Happy reading...Jayden membanting dengan kasar dokumen serta foto-foto yang baru saja diberikan Roy padanya. Pria itu memijit pelipisnya lembut. Kepalanya terasa akan pecah karena emosi yang mulai menguasai dirinya. Sementara pria di hadapannya hanya bisa menunduk tak berani menatap sang bos. Ingat, Jayden yang sedang marah terlihat sangat menyeramkan di mata Roy."Bagaimana mungkin Hera bisa bangkit secepat itu?" geramnya hingga membuat rahangnya mengeras.Dalam foto yang diberikan Roy terlihat jika Hera telah mendiami sebuah rumah yang lumayan besar dan dalam dokumen juga tertera jika Hera telah mengambil alih kembali perusahaan sang ayah.Bagaimana mungkin Hera bisa melakukan itu sekaligus? Seharusnya dia datang pada Jayden, memohon padanya dengan wajah memelas penuh air mata. Tapi apa yang terjadi sekarang, Hera malah bersenang-senang dengan wajah cantiknya yang mempesona.Brengsek!"Properti rumah yang ditinggali Nona Hera sekarang atas namanya sendiri. Itulah sebabnya Anda tida
Happy reading...Rasa gugup itu menyerang Hera membuat telapak tangannya berkeringat. Hari adalah hari pertamanya bertemu para klien yang akan membantunya, membangun kembali perusahaan sang ayah.Walau telah mengenyam pendidikan di bidang bisnis, tak serta merta membuat Hera bisa tenang. Saat kuliah dulu dia membayangkan Andrew, sang ayah yang akan mengajarinya bagaimana cara mengelolah bisnis real estate tersebut. Namun takdir berkata lain, di mana Hera harus bekerja sendiri. Belajar sendiri. Rasanya benar-benar sulit. Sungguh.Lihat. Padahal para klien akan datang lima belas menit lagi tapi kegelisahan Hera tak kunjung reda."Apa aku harus minum obat penenang?" gumamnya pelan. "Tidak!" Tapi pada detik ketiga dia segera menggeleng. Juan masih meminum ASI-nya dan Hera tidak ingin putranya ikut mengkonsumsi apa yang dia konsumsi. Apalagi obat. Hal itu bisa berakibat fatal.Menarik napas lalu membuangnya pelan berulang kali dengan ritme tetap. Hera berharap apa yang dia lakukan sekaran
Happy reading...Hera menghela napas berat saat melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Suasana riuh dari ruang tamu sudah terdengar bahkan sebelum dia melewati pintu utama. Itu suara Juan dan Anne. Sepertinya mereka sedang asyik bermain. Tanpa sadar Hera tersenyum lembut sembari mempercepat langkahnya. Dia ingin segera bertemu putra kecilnya.Langkah Hera sedikit melambat saat melihat ternyata tidak hanya ada Juan dan Anne di sana."Hera, kau sudah pulang?" Pertanyaan Anne membuat sosok yang sedang duduk membelakangi Hera berbalik.Itu Haidar.Pria itu tersenyum lebar menampilkan gummy smile-nya yang begitu khas."Hai, Hera!" sapa Haidar."Hai!" balas Hera. "Aku akan membersihkan diriku dulu," lanjutnya kemudian berlalu dari sana.Juan yang terlalu asyik bermain dengan Haidar pun sampai tidak menyadari kehadiran Hera. Juan memang seperti itu jika sudah bermain dengan seorang pria. Hera berpikir, apakah Juan merindukan ayahnya? Mungkin saja. Tapi sejak sidang perceraian, Jayden mem
Happy reading..."Anda yakin ingin menanganinya?" tanya Jonatan dengan wajah sedikit ragu. Pasalnya ini adalah pekerjaan pertama Hera dan dia sudah nekad ingin menangani pekerjaan yang lumayan sulit. Dan jika sampai gagal, mungkin mereka akan kehilangan segalanya lagi."Jika sendiri ... mungkin saya akan ragu dengan kemampuan saya, namun saya punya Anda Pak Jonatan. Saya yakin kita bisa menanganinya," kata Hera mencoba meyakinkan pria itu sekaligus meyakinkan dirinya sendiri.Seperti yang dia katakan beberapa hari yang lalu. Hera ingin membuktikan pada semua orang yang telah meremehkan kemampuannya, jika dia bisa membuat perusahaan itu kembali bangkit. Walau harus mengambil resiko besar, Hera akan mencobanya.Jonatan yang melihat semangat Hera berkobar-kobar hanya bisa tersenyum simpul. Wanita itu memiliki watak sang ayah. Pantang menyerah dan ambisius."Baiklah, Bu. Saya pasti akan membantu Anda," kata Jonatan pada akhirnya membuat keduanya tersenyum lebar.Mengambil pekerjaan lebih,
