“Manda, apa kamu dapat kabar dari Pak Raffael?”Manda melirik jam tangannya kemudian menggeleng. “Belum, Bu. Apa saya coba tanya saja?”Elena mengangguk. “Boleh. Nggak biasanya dia terlambat datang.”Hati Manda tiba-tiba terasa berat. Sejak kemarin, sang atasan sama sekali tidak mengganggunya. Kalau Raffael yang biasa, dia pasti sudah dapat pesan macam-macam soal pekerjaan. Manda jadi takut, kalau-kalau terjadi sesuatu dengan bos-nya setelah bertemu Mahen.“Bu El, Ibu tahu rekanan bisnis kita yang namanya Pak Mahen?” tanya Manda sebelum mengirim pesan pada Raffael.Dahi Elena berkerut, mencoba mengingat-ingat. “Mahen?”Manda mengangguk.Tak lama, Elena menggelengkan kepala. “Belum pernah dengar saya. Memang kenapa?”“Kemarin, Pak Raffael bilang kalau dia ada janji dengan Pak Mahen.”“Kalau gitu, apa kamu coba kontak Pak Mahen itu?” usul Elena. Manda menggeleng. “Saya nggak ada nomornya. Pak Raffael nggak bolehin saya kontak mereka. Bahkan sekretarisnya juga. Saya nggak boleh ada kon
“Manda? Ngapain kamu, Nak?” Spontan Manda berdiri dengan wajah meringis. “Ng—nggak apa-apa, Bu Diandra. Si–silakan masuk, Bu!”Manda menempelkan kartu dan membuka pintu untuk direktur wanita tersebut. Ia sendiri mengikuti di belakang. Ketika tiba di bilik kerjanya, Manda sedikit lega karena Melly dan Ria sudah kembali ke meja mereka dan Elena tak terlihat di sana.‘Fyuh! Seenggaknya aku bisa pura-pura kerja nanti kalau dia masuk. Jadi, nggak akan papasan mata.’ Batinnya merana, ‘Kenapa jadi kucing-kucingan begini ya?’Baru saja ia bertekad untuk tidak mengangkat kepala siapapun yang masuk ke ruangan, tetapi begitu suara pintu terbuka, Manda otomatis mendongak.Netranya langsung bertemu dengan bola mata bulat milik Elena. Spontan Manda menunduk, seolah ia sudah berbuat kesalahan. ‘Duh! Gimana sih aku! Malah ngehindar! Semoga Bu Elena nggak minta bicara berdua. Aku masih belum siap.’Sayang, harapannya tidak terkabul. Dengan wajah sumringah Elena menepuk pundak Manda dan berkata, “Ma
“Karin dipecat?!” tanya Elena penasaran. “Info dari siapa, Mel?”“Anak-anak rame di grup chat, Bu,” ujar Melly penuh antusias. Ria juga menambahkan, “Cuma nggak tahu siapa yang minta dia dipecat, Bu. Tiba-tiba dia dapat email dari HRD kalau sudah bisa pulang dan tidak diterima lagi di kantor ini.”“Ada yang nyebut dipecat online, soalnya nggak lewat prosedur. Kesian juga ya.”Kedua tangan Manda mengepal. Ia merasa pemecatan ini tidak adil karena apa yang ia alami tidak parah sampai harus menghancurkan hidup orang lain. Elena yang melihat Manda malah kesal, berusaha menenangkannya diam-diam. Ia menepuk pelan punggung tangan Manda yang masih mengepal gemetar. Lalu berbisik, ‘Ini pantas. Jangan anggap kamu nggak layak dapat pembelaan seperti ini.’Namun, Manda tetap tidak bisa menerima kenyataan bahwa Raffael atau Camelia tiba-tiba mengubah keputusan mereka. Manda tahu Elena berkata demikian karena tidak tahu yang sebenarnya. Kalau tahu hubungan Raffael dengannya hanyalah kontrak, k
