“Hentikan kebiasaanmu komentar spontan, Giddy!” Camelia menepuk sedikit kencang punggung Gideon yang tadi berpapasan dengan Manda saat keluar dari kamar mandi. “Bu Camelia?!” pekik Manda saat berusaha bangun dari jatuhnya. “Anu … ini saya nggak sengaja terjatuh.”Manda berpikir kalau ia harus mencari alasan agar tidak ada yang mencurigai hubungannya dengan Raffael.“Ngapain kau di sini, Gideon?” tegur Raffael. “Pantas saja Emilia ada di kantorku juga.”Ia berdiri dan mengebaskan debu yang mungkin menempel pada celana dan kemejanya. Tak menggubris ocehan Raffael, Gideon malah berkomentar pada Manda. “Kamu banyak sialnya ya? Tadi papasan pas kamu nggak pakai baju. Sekarang pas kamu jatuh menimpa Raffa.”Kali ini Camelia benar-benar memukul Gideon. “Ha?! Nggak pakai baju? Kamu ngintip Manda, Gid?!”Raffael pun spontan menoleh ke arah Manda. Wajahnya mengkerut penuh tanya pada sang sekretaris. Wajah Manda terlihat memerah karena insiden tadi malah diceritakan seperti sebuah lelucon.
“Berdua?” tanya Elena penasaran. Merasa sang kepala sekretaris itu mulai curiga, Manda terpaksa berbohong. “Nggak tahu, Bu. Tadi Pak Raffael cuma suruh saya ke sana 10 menit setelah dia kirim pesan.”“Jangan-jangan dia udah tahu kamu di bully?” tebak Melly, mulai membuka topik baru untuk bergosip. “Apa Karin bakal dipecat?” Tak mau terlibat lebih jauh dengan pembicaraan itu, Manda pun segera pamit ke ruang rapat yang disebutkan Raffael tadi.Tiba di sana, ternyata tak seperti dugaannya. Sudah ada Camelia dan Gideon di sana. Juga ada seorang wanita muda yang duduk bersebelahan dengan Gideon. “Selamat siang!” Manda menyapa seraya memasuki ruang rapat itu.Ia merasa canggung berada di antara para petinggi perusahaan. Padahal baru juga beberapa hari ia bekerja. Gideon terkekeh. “Ada apa dengan salam kaku itu? Kita sudah ketemu tadi.”“Abaikan dia, Manda.” Raffael menarik kursi kosong di sebelahnya, memberi isyarat agar sekretarisnya duduk dekat.Manda menurut. Lagi pula, ia memang ada
“Mungkin.”Manda menjawab setelah lama berpikir. “Mungkin, secara nggak langsung, Pak. Karena bukan salah saya juga kalau tiba-tiba saya dipindah dari posisi yang seharusnya.”Kali ini, giliran Raffael yang berpikir lama. ‘Yeah. Kurasa dia benar. Seharusnya dia bukan sekretarisku.’ Begitupun, sang presdir sepertinya belum ingin mengakui kesalahan. Ia hanya menyimpannya dalam hati. “Saya ada janji dengan Pak Mahen malam ini,” ujar Raffael menyudahi topik sebelumnya. “Kamu mau saya antar pulang atau saya pesankan taksi?”Kening Manda berkerut, heran kenapa seolah ia sedang diminta pulang lebih cepat. “Memangnya kenapa?”“Bajumu.” Raffael mengingatkan. “Kalau kau naik kendaraan umum, apa nyaman?” ‘Ah! Bisa-bisa aku kena sasaran orang jahat pakai baju mahal begini.’“Nanti saya pesan taksi, Pak.”Raffael menatap Manda dengan seksama. Ia ingin gadis itu memintanya untuk membayari taksi atau memesankan taksi, tapi dari jawaban yang ia terima, jelas ia ingin melakukannya sendiri.“Oke. Sa
