Nanda dan Melvin sudah berada di ruang kerja Melvin. Baik Nanda maupun ayah angkatnya itu masih sama-sama diam, meski mereka sudah di sana selama beberapa menit.“Kamu masih marah atas apa yang terjadi?” tanya Melvin akhirnya bicara.Jika tidak ada yang bicara sama sekali, maka mereka takkan tahu apa yang sebenarnya ingin dibahas.Nanda diam sambil meremas kedua lutut. Dia sedang menyiapkan hati untuk bicara dengan Melvin.Melvin menarik napas panjang. Dia sudah tua untuk bersikap egois dengan menyalahkan tindakan Nanda. Dia berusaha bijak dengan memahami perasaan putra angkatnya itu.“Papa minta--” Melvin ingin bicara, tapi terhenti saat melihat Nanda berdiri.Pria tua itu menatap Nanda yang sedikit menundukkan kepala, hingga putranya itu berjalan cepat ke arahnya, lantas bersimpuh di bawah kakinya sambil meraih telapak tangan.“Nan.” Melvin terkejut dengan apa yang dilakukan Nanda.“M
Nanda mengajak Nana pergi ke samping rumah. Duduk di kursi gantung yang ada di samping kolam.“Ada apa? Kamu baru saja menangis, kan? Apa ada masalah dengan Papa?” tanya Nana mencecar karena merasa jika ada yang tidak beres.“Na, ada yang ingin kuceritakan, tapi berjanjilah kamu harus mendengarkan dengan tenang, lalu tetap berpikir positif karena apa yang akan kuceritakan, semuanya berdasarkan fakta,” ucap Nanda lebih dulu agar Nana tidak syok.Meski bingung, Nana pun akhirnya mengangguk-anggukan kepala.Nanda menceritakan semuanya, dari awal kebangkrutan perusahaan orang tua mereka, sampai akhirnya dibeli oleh Melvin sebelum mengadopsi mereka. Dia pun menjelaskan dengan detail agar tidak ada salah paham.“Aku menceritakan ini agar tidak ada orang lain yang membelokkan cerita sebenarnya. Aku tidak mau keluarga kita berantakan karena orang lain,” ujar Nanda menjelaskan.Nana sendiri masih syok, tapi berusah
Hendry berdiri di depan cermin besar, dia terlihat sedang merapikan jasnya. Hari itu Hendry hendak membuat konferensi pers atas berita perselingkuhannya"Pak, wartawan sudah siap di depan," kata asisten Hendry.Hendry mengangguk, lantas keluar dari kamar. Konferensi pers yang dilakukannya berada di halaman depan rumah. Kini halaman depannya sudah hadir beberapa wartawan yang sebelumnya terus memburu Hendry.Hendry berjalan ke halaman depan. Dia melihat wartawan yang langsung mengambil foto juga merekamnya. Hendry kini duduk di kursi yang sudah disediakan.Hendry memberi isyarat ke asistennya agar mulai membuka konferensi pers itu.“Pak, Anda menghindari wartawan yang ingin meminta klarifikasi dari Anda, apa berita perselingkuhan itu memang benar?” tanya salah satu wartawan saat asisten Hendry membuka sesi tanya jawab.Hendry berdeham mendengar pertanyaan wartawan, hingga kemudian mendekat ke mic untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan.“Sebenarnya ada kesalahpahaman di sini. Gadis
“Kamu mungkin bisa membodohiku, sayangnya aku tidak sebodoh yang kamu pikirkan.”Nanda menatap tajam ke Hendry yang kini dijadikan tersangka berdasarkan kesaksian dan bukti dari orang bayarannya juga Handoko.Para penyerang Lukas dan Handoko sepakat bekerjasama menyeret Hendry ke penjara karena pria itu berani mengatakan jika tak mengenal mereka.“Kamu pikir bisa menjebloskanku ke penjara.” Hendry tersenyum miring ke Nanda seolah memandang rendah pria itu.Nanda menghela napas sambil mencondongkan tubuh ke meja, lantas menatap Hendry yang begitu percaya diri akan lolos dari hukuman.“Otak penyerangan, menyebar fitnah, lalu kamu juga sudah melakukan penipuan di perusahaan mertuaku. Mungkin beliau tak terlalu mempermasalahkan, tapi ternyata masalah ini bisa aku gunakan untuk menyerangmu. Kamu pikir aku tidak punya bukti kalau kamu menyuruh pamanku untuk menghasutku agar berkelahi dengan orang tua angkatku? Kamu naif sekali. Aku punya seribu satu cara untuk mencari kebusukanmu,” ucap Nan
