“Mas, kamu sudah pulang?” Dengan wajah merekah, Salma melangkah cepat setelah turun dari tangga, menghampiri Sang suami yang masih memegang gelas berisi air putih di tangannya. Lalu, ia memeluknya dengan erat dari arah belakang. Tak lupa pula, kepala yang berselimut jilbab ala kadarnya dilekatkan pada punggung lebar Sang suami. Terasa sangat nyaman.
“Kamu apa-apaan, sih? Aku baru pulang, masih capek, sudah ditubruk begitu.” Rofiq melepaskan pelukan Salma sedikit kasar. Ia lalu meletakan gelas dari tangannya, dan pergi menuju kamar tamu.
Seketika Salma terkejut. Kakinya melangkah mundur perlahan. Ia merasa sangat malu pada pria yang sudah berstatus menjadi suaminya itu. Bagaimana tidak? Secara tiba-tiba, pelukan nyaman Sang istri ditepis begitu saja. Padahal, penantiannya sejak kemarin sangat melelahkan. Berharap, segera berakhir dengan kepulangan Rofiq pagi ini.
Namun sayang, tidak dengan yang dirasakan suaminya. Pria itu bahkan, pulangnya saja tidak memberi kabar, apalagi menghampiri dirinya yang tengah sendiri di kamar pengantin. Kamar yang tidak dihiasi bunga mawar di atas kasur, atau hiasan lain layaknya kamar pengantin baru. Tapi setidaknya kamar itu ditunjukkan Mbok Marni untuk dirinya. Yang Salma fikir pun, itu adalah kamar Sang suami juga.
Salma merasakan sesuatu benda berat menindih dadanya secara tiba-tiba. Sangat sesak. Untuk bernafas pun perlu diatur, agar oksigen bisa keluar masuk dengan normal. Tapi tetap tidak bisa. Ia menghela nafas panjang, mengatur perlahan untuk mengeluarkan karbondioksida menyakitkan yang sempat memenuhi rongga dadanya.
Salma lalu berjalan menuju kursi ruang makan, dan menariknya untuk secepatnya ia duduki. Meski hanya tiga langkah jaraknya, Salma terasa berat mengayunkan kaki itu. Baru kali ini, hatinya disandung kalimat yang cukup menggetarkan. Terlebih lagi, itu keluar dari bibir Sang suami.
“Jangan dimasukkan ke hati, Non. Den Rofiq memang begitu.” Mbok Marni kembali menjelaskan dengan nada lembut tentang majikannya itu. “Den Rofiq akan bersikap begitu kalo merasa lelah. Jadi, Non Salma harus sedikit mengerti, ya.” Mbok Marni kembali melanjutkan.
Lagi-lagi, Salma yang harus memaklumi sikap Sang suami. Setelah insiden menunggu siang tadi, ia harus kembali menerima insiden berikutnya, seperti yang terjadi baru saja. Bukan ia tidak mau, akan tetapi ketidaktahuan Salma akan sifat asli Rofiq, membuatnya begitu terkejut saat awal mengetahuinya. Ia hanya merasa tidak menyangka, apa yang Salma nilai sebelumnya, sangat berbeda dari faktanya.
Salma tidak menjawab penuturan Mbok Marni. Ia sedang berusaha menahan buliran yang sudah memenuhi pelupuk matanya. Tetap saja, ditahan sekuat tenaga, air mata itu tetap luruh dengan derasnya.
Sejak mulai tumbuh benih cinta Salma pada Rofiq beberapa tahun lalu, ia memang tidak pernah kenal dekat dengan pria yang sudah menjadi suaminya itu. Hanya sebatas menyapa saat bertemu di jalan. Itu pun sangat jarang. Karena bagi Salma, bisa melihat pria yang dicintainya dari kejauhan saja sudah membahagiakan hatinya.
Selama beberapa tahun, pandangan positif yang ia fikirkan tentang Rofiq ternyata salah. Pria yang mendadak melamarnya satu minggu lalu itu ternyata tidak sebaik apa yang dibayangkan selama ini. Tidak sehangat apa yang ia rasakan dulu. Tidak selembut tutur kata yang pernah Salma dengarkan.
Atau mungkin, benar apa yang dikatakan mbok Marni. Suaminya sedang lelah setelah pulang dari pamit bekerja kemarin. Atau bisa jadi, ada kerjaan yang sedang bermasalah, yang tentu mempengaruhi emosinya. Ah, bisa jadi. Salma jadi merasa bersalah dengan sangkaannya tadi. Ia sudah terlanjur lebih dulu bersu’udzon pada pria yang belum genap 24 jam menjadi suaminya.