“Manda, apa kamu dapat kabar dari Pak Raffael?”Manda melirik jam tangannya kemudian menggeleng. “Belum, Bu. Apa saya coba tanya saja?”Elena mengangguk. “Boleh. Nggak biasanya dia terlambat datang.”Hati Manda tiba-tiba terasa berat. Sejak kemarin, sang atasan sama sekali tidak mengganggunya. Kalau Raffael yang biasa, dia pasti sudah dapat pesan macam-macam soal pekerjaan. Manda jadi takut, kalau-kalau terjadi sesuatu dengan bos-nya setelah bertemu Mahen.“Bu El, Ibu tahu rekanan bisnis kita yang namanya Pak Mahen?” tanya Manda sebelum mengirim pesan pada Raffael.Dahi Elena berkerut, mencoba mengingat-ingat. “Mahen?”Manda mengangguk.Tak lama, Elena menggelengkan kepala. “Belum pernah dengar saya. Memang kenapa?”“Kemarin, Pak Raffael bilang kalau dia ada janji dengan Pak Mahen.”“Kalau gitu, apa kamu coba kontak Pak Mahen itu?” usul Elena. Manda menggeleng. “Saya nggak ada nomornya. Pak Raffael nggak bolehin saya kontak mereka. Bahkan sekretarisnya juga. Saya nggak boleh ada kon
“Manda? Ngapain kamu, Nak?” Spontan Manda berdiri dengan wajah meringis. “Ng—nggak apa-apa, Bu Diandra. Si–silakan masuk, Bu!”Manda menempelkan kartu dan membuka pintu untuk direktur wanita tersebut. Ia sendiri mengikuti di belakang. Ketika tiba di bilik kerjanya, Manda sedikit lega karena Melly dan Ria sudah kembali ke meja mereka dan Elena tak terlihat di sana.‘Fyuh! Seenggaknya aku bisa pura-pura kerja nanti kalau dia masuk. Jadi, nggak akan papasan mata.’ Batinnya merana, ‘Kenapa jadi kucing-kucingan begini ya?’Baru saja ia bertekad untuk tidak mengangkat kepala siapapun yang masuk ke ruangan, tetapi begitu suara pintu terbuka, Manda otomatis mendongak.Netranya langsung bertemu dengan bola mata bulat milik Elena. Spontan Manda menunduk, seolah ia sudah berbuat kesalahan. ‘Duh! Gimana sih aku! Malah ngehindar! Semoga Bu Elena nggak minta bicara berdua. Aku masih belum siap.’Sayang, harapannya tidak terkabul. Dengan wajah sumringah Elena menepuk pundak Manda dan berkata, “Ma
“Karin dipecat?!” tanya Elena penasaran. “Info dari siapa, Mel?”“Anak-anak rame di grup chat, Bu,” ujar Melly penuh antusias. Ria juga menambahkan, “Cuma nggak tahu siapa yang minta dia dipecat, Bu. Tiba-tiba dia dapat email dari HRD kalau sudah bisa pulang dan tidak diterima lagi di kantor ini.”“Ada yang nyebut dipecat online, soalnya nggak lewat prosedur. Kesian juga ya.”Kedua tangan Manda mengepal. Ia merasa pemecatan ini tidak adil karena apa yang ia alami tidak parah sampai harus menghancurkan hidup orang lain. Elena yang melihat Manda malah kesal, berusaha menenangkannya diam-diam. Ia menepuk pelan punggung tangan Manda yang masih mengepal gemetar. Lalu berbisik, ‘Ini pantas. Jangan anggap kamu nggak layak dapat pembelaan seperti ini.’Namun, Manda tetap tidak bisa menerima kenyataan bahwa Raffael atau Camelia tiba-tiba mengubah keputusan mereka. Manda tahu Elena berkata demikian karena tidak tahu yang sebenarnya. Kalau tahu hubungan Raffael dengannya hanyalah kontrak, k
“Ha?! Ta–tapi kan cuma pura-pura.”Raffael terdiam mendengar ucapan Manda. Pikirannya kembali mengingat kejadian pagi tadi. Ketika Raffael bangun setelah mabuk semalaman, ia menemukan secarik kertas yang ditinggalkan Mahen. Di sana tertulis: ‘Pertanyaanmu semalam. Apa yang temannya temanmu rasakan, bukannya itu cinta? Ada pepatah mengatakan kalau kau berani jatuh cinta, bersiaplah untuk patah hati. Kalau kau takut patah hati, bukankah itu berarti kau sudah menganggap dia adalah seseorang yang spesial untukmu?’Karena itulah, hari ini ia memutuskan untuk mencari tahu apakah benar Manda sudah menjadi orang yang spesial baginya.“Tak masalah, Manda.” Raffael menanggapi secara keseluruhan. Ia seolah tak lagi peduli soal status pura-pura yang melekat pada hubungan mereka. “Hal wajar saya mau tahu satu dua hal soal kamu.”Manda tak bisa membalas ucapan atasannya itu. Ia memutuskan untuk beralih topik mengenai Karin. Namun, belum juga ia bertanya, Raffael ternyata masih penasaran dengan
