Seorang pria bertubuh tinggi dan berwajah tampan dengan hidung mancung sedang berdiri menatap sebuah lukisan. Aura dingin yang dipancarkan wajahnya, juga rahang tegas dan tatapan setajam elang itu semakin menunjukkan karismanya.
Pria berkebangsaaan Indonesia itu berdiri di depan sebuah lukisan. Menatap lekat lukisan yang menggambarkan wanita yang memeluk anak laki-laki, terlihat jika wanita yang dilukis bukanlah dari kalangan kaya.Kananda Dayyan Mahendra terus memandang lukisan yang ada di hadapannya, seolah dia sedang mengenang sesuatu yang tak mampu diucapkan.Kananda membaca tulisan di lukisan itu.‘Kebahagiaan tidak selalu tentang, berapa banyak materi yang dimiliki, tapi tentang berapa banyak rasa syukur atas apa yang dimiliki.’~ SEA.“SEA.” Nanda menyebut lirih nama penulis yang ada di lukisan itu.“Pak Nanda.” Seorang pria memanggil nama pria itu.Nanda menoleh dan melihat asistennya sudah berdiri di sampingnya.“Utusan Tuan Amber sudah menunggu Anda untuk jamuan. Anda diharapkan hadir ke sana,” kata asisten Nanda.Nanda hanya mengangguk lantas membalikkan badan untuk pergi, tapi sebelum itu dia kembali berhenti dan menoleh ke lukisan yang mampu membuatnya menatap lama.“Tanyakan ke panitia pameran, berapa harga lukisan ini. Aku ingin membelinya,” perintah Nanda.“Hah, apa Pak?” tanya asisten yang meminta atasannya mengulang pertanyaan.Nanda menyipitkan mata mendengar pertanyaan sang asisten, hingga kemudian membalas, “Apa aku perlu membawamu berobat ke dokter THT?”Asisten terkejut dan langsung menggelengkan kepala.“Tidak, Pak. Saya akan melakukan yang Anda perintahkan, tadi itu saya hanya memastikan jika tidak salah dengar.” Asisten itu memberi alasan agar tidak kena marah.Nanda hanya memberi ekspresi wajah datar sebelum kemudian pergi meninggalkan ruang pameran.Di sisi lain, seorang wanita memakai gaun biru muda dengan belahan dada rendah tampak berdiri menatap sebuah lukisan yang terpajang di ruang pameran sebuah gedung seni di luar negeri.Bibirnya tersenyum tipis melihat lukisan yang begitu indah dengan makna yang menyentuh.“Nona Sashi.”Wanita bergaun biru muda yang dipanggil Sashi itu menoleh. Dia memulas senyum ke wanita berkebangsaan asing yang menyapanya.“Bisa bicara sebentar?” tanya wanita itu.“Tentu.” Sashi mengangguk.Wanita itu mempersilakan Sashi berjalan ke arah yang ditunjuk.Sashi Eldar Abimand, wanita blasteran Indonesia-Prancis itu berjalan mengikuti arah dari wanita yang tadi memanggilnya.Sashi bicara dengan wanita yang tadi mengajaknya bicara berdua.“Ada apa?” tanya Sashi.“Lukisan Anda sudah terjual semua, hanya tinggal yang ada di ruang pameran,” jawab wanita yang ternyata pengurus pameran itu.“Baguslah.” Sashi terlihat begitu puas. “Tapi, tidak ada yang tahu kalau pelukisnya aku, kan?” tanya Sashi kemudian memastikan.“Tentu saja tidak, Nona. Anda tidak perlu cemas,” jawab wanita itu.Sashi mengangguk-angguk, selama ini memang merahasiakan identitasnya sebagai pelukis dan memilih menyandang profesi dokter muda di sebuah rumah sakit di Indonesia.“Anda akan menyumbangkan hasil penjualan seperti biasa?” tanya wanita itu.“Ya, lakukan seperti biasa. Pastikan anak-anak penderita kanker mendapatkan hasil penjualan lukisan. Aku serahkan semua kepadamu.”**Setelah selesai menikmati acara pameran. Sashi naik taksi menuju ke hotel. Namun, saat sedang dalam perjalanan, Sashi melihat seorang tunawisma yang kedinginan di bahu jalan. Dia meminta sopir taksi berhenti di dekat tunawisma yang kebetulan juga sudah dekat dengan hotel.“Permisi, Anda butuh mantel?” tanya Sashi ingin menawarkan mantelnya agar tunawisma itu tidak kedinginan di malam hari.Namun, ternyata niat baik Sashi malah menjadi bencana untuknya. Saat Sashi sedang menawari mantel, tiba-tiba beberapa pria muncul dari semak dan langsung menatap lapar ke wanita itu.Tentu saja Sashi terkejut dan panik, apalagi tunawisma itu pun ternyata satu kelompok dengan pria yang menyergahnya.