“Ha?! Ta–tapi kan cuma pura-pura.”Raffael terdiam mendengar ucapan Manda. Pikirannya kembali mengingat kejadian pagi tadi. Ketika Raffael bangun setelah mabuk semalaman, ia menemukan secarik kertas yang ditinggalkan Mahen. Di sana tertulis: ‘Pertanyaanmu semalam. Apa yang temannya temanmu rasakan, bukannya itu cinta? Ada pepatah mengatakan kalau kau berani jatuh cinta, bersiaplah untuk patah hati. Kalau kau takut patah hati, bukankah itu berarti kau sudah menganggap dia adalah seseorang yang spesial untukmu?’Karena itulah, hari ini ia memutuskan untuk mencari tahu apakah benar Manda sudah menjadi orang yang spesial baginya.“Tak masalah, Manda.” Raffael menanggapi secara keseluruhan. Ia seolah tak lagi peduli soal status pura-pura yang melekat pada hubungan mereka. “Hal wajar saya mau tahu satu dua hal soal kamu.”Manda tak bisa membalas ucapan atasannya itu. Ia memutuskan untuk beralih topik mengenai Karin. Namun, belum juga ia bertanya, Raffael ternyata masih penasaran dengan
“Manda, hari ini makan bareng yuk! Pak Raffael kan lagi nggak ada.”Tepat 1 minggu berlalu sejak kejadian Karin. Raffael disibukkan dengan pekerjaan yang semakin banyak. Termasuk rapat dan pertemuan di luar yang membuat Manda jarang berinteraksi dengan atasannya itu. Terkadang, Raffael tidak mengikutsertakan Manda dalam dinas luar kotanya. Ia lebih memilih membawa Tara saja. Walau sehari-hari seorang supir, Tara juga dibekali ilmu dasar sekretaris.Seperti hari ini. Manda terbebas dari Raffael. “Mau!” Manda memekik riang.Elena mengangguk penuh semangat. “Bu CEO yang traktir!”“Eh?! Bu Camelia?” tanya Manda mengkonfirmasi.Elena kembali menganggukkan kepalanya. “Beliau tadinya mau ikut, cuma tiba-tiba dia harus ketemu sama mamanya.”Manda terdiam mendengar hal itu. Ketika dicerna, itu berarti orang yang akan ditemui Camelia juga adalah ibu dari Raffael. Mau tak mau hati Manda terasa kecut. Diperjalanan menuju restoran yang sering mereka kunjungi saat luang, Manda mencoba bertanya
“Manda?” Elena terkejut. Belum juga 15 menit berlalu, gadis itu sudah kembali ke ruangan. “Cepat banget. Udah ketemu Bu Camelia?”Manda menggeleng. “Nggak jadi, Bu. Saya kelupaan ada laporan penting buat Pak Ferry.”Elena mengangguk saja, menerima ucapannya. Ia tidak berpikir bahwa sesuatu terjadi sebelum Manda bertemu Camelia. Sementara itu, Manda berusaha keras untuk fokus mengerjakan laporan yang sebenarnya tidak terlalu penting. Direktur produksi meminta laporan itu untuk besok lusa. ‘Kenapa Bu Camelia bilang begitu? Dia seperti mendukung rencana Pak Raffael.’ Manda bertanya-tanya dalam hati. Namun, mau sebanyak apa ia bertanya, tidak akan ada jawabannya kalau tidak bertanya langsung.Lucu. Hatinya kini terasa berat. Mungkin kalau ia diminta resign ketika awal ia bekerja di bawah Raffael, dengan senang hati ia memenuhi keinginan Camelia.‘Kenapa sekarang rasanya seperti ini. Kalau benar aku disuruh keluar dari kantor ini, seharusnya aku senang. Iya kan?’ Manda mulai bertanya p
