Happy reading..Selama hidupnya yang Elena inginkan hanyalah menikah dengan Jayden. Hampir setiap hari Elena membayangkan betapa ia akan sangat bahagia jika sudah menikah dengan Jayden, pria yang sangat dia cintai. Jayden sendiri pun sudah menjanjikan kehidupan bahagia itu pada Elena hingga tak terhinggap sedikitpun keraguan. Tapi, siapa sangka pernikahan yang bahkan baru berjalan beberapa minggu justru membuat Elena berakhir menangis pilu di sebuah ujung jembatan kecil menuju danau. Kesunyian tempat itu begitu sempurna membuat jiwa Elena yang terbelenggu rasa sakit bisa terluahkan.Kaki panjangnya menjuntai menyentuh permukaan air hingga menimbulkan riuk gelombang di sana."Memangnya aku wanita seperti apa di matamu, Jayden?" lirih Elena memegangi dadanya hingga baju yang ia kenakan kusut. Sakit sekali rasanya saat orang yang begitu kau percaya melontarkan kata-kata kasar. Lebih baik Elena lenyap saja dari dunia ini. Toh, dirinya pun sudah tidak punya siapa-siapa lagi kecuali Jayden
Happy reading.Tidak pernah terbesik dalam benak Elena sedikitpun jika keluarganya yang bahagia akan hancur begitu saja. Hampir setiap orang yang melihat mereka akan berdecak kagum, merasa iri dan penasaran. Bagaimana bisa membina sebuah keluarga sebahagia itu tanpa masalah.Hingga tiba suatu masa dimana kokohnya keluarga Elena diguncang badai. Malam itu Elena baru saja tiba di rumah setelah selesai belajar bersama dengan teman-temannya. Jika biasanya orangtuanya akan menyambut dengan gembira, malam itu begitu berbeda. Bukan senyuman manis yang Elena terima namun justru makian serta umpatan yang ia dengar.Papa dan Mamanya bertengkar untuk yang pertama kalinya. Ya, setidaknya itu yang Elena lihat selama ini. "Papa ... Mama .... " panggilan Elena membuat keduanya terdiam. Melihat ke arah Elena sebentar lalu membuang muka ke segala arah seakan sedang menyembunyikan apa yang sedang terjadi."Kalian---""Elena, masuk ke dalam kamarmu!" titah Melia penuh penekanan memotong ucapan Elena.
Happy reading..Lalu sekarang apa yang harus Elena lakukan? Dia justru terjebak dalam hubungan yang sama dengan masa lalunya. Di mana ia menjadi sosok wanita ketiga dalam rumah tangga Hera dan Jayden. Sosok yang sangat ia benci.Tidak. Elena bukan orang ketiga. Justru Heralah yang menjadi orang ketiga dalam hubungan mereka. Dia yang lebih dulu bersama Jayden bukan Hera."Ya, aku bukan wanita perebut suami orang. Sejak awal Jayden itu milikku bukan milik Hera." Elena begitu yakin dengan kepercayaannya itu. Dan takkan ada satu pun hal yang akan membuat kepercayaan itu hilang. Sekarang tinggal bagaimana caranya agar Jayden tetap berada di sisinya. Elena akan melakukan apapun tak peduli itu akan menyakiti orang lain atau justru dirinya sendiri.Elena melangkahkan kakinya yang terasa begitu berat masuk ke dalam rumah. Wajahnya sembab dan lusuh. Kepalanya juga terasa pusing membuatnya harus bersandar sebentar di dinding rumah lalu memijit lembut pelipisnya."Sial! Sepertinya aku terlalu b
79. GelisahHappy reading..."Aku ingin kau segera hamil."Pelukan Elena terlepas saat mendengar penuturan Jayden. Dia menatap bingung suaminya itu."Kau ingin aku segera hamil?" tanya Elena memastikan apa yang dia dengar tidak salah.Jayden mengangguk dengan pasti. "Ya. Kau tidak keberatan bukan?" tanyanya.Elena mengerjabkan matanya beberapa kali. Berpikir. Mungkin ini memang yang terbaik. Jika nanti mereka memiliki anak sendiri Jayden tak lagi punya alasan untuk mengunjungi Juan. Itu berarti Jayden tidak akan bertemu Hera juga bukan? Hal yang sangat diinginkan Elena."Tentu saja aku tidak keberatan, Sayang. Aku juga sangat ingin punya anak darimu," kata Elena tersenyum lebar."Baiklah. Kita akan memulai program kehamilan. Semoga kita bisa secepatnya punya anak," ujar Jayden penuh harap.Tak hanya Elena yang berpikir demikian. Jayden juga sama. Dia menyuruh Elena segera hamil agar tidak terjadi lagi kejadian seperti hari ini. Walau dia akan tetap memberi Juan nafkah sebagai seorang
Happy reading..."Silakan duduk!"Hera mengikuti saja apa yang dikatakan pria itu. Dia melihat sekeliling apartemen seakan mencari keberadaan Haidar. Namun tidak ada tanda-tanda pria itu ada di sana. Sebenarnya ke mana Haidar?Hera menghela napas berat lalu menyandarkan tubuhnya yang entah kenapa terasa begitu lelah."Silakan minum, Bu Hera," kata pria tadi menyodorkan segelas jus ke arah Hera, dia lalu duduk di depan wanita itu sambil tersenyum manis."Tidak perlu seformal itu. Aku jadi merasa canggung," kata Hera tersenyum kikuk.Pria itu lantas terkekeh. "Justru saya yang akan merasa canggung dan kurang ajar jika memperlakukan calon nyonya Pratama dengan tidak sopan."Kata-kata pria itu membuat pipi Hera merona. Ridwan memang sangat pandai membuat orang tersipu malu dan salah tingkah dengan kata-katanya."Oh iya, Anda ke sini pasti mencari Pak Haidar, bukan?" tanya Ridwan setelah hening beberapa saat.Hera hanya mengangguk perlahan seraya menaruh kembali gelas jus yang telah ia mi
Happy reading...."Apakah dia anakmu?" tanya Shila dingin.Hera mengerjabkan matanya beberapa kali sebelum mendongak untuk menatap Ibunda dari kekasihnya itu. Wanita itu menarik dua sudut bibirnya hingga membentuk sebuah senyuman yang begitu menawan."Ya, Bu Shila. Juan putra saya," jawab Hera dengan nada begitu bangga.Berbohong? Yang benar saja. Hera tidak mungkin berbohong apalagi hal itu menyangkut Juan. Hera sudah memikirkan konsekuensi terburuk dalam skenario ini. Di mana Shila mungkin tidak akan merestui hubungannya dengan Haidar setelah mengetahui statusnya.Mengingat hal itu membuat hati Hera berdenyut sakit hingga membuat senyum bangga yang sempat terpancar berubah getir.Keduanya membiarkan hening mendominasi untuk beberapa saat. Terkejut. Shila begitu terkejut akan pengakuan Hera. Sejak wanita itu datang dengan seorang bayi dalam gendongannya, Shila sudah menebak jika bayi itu adalah anak Hera. Namun dia menepisnya dan berpikir jika bayi itu adalah adik Hera. Walau hal i
Happy reading..."Apakah Dokter Emi dipindahtugaskan kemari, Sayang?" tanya Elena menoleh ke arah Jayden setelah melihat bangunan rumah sakit dengan warna putih dan hijau yang mendominasi di depannya. "Kita tidak akan menemui Dokter Emi," ujar Jayden membantu Elena melepas sabuk pengamannya. Perlakuan kecil yang membuat semburat merah menjalar di pipi Elena. "Kenapa kita tidak menemui Dokter Emi? Bukankah kita ingin konsultasi tentang rencana kehamilanku?" Dahi Elena membentuk sebuah kerutan halus. Bingung. Karena selama ini yang dia tahu Dokter Emi adalah dokter kepercayaan keluarga Xavier. Lalu kenapa harus menemui dokter lain?Jayden tak langsung menjawab. Pria itu malah lebih dulu turun lalu membuka pintu untuk Elena. Senyum manis terpancar jelas di wajah Elena. Sungguh dia sangat bahagia dengan semua perlakuan manis Jayden. Inilah Jayden yang Elena kenal. Sosok pria yang sangat menyayangi dan menyanjungnya."Aku punya dokter kenalan yang kebetulan bekerja di sini. Dia salah sat
Happy reading...Elena tersenyum bangga melihat jajaran piring berisi masakannya. Sambil bersenandung kecil, Elena menuangkan air putih ke dalam gelas lalu menatanya sedemikian rupa. Saking indahnya meja makan sederhana itu seakan disulap menjadi meja makan restoran mewah.Elena melirik ke arah jam. Jayden sebentar lagi akan pulang. Sekarang tinggal Elena merubah penampilannya untuk menyambut sang suami.Tidak perlu berlebihan. Cukup dengan pakaian seksi yang pasti akan membuat Jayden tergoda. Entah pria itu akan memakan makanannya atau justru 'memakan' Elena. Mengingat hal itu membuat Elena terkekeh sendiri. Jika bersama dirinya Jayden memang sangat sulit menolak.Elena sudah duduk dengan manis di kursi meja makan. Sesekali merilik jam dinding. Hingga tiga puluh menit berlalu, Jayden belum juga menampakkan batang hidungnya. Elena mulai merasa gelisah membuat dia memutuskan menghubungi pria itu."Halo, Sayang," kata Elena saat sambungan telponnya diterima."Oh, halo," balas Jayden."K