“Kamu butuh teman untuk menghangatkan?” Seorang pria mulai merangsek mendekat, bahkan menyentuh lengan Sashi.Sashi tentu saja semakin panik. Dia menepis tangan pria yang menyentuhnya.“Jangan menyentuhku!” bentak Sashi. Ingin kabur tapi dia dikepung.Sashi ketakutan melihat pria-pria itu mengelilingi dan tersenyum penuh nafsu ke arahnya.“Bagaimana kalau kamu temani kami saja? Kami kebetulan sangat kesepian.” Seorang pria mencengkram lengan Sashi dengan kuat.“Lepaskan! Singkirkan tanganmu dariku!” pekik Sashi yang panik tapi berusaha kuat.“Ayolah!” Para pria itu mulai memaksa Sashi untuk ikut dengannya. Belum lagi dua dari pria itu menarik paksa mantel Sashi, memperlihatkan tubuh yang berbalut gaun tanpa penutup lain.Sashi berteriak dan mencoba memberontak tapi sia-sia. Dia mencium aroma alkohol dari napas para pria itu, membuat Sashi semakin panik karena mereka memaksanya ikut ke kegelapan.“Tidak, lepas!” teriak Sashi memberontak.Saat Sashi berusaha memberontak. Sebuah sinar terang dari lampu depan mobil menyilaukan semua mata.Sashi sampai memejamkan mata karena lampu menyorot ke arah mereka. Hingga dia melihat seorang pria turun dari mobil, berdiri tegap begitu gagah lantas membanting pintu mobil.“Apa begini cara kalian memperlakukan wanita?” Suara lugas, tegas dengan bariton tinggi itu menyelinap di telinga Sashi.Sashi mencoba memandang pria yang baru saja turun dari mobil, tapi silau lampu membuatnya tidak bisa melihat dengan jelas wajah pria itu.“Lepaskan dia!” perintah pria yang tak lain Nanda.“Tidak usah ikut campur urusan kami. Kamu tamu di sini, pergi saja jika tidak ingin babak belur!” perintah salah satu pria itu mengejek.Sashi menyilangkan kedua tangan di dada, jangan sampai mata jelalatan para pria itu melihat belahan dadanya. Dia lantas menatap pria yang datang sebagai penolongnya itu.“Mau tamu atau bukan, aku tidak akan membiarkan kalian melecehkan wanita!”Sashi melihat Nanda mengepalkan telapak tangan, hingga para pria berandalan itu menyerang dan mulai mengayunkan pukulan ke pria yang menolongnya.Sashi begitu syok melihat perkelahian itu, meski harus diakui dia kagum karena pria yang menolongnya menang dan mampu membuat para pria brengsek tadi terkapar tak berdaya.“Kamu baik-baik saja?” tanya Nanda sambil mendekat ke Sashi. Dia melepas jasnya saat mendekati Sashi.Sashi memandang sosok pria yang menolongnya. Sosok pria berkebangsaan Indonesia tempatnya tumbuh besar.Pria itu memakaikan jas ke tubuh Sashi, membuat wanita itu malah diam membeku tidak bisa mengalihkan pandangan.“Kamu baik-baik saja? Kamu mau ke mana? Biar aku antar.” Nanda memberi tawaran ke Sashi.“Aku--” Belum juga Sashi selesai menjawab. Dia melihat pria mesum tadi berdiri dengan belati di tangan.“Awas!” teriak Sashi panik karena pria yang sudah dihajar habis-habisan tadi berusaha menusuk Nanda.Nanda membalikkan badan dengan cepat, tapi terlambat menghindari belati pria tadi.Sashi begitu syok ketika melihat darah menetes hingga jatuh ke jalanan yang berbalut salju malam itu.Darah menetes di atas salju yang menumpuk di trotoar. Nanda menatap pria yang mencoba menusuknya terlihat panik. Dia berhasil menghalau belati menembus perut dengan cara menggenggamnya, membuat benda silver itu menggores telapak tangan.Pria tadi panik, hingga akhirnya mereka semua kabur meninggalkan Sashi dan Nanda.Nanda membuang belati yang berlumuran darahnya. Dia memandang luka gores di telapak tangan yang baginya tidak terlalu dalam.“Tanganmu terluka. Ayo ke rumah sakit.” Sashi langsung menggandeng tangan kanan Nanda.“Tidak usah. Ini tidak dalam,” tolak Nanda membuat Sashi berhenti melangkah.“Lukamu dalam. Jelas itu perlu dua atau tiga jahitan. Jika tidak ditangani dengan tepat, bisa saja terjadi infeksi, lantas pembusukan, dan tanganmu bisa diamputasi.” Sashi malah menakut-nakuti Nanda agar mau diajak ke rumah sakit.Nanda menatap Sashi yang baginya sangat cerewet, belum lagi wanita itu fasih berbahasa indonesia, padahal dari segi wajah tampak wanita asing, membuat Nanda keh
“Siapa yang menghubungiku sepagi ini?”Sashi menutup kepala dengan bantal. Udara pagi itu sangat dingin, tapi ponselnya terus berdering tiada henti, membuat Sashi menggerutu karena malas bangun.Ponsel yang ada di nakas masih belum berhenti berdering, membuat Sashi akhirnya meraih benda pipih itu dan melihat siapa yang menghubungi.“Mommy!” Sashi panik karena yang menghubungi adalah orang tuanya.“Halo, Mommy.” Sashi menjawab dengan masih berbaring tengkurap.“Sashi, apa yang kamu lakukan?” Suara sang mommy terdengar panik dari seberang panggilan.“Aku bangun tidur, Mom. Memangnya sedang apa?” Sashi keheranan dengan pertanyaan sang mommy.Dia melihat ke layar ponsel dan melihat waktu baru menunjukkan pukul lima pagi.“Mom, kenapa tidak tidur? Di sana masih tengah malam, kan?” tanya Sashi kemudian dengan kelopak mata yang kembali menutup.“Sashi, kamu tidur dengan pria?”Pertanyaan sang mommy membuat Sashi langsung membuka kelopak mata lebar.“Pria apanya? Mommy jangan mengada-ada!” Sa
Berita skandal tentang Sashi dan Nanda sudah menyebar di rumah sakit tempat Sashi bekerja. Dia sampai dipanggil kepala dokter untuk menanyakan kebenaran itu. Sashi tidak bisa mengelak, hingga memilih berbohong sama seperti dia membohongi kedua orang tuanya. Sashi kini duduk di ruang praktek. Dia bingung bagaimana caranya lepas dari masalah yang dibuatnya sendiri. “Apa setelah ini aku bilang saja kami putus?” Sashi sedang mencari solusi akan masalahnya. Dia tidak mungkin mencari Nanda, kemudian minta pria itu untuk menikahinya sesuai dengan permintaan sang ayah. Bisa-bisa dia dipermalukan pria itu karena memohon. Sashi mengembuskan napas kasar. Berbohong kalau putus pun akan membuat sang mommy semakin mencemaskan dirinya. Saat sedang berusaha mengabaikan masalah itu. Asisten perawatnya masuk dan langsung menghampiri Sashi. “Masih ada pasien?” tanya Sashi yang memang bekerja di poliklinik rumah sakit. Ini sudah jam dua siang, seharusnya jam prakteknya di poliklinik habis. “Bukan,
[Sashi, ingat sore ini kita ke butik untuk memesan gaun pengantinmu.]Sashi membaca pesan dari sang Mommy. Dia sudah tidak bisa mengelak karena perjanjian nikah sudah ditandatangani antara dia dan Nanda.[Iya, Mom. Kita nanti ketemu di butik.]Sashi tidak bisa mematahkan keinginan sang mommy yang bersemangat menyiapkan pernikahannya. Kedua keluarga sepakat jika Nanda dan Sashi akan menikah sebulan lagi, sebagai bentuk pengelakan akan skandal yang beredar, membuktikan jika sebenarnya mereka sudah menjalin hubungan lama dan memang siap menikah.Saat Sashi baru saja meletakkan ponsel di meja, tiba-tiba saja pintu ruang prakteknya didorong keras, membuat Sashi dan asistennya terkejut.“Maaf, apa Anda sudah mendaftar untuk berobat?” tanya asisten Sashi.“Dia adik calon suamiku. Kamu keluarlah dulu, mungkin dia mau bicara denganku,” ujar Sashi ke perawat.Meski Clara masuk dengan cara tidak sopan, tapi Sashi bersikap tenang menghadapi bocah berumur 22 tahun itu.“Duduklah jika memang ada ya
“Aku tidak ada urusan denganmu.” Nanda ingin mengakhiri panggilan dari orang yang tidak dikenalnya itu, tapi pria yang ada di seberang panggilan kembali bicara.“Tapi aku ada. Jangan menolak bertemu denganku, jika kamu ini seorang pria.”“Apa kamu pikir aku peduli. Kamu membuang waktuku.”Setelah mengatakan itu, Nanda mengakhiri panggilan itu secara sepihak. Dia tidak peduli pria itu mau mengatainya apa, yang jelas Nanda malas berhadapan dengan orang yang iseng.Nanda memilih segera pergi meninggalkan pelataran kampus menuju ke perusahaan.Sepanjang jalan menyetir, Nanda tiba-tiba memikirkan ucapan orang yang menghubunginya. Dia mendadak penasaran dengan apa yang ingin dibahas karena orang itu menyebut Sashi.Meski begitu, Nanda mengenyahkan pikiran yang berkeliaran di kepala, mengabaikan semua rasa penasaran karena baginya Sashi tidak terlalu penting, selain kerjasama di antara mereka.Saat baru saja akan sampai di perusahaan. Ponsel Nanda kembali berdering dan nama sang asisten terp
[Ternyata tidak sepenting itu Sashi untukmu, sampai kamu tidak mau menemuiku untuk membahasnya.]Nanda baru saja keluar dari lift. Langkahnya terhenti saat membaca pesan dari nomor yang menghubunginya siang tadi. Nanda mengabaikan pesan itu, memilih kembali memasukkan ponsel ke saku jas.Dia tidak tahu, siapa yang menghubunginya dan dari mana orang itu tahu nomor ponsel pribadinya. Nanda pun mengabaikan sambil terus mengayunkan langkah, hingga dia kembali berhenti saat melihat siapa yang berdiri di depan lobi.“Bukankah dia adik angkat Sashi?” Nanda bertanya-tanya dalam hati saat melihat Bumi di sana.Nanda mengenal pemuda berumur 23 tahun yang memang diperkenalkan saat acara pertunangannya dengan Sashi.“Aku ingin bicara denganmu,” ucap Bumi sambil memandang Nanda.Nanda diam menatap Bumi, hingga menebak jika Bumilah yang menghubunginya.“Kamu yang menelponku?” tanya Nanda memastikan.“Terkejut?” Bumi terlihat tenang menghadapi Nanda.Nanda semakin tidak mengerti kenapa Bumi menghubu
“Kenapa kamu serakah?” Sashi sangat terkejut mendengar sang adik mengatainya serakah. Dia baru saja keluar dari kamar mandi, kemudian mendengar hujatan dari sang adik. “Kamu membahas apa, Runa? Apanya yang serakah?” tanya Sashi keheranan. “Tentu saja Bumi! Kamu akan menikah dengan pria kaya itu, tapi kenapa harus membelenggu Bumi juga!” amuk Aruna sambil menatap nyalang ke sang kakak. Sashi benar-benar tidak paham, dia menatap Aruna yang terlihat sangat emosi. “Runa, dengarkan aku. Kita duduk dan bicara dengan tenang, ya.” Sashi mencoba membujuk Aruna untuk bicara. “Jangan bicara manis kepadaku!” Aruna memukul vas yang ada di meja dekat dengan dirinya berdiri, membuat vas itu jatuh dan hancur berserakan di lantai. Sashi sangat terkejut dengan yang dilakukan Aruna, dia sampai mundur karena vas itu hampir menimpa kakinya. “Runa.” Sashi menatap nanar ke sang adik. “Kamu akan menikah dengan pria kaya, tapi masih memberi harapan ke Bumi. Apa kamu berniat bersuami dua?” Aruna semak
Hari pernikahan Sashi dan Nanda pun tiba. Pesta pernikahan keduanya diadakan di sebuah hotel bintang 5 milik orang tua Nanda.“Apa pengantinnya sudah selesai dirias?”“Ya, baru saja selesai.”Sashi mendengar perias yang baru saja minta izin keluar dari ruang ganti bicara dengan seseorang. Sashi memutar tubuh perlahan karena gaun yang menghalangi pergerakan langkahnya. Hingga dia melihat siapa yang baru saja bicara dengan perias.Sashi memandang Bumi yang baru saja menutup pintu. Dia terkejut karena pemuda itu di sana, bahkan kini Bumi sedang berjalan menghampiri Sashi.“Kamu benar-benar akan menikahi pria itu?” tanya Bumi yang berhenti melangkah tak jauh dari Sashi.Selama sebulan ini Sashi terus menghindari Bumi, bahkan pesan dan panggilan dari Bumi diabaikan wanita itu, membuat Bumi kalang-kabut kehilangan kedekatannya dengan Sashi.“Ya, tentu saja,” jawab Sashi yang terlihat sangat tenang bicara dengan Bumi.“Kamu yakin?” tanya Bumi lagi masih tidak percaya Sashi akan menikahi Nand