“Ugh!”Manda terbangun dengan sakit yang menusuk di kepala. Ia tertegun sesaat, merasa deja vu dengan keadaan serupa yang pernah ia alami. Sontak ia mengangkat tubuhnya dengan panik. Namun hal itu semakin membuat kepalanya sakit. Sekujur tubuhnya juga terasa nyeri.“Manda, jangan banyak bergerak dulu.” Mendengar suara Raffael, Manda menoleh cepat. “Pak Raffa?”Pria itu mendengus sambil tersenyum. “Denda Rp 100 ribu,” ledeknya, kemudian menarik tubuh Manda untuk kembali merebahkan diri. “Tidur saja dulu. Kalau sudah sampai kukabari.”Manda terdiam. Ia baru sadar kalau mereka berada di dalam mobil. “Ada apa tadi?” tanya Manda, membiarkan sang atasan menyisir rambutnya perlahan.Sejujurnya Manda ingin menyuruhnya berhenti menyentuh rambutnya. Bukan karena tak suka, tetapi karena setiap sentuhannya menggelitik sekujur tubuh. ‘Tapi malas debat. Pasti ada aja alesannya.’ Manda sudah bisa menebak jalan pikiran atasannya itu.Raffael tersenyum canggung menanggapi pertanyaan Manda tadi. “
“Manda, selama Regan mengumpulkan informasi, kamu akan tinggal di sini.”Raffael memutuskan, setelah ia dan Manda berada di dalam apartemennya.Manda kembali panik. ‘Alasan apa lagi yang bakal kupakai? Kalau kelamaan, mama papa pasti khawatir.’ “Jangan! Saya pulang saja, Pak,” pinta Manda. “Saya nggak mau bikin mama papa bertanya-tanya dan malah khawatir.” Ia juga menanyakan, “Dan siapa sebenarnya Regan ini? Saya nggak pernah tahu nama itu.”Raffael mengusap kepala Manda. Kali ini ia seperti memperlakukan Manda bagai anak kecil yang masih belum bisa lepas dari pengawasan orang tuanya. Tidak seperti Raffael yang memaksa bebas dari keluarga.“Aku baru hari ini menyuruh Regan menjagamu.” Raffael menjelaskan dengan sabar. “Soal orangtuamu, aku bisa memberitahu mereka, Manda. Jangan khawatir.”“Tapi, Pak—”“Manda.” Raffael menghentikan perdebatan mereka. Kemudian ia melanjutkan, “Kamu bilang selama ini kamu nggak pernah dapat pengalaman seperti tadi. Kesimpulanku cuma satu, ada yang ing
Deretan pertanyaan Manda membuat Raffael tertegun. Ia tahu, sekeras apapun ia menolak pertunangannya dengan Catherine, bukan berarti hubungan itu jadi tidak ada. “Yeah. Kau benar soal pertunanganku dengan Catherine, Manda.” Raffael menjawab perlahan semua ucapan sekretarisnya. “Aku berniat membatalkan itu.”Manda tertegun. Ia tak tahu apa makna di balik jawaban Raffael. Apakah ia setuju untuk menyudahi kontrak atau mereka tetap harus berpura-pura menjadi sepasang kekasih dan menunjukkan pada keluarga dan juga pihak Soreim?Untuk menghindari kesalahpahaman, Manda pun bertanya, “Jadi, apakah kita bisa sudahi kontrak ini, Pak?”Raffael menggeleng. “Tidak.”Manda terlihat lesu. Ia pikir ia tak perlu menyusahkan sang ayah soal biaya untuk vas antik yang pecah itu, kalau sang atasan setuju menganggap kontrak itu tak ada.Namun, kalau Raffael tak menyudahi kontrak, hal yang bisa dilakukan Manda adalah memaksanya dengan perjanjian untuk membayar utang. “Pak, sebenarnya saya membahas ini ka