“Apakah mas Rofiq sedang mandi, Mbok?” Salma beranjak dari duduknya, dan menghampiri asisten rumah tangga suaminya yang mulai sibuk dengan pekerjaan rutinnya.
“Iya, Non. Den Rofiq baru ajah akan mandi. Mbok yang siapkan air hangat ke kamar tamu di sana.” Mbok Marni menunjukkan kamar tempat majikannya membersihkan badan.
“Kenapa tadi gak bilang saya, Mbok. Kan, biar saya yang siapkan saja. Saya sudah jadi istri mas Rofiq, Mbok,” ujar Salma lembut. Meski hatinya masih sakit dengan sikap Sang suami yang tiba-tiba, Salma tetap saja memikirkan apa yang dibutuhkan suaminya itu. “Ya, sudah, Mbok. Aku siapkan pakaiannya saja. Semua baju, di kamar itu juga, Mbok?”
Sejak baru pindah ke rumah ini kemarin siang, Salma belum tahu benar isi di dalamnya, termasuk kebiasaan pria yang sudah resmi menjadi suaminya, juga tempat berisi peralatan pribadi Rofiq. Padahal, ia harus mengetahuinya demi melancarkan niatnya mengabdi pada Sang suami.
“Iya, Non. Kamar tamu itu sudah jadi kamar Den Rofiq. Beliau lebih memilih kamar itu karena berada di lantai bawah,” jawab Mbok Marni menjelaskan.
“Tapi, kenapa saya ditunjukkan kamar yang di atas, Mbok? Kenapa gak di situ ajah sama mas Rofiq?” tanya Salma heran. Ia menatap lekat ke Mbok Marni yang nampak sendu.
“Den Rofiq yang menyuruh Si Mbok, Non. Mbok juga gak tau alasannya.”
Hah? Mas Rofiq yang menyuruh? Tapi, kenapa? Masa, iya, dia tidak mau berada dalam satu kamar dengan istrinya sendri. Sangat aneh. Atau, mungkin mas Rofiq mau ikut pindah juga ke kamar atas. Hanya saja belum ada waktu untuk membereskan. “Ah, positif thinking ajah, sih, Sal. Tadi saja sudah bersu’udzon. Masa su’udzon lagi,” ujar Salma bermonolog. (*)
Tidak ingin sangkaan buruk itu membayanginya terus menerus, Salma memutuskan untuk tidak akan lagi bertanya pada mbok Marni. Lebih baik, ia tanyakan langsung pada Rofiq—suaminya, agar lebih jelas.“Ya, sudah, Mbok. Saya ke kamar itu dulu. Untuk makan mas Rofiq, biar saya yang masak ajah, ya, Mbok?”“Iya, Non,” jawab mbok Marni pendek, seraya melempar senyum pada Salma yang sudah melangkah menuju kamar suaminya.Sesampainya di kamar, Salma segera menyiapkan pakaian untuk dikenakan Sang suami. Ia membuka lemari, dan mengambil satu kaos dalaman putih dan kemeja biru beserta celana kerja berwarna hitam. Juga mengambil kaos santai dan celana sebatas lutut, karena barangkali suaminya masih ingin santai di rumah. Waktu menuju jam kerja masih ada dua jam lagi.“Siap juga,” gumam Salma lirih, setelah meletakan semua yang sudah dipersiapkan.Tak lama setelah itu, terdengar suara adzan yang begitu merdu dari masjid di
Kali ini, Salma tidak bisa lagi membendung buliran yang sudah memenuhi pelupuk matanya. Di atas gelaran sajadah, ia menumpahkan buliran mata yang tersimpan selama beberapa waktu. Kenapa sikap mas Rofiq tidak lagi seperti sebelum menikah? Apa itu memang sifat aslinya? Atau karena ada kesalahan yang Salma lakukan, tetapi suaminya tidak memberitahu?Salma hanya bisa menerka-nerka tentang itu. Ia pun belum berani menanyakan langsung pada Sang suami. Karena Rofiq nampak masih kesal melihat dirinya.Setengah jam Salma menenangkan diri di dalam kamar, terdengar suara ketukan dari balik pintu kamarnya. Sambil mengusap mata dan pipi yang masih basah, Salma berjalan gontai menuju pintu untuk segera membukanya.“Mbok Marni,” serunya pelan.“Sudah jam setengah enam, Non, waktunya menyiapkan sarapan buat Den Rofiq. Saya atau Non Salma yang mau menyiapkan?” tanya mbok Marni memastikan. Pesan Salma sebelum subuh tadi, membuat ia harus meminta iji
Pagi ini, hati Salma kembali dirundung gundah yang mendalam. Hatinya begitu hancur, saat melihat kenyataan tentang sikap Sang suami padanya. Sangat berbeda sekali waktu sebelum akad nikah kemarin. Dia bahkan menjanjikan kebahagiaan untuk dirinya yang tentu sudah Salma harapkan sejak lama.Namun sejak Salma pindah ke rumah ini, belum pernah sekalipun ia merasakan kehangatan dari Rofiq—suaminya. Dia begitu sangat dingin. Jangankan menyapa dulu, ditanyai pun begitu nampak ketidaksukaan di raut wajah tampannya. Entah kenapa dia seperti itu. Apakah karena masalah kerjaan di kantor? Atau karena dia memang tidak menginginkan pernikahan ini?Saat ini, Salma hanya bisa termenung di kamarnya. Melontarkan banyak pertanyaan yang terkumpul di otaknya, tanpa bisa mendapatkan jawaban.***“Lintang,” seru Rofiq lirih, seraya menghampiri wanita yang terbalut dress merah maroon duduk di kursi depan meja kerjanya. Rambut panjangnya tergerai indah, hingga s
Sore ini, Rofiq pulang ke rumah lebih cepat dari biasanya. Meeting yang sempat direncanakan setelah jam kerja pun, terpaksa ditunda sampe besok pagi. Rofiq berencana untuk meminta maaf pada Salma atas sikap dinginnya selama ini, sembari memberikan hadiah paket bunga sebagai bentuk keseriusannya. Padahal, rencana itu Rofiq lakukan hanya demi memuluskan rencana busuknya.Setelah berlalu dari toko bunga langganannya, Rofiq melajukan lagi mobilnya ke arah jalan ke rumahnya. Sesampainya di rumah, tempat yang ia tuju pertama kali adalah keberadaan Salma. Namun, penelusurannya ke setiap sudut ruangan di rumahnya, masih belum membuahkan hasil. Salma tidak ia temukan di mana-mana.“Mbok Marni, Salma dimana?” Rofiq menghampiri mbok Marni yang tengah menyetrika.“Eh, Den. Sudah pulang? Tadi, mbok lihat non Salma di kursi panjang dekat kolam renang, Den,” sahut mbok Marni sambil terus melanjutkan pekerjaannya.Rofiq bergegas melangkah menuju t
“Mas, boleh tanya sesuatu?” Salma membuka obrolan setelah selesai makan malam. Posisinya masih duduk di ruang makan. Begitu pula dengan Rofiq—suaminya.“Iya, Dik. Ngomong ajah,” ujar Rofiq mempersilakan.“Kenapa kamu menunjukkan kamarku yang di atas, sedangkan kamar yang kamu pake tidur di kamar itu?” Wajah Salma menunjuk ke arah kamar tamu yang ditempati Rofiq. “Kenapa kita gak sekamar, Mas?” lanjutnya lagi bertanya.Cukup lama Rofiq terdiam setelah pertanyaan Salma terlontar. Fikirannya mulai berkelana, mencari cara untuk bisa memberikan alasan akurat pada wanita yang mulai memasuki daerah pribadinya. Dia istrinya. Namun, Rofiq tidak menginginkan hal itu. Dia tidak ingin menjalani kehidupan rumah tangga layaknya orang lain. Jika bukan karena Lintang, Rofiq tidak akan pernah menjalani pernikahan palsunya itu.Namun, biar bagaimanapun dirinya tetap harus bisa berlakon sesuai rencana. Sesuai drama yang
Tanpa terasa, waktu sudah menjelang siang. Jarum jam pun sudah menunjuk di angka sebelas. Menandakan, satu jam lagi adalah jam istirahat para pekerja, termasuk Rofiq—suaminya. Salma sudah berniat akan mengantarkan makan siang ke kantor Rofiq. Tidak bertemu di pagi hari, setidaknya bisa di siang hari dengan mendatangi kantornya, dan memberikan kejutan makan siang padanya.Salma masih punya waktu satu jam lagi untuk sampai ke sana. Ia bergegas ke kamarnya untuk mempersiapkan diri. Berbekal alamat kantor yang Salma lihat di berkas kantor yang berada di kamar Rofiq, akhirnya ia bisa ke sana tanpa menanyakan pada Rofiq. Tentu karena ia ingin memberikan kejutan.Salma merasa, pria seperti Rofiq memang harus berpasangan dengan wanita agresif. Toh, status dirinya saat ini sudah sah menjadi istri Rofiq. Tentu wajar jika ia bersikap agresif pada suaminya sendiri.Hanya sepuluh menit saja, Salma sudah bersiap dengan gamis panjang berwarna coksu, dipadu dengan jilbab
Pandangan Salma terus menatap mengarah karyawati yang baru saja melangkah keluar, hingga sosok itu sirna oleh pintu yang tertutup. Bergegas, Salma memanfaatkan waktu kosong tanpa siapapun di kantor ini. Semua karyawan nampak sudah mulai menghabiskan waktu istirahat siang mereka. Salma bahkan tidak peduli dengan pesan karyawati tadi, supaya Salma tetap menunggu hingga tamu keluar dari ruang kerja Rofiq.Perlahan, Salma melekatkan tangan ke gagang pintu, sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling, untuk memastikan tidak ada yang akan menghentikan tindakannya. Dibukalah pintu itu dengan segera, sambil Salma berucap salam lirih, “Assalaamu’alaikum ...”Awalnya, nada salam itu masih terdengar di telinga. Namun perlahan nadanya turun hingga nyaris tak terdengar, saat pandangan Salma dikejutkan dengan sosok yang berada di dalam ruang kerja suaminya itu.“Mas Rofiq!” seru Salma hingga tanpa sadar, bulatan matanya begitu terlihat.Bet
Hari ini, Rofiq merasa begitu kesal. Bagaimana tidak? Waktu berduaan dengan Lintang ketika makan siang, harus pupus dengan kehadiran Salma yang tiba-tiba. Padahal, Lintang baru menemaninya setengah jam. Biasanya, dia akan berada di ruang kerja Rofiq selama satu jam lamanya.Dan sore ini, rencana Rofiq yang akan pulang ke apartemennya pun harus gagal. Karena sejak siang, Salma benar-benar menunggu dirinya untuk pulang bersama. Tentu saja, dengan berat hati ia mengantarkan istrinya itu pulang dalam satu mobil.Selain rumah pribadi, apartemen yang Rofiq beli atas nama Lintang adalah tempat kedua ia bersinggah. Tidak hanya bersinggah, tetapi juga bersenang-senang karena terkadang Lintang pun berada di sana. Rofiq akan menghabiskan waktu di apartemennya, jika hatinya terasa gundah, seperti yang dialaminya sekarang.“Mau temani aku gak, Mas?” Salma membuka obrolan di tengah-tengah perjalanan pulang ke rumah.Rofiq yang tengah fokus mengemudi, hanya
Hari ini, Rofiq merasa begitu kesal. Bagaimana tidak? Waktu berduaan dengan Lintang ketika makan siang, harus pupus dengan kehadiran Salma yang tiba-tiba. Padahal, Lintang baru menemaninya setengah jam. Biasanya, dia akan berada di ruang kerja Rofiq selama satu jam lamanya.Dan sore ini, rencana Rofiq yang akan pulang ke apartemennya pun harus gagal. Karena sejak siang, Salma benar-benar menunggu dirinya untuk pulang bersama. Tentu saja, dengan berat hati ia mengantarkan istrinya itu pulang dalam satu mobil.Selain rumah pribadi, apartemen yang Rofiq beli atas nama Lintang adalah tempat kedua ia bersinggah. Tidak hanya bersinggah, tetapi juga bersenang-senang karena terkadang Lintang pun berada di sana. Rofiq akan menghabiskan waktu di apartemennya, jika hatinya terasa gundah, seperti yang dialaminya sekarang.“Mau temani aku gak, Mas?” Salma membuka obrolan di tengah-tengah perjalanan pulang ke rumah.Rofiq yang tengah fokus mengemudi, hanya
Pandangan Salma terus menatap mengarah karyawati yang baru saja melangkah keluar, hingga sosok itu sirna oleh pintu yang tertutup. Bergegas, Salma memanfaatkan waktu kosong tanpa siapapun di kantor ini. Semua karyawan nampak sudah mulai menghabiskan waktu istirahat siang mereka. Salma bahkan tidak peduli dengan pesan karyawati tadi, supaya Salma tetap menunggu hingga tamu keluar dari ruang kerja Rofiq.Perlahan, Salma melekatkan tangan ke gagang pintu, sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling, untuk memastikan tidak ada yang akan menghentikan tindakannya. Dibukalah pintu itu dengan segera, sambil Salma berucap salam lirih, “Assalaamu’alaikum ...”Awalnya, nada salam itu masih terdengar di telinga. Namun perlahan nadanya turun hingga nyaris tak terdengar, saat pandangan Salma dikejutkan dengan sosok yang berada di dalam ruang kerja suaminya itu.“Mas Rofiq!” seru Salma hingga tanpa sadar, bulatan matanya begitu terlihat.Bet
Tanpa terasa, waktu sudah menjelang siang. Jarum jam pun sudah menunjuk di angka sebelas. Menandakan, satu jam lagi adalah jam istirahat para pekerja, termasuk Rofiq—suaminya. Salma sudah berniat akan mengantarkan makan siang ke kantor Rofiq. Tidak bertemu di pagi hari, setidaknya bisa di siang hari dengan mendatangi kantornya, dan memberikan kejutan makan siang padanya.Salma masih punya waktu satu jam lagi untuk sampai ke sana. Ia bergegas ke kamarnya untuk mempersiapkan diri. Berbekal alamat kantor yang Salma lihat di berkas kantor yang berada di kamar Rofiq, akhirnya ia bisa ke sana tanpa menanyakan pada Rofiq. Tentu karena ia ingin memberikan kejutan.Salma merasa, pria seperti Rofiq memang harus berpasangan dengan wanita agresif. Toh, status dirinya saat ini sudah sah menjadi istri Rofiq. Tentu wajar jika ia bersikap agresif pada suaminya sendiri.Hanya sepuluh menit saja, Salma sudah bersiap dengan gamis panjang berwarna coksu, dipadu dengan jilbab
“Mas, boleh tanya sesuatu?” Salma membuka obrolan setelah selesai makan malam. Posisinya masih duduk di ruang makan. Begitu pula dengan Rofiq—suaminya.“Iya, Dik. Ngomong ajah,” ujar Rofiq mempersilakan.“Kenapa kamu menunjukkan kamarku yang di atas, sedangkan kamar yang kamu pake tidur di kamar itu?” Wajah Salma menunjuk ke arah kamar tamu yang ditempati Rofiq. “Kenapa kita gak sekamar, Mas?” lanjutnya lagi bertanya.Cukup lama Rofiq terdiam setelah pertanyaan Salma terlontar. Fikirannya mulai berkelana, mencari cara untuk bisa memberikan alasan akurat pada wanita yang mulai memasuki daerah pribadinya. Dia istrinya. Namun, Rofiq tidak menginginkan hal itu. Dia tidak ingin menjalani kehidupan rumah tangga layaknya orang lain. Jika bukan karena Lintang, Rofiq tidak akan pernah menjalani pernikahan palsunya itu.Namun, biar bagaimanapun dirinya tetap harus bisa berlakon sesuai rencana. Sesuai drama yang
Sore ini, Rofiq pulang ke rumah lebih cepat dari biasanya. Meeting yang sempat direncanakan setelah jam kerja pun, terpaksa ditunda sampe besok pagi. Rofiq berencana untuk meminta maaf pada Salma atas sikap dinginnya selama ini, sembari memberikan hadiah paket bunga sebagai bentuk keseriusannya. Padahal, rencana itu Rofiq lakukan hanya demi memuluskan rencana busuknya.Setelah berlalu dari toko bunga langganannya, Rofiq melajukan lagi mobilnya ke arah jalan ke rumahnya. Sesampainya di rumah, tempat yang ia tuju pertama kali adalah keberadaan Salma. Namun, penelusurannya ke setiap sudut ruangan di rumahnya, masih belum membuahkan hasil. Salma tidak ia temukan di mana-mana.“Mbok Marni, Salma dimana?” Rofiq menghampiri mbok Marni yang tengah menyetrika.“Eh, Den. Sudah pulang? Tadi, mbok lihat non Salma di kursi panjang dekat kolam renang, Den,” sahut mbok Marni sambil terus melanjutkan pekerjaannya.Rofiq bergegas melangkah menuju t
Pagi ini, hati Salma kembali dirundung gundah yang mendalam. Hatinya begitu hancur, saat melihat kenyataan tentang sikap Sang suami padanya. Sangat berbeda sekali waktu sebelum akad nikah kemarin. Dia bahkan menjanjikan kebahagiaan untuk dirinya yang tentu sudah Salma harapkan sejak lama.Namun sejak Salma pindah ke rumah ini, belum pernah sekalipun ia merasakan kehangatan dari Rofiq—suaminya. Dia begitu sangat dingin. Jangankan menyapa dulu, ditanyai pun begitu nampak ketidaksukaan di raut wajah tampannya. Entah kenapa dia seperti itu. Apakah karena masalah kerjaan di kantor? Atau karena dia memang tidak menginginkan pernikahan ini?Saat ini, Salma hanya bisa termenung di kamarnya. Melontarkan banyak pertanyaan yang terkumpul di otaknya, tanpa bisa mendapatkan jawaban.***“Lintang,” seru Rofiq lirih, seraya menghampiri wanita yang terbalut dress merah maroon duduk di kursi depan meja kerjanya. Rambut panjangnya tergerai indah, hingga s
Kali ini, Salma tidak bisa lagi membendung buliran yang sudah memenuhi pelupuk matanya. Di atas gelaran sajadah, ia menumpahkan buliran mata yang tersimpan selama beberapa waktu. Kenapa sikap mas Rofiq tidak lagi seperti sebelum menikah? Apa itu memang sifat aslinya? Atau karena ada kesalahan yang Salma lakukan, tetapi suaminya tidak memberitahu?Salma hanya bisa menerka-nerka tentang itu. Ia pun belum berani menanyakan langsung pada Sang suami. Karena Rofiq nampak masih kesal melihat dirinya.Setengah jam Salma menenangkan diri di dalam kamar, terdengar suara ketukan dari balik pintu kamarnya. Sambil mengusap mata dan pipi yang masih basah, Salma berjalan gontai menuju pintu untuk segera membukanya.“Mbok Marni,” serunya pelan.“Sudah jam setengah enam, Non, waktunya menyiapkan sarapan buat Den Rofiq. Saya atau Non Salma yang mau menyiapkan?” tanya mbok Marni memastikan. Pesan Salma sebelum subuh tadi, membuat ia harus meminta iji
Tidak ingin sangkaan buruk itu membayanginya terus menerus, Salma memutuskan untuk tidak akan lagi bertanya pada mbok Marni. Lebih baik, ia tanyakan langsung pada Rofiq—suaminya, agar lebih jelas.“Ya, sudah, Mbok. Saya ke kamar itu dulu. Untuk makan mas Rofiq, biar saya yang masak ajah, ya, Mbok?”“Iya, Non,” jawab mbok Marni pendek, seraya melempar senyum pada Salma yang sudah melangkah menuju kamar suaminya.Sesampainya di kamar, Salma segera menyiapkan pakaian untuk dikenakan Sang suami. Ia membuka lemari, dan mengambil satu kaos dalaman putih dan kemeja biru beserta celana kerja berwarna hitam. Juga mengambil kaos santai dan celana sebatas lutut, karena barangkali suaminya masih ingin santai di rumah. Waktu menuju jam kerja masih ada dua jam lagi.“Siap juga,” gumam Salma lirih, setelah meletakan semua yang sudah dipersiapkan.Tak lama setelah itu, terdengar suara adzan yang begitu merdu dari masjid di
“Mas, kamu sudah pulang?” Dengan wajah merekah, Salma melangkah cepat setelah turun dari tangga, menghampiri Sang suami yang masih memegang gelas berisi air putih di tangannya. Lalu, ia memeluknya dengan erat dari arah belakang. Tak lupa pula, kepala yang berselimut jilbab ala kadarnya dilekatkan pada punggung lebar Sang suami. Terasa sangat nyaman.“Kamu apa-apaan, sih? Aku baru pulang, masih capek, sudah ditubruk begitu.” Rofiq melepaskan pelukan Salma sedikit kasar. Ia lalu meletakan gelas dari tangannya, dan pergi menuju kamar tamu.Seketika Salma terkejut. Kakinya melangkah mundur perlahan. Ia merasa sangat malu pada pria yang sudah berstatus menjadi suaminya itu. Bagaimana tidak? Secara tiba-tiba, pelukan nyaman Sang istri ditepis begitu saja. Padahal, penantiannya sejak kemarin sangat melelahkan. Berharap, segera berakhir dengan kepulangan Rofiq pagi ini.Namun sayang, tidak dengan yang dirasakan suaminy