“Apa yang sebenarnya ingin kalian sampaikan?” tanya Nanda tetap waspada dan tidak akan lengah. Manda menoleh sang mama, lantas menganggukkan kepala sebagai isyarat agar wanita itu bercerita. Bibi Nanda terlihat takut, tapi kemudian menghela napas kasar. “Ini soal perbuatan pamanmu kepada keluargamu, Nan.” Bibi Nanda pun mulai bercerita. Nanda diam sambil memperhatikan bibinya itu, menunggu sampai wanita itu selesai bicara. “Tak hanya melakukan korupsi. Dia juga sudah bersekongkol dengan karyawan perusahaan lain yang imbasnya membuat perusahaan papamu bangkrut. Semua semata-mata dilakukan bukan untuk keluarga, tapi untuk diri sendiri karena bersenang-senang. Bahkan uang penjualan saham milik papamu yang seharusnya bisa digunakan untuk membayar utang, malah digunakan untuk berfoya-foya. Sampai akhirnya kalian terusir dari rumah kalian sendiri, semua karena ulah pamanmu,” ujar wanita itu bercerita. Nanda sangat terkejut mendengar cerita itu. Dia benar-benar tak menyangka sang paman
“Bagaimana tadi?” tanya Sashi saat melihat Nanda yang baru masuk kamar.Nanda menutup pintu kamar, lantas berjalan mendekat ke Sashi yang berdiri di dekat ranjang.“Semuanya lancar. Hendry sudah dijadikan tersangka, kini tinggal menunggu penyelidikan lebih lanjut sebelum berkas perkaranya naik ke kejaksaan. Kali ini aku yakin dia tidak akan selamat, apalagi keluarga istrinya tak mau membantunya,” jawab Nanda dengan binar wajah penuh kelegaan.Sashi bernapas lega mendengar jawaban Nanda, dengan begini tak ada lagi yang akan menganggu kehidupan mereka.“Aku sangat lega mendengarnya. Dengan begini kita bisa menjalani hari dengan tenang lagi,” ucap Sashi.Nanda mengangguk, lantas memeluk Sashi.“Aku ingin kita hidup tenang, hanya ada aku dan kamu,” ujar Nanda sambil meletakkan dagu di atas pucuk kepala Sashi.Sashi terdiam mendengar ucapan Nanda, hingga dia bergumam, “Aku ingin melihat langkah kecil di rumah kita.”Nanda mendengar apa yang diucapkan Ssahi. Dia melepas pelukan, lantas mena
“Mau pergi?” Aruna menghentikan langkah saat mendengar Bintang bertanya. Dia melihat sang mommy yang duduk di ruang keluarga sambil memandang dirinya. “Iya, Mom. Keluar sebentar, lalu mau ke kampus,” jawab Aruna ketika sampai di tempat sang mommy duduk. “Oh … ya sudah, hati-hati di jalan,” kata Bintang. Aruna menganggukkan kepala, lantas mencium pipi Bintang. Aruna ingin pergi menemui Ansel. Meski Ansel membalas pesannya, tapi Aruna merasa ada sesuatu yang membuatnya tak bisa tenang. Aruna mengemudikan mobil meninggalkan rumah. Dia pergi ke perusahaan orang tua Ansel. Berharap bisa menemui serta memastikan kenapa Ansel tidak menghubungi jika tak dihubungi dulu. Saat sudah sampai di perusahaan Ansel. Aruna melihat mobil Ansel yang baru saja keluar dari basement, tentu saja hal itu membuat Aruna terkejut. “Mau ke mana dia?” Aruna melihat mobil Ansel yang melesat cepat keluar dari area perusahaan, membuat gadis itu segera memutar mobil untuk mengikuti Ansel. Aruna mencoba mengh
“Lho, kok balik lagi?”Bintang keheranan melihat Aruna yang pulang lagi. Apalagi Aruna langsung naik ke lantai atas mengabaikan dirinya yang menyapa.“Kenapa dia?”Bintang cemas melihat Aruna yang mengabaikannya. Dia pun menyusul ke kamar Aruna, tapi pintu kamar putrinya itu dikunci.“Runa! Sayang! Ada apa? Kalau ada masalah, sini bicarakan dengan mommy!” Bintang mengetuk pintu agar Aruna membukanya.Namun, tidak ada respon dari Aruna, membuat Bintang semakin cemas.Sashi keluar dari kamar karena mendengar suara Bintang memanggil Aruna. Dia pun mendekat untuk tahu apa yang terjadi.“Ada apa, Mom?” tanya Sashi.Bintang menoleh Sashi, terlihat jelas raut wajahnya yang begitu cemas.“Runa katanya tadi mau ke kampus, tiba-tiba pulang lalu masuk kamar. Mommy coba panggil-panggil ga mau buka pintu, ga biasanya dia mengunci pintu seperti ini, Sashi.”Bintang menjawab pertanyaan Sashi dengan ekspresi wajah panik dan cemas.Sashi memandang pintu kamar Aruna, lantas menatap Bintang yang terliha
“Dia tampan sekali. Pipinya juga menggemaskan.” Rihana langsung menggendong cucu keduanya itu. Rihana, Bintang, dan para suami datang ke sana setelah satu minggu Sashi melahirkan. Mereka begitu bahagia mengetahui Sashi melahirkan dengan lancar. “Aku mau menggendongnya,” kata Bintang mengambil Archie dari gendongan Rihana. Sashi dan Nanda menatap para orang tua yang sangat bahagia. Mereka begitu bahagia melihat semuanya berkumpul di sana. “Siapa namanya?” tanya Bintang sambil menimang bayi Archie. “Archie Abimand Mahendra. Nanda ingin nama keluarga tersemat di namanya,” jawab Sashi. “Nama yang bagus,” puji Rihana sambil mengelus pipi Archie menggunakan telunjuk, membuat bayi mungil itu menggeliat geli. Bintang menatap cucu pertamanya itu. Melihat Archie yang sangat menggemaskan, membuat Bintang malah sedih. “Apa kamu akan balik ke Indonesia?” tanya Bintang sambil menatap Sashi. Semua orang pun terkejut hingga menatap Bintang, kemudian ke Sashi secara bergantian. Sashi bingung
Sashi baru saja keluar dari kamar mandi. Dia tiba-tiba merasakan perutnya sakit, membuat Sashi langsung berpegangan pada kusen pintu. “Agh, kenapa sakit?” Sashi memegangi perutnya yang besar. Kehamilan Sashi baru memasuki usia sembilan bulan. Dia menjalani hari dalam masa kehamilan dengan baik meski Nanda tak selalu ada di sampingnya. Pagi itu dia baru saja mencuci wajah, tapi perutnya tiba-tiba terasa mulas bahkan panas juga pinggangnya pegal. “Apa kamu mau keluar sekarang?” Sashi menahan sakit sambil mengusap perutnya. Sashi mengalami kontraksi, membuatnya tak sanggup berjalan hingga memilih langsung duduk di ranjang. Dia berulang kali mengatur napas karena kontraksi yang terjadi. “Anda sudah bangun?” Suara perawat pribadi yang selama beberapa bulan ini merawat dan menjaga Sashi masuk kamar. Dia terkejut karena melihat Sashi kesakitan. “Anda baik-baik saja?” tanya wanita itu langsung berlari menghampiri Sashi. “Sepertinya bayinya mau lahir,” jawab Sashi sambil menahan sakit
“Kenapa kamu ke sini lagi?” Bumi melotot ke Winnie yang kembali datang ke kafenya. Dia sepertinya sedikit tak senang dengan Winnie yang sangat cerewet. “Apa? Aku mau jajan, kenapa kamu galak sekali? Ingat, Om. Tidak boleh galak-galak, nanti cepat tua,” balas Winnie tak takut sama sekali meski Bumi memasang wajah garang. “Kalau mau beli makanan atau minuman di sini, take away jangan makan di sini,” ucap Bumi karena sebelumnya Winnie begitu cerewet bertanya soal seseorang yang menemuinya waktu itu. Padahal jika dipikir, Winnie tak ada hubungan dengan Bumi, tapi kenapa gadis itu bertanya seolah sedang menginterogasi. Selama beberapa bulan ini, Winnie memang sering datang ke kafe Bumi meski tidak tiap hari. Bukannya senang mendapat pelanggan tetap, Bumi malah kesal karena sikap Winnie cerewet dan penasaran dengan apa pun yang dilihat di kafe itu.Baru saja Winnie ingin membalas ucapan Bumi. Tiba-tiba beberapa anak berseragam masuk ke kafe dan langsung menatap Winnie. “Eh, kamu di sin
“Kamu benar-benar tidak apa-apa jika aku balik ke indo?” tanya Nanda sambil membelai rambut Sashi dengan lembut. Nanda sudah beberapa hari di sana. Dia harus kembali ke Indonesia untuk mengurus pekerjaan, tapi Nanda juga masih berat jika harus meninggalkan Sashi. “Iya, tidak apa-apa. Lagian aku juga baik-baik saja, bahkan tidak mengalami morning sickness. Jadi kamu jangan cemas,” jawab Sashi. Sebenarnya bukan masalah takut Sashi sakit atau mengalami kendala saat menjaga kesehatan. Dia hanya tak bisa jauh dari istrinya yang sedang hamil, Nanda seperti perlu terus berada di sisi istrinya itu. Saat keduanya masih berbincang, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar. Nanda pun memilih membuka pintu, hingga melihat pelayan rumah berdiri di hadapannya. “Ada apa?” tanya Nanda. “Nyonya besar datang bersama yang lain, Tuan.” Pelayan itu menyampaikan kedatangan Rihana. “Mama datang? Baiklah, aku akan segera turun,” kata Nanda lantas kembali masuk menghampiri Sashi. “Ada apa?” t
“Kamu benar-benar tidak apa?” tanya Sashi saat melihat Nanda sedang berganti pakaian.Nanda menoleh saat mendengar pertanyaan Sashi. Dia lantas mendekat ke Sashi yang duduk di ranjang.“Apanya tidak apa, hm?” tanya balik Nanda lantas duduk di samping Sashi.Sashi sepertinya masih takut jika Nanda belum bisa menerima jika dirinya hamil, meski tadi sudah berkata tidak apa-apa.“Kamu tidak apa-apa kalai aku hamil?” tanya Sashi memastikan.Nanda memulas senyum mendengar pertanyaan Sashi. Dia lantas mengusap lembut rambut istrinya itu.“Tentu saja tidak apa-apa. Aku malah bahagia karena akhirnya kamu bisa hamil. Mungkin dulu aku belum siap karena takut kamu sakit, tapi sekarang berbeda karena yang terpenting bagiku sekarang kamu bahagia,” jawab Nanda sambil tersenyum begitu tulus dan penuh kasih sayang.Sashi menautkan jemari mereka, lantas menyandarkan kepala di pundak Nanda.“Aku janji akan selalu sehat dan menjaga bayi kita dengan baik,” ucap Sashi agar Nanda tak perlu cemas.Nanda ters
Nanda masuk ke ruang USG, hingga melihat Sashi yang berbaring dan kini sedang diperiksa.“Bagaimana kondisi istri saya?” tanya Nanda saat sudah masuk ke ruangan itu.Sashi terkejut hingga tatapannya tertuju ke Nanda yang baru saja datang.“Kamu datang.” Sashi terlihat senang melihat Nanda di sana.Nanda mendekat dengan ekspresi wajah cemas, lantas memandang ke monitor yang baru saja diperhatikan oleh dokter.“Sebenarnya istri saya kenapa, Dok?” tanya Nanda.Dokter itu tersenyum sambil meletakkan alat USG, hingga kemudian menjawab, “Selamat, istri Anda hamil.”Nanda tertegun tak percaya mendengar ucapan selamat dari dokter itu. Dia sampai memandang Sashi dengan rasa tak percaya.Sashi sendiri hanya tersenyum karena tadi sudah memberitahu kalau dirinya hamil, kini usia kandungan Sashi pun baru enam minggu.“Hamil? Serius hamil? Bukan penyakit?” tanya Nanda memastikan dengan sedikit rasa tidak percaya.Sashi meraih tangan Nanda yang dekat dengannya, lantas menautkan jemari mereka.“Iya,