Elena: Manda, sudah mau jam 5. Kita lanjut besok.Manda mengerjapkan mata. Ia terlalu fokus bekerja dan tak memperhatikan waktu berlalu cepat.“Astaga! Udah jam 5!” serunya sambil merenggangkan badan yang kaku karena sejak tadi duduk di depan laptop.Ia memutuskan untuk memesan makanan. Dan sementara menunggu ia memilih untuk menyegarkan tubuh dengan mandi. Namun, bel pintu kamarnya malah ditekan oleh seseorang tepat ketika ia hendak memasuki kamar mandi. “Hm? Nggak mungkin kan makanannya datang secepat itu?”Dipakainya lagi baju yang sudah ia tanggalkan dan melangkah menuju pintu. Ia menutup satu matanya untuk melihat dari lubang itu, siapa yang ada di depan kamarnya.“Hm? Pak Damian bukan sih itu?” gumam Manda sedikit ragu. Pasalnya ia tidak tahu kalau atasannya juga punya jadwal bertemu dengan CEO D&D Jewelry. Dengan cepat Manda membuka pintu dan ia terkejut. Tidak hanya ada Damian di sana. Selain Raffael yang berdiri sambil berpegangan dengan Damian, ada 1 orang yang tak perna
“Diam di kamar ini, Manda. Jangan ke mana-mana.” Raffael mengedipkan mata sebelum ia akhirnya keluar dari kamar. Manda pun hanya bisa menghela napas panjang. Lelah dengan kelakuan sang bos. “Ha! Jangan kira aku akan menurut saja,” gumam Manda.Ia menunggu beberapa saat kemudian menarik lepas kunci dari slot listrik dan keluar dari kamar. Gadis itu berencana memesan kamar lain. ‘Kalau cuma 2 juta aku bisa pakai duit sendiri lah! Lagian aku bakal coba minta ganti ke kantor.’Manda berdiri di depan pintu lift, menunggu benda itu terbuka. Ia harus kembali ke resepsionis dan memesan kamar. Namun, ketika lift terbuka, Belinda muncul dengan wajah sedikit panik. Begitu melihat Manda, ia langsung terlihat lega. “Oh God! Syukurlah Anda keluar, Mbak Manda. Saya kepikiran kalau-kalau Anda butuh kamar lain.”Manda terkejut tetapi bersyukur. “Astaga! Iya benar, Mbak Belinda. Saya baru mau ke resepsionis untuk pesan kamar, karena saya nggak tahu cari Mbak di mana.”Belinda meraih tangan Manda dan
Ha! Ha! Ha!Raffael benar-benar tergelak mendengar tebakan Manda. “Benar, sih. Kita sedang dalam pelarian, tapi bukan karena utang.”Bibir bawah Manda ditekannya keluar. “Dulu kan Bapak sering bikin saya ngutang, saya pikir Bapak nggak punya duit mungkin,” ejeknya.“Manda, stop bikin lelucon,” rintihnya sembari memegangi perut. “Aku lelah tertawa.”Sang sekretaris hanya berdecak kesal. “Ish! Terus apa alasannya kita sampai buru-buru?”“Soreim.” Raffael mengatur napas setelah kelelahan tertawa. Dahi Manda berkerut tak mengerti kenapa sang atasan menyebut nama keluarga calon mertuanya. “Soreim? Kenapa?”“Mereka membuntutiku.” Raffael menjawab seraya mengecek kelengkapan Manda sebelum pesawat lepas landas. “Aku minta rekan bisnisku di Surabaya untuk mengirimkan undangan untukku, jadi aku bisa pergi dari Jakarta.”Rahang Manda seolah jatuh mendengar kenyataan itu. “Jadi, ini nggak benar-benar dinas?”Raffael memamerkan cengiran polosnya, seolah tak ada yang salah dengan ‘dinas pura-pura
“Ngomong-ngomong, Pak, kenapa tiba-tiba ada jadwal perjalanan dinas?” