“Kamu mungkin bisa membodohiku, sayangnya aku tidak sebodoh yang kamu pikirkan.”Nanda menatap tajam ke Hendry yang kini dijadikan tersangka berdasarkan kesaksian dan bukti dari orang bayarannya juga Handoko.Para penyerang Lukas dan Handoko sepakat bekerjasama menyeret Hendry ke penjara karena pria itu berani mengatakan jika tak mengenal mereka.“Kamu pikir bisa menjebloskanku ke penjara.” Hendry tersenyum miring ke Nanda seolah memandang rendah pria itu.Nanda menghela napas sambil mencondongkan tubuh ke meja, lantas menatap Hendry yang begitu percaya diri akan lolos dari hukuman.“Otak penyerangan, menyebar fitnah, lalu kamu juga sudah melakukan penipuan di perusahaan mertuaku. Mungkin beliau tak terlalu mempermasalahkan, tapi ternyata masalah ini bisa aku gunakan untuk menyerangmu. Kamu pikir aku tidak punya bukti kalau kamu menyuruh pamanku untuk menghasutku agar berkelahi dengan orang tua angkatku? Kamu naif sekali. Aku punya seribu satu cara untuk mencari kebusukanmu,” ucap Nan
“Apa yang sebenarnya ingin kalian sampaikan?” tanya Nanda tetap waspada dan tidak akan lengah. Manda menoleh sang mama, lantas menganggukkan kepala sebagai isyarat agar wanita itu bercerita. Bibi Nanda terlihat takut, tapi kemudian menghela napas kasar. “Ini soal perbuatan pamanmu kepada keluargamu, Nan.” Bibi Nanda pun mulai bercerita. Nanda diam sambil memperhatikan bibinya itu, menunggu sampai wanita itu selesai bicara. “Tak hanya melakukan korupsi. Dia juga sudah bersekongkol dengan karyawan perusahaan lain yang imbasnya membuat perusahaan papamu bangkrut. Semua semata-mata dilakukan bukan untuk keluarga, tapi untuk diri sendiri karena bersenang-senang. Bahkan uang penjualan saham milik papamu yang seharusnya bisa digunakan untuk membayar utang, malah digunakan untuk berfoya-foya. Sampai akhirnya kalian terusir dari rumah kalian sendiri, semua karena ulah pamanmu,” ujar wanita itu bercerita. Nanda sangat terkejut mendengar cerita itu. Dia benar-benar tak menyangka sang paman
“Bagaimana tadi?” tanya Sashi saat melihat Nanda yang baru masuk kamar.Nanda menutup pintu kamar, lantas berjalan mendekat ke Sashi yang berdiri di dekat ranjang.“Semuanya lancar. Hendry sudah dijadikan tersangka, kini tinggal menunggu penyelidikan lebih lanjut sebelum berkas perkaranya naik ke kejaksaan. Kali ini aku yakin dia tidak akan selamat, apalagi keluarga istrinya tak mau membantunya,” jawab Nanda dengan binar wajah penuh kelegaan.Sashi bernapas lega mendengar jawaban Nanda, dengan begini tak ada lagi yang akan menganggu kehidupan mereka.“Aku sangat lega mendengarnya. Dengan begini kita bisa menjalani hari dengan tenang lagi,” ucap Sashi.Nanda mengangguk, lantas memeluk Sashi.“Aku ingin kita hidup tenang, hanya ada aku dan kamu,” ujar Nanda sambil meletakkan dagu di atas pucuk kepala Sashi.Sashi terdiam mendengar ucapan Nanda, hingga dia bergumam, “Aku ingin melihat langkah kecil di rumah kita.”Nanda mendengar apa yang diucapkan Ssahi. Dia melepas pelukan, lantas mena
“Mau pergi?” Aruna menghentikan langkah saat mendengar Bintang bertanya. Dia melihat sang mommy yang duduk di ruang keluarga sambil memandang dirinya. “Iya, Mom. Keluar sebentar, lalu mau ke kampus,” jawab Aruna ketika sampai di tempat sang mommy duduk. “Oh … ya sudah, hati-hati di jalan,” kata Bintang. Aruna menganggukkan kepala, lantas mencium pipi Bintang. Aruna ingin pergi menemui Ansel. Meski Ansel membalas pesannya, tapi Aruna merasa ada sesuatu yang membuatnya tak bisa tenang. Aruna mengemudikan mobil meninggalkan rumah. Dia pergi ke perusahaan orang tua Ansel. Berharap bisa menemui serta memastikan kenapa Ansel tidak menghubungi jika tak dihubungi dulu. Saat sudah sampai di perusahaan Ansel. Aruna melihat mobil Ansel yang baru saja keluar dari basement, tentu saja hal itu membuat Aruna terkejut. “Mau ke mana dia?” Aruna melihat mobil Ansel yang melesat cepat keluar dari area perusahaan, membuat gadis itu segera memutar mobil untuk mengikuti Ansel. Aruna mencoba mengh
“Lho, kok balik lagi?”Bintang keheranan melihat Aruna yang pulang lagi. Apalagi Aruna langsung naik ke lantai atas mengabaikan dirinya yang menyapa.“Kenapa dia?”Bintang cemas melihat Aruna yang mengabaikannya. Dia pun menyusul ke kamar Aruna, tapi pintu kamar putrinya itu dikunci.“Runa! Sayang! Ada apa? Kalau ada masalah, sini bicarakan dengan mommy!” Bintang mengetuk pintu agar Aruna membukanya.Namun, tidak ada respon dari Aruna, membuat Bintang semakin cemas.Sashi keluar dari kamar karena mendengar suara Bintang memanggil Aruna. Dia pun mendekat untuk tahu apa yang terjadi.“Ada apa, Mom?” tanya Sashi.Bintang menoleh Sashi, terlihat jelas raut wajahnya yang begitu cemas.“Runa katanya tadi mau ke kampus, tiba-tiba pulang lalu masuk kamar. Mommy coba panggil-panggil ga mau buka pintu, ga biasanya dia mengunci pintu seperti ini, Sashi.”Bintang menjawab pertanyaan Sashi dengan ekspresi wajah panik dan cemas.Sashi memandang pintu kamar Aruna, lantas menatap Bintang yang terliha
“Aku tidak bisa membiarkan Runa tinggal di luar negeri sendirian. Kamu tahu alasanku, El.” Sashi bingung karena kini Bintang dan Langit malah berdebat membahas Aruna yang kekeh ingin pergi. “Tapi jika memang demi kesehatan mentalnya. Bukankah ini lebih baik daripada dia menderita,” ujar Langit menjelaskan. “Tidak! Aku tidak bisa membiarkan putriku tinggal sendirian di negara orang. Kamu pikir aku tidak tahu pergaulan di sana? Jangan sampai putriku salah bergaul!” Bintang kekeh tak mengizinkan Aruna pergi. “Nyatanya dulu Mami bisa hidup dengan benar saat di luar negeri. Semua tergantung pribadi masing-masing, Bin. Tidak semua bersikap buruk sepertiku,” ujar Langit membujuk Bintang. Sashi tidak tahu harus bagaimana. Saat Langit dan Bintang berdebat membahas Aruna, Nanda datang dan ikut bingung kenapa mertuanya saling bersitegang. Sashi langsung mengajak Nanda bicara berdua, tentu saja hal itu membuat Nanda bingung. “Apa ada masalah di rumah?” tanya Nanda. “Iya, ini soal Runa,” j
Aruna memandangi kamar yang akan ditinggalkannya. Dia sudah memantapkan hati untuk pergi karena benar-benar tak bisa melupakan Ansel begitu saja jika masih di kota itu. Baginya Ansel adalah cinta pertama yang tak bisa dilupakan. Meski dulu awalnya dia menyukai Bumi, tapi kenyataannya Ansellah yang menduduki hatinya pertama kali. “Kamu sudah siap?” tanya Sashi yang menghampiri Aruna di kamar. Aruna menatap Sashi, lantas menganggukkan kepala. Dia mengambil tas dan jaketnya, lantas menarik koper yang ada di dekat ranjang. Setelah mengurus visa tinggal terbatas dan pasport, akhirnya Aruna akan pergi ke Amerika untuk belajar sekalian menenangkan diri. Namun, tentunya Aruna akan pergi bersama keluarga, lalu nantinya akan tinggal bersama Sashi dan Nanda sesuai kesepakatan, meski Nanda akan bolak-balik karena urusan pekerjaan. Bintang menatap Aruna yang baru saja menuruni anak tangga bersama Sashi. Bintang tak kuasa melihat kedua putrinya akan pergi dan tinggal jauh darinya. Sopir yang
“Bagaimana dengan Runa?” tanya Nanda saat menemui Sashi di kamar. Mereka sudah ada di sana sebulan. Aruna sendiri belum keluar dari rumah sama sekali sejak sebulan ini. “Masih sama. Hanya di kamar, duduk di teras, atau jalan-jalan,” jawab Sashi yang sedih mengetahui Aruna tak seperti dulu dan lebih banyak murungnya. Nanda menghela napas, mereka sudah berusaha membuat Aruna bersemangat, soal Aruna mau bangkit atau tidak, semua harus dari diri sendirinya. “Kalian tidak apa-apa jika aku tinggal? Aku tidak tega melihatmu sedih melihat Aruna seperti itu,” ucap Nanda sambil mengusap rambut Sashi. Nanda masih harus bolak-balik mengurus pekerjaan, sehingga dia pun tidak bisa setiap saat ada di sana. “Kamu tenang saja, aku baik-baik saja di sini. Soal Runa, aku akan berusaha mengajaknya jalan-jalan mencari suasana baru. Dia juga seharusnya sudah mulai mengurus perpindahan kuliahnya, tapi dia belum bersemangat,” balas Sashi. Sashi mencoba memahami posisi suaminya yang tak bisa terus berad