“Mas, kamu dimana? Kenapa sampe jam segini belum pulang? Ditelpon juga gak aktif. Semoga gak terjadi apa-apa sama kamu, Mas.”
Salma Aulia Sari, gadis berusia 24 tahun itu terus bergumam sendiri. Raut wajahnya sangat cemas. Menandakan hatinya tengah dirundung rasa khawatir mendalam. Bagaimana tidak? Suami yang sedang ditunggu kedatangannya masih belum nampak kehadirannya. Tidak pula memberi kabar untuk lebih sedikit menenangkan hatinya.
Berkali-kali ia menghubunginya via telepon, namun nomernya tidak juga aktif. Dikirim pesan singkat pun hanya centang satu. Rasanya semakin membuat hati Salma berkecamuk. Bukan marah yang ia rasakan, melainkan rasa khawatir jika ternyata ada sesuatu yang terjadi pada Sang suami.
Dengan perasaan berkecamuk, ia terus mondar-mandir di teras rumah, sambil sesekali mendongakkan kepala ke arah jalanan kanan kiri. Berharap, jika mobil yang ditumpangi Sang suami tiba-tiba muncul.
Pria yang belum sehari menyandang status sebagai suaminya itu hanya berpamitan akan pergi ke kantor. Pekerjaan mendadak menjadi alasan utamanya. Namun sampai sore, tidak jelas sosoknya. Ingin Salma menyusul ke kantornya, untuk memastikan keberadaanya yang sedang baik-baik saja, akan tetapi ia tidak mengetahui alamat kantor tempat Sang suami bekerja.
Selain karena ia tidak pernah menanyakan alamat kantor suaminya, Salma juga baru saja menginjakkan kaki di daerah ini. Daerah tempat suami tinggal dan menetap di sini. Tentu saja, ia tidak tahu menahu daerah yang baru ia singgahi itu.
Sejak awal sebelum menikah dengan Muhammad Rofiq Fadil, Salma sudah diwanti-wanti untuk mau diboyong langsung menuju rumah suaminya setelah akad nikah. Dan saat ini, ia sudah menjalani itu. Mengikuti ajakan suami ke rumah yang terletak di daerah perkotaan. Tepatnya di komplek perumahan elit di Jakarta.
Jarak dari kampung halaman Salma cukup jauh, memakan waktu empat jam lamanya di perjalanan. Namun, suaminya tetap mengijinkan jika sewaktu-waktu Salma ingin berkunjung ke rumah orang tuanya.
“Sudah mau maghrib, Non. Masuk dulu. Paling sebentar lagi Den Rofiq pulang.”
Suara lembut yang meneduhkan itu tiba-tiba membuyarkan pandangan Salma. Tatapannya kini beralih ke arah Mbok Marni, wanita berusia 60-an tahun yang sudah berdiri di muka pintu. Raut wajahnya tak kalah terlihat khawatir. Entah karena alasan apa. Namun, wajah itu nampak begitu teduh memandangi Salma.
“Memangnya, Mas Rofiq sudah biasa seperti ini, Mbok?” Salma memberanikan bertanya pada wanita yang sudah satu tahun bekerja di rumah ini. Setelah sebelumnya, ia hanya diam saja. Mengira, jika suaminya tidak akan membuatnya khawatir seperti ini.
“Sudah biasa, Non. Kadang malah pulang pagi atau siang.” Mbok Marni kembali menjelaskan.
“Masa, sih, Mbok?” tanya Salma heran. Ia memang tidak tahu, jika suaminya memiliki kebiasaan yang menurutnya kurang baik. Anggapannya yang mengira jika seorang Rofiq selalu bersikap disiplin dan teratur, ternyata salah.
Mbok Marni hanya tersenyum mengangguk. “Ayo, Non Salma, masuk dulu. Si Mbok sudah selesai masak. Barangkali Non Salma sudah lapar, karena belum makan sejak pertama sampai ke rumah ini.”
Salma menghela nafas panjang, membuang rasa sesak yang masih bersarang di dada, sebelum akhirnya ia masuk mengikuti langkah Mbok Marni ke ruang makan.
“Mau makan sekarang, Non?”
Salma hanya menanggapi pertanyaan Mbok Marni dengan gelengan. Tangannya masih sibuk menggeser-geser layar di ponselnya. “Enggak sekarang, Mbok. Nanti ajah, nunggu mas Rofiq pulang,” jawabnya setelah ada jeda beberapa detik.
“Apa, ini? Mas Rofiq tadi sempat aktif, tapi kenapa gak telepon balik?” Salma kembali bergumam, sambil menatap lekat layar ponselnya. Melihat Sang suami yang ternyata nomernya sudah aktif, Salma dengan sigap menekan fitur bergambar gagang telepon, lalu menunggu panggilannya diangkat.
Namun, tiga kali Salma menelpon nomer suaminya, tidak diangkat satu kalipun. Yang terakhir, justru malah direject. Tentu membuat dirinya semakin bertanya-tanya. Bagaimana mungkin panggilan dari istrinya tidak diangkat.
Kembali Salma menelpon untuk ke empat kalinya, berharap kali ini diangkat. Agar ia segera mengetahui kabar Sang suami yang sedang baik-baik saja. Namun sayang, nomernya kembali tidak aktif. Tidak bisa dihubungi lagi. Bahkan, pesan singkat sebelumnya pun hanya dibaca saja, tidak dibalas.
Hati Salma semakin berkecamuk. Degupan jantungnya pun berdetak lebih kencang dari normalnya. Tangannya masih sibuk mengetik papan keyboard di ponselnya, mengirim pesan lagi supaya ia tahu jika nanti nomer Sang suami kembali aktif.
Untuk ke sekian kalinya, Salma menghela nafas panjang, setelah pesan terakhir ia kirim, dan meletakan ponsel di atas meja. “Sebenarnya, kamu dimana, Mas? Kenapa pesanku gak kamu balas juga?” ucapnya, seraya mengusap-ngusap kedua tangan pada wajahnya. Menepis semua bayangan buruk yang mulai muncul dalam fikirannya. (*)
Untuk sedikit melegakan fikirannya, Salma melangkah gontai menuju kamarnya di lantai dua. Berharap, ada kabar baik jika kondisi hatinya sedang tenang.Di tengah-tengah lamunan Salma di balkon, terdengar lantunan adzan dari masjid yang tidak jauh dari rumah. Menandakan, waktu maghrib telah tiba. Salma yang masih terasa lesu, memaksa diri menuju ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Lalu, segera ia melaksanakan sholat.Berbagai macam keinginan dalam benaknya, Salma panjatkan dalam doa. Meminta pada yang Kuasa, agar segera dikabulkan. Salah satu impian kecil Salma adalah diberkahi pernikahannya dengan kucuran rahmat dan kebahagiaan.Jarum jam sudah menunjuk di angka tujuh lewat beberapa menit. Namun, belum juga ada tanda-tanda kabar dari Rofiq—suaminya. Ponsel yang sudah melekat di tangan juga sudah berkali-kali ditengoknya. Dan semua masih nihil. Rasa khawatir Salma semakin bertambah. Ia tidak bisa merasa tenang dalam beraktifitas. Fikirannya hanya tertu
“Mas, kamu sudah pulang?” Dengan wajah merekah, Salma melangkah cepat setelah turun dari tangga, menghampiri Sang suami yang masih memegang gelas berisi air putih di tangannya. Lalu, ia memeluknya dengan erat dari arah belakang. Tak lupa pula, kepala yang berselimut jilbab ala kadarnya dilekatkan pada punggung lebar Sang suami. Terasa sangat nyaman.“Kamu apa-apaan, sih? Aku baru pulang, masih capek, sudah ditubruk begitu.” Rofiq melepaskan pelukan Salma sedikit kasar. Ia lalu meletakan gelas dari tangannya, dan pergi menuju kamar tamu.Seketika Salma terkejut. Kakinya melangkah mundur perlahan. Ia merasa sangat malu pada pria yang sudah berstatus menjadi suaminya itu. Bagaimana tidak? Secara tiba-tiba, pelukan nyaman Sang istri ditepis begitu saja. Padahal, penantiannya sejak kemarin sangat melelahkan. Berharap, segera berakhir dengan kepulangan Rofiq pagi ini.Namun sayang, tidak dengan yang dirasakan suaminy
Tidak ingin sangkaan buruk itu membayanginya terus menerus, Salma memutuskan untuk tidak akan lagi bertanya pada mbok Marni. Lebih baik, ia tanyakan langsung pada Rofiq—suaminya, agar lebih jelas.“Ya, sudah, Mbok. Saya ke kamar itu dulu. Untuk makan mas Rofiq, biar saya yang masak ajah, ya, Mbok?”“Iya, Non,” jawab mbok Marni pendek, seraya melempar senyum pada Salma yang sudah melangkah menuju kamar suaminya.Sesampainya di kamar, Salma segera menyiapkan pakaian untuk dikenakan Sang suami. Ia membuka lemari, dan mengambil satu kaos dalaman putih dan kemeja biru beserta celana kerja berwarna hitam. Juga mengambil kaos santai dan celana sebatas lutut, karena barangkali suaminya masih ingin santai di rumah. Waktu menuju jam kerja masih ada dua jam lagi.“Siap juga,” gumam Salma lirih, setelah meletakan semua yang sudah dipersiapkan.Tak lama setelah itu, terdengar suara adzan yang begitu merdu dari masjid di
Kali ini, Salma tidak bisa lagi membendung buliran yang sudah memenuhi pelupuk matanya. Di atas gelaran sajadah, ia menumpahkan buliran mata yang tersimpan selama beberapa waktu. Kenapa sikap mas Rofiq tidak lagi seperti sebelum menikah? Apa itu memang sifat aslinya? Atau karena ada kesalahan yang Salma lakukan, tetapi suaminya tidak memberitahu?Salma hanya bisa menerka-nerka tentang itu. Ia pun belum berani menanyakan langsung pada Sang suami. Karena Rofiq nampak masih kesal melihat dirinya.Setengah jam Salma menenangkan diri di dalam kamar, terdengar suara ketukan dari balik pintu kamarnya. Sambil mengusap mata dan pipi yang masih basah, Salma berjalan gontai menuju pintu untuk segera membukanya.“Mbok Marni,” serunya pelan.“Sudah jam setengah enam, Non, waktunya menyiapkan sarapan buat Den Rofiq. Saya atau Non Salma yang mau menyiapkan?” tanya mbok Marni memastikan. Pesan Salma sebelum subuh tadi, membuat ia harus meminta iji
Pagi ini, hati Salma kembali dirundung gundah yang mendalam. Hatinya begitu hancur, saat melihat kenyataan tentang sikap Sang suami padanya. Sangat berbeda sekali waktu sebelum akad nikah kemarin. Dia bahkan menjanjikan kebahagiaan untuk dirinya yang tentu sudah Salma harapkan sejak lama.Namun sejak Salma pindah ke rumah ini, belum pernah sekalipun ia merasakan kehangatan dari Rofiq—suaminya. Dia begitu sangat dingin. Jangankan menyapa dulu, ditanyai pun begitu nampak ketidaksukaan di raut wajah tampannya. Entah kenapa dia seperti itu. Apakah karena masalah kerjaan di kantor? Atau karena dia memang tidak menginginkan pernikahan ini?Saat ini, Salma hanya bisa termenung di kamarnya. Melontarkan banyak pertanyaan yang terkumpul di otaknya, tanpa bisa mendapatkan jawaban.***“Lintang,” seru Rofiq lirih, seraya menghampiri wanita yang terbalut dress merah maroon duduk di kursi depan meja kerjanya. Rambut panjangnya tergerai indah, hingga s
Sore ini, Rofiq pulang ke rumah lebih cepat dari biasanya. Meeting yang sempat direncanakan setelah jam kerja pun, terpaksa ditunda sampe besok pagi. Rofiq berencana untuk meminta maaf pada Salma atas sikap dinginnya selama ini, sembari memberikan hadiah paket bunga sebagai bentuk keseriusannya. Padahal, rencana itu Rofiq lakukan hanya demi memuluskan rencana busuknya.Setelah berlalu dari toko bunga langganannya, Rofiq melajukan lagi mobilnya ke arah jalan ke rumahnya. Sesampainya di rumah, tempat yang ia tuju pertama kali adalah keberadaan Salma. Namun, penelusurannya ke setiap sudut ruangan di rumahnya, masih belum membuahkan hasil. Salma tidak ia temukan di mana-mana.“Mbok Marni, Salma dimana?” Rofiq menghampiri mbok Marni yang tengah menyetrika.“Eh, Den. Sudah pulang? Tadi, mbok lihat non Salma di kursi panjang dekat kolam renang, Den,” sahut mbok Marni sambil terus melanjutkan pekerjaannya.Rofiq bergegas melangkah menuju t
“Mas, boleh tanya sesuatu?” Salma membuka obrolan setelah selesai makan malam. Posisinya masih duduk di ruang makan. Begitu pula dengan Rofiq—suaminya.“Iya, Dik. Ngomong ajah,” ujar Rofiq mempersilakan.“Kenapa kamu menunjukkan kamarku yang di atas, sedangkan kamar yang kamu pake tidur di kamar itu?” Wajah Salma menunjuk ke arah kamar tamu yang ditempati Rofiq. “Kenapa kita gak sekamar, Mas?” lanjutnya lagi bertanya.Cukup lama Rofiq terdiam setelah pertanyaan Salma terlontar. Fikirannya mulai berkelana, mencari cara untuk bisa memberikan alasan akurat pada wanita yang mulai memasuki daerah pribadinya. Dia istrinya. Namun, Rofiq tidak menginginkan hal itu. Dia tidak ingin menjalani kehidupan rumah tangga layaknya orang lain. Jika bukan karena Lintang, Rofiq tidak akan pernah menjalani pernikahan palsunya itu.Namun, biar bagaimanapun dirinya tetap harus bisa berlakon sesuai rencana. Sesuai drama yang
Tanpa terasa, waktu sudah menjelang siang. Jarum jam pun sudah menunjuk di angka sebelas. Menandakan, satu jam lagi adalah jam istirahat para pekerja, termasuk Rofiq—suaminya. Salma sudah berniat akan mengantarkan makan siang ke kantor Rofiq. Tidak bertemu di pagi hari, setidaknya bisa di siang hari dengan mendatangi kantornya, dan memberikan kejutan makan siang padanya.Salma masih punya waktu satu jam lagi untuk sampai ke sana. Ia bergegas ke kamarnya untuk mempersiapkan diri. Berbekal alamat kantor yang Salma lihat di berkas kantor yang berada di kamar Rofiq, akhirnya ia bisa ke sana tanpa menanyakan pada Rofiq. Tentu karena ia ingin memberikan kejutan.Salma merasa, pria seperti Rofiq memang harus berpasangan dengan wanita agresif. Toh, status dirinya saat ini sudah sah menjadi istri Rofiq. Tentu wajar jika ia bersikap agresif pada suaminya sendiri.Hanya sepuluh menit saja, Salma sudah bersiap dengan gamis panjang berwarna coksu, dipadu dengan jilbab
Hari ini, Rofiq merasa begitu kesal. Bagaimana tidak? Waktu berduaan dengan Lintang ketika makan siang, harus pupus dengan kehadiran Salma yang tiba-tiba. Padahal, Lintang baru menemaninya setengah jam. Biasanya, dia akan berada di ruang kerja Rofiq selama satu jam lamanya.Dan sore ini, rencana Rofiq yang akan pulang ke apartemennya pun harus gagal. Karena sejak siang, Salma benar-benar menunggu dirinya untuk pulang bersama. Tentu saja, dengan berat hati ia mengantarkan istrinya itu pulang dalam satu mobil.Selain rumah pribadi, apartemen yang Rofiq beli atas nama Lintang adalah tempat kedua ia bersinggah. Tidak hanya bersinggah, tetapi juga bersenang-senang karena terkadang Lintang pun berada di sana. Rofiq akan menghabiskan waktu di apartemennya, jika hatinya terasa gundah, seperti yang dialaminya sekarang.“Mau temani aku gak, Mas?” Salma membuka obrolan di tengah-tengah perjalanan pulang ke rumah.Rofiq yang tengah fokus mengemudi, hanya
Pandangan Salma terus menatap mengarah karyawati yang baru saja melangkah keluar, hingga sosok itu sirna oleh pintu yang tertutup. Bergegas, Salma memanfaatkan waktu kosong tanpa siapapun di kantor ini. Semua karyawan nampak sudah mulai menghabiskan waktu istirahat siang mereka. Salma bahkan tidak peduli dengan pesan karyawati tadi, supaya Salma tetap menunggu hingga tamu keluar dari ruang kerja Rofiq.Perlahan, Salma melekatkan tangan ke gagang pintu, sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling, untuk memastikan tidak ada yang akan menghentikan tindakannya. Dibukalah pintu itu dengan segera, sambil Salma berucap salam lirih, “Assalaamu’alaikum ...”Awalnya, nada salam itu masih terdengar di telinga. Namun perlahan nadanya turun hingga nyaris tak terdengar, saat pandangan Salma dikejutkan dengan sosok yang berada di dalam ruang kerja suaminya itu.“Mas Rofiq!” seru Salma hingga tanpa sadar, bulatan matanya begitu terlihat.Bet
Tanpa terasa, waktu sudah menjelang siang. Jarum jam pun sudah menunjuk di angka sebelas. Menandakan, satu jam lagi adalah jam istirahat para pekerja, termasuk Rofiq—suaminya. Salma sudah berniat akan mengantarkan makan siang ke kantor Rofiq. Tidak bertemu di pagi hari, setidaknya bisa di siang hari dengan mendatangi kantornya, dan memberikan kejutan makan siang padanya.Salma masih punya waktu satu jam lagi untuk sampai ke sana. Ia bergegas ke kamarnya untuk mempersiapkan diri. Berbekal alamat kantor yang Salma lihat di berkas kantor yang berada di kamar Rofiq, akhirnya ia bisa ke sana tanpa menanyakan pada Rofiq. Tentu karena ia ingin memberikan kejutan.Salma merasa, pria seperti Rofiq memang harus berpasangan dengan wanita agresif. Toh, status dirinya saat ini sudah sah menjadi istri Rofiq. Tentu wajar jika ia bersikap agresif pada suaminya sendiri.Hanya sepuluh menit saja, Salma sudah bersiap dengan gamis panjang berwarna coksu, dipadu dengan jilbab
“Mas, boleh tanya sesuatu?” Salma membuka obrolan setelah selesai makan malam. Posisinya masih duduk di ruang makan. Begitu pula dengan Rofiq—suaminya.“Iya, Dik. Ngomong ajah,” ujar Rofiq mempersilakan.“Kenapa kamu menunjukkan kamarku yang di atas, sedangkan kamar yang kamu pake tidur di kamar itu?” Wajah Salma menunjuk ke arah kamar tamu yang ditempati Rofiq. “Kenapa kita gak sekamar, Mas?” lanjutnya lagi bertanya.Cukup lama Rofiq terdiam setelah pertanyaan Salma terlontar. Fikirannya mulai berkelana, mencari cara untuk bisa memberikan alasan akurat pada wanita yang mulai memasuki daerah pribadinya. Dia istrinya. Namun, Rofiq tidak menginginkan hal itu. Dia tidak ingin menjalani kehidupan rumah tangga layaknya orang lain. Jika bukan karena Lintang, Rofiq tidak akan pernah menjalani pernikahan palsunya itu.Namun, biar bagaimanapun dirinya tetap harus bisa berlakon sesuai rencana. Sesuai drama yang
Sore ini, Rofiq pulang ke rumah lebih cepat dari biasanya. Meeting yang sempat direncanakan setelah jam kerja pun, terpaksa ditunda sampe besok pagi. Rofiq berencana untuk meminta maaf pada Salma atas sikap dinginnya selama ini, sembari memberikan hadiah paket bunga sebagai bentuk keseriusannya. Padahal, rencana itu Rofiq lakukan hanya demi memuluskan rencana busuknya.Setelah berlalu dari toko bunga langganannya, Rofiq melajukan lagi mobilnya ke arah jalan ke rumahnya. Sesampainya di rumah, tempat yang ia tuju pertama kali adalah keberadaan Salma. Namun, penelusurannya ke setiap sudut ruangan di rumahnya, masih belum membuahkan hasil. Salma tidak ia temukan di mana-mana.“Mbok Marni, Salma dimana?” Rofiq menghampiri mbok Marni yang tengah menyetrika.“Eh, Den. Sudah pulang? Tadi, mbok lihat non Salma di kursi panjang dekat kolam renang, Den,” sahut mbok Marni sambil terus melanjutkan pekerjaannya.Rofiq bergegas melangkah menuju t
Pagi ini, hati Salma kembali dirundung gundah yang mendalam. Hatinya begitu hancur, saat melihat kenyataan tentang sikap Sang suami padanya. Sangat berbeda sekali waktu sebelum akad nikah kemarin. Dia bahkan menjanjikan kebahagiaan untuk dirinya yang tentu sudah Salma harapkan sejak lama.Namun sejak Salma pindah ke rumah ini, belum pernah sekalipun ia merasakan kehangatan dari Rofiq—suaminya. Dia begitu sangat dingin. Jangankan menyapa dulu, ditanyai pun begitu nampak ketidaksukaan di raut wajah tampannya. Entah kenapa dia seperti itu. Apakah karena masalah kerjaan di kantor? Atau karena dia memang tidak menginginkan pernikahan ini?Saat ini, Salma hanya bisa termenung di kamarnya. Melontarkan banyak pertanyaan yang terkumpul di otaknya, tanpa bisa mendapatkan jawaban.***“Lintang,” seru Rofiq lirih, seraya menghampiri wanita yang terbalut dress merah maroon duduk di kursi depan meja kerjanya. Rambut panjangnya tergerai indah, hingga s
Kali ini, Salma tidak bisa lagi membendung buliran yang sudah memenuhi pelupuk matanya. Di atas gelaran sajadah, ia menumpahkan buliran mata yang tersimpan selama beberapa waktu. Kenapa sikap mas Rofiq tidak lagi seperti sebelum menikah? Apa itu memang sifat aslinya? Atau karena ada kesalahan yang Salma lakukan, tetapi suaminya tidak memberitahu?Salma hanya bisa menerka-nerka tentang itu. Ia pun belum berani menanyakan langsung pada Sang suami. Karena Rofiq nampak masih kesal melihat dirinya.Setengah jam Salma menenangkan diri di dalam kamar, terdengar suara ketukan dari balik pintu kamarnya. Sambil mengusap mata dan pipi yang masih basah, Salma berjalan gontai menuju pintu untuk segera membukanya.“Mbok Marni,” serunya pelan.“Sudah jam setengah enam, Non, waktunya menyiapkan sarapan buat Den Rofiq. Saya atau Non Salma yang mau menyiapkan?” tanya mbok Marni memastikan. Pesan Salma sebelum subuh tadi, membuat ia harus meminta iji
Tidak ingin sangkaan buruk itu membayanginya terus menerus, Salma memutuskan untuk tidak akan lagi bertanya pada mbok Marni. Lebih baik, ia tanyakan langsung pada Rofiq—suaminya, agar lebih jelas.“Ya, sudah, Mbok. Saya ke kamar itu dulu. Untuk makan mas Rofiq, biar saya yang masak ajah, ya, Mbok?”“Iya, Non,” jawab mbok Marni pendek, seraya melempar senyum pada Salma yang sudah melangkah menuju kamar suaminya.Sesampainya di kamar, Salma segera menyiapkan pakaian untuk dikenakan Sang suami. Ia membuka lemari, dan mengambil satu kaos dalaman putih dan kemeja biru beserta celana kerja berwarna hitam. Juga mengambil kaos santai dan celana sebatas lutut, karena barangkali suaminya masih ingin santai di rumah. Waktu menuju jam kerja masih ada dua jam lagi.“Siap juga,” gumam Salma lirih, setelah meletakan semua yang sudah dipersiapkan.Tak lama setelah itu, terdengar suara adzan yang begitu merdu dari masjid di
“Mas, kamu sudah pulang?” Dengan wajah merekah, Salma melangkah cepat setelah turun dari tangga, menghampiri Sang suami yang masih memegang gelas berisi air putih di tangannya. Lalu, ia memeluknya dengan erat dari arah belakang. Tak lupa pula, kepala yang berselimut jilbab ala kadarnya dilekatkan pada punggung lebar Sang suami. Terasa sangat nyaman.“Kamu apa-apaan, sih? Aku baru pulang, masih capek, sudah ditubruk begitu.” Rofiq melepaskan pelukan Salma sedikit kasar. Ia lalu meletakan gelas dari tangannya, dan pergi menuju kamar tamu.Seketika Salma terkejut. Kakinya melangkah mundur perlahan. Ia merasa sangat malu pada pria yang sudah berstatus menjadi suaminya itu. Bagaimana tidak? Secara tiba-tiba, pelukan nyaman Sang istri ditepis begitu saja. Padahal, penantiannya sejak kemarin sangat melelahkan. Berharap, segera berakhir dengan kepulangan Rofiq pagi ini.Namun sayang, tidak dengan yang dirasakan suaminy