Satu tahun berlalu. Sashi masih setia menemani Aruna di luar negeri, Nanda sendiri datang setiap seminggu sekali, lantas tinggal beberapa hari sebelum kembali ke Indonesia.Sashi sendiri mulai lega karena akhirnya Aruna bisa menyesuaikan diri dan kini sudah memiliki beberapa teman di kampus barunya.“Bagaimana kuliahmu hari ini?” tanya Sashi saat melihat Aruna baru saja pulang.“Menyenangkan,” jawab Aruna sambil melebarkan senyum.“Mommy tadi telepon, tanya apa kamu masih suka murung-murungan, kujawab tidak karena kamu sudah baik-baik saja,” ucap Sashi.Aruna tersenyum tipis mendengar ucapan Sashi. Meski dia terlihat baik-baik saja, tapi tetap saja sudah satu tahun belum bisa melupakan Ansel.“Jika nanti sudah lulus, aku ingin kerja di sini saja. Di sini lebih enak, meski pergaulan di sini berbeda dengan di Indonesia, tapi aku sudah berusaha menjaga batasan,” ujar Aruna.Sashi sangat terkejut mendengar ucapan Aruna. Dia lantas membalas, “Apa kamu tidak ingin meneruskan perusahaan Dadd
“Bagaimana dengan Runa?” tanya Nanda saat menemui Sashi di kamar. Mereka sudah ada di sana sebulan. Aruna sendiri belum keluar dari rumah sama sekali sejak sebulan ini. “Masih sama. Hanya di kamar, duduk di teras, atau jalan-jalan,” jawab Sashi yang sedih mengetahui Aruna tak seperti dulu dan lebih banyak murungnya. Nanda menghela napas, mereka sudah berusaha membuat Aruna bersemangat, soal Aruna mau bangkit atau tidak, semua harus dari diri sendirinya. “Kalian tidak apa-apa jika aku tinggal? Aku tidak tega melihatmu sedih melihat Aruna seperti itu,” ucap Nanda sambil mengusap rambut Sashi. Nanda masih harus bolak-balik mengurus pekerjaan, sehingga dia pun tidak bisa setiap saat ada di sana. “Kamu tenang saja, aku baik-baik saja di sini. Soal Runa, aku akan berusaha mengajaknya jalan-jalan mencari suasana baru. Dia juga seharusnya sudah mulai mengurus perpindahan kuliahnya, tapi dia belum bersemangat,” balas Sashi. Sashi mencoba memahami posisi suaminya yang tak bisa terus berad
Aruna memandangi kamar yang akan ditinggalkannya. Dia sudah memantapkan hati untuk pergi karena benar-benar tak bisa melupakan Ansel begitu saja jika masih di kota itu. Baginya Ansel adalah cinta pertama yang tak bisa dilupakan. Meski dulu awalnya dia menyukai Bumi, tapi kenyataannya Ansellah yang menduduki hatinya pertama kali. “Kamu sudah siap?” tanya Sashi yang menghampiri Aruna di kamar. Aruna menatap Sashi, lantas menganggukkan kepala. Dia mengambil tas dan jaketnya, lantas menarik koper yang ada di dekat ranjang. Setelah mengurus visa tinggal terbatas dan pasport, akhirnya Aruna akan pergi ke Amerika untuk belajar sekalian menenangkan diri. Namun, tentunya Aruna akan pergi bersama keluarga, lalu nantinya akan tinggal bersama Sashi dan Nanda sesuai kesepakatan, meski Nanda akan bolak-balik karena urusan pekerjaan. Bintang menatap Aruna yang baru saja menuruni anak tangga bersama Sashi. Bintang tak kuasa melihat kedua putrinya akan pergi dan tinggal jauh darinya. Sopir yang