Happy reading...Hera mengerjabkan matanya beberapa kali. Mencoba membiasakan cahaya yang menurutnya sangat terang menerobos matanya."Hera, kau sudah sadar?" tanya seseorang di samping Hera. Pandangan wanita itu masih kabur membuatnya tidak bisa melihat jelas siapa sosok itu."Haidar?" lirih Hera saat pandangannya sudah mulai fokus."Iya, Hera. Ini aku," ujar Haidar menggenggam tangan Hera lembut.Hera segera terbangun saat mengingat kejadian terakhir sebelum dia pingsan. Mengumpulkan semua kesadarannya dengan cepat."Juan ... di mana Juan? Aku harus bertemu Juan," kata Hera dengan raut wajah panik.Tanpa mengatakan apapun, Haidar membantu Hera untuk bertemu dengan Juan. Betapa kagetnya wanita itu saat melihat putra kecilnya sedang berbaring tak sadarkan diri di dalam ruang ICU. Tubuh Hera terasa tak bertulang membuatnya jatuh terduduk dengan air mata yang sudah mengucur dengan deras di kedua pipinya."Ju---Juan ... putraku," lirih Hera. Haidar yang berada di samping wanita itu pun
Happy reading..."Maafkan Ibu, Hera ... hiks." Anne duduk di samping Hera. Terisak. Membawa tubuh lemah itu ke dalam dekapannya. Ara yang juga sudah sejak tadi menangis, kini duduk bersimpuh di depan Hera. Sungguh dia merasa sangat bersalah."Ini semua salah saya, Nyonya. Seharusnya saya bisa menjaga Baby Juan dengan lebih baik. Sungguh saya minta maaf walau saya tahu maaf saya tidak akan bisa mengubah apapun ... hiks." Ara terisak lirih. Beberapa kali mengusap air matanya yang mengucur deras.Jika bisa, tentu saja Hera akan marah besar pada dua wanita itu seperti yang Jayden lakukan tadi. Tapi Hera tidak bisa melakukannya. Karena Hera merasa jika dirinya pun salah. Seharusnya sebagai seorang ibu, Heralah yang menjaga Juan. Lagi, Ara dan Anne adalah dua wanita selain dirinya yang juga sangat menyayangi Juan lebih dari apapun.Tanpa mengeluarkan sepatah katapun Hera membawa tubuh Ara ikut duduk bersamanya. Berpelukan untuk saling menguatkan. Suasana haru menyelimuti koridor rumah saki
Happy reading...."Saat itu ... apakah kau sungguh sudah punya hubungan dengan Jayden?"Senyum palsu yang Elena tampilkan beransur pudar. Menelan salivanya pelan, Elena menjawab dengan tenang, "Iya. Bahkan jauh sebelum Anda menjodohkan Jayden dan Hera kami sudah menjadi pasangan kekasih."Pernyataan yang begitu jujur dan gamblang. Lagipula kenapa Elena harus menutupi hubungan mereka lagi? Toh, sebentar lagi dia akan menikah dengan Jayden.Jane terlihat tak terkejut dengan pengakuan Elena. Apakah wanita itu sudah tahu sebelumnya? Hanya sedang mengkonfirmasi saja untuk membenarkan argumennya. Kemungkinan besar iya.Wanita itu tersenyum simpul. "Seharusnya Jayden mengatakan hal ini pada kami saat itu," ujar Jane."Apakah jika Jayden mengatakan jika kami berhubungan, perjodohan itu tidak akan terjadi?" Mereka saling menatap untuk beberapa detik. Lalu gelengan kepala Jane menjawab pertanyaan Elena. Wanita muda itu mendengus pelan. Tidak akan ada yang berubah ternyata. Jayden memang harus
Happy reading..."Bagaimana keadaan Juan, Dok?" tanya Hera dengan raut wajah gelisahnya."Syukurlah, keadaannya beransur membaik," jawab sang dokter membuat Hera tak bisa menahan senyuman haru seraya bernapas lega. Tak jauh berbeda dengan orang-orang yang juga ada di sana. Ara dan Haidar yang setia menemani Hera menjaga Juan. Bahkan saking bahagianya mendengar putranya sudah membaik, Hera tidak sadar jika sekarang dirinya tengah memeluk Haidar dengan erat."Ah, maafkan aku," ujar Hera canggung saat sadar apa yang dia lakukan. Apalagi tak hanya ada mereka berdua di sana. Haidar hanya tersenyum maklum di sana. "Kalau begitu saya permisi," kata dokter Emi pamit."Iya, Dok. Terimakasih," balas Hera tersenyum tipis.Hera kemudian menghampiri tempat tidur Juan. Diraihnya tangan mungil itu lalu diciumnya beberapa kali."Terimakasih, Nak, sudah bertahan. Cepat sembuh ya. Ibu sudah sangat rindu ingin bermain dengan Juan," lirih Hera. Tatapan matanya memancarkan kerinduan yang teramat sangat p