktu yang telah dia lewati dalam kesengsaraan, apakah aneh baginya untuk menerima begitu saja kesempatan yang Daxon tawarkan kepadanya? Dan untuk apa semua itu? kesempatan untuk memperbaiki karena saat itu dia belum cukup dewasa? Tapi kesalahan akan terus membayangi dan Lizzie tahu bahwa dia sesungguhnya harus bedamai dengan dirinya dahulu.Meskipun cara memotong ikatannya sangatlah egois, tetapi itu yang terbai
Daxon mengetuk pintu dan kemudian dia mundur selangkah. Dia kembali menatap ponselnya sendiri, tidak untuk menghubungi Lizzie tetapi justru nama Armant yang terdapat disana. Dia membaca ulang seluruh teks yang dikirimkan pemuda itu terhadapnya. Izin telah diberikan…Pintu dibukan dan dia langsung disambut oleh sepasang mata cantik yang telah lama tidak pernah dia lihat. Ada kantung mata yang tercipta dan matanya sedikit membengkak. Sepertinya dia kurang tidur dan sedang putus asa. Kini kedua mata itu dipaksa untuk membelalak lebih lebar.“Daxon …,” bisik Lizzie dengan napas yang terengah-engah.Daxon hanya bisa tersenyum mendengar namanya disebut oleh suara yang teramat dia rindukan. Begitu pula pergerakan bibir itu ketika melafalkannya. Dua tahun tidak banyak mengubah orang rupanya.Dia menatap bibir itu, bibir yang menjadi miliknya dan beberapa kali telah dia cium, diklaim, dan dia gigit ketika tiba pada titik dimana gairah luar biasa menyapu dirinya. Ya, setidaknya hal itu berlaku
Smith menyerbu ke arahnya dan mencoba menghentikan Daxon. Pria itu memandangnya dengan amarah yang menggebu, disertai ekspresi wajah yang tertekan luar biasa.“T-Tidak!” Daxon berteriak ketika Smith menyeretnya untuk masuk kembali ke dalam ruangan. “Smith berhenti! Lepaskan aku sialan!”Smith mendorong Daxon ke lantai seperti pria itu adalah boneka kain. Terlepas dari ukuran dan massa otot Daxon, Smith masih jauh lebih kuat darinya. Oleh karena itu Smith dengan mudah berada diatasnya. Berkuasa atas Daxon dan mengendalikannya seperti seorang ayah yang mencoba menenangkan anak laki-lakinya yang sedang mengamuk dan histeris. Daxon membuka mulutnya untuk terus berteriak tetapi Daxon pada akhirnya menampar pipi pria itu sebelum dia bisa melakukannya.Daxon terkejut.“Ada apa denganmu, Daxon?” bentak Smith. “Demi Tuhan, apa yang ada di kepalamu saat ini? kau sedang bekerja. Ada banyak orang disini, tapi kau sudah kehilangan akal. Ini benar-benar sangat tidak professional.”Daxon menarik nap
Daxon sejujurnya agak malas pergi ke kantor. Tetapi dia harus mengirimkan pakaiannya ke binatu dan semenetara itu dia mulai membersihkan rumahnya yang kacau balau. Melakukan pembersihan sebagai bagian dari pada menjernihkan pikirannya lebih dari sekadar memakan ice cream yang manis. Tetapi ice cream sejujurnya menjadi pendamping yang bagus untuk pesta menonton film horror (Daxon berterima kasih kepada Smith yang meminjamkannya kaset flm horror terbaru) anehnya itu cukup untuk dia jadikan sebagai penghiburan.Daxon menatap arloji di tangan kirinya dan mulai berjalan memasuki kantor dengan bahu yang terasa jauh lebih berat dari pada biasanya. Dia datang satu jam setelah kantor dibuka dan dia melihat sekeliling. Ada mike dan asistennya, Smith yang berada diruangannya. Daxon melirik ke arah seseorang pekerja baru di kantornya. Levin. Pemuda yang disarankan oleh Lizzie kepadanya dan memintanya untuk memberikan orang itu kesempatan. Sesuai dengan perkataan gadis itu, kinerja Levin memang te
Perjalanan pulang benar-benar sunyi. Bahkan suara gemuruh kendaraan roda empat dan dua diluar sana tidak cukup memecahkan keheningan di dalam. Suara deru mesin mobil yang mereka naiki juga tidak banyak membantu membuat suara. Tidak ada kata-kata yang dipertukarkan. Tidak ada yang dikatakan, bahkan saat Lizzie keluar dari mobil Daxon. Keheningan sekali lagi tercipta begitu Daxon pergi dari hadapannya.Lizzie menyeka air matanya dan mengetuk pintu rumah sebelum mencari-cari kunci cadangan yang ibunya berikan. Saat dia mendapatkannya, pintu sudah keburu dibuka dan sayangnya bukan sambutan hangat yang dia dapatkan, melainkan sorot mata dingin dari sang ayah.“Hai Ayah ….”Dion tidak banyak beraksi, dia melangkah ke samping membiarkan Lizzie masuk ke dalam. Gadis itu mencoba mengendalikan dirinya di hadapan sang ayah, tetapi dia merasa tekadnya mulai hilang isi kepalanya carut marut sekarang.“Apakah uh … apa Ibu ada dirumah?”Dion menggelengkan kepalanya. “Dia sedang keluar.”Lizzie menga
“Senang bertemu denganmu, Nak,” kata si lelaki tua itu sambil memperlihatkan cengiran malasnya kepada Daxon. “Kupikir kau tidak akan datang dan mengabaikanku.”“Aku memang tergoda sekali,” kata Daxon. “Kenny, ini Lizzie. Lizzie, tua bangka ini adalah ayahku.”Lizzie menarik napas dan memasang ekspresi wajah yang paling tebal yang pernah dia bisa buat. Dia tersenyum sopan dan menganggukan kepala. “Senang berkenalan dengan Anda.”“Senang—” Kenny memulai, dia memiringkan kepalanya seolah dia mengetahui sesuatu. Lizzie merasa tercekik, tetapi dia menolak untuk terlihat seperti itu di depan ayahnya Daxon. “—bertemu denganmu?”Daxon menaikan sebelah alis, merasakan adanya keanehan diantara ayahnya dan Lizzie. Dia menghela napas. “Aku sadar, dia memang jauh lebih muda dariku.”“Ya, memang. Aku tidak tahu kau penikmat daun muda, bocah,” kata Kenny dengan nada yang jelas sinis. Daxon memandang ke arah Lizzie dan gadis itu hanya angkat bahu. Daxon menyipitkan matanya.“Kalian berdua pernah ber