“Manda, hari ini makan bareng yuk! Pak Raffael kan lagi nggak ada.”Tepat 1 minggu berlalu sejak kejadian Karin. Raffael disibukkan dengan pekerjaan yang semakin banyak. Termasuk rapat dan pertemuan di luar yang membuat Manda jarang berinteraksi dengan atasannya itu. Terkadang, Raffael tidak mengikutsertakan Manda dalam dinas luar kotanya. Ia lebih memilih membawa Tara saja. Walau sehari-hari seorang supir, Tara juga dibekali ilmu dasar sekretaris.Seperti hari ini. Manda terbebas dari Raffael. “Mau!” Manda memekik riang.Elena mengangguk penuh semangat. “Bu CEO yang traktir!”“Eh?! Bu Camelia?” tanya Manda mengkonfirmasi.Elena kembali menganggukkan kepalanya. “Beliau tadinya mau ikut, cuma tiba-tiba dia harus ketemu sama mamanya.”Manda terdiam mendengar hal itu. Ketika dicerna, itu berarti orang yang akan ditemui Camelia juga adalah ibu dari Raffael. Mau tak mau hati Manda terasa kecut. Diperjalanan menuju restoran yang sering mereka kunjungi saat luang, Manda mencoba bertanya
“So, gimana penyelesaiannya?” tanya Manda. Bintang sengaja mampir ke rumah orang tuanya hari ini, karena sang ibu mengatakan kalau ia membuat sop buntut hari ini. Tak ia duga, wanita tua itu menaruh perhatian pada kasus Adelia dan Fleur. “Fleur mengakui kesalahan dan tak mau terlibat sampai ke jalur hukum, Ma.”Dahi Manda berkerut. Seolah menyuarakan kebingungan Manda, Raffael bertanya, “Minta Adel diberhentikan dari syuting, sampai kamu tuntut ke jalur hukum?”Bintang lupa, kalau mereka hanya tahu cerita pertamanya saja. “Ah … kalian belum tahu perkembangan terakhir hubungan Adelia dan Fleur?”“Ada masalah lagi?!” Manda sedikit kaget. Ia pikir masalah pertama akan selesai tanpa ada buntutnya.Bintang mengangguk. “Fleur merencanakan pembunuhan terhadap Lia, Pa. Dan Black merekam dengan jelas semua bukti itu.”Raffael dan Manda terdiam cukup lama sebelum akhirnya berkomentar satu sama lain. “Wajah cantik, berpendidikan dan kaya raya, nggak lantas membuat seseorang menjadi manusia,
“Apa yang sudah kau lakukan, Fleur?!” Pria tak berambut dengan tubuh tinggi kekar itu membanting pesawat telepon yang ada di meja kerjanya. Beliau adalah CEO rumah produksi Lightern—Bastian Moore. “Aku minta kamu dekati Bintang, supaya bisa merger dengan perusahaannya! Kenapa malah bikin masalah dan membuat marah produser Brian?!”Fleur hanya bisa menunduk, menyembunyikan wajahnya dari amarah sang atasan. Dua tangannya kuat-kuat meremas bahan gaun bertekstur floral itu, menahan diri untuk tidak marah atau menangis. Ia benar-benar tak menyangka, bahwa kebenciannya pada Adelia menyebabkan Bintang kehilangan minat terhadap Lightern.‘Aku terbakar cemburu saat perempuan sial itu membuka pintu dan dengan naturalnya mengira yang datang adalah Bintang,’ sesal Fleur. Di balik penyesalan itu, juga ada amarah yang besar pada Adelia. Kecemburuannya masih belum sirna. Sedikitpun tak berkurang. “Mau apa lagi kalau sudah begini, hm?!” sentak Bastian putus asa. “Sejak pagi sekretarisku sudah me
“Theo, apa kau yang menitipkan tas ini ke Fleur untuk diberikan pada Adelia?” Brian menunjuk tas yang masih di posisi awal.Tenda Fleur tidak tersentuh sama sekali. Brian membiarkannya demikian sampai ia menemukan siapa pelaku yang berani mengacaukan suasana di lokasi syuting.Sementara sutradara mengurus jalannya syuting hari ini, Brian memutuskan untuk bicara dengan manajer Adelia.“Tas?” Dahi Theo berkerut. Ia mengamati tas itu dan berpikir keras. “Hm … aku nggak pernah lihat tas ini,” klaimnya. “Adel juga nggak punya tas seperti ini. Kau tahu sendiri kondisi anak itu. Dia nggak punya uang lebih untuk beli tas yang nggak dia butuhkan.”Brian mengangguk setuju. “Tapi, Fleur menuduhnya meletakkan tas dan ular ini di kasurnya. Kita nggak punya bukti kalau tas ini bukan milik Adelia.”“Saya ada buktinya.” Seorang pria tinggi dengan pakaian serba hitam muncul dan bergabung dalam percakapan mereka. Membuat Brian dan Theo tertegun. “Siapa kamu?!”“Saya bertugas menjaga Nona Adelia. Jad
Staf yang mengikuti Brian masuk ke tenda Fleur tiba-tiba keluar dengan mulut tertutup tangan. Menahan mual karena sudah menyaksikan sesuatu yang menggelikan di dalam sana. “Ada apa?!” tanya peserta syuting lainnya. Mulai tak sabar karena tak satupun menjelaskan apa yang sudah mereka lihat.Bahkan Fleur kini masih berjongkok dekat pohon besar. Gemetar di dalam perlindungan tubuh Vildan.“Ular ….” Hanya itu yang berhasil diutarakan salah satu staf. Nada suaranya pun terdengar ngeri. Belum sempat mereka bertanya lebih jauh, Brian keluar dan segera menenangkan keributan. “Semua kembali ke ruang makan untuk sarapan!” serunya. “Fleur, kau pakai tendaku untuk sementara ini. Kami akan membuatkan tenda yang baru.”Seolah sadar dari rasa takutnya, ia pun berdiri dan meneriaki Adelia. “Ini semua gara-gara Adelia! Perempuan jalang itu!”Netra semua orang terbeliak mendengar ucapan Fleur. Pertanyaan mulai muncul di antara mereka, tentang kenapa Fleur memberi label kejam pada artis yang baru mem
“Kau satu tenda dengan Adelia kan?” Fleur mendatangi seorang artis muda yang jam terbangnya masih tergolong sedikit dibandingkan dengan Fleur yang sudah senior itu. Mereka baru saja tiba di tempat perkemahan dan semua orang tengah sibuk mengurus barang bawaannya masing-masing. “Oh! Iya, Kak Fleur.” Artis muda bernama Abby itu tersenyum ramah. “Ada apa?”“Ada yang menitipkan ini.” Fleur memberikan sebuah tas makan kecil pada Abby. “Katanya ini tas milik Adelia.”Abby menerima tas itu. “Ah! Terima kasih, Kak. Nanti saya kasih Adel.”Fleur tersenyum singkat kemudian kembali ke tendanya. Artis perempuan senior yang sedang naik daun itu mendapat perlakuan khusus. 1 tenda untuk dirinya sendiri. Sementara itu, Abby bergegas mencari Adelia untuk memberikan barang titipan tadi.“Adel! Ini katanya tas kamu!” seru Abby dengan senyum lebar. Produser memang menempatkan Adelia bersama dengan Abby karena ia tahu, mereka bisa dekat. “Dari siapa, By?” tanya Adelia dengan pandangan heran.Ia suda
“Jadi, baik aku atau perempuan miskin itu nggak diizinkan keluar dari ‘Survival Home’?!”Bintang menatap Fleur yang duduk dengan angkuh, bersedekap di hadapannya. Manda dan Dennis meninggalkan begitu saja masalah ini di tangannya.‘Kalau bisa aku mau mengeluarkan kau saja, Fleur. Dibanding Lia yang sudah jadi artisku.’ Bintang menjawab tanpa suara. “Bisakah kau menyaring kalimatmu, Fleur. Adelia juga perempuan, sama sepertimu,” tegur Bintang berusaha sabar.Karena menurut Manda, hubungannya dengan Adelia tidak boleh sampai ketahuan orang luar, apalagi mereka yang tidak terjamin bisa menjaga rahasia. Fleur mendengus geli. “Ha! Setidaknya aku nggak miskin seperti dia!”Bintang mencoba tenang, tapi bukan berarti ia tak bisa tegas. Bagaimana pun ia harus menegur perempuan angkuh itu. “Fleur, Aku harus mengusirmu kalau bicara nggak sopan soal artis di bawah naungan RAFTEN!”Walau tak menjawab, Bintang bisa melihat tubuh Fleur sedikit menyentak karena tegurannya.Kemudian, sang CEO menam
“Nona Fleur! Ini bukan saatnya untuk berdebat!” sentak sang produser, mencoba bersikap tegas. Sang manajer pun panik. Tidak paham kenapa tiba-tiba Fleur mengamuk di depan sang produser.Namun, Fleur merasa memegang kendali. Ia tahu kalau dirinya tidak mungkin dilepaskan dari acara itu. “Ha! Kalau memang Anda masih akan lanjut dengan kondisi seperti ini, saya mundur!” Fleur segera berbalik untuk meninggalkan lokasi syuting.Brian pun langsung berdiri dan menahannya dengan kalimat yang sudah Bintang anjurkan. “Ini keputusan Pak Bintang! Tidak ada yang akan keluar dari acara ini. Jika Nona Fleur memaksa, Pak Bintang mengatakan bahwa akan ada penalti.”Netra Fleur membulat. Ia berbalik dan menatap Brian seolah tidak percaya Bintang akan menimpakan penalti atas dirinya. Fleur mendengus geli. “Mana mungkin Bintang memperlakukanku seperti itu! Kau hanya membual!”“Silakan coba saja kalau berani, Nona Fleur!” Brian menantang. Setengah gemetar, karena di satu sisi, ia harus mempertahankan
“Fleur minta Adelia dikeluarkan dari survival home.”Dahi Bintang berkerut. “Apa dia sebut alasannya? Kenapa di hari kalian nggak syuting, bisa ada bentrok? Apalagi antara artis selevel Fleur dengan pendatang baru.”Brian menggeleng. “Fleur nggak menjelaskan keberatannya mengenai keberadaan Adelia. Tapi dia mengancam, kalau kami nggak mengeluarkan Adelia, dia yang akan keluar dari survival home.”Bintang menggaruk kepala belakangnya. Pusing dengan kelakuan Fleur yang tiba-tiba memusuhi kekasih barunya itu. “Saya nggak habis pikir apa yang membuat Fleur tiba-tiba memusuhi Lia, Pak Brian. Apa Anda punya clue?”Brian terdiam sesaat kemudian mengoreksi ucapan Bintang. “Sejak awal Fleur nggak suka dengan Adelia, Pak. Jadi, sepertinya rasa tidak suka itu menumpuk dan meledak sekarang.”Napas Bintang terdengar panjang dan lelah. “Ya sudah, keluarkan saja Fleur dari sana.”Mendengar itu spontan Brian berdiri dan menggebrak meja kerja sang CEO. “Nggak bisa, Pak! Dia wajah acara ini!”“Saya ju
“Aku cukup tua untuk atur hidupku, Pa,” keluh Bintang. “Apa kalian semacam detektif? Datang mau interogasi?”Raffael mendengus. “Kalau kau nggak buat masalah, Mama Papa juga nggak akan sibuk urusin hidup kamu, Bintang.”Bintang memutar manik matanya. Ia memang sengaja membuat banyak skandal untuk meminimalisir perempuan mendekatinya. “Fine. Kalian sudah makan pagi? Karena aku lapar.”“Aku sudah makan roti dari kulkasmu, Nak. Kau bisa buat makan pagi sendiri.” Manda menyesap teh yang sudah hampir habis. Bintang membawa dirinya ke dapur, membiarkan kedua orang tuanya tetap mengajukan pertanyaan, sementara ia memasak sarapan pagi. “So, kamu akhirnya pacaran dengan Adelia?” tanya Raffael dengan nada penuh curiga. “Papa baru dengar beberapa menit lalu kalau kamu baru saja meresmikan hubungan pura-pura kalian.”Bintang terkekeh. Ia cukup lega karena sang ayah tidak mulai pembicaraan dengan memarahinya karena sudah membuat rencana gila seperti menjadikan Adelia sebagai pacar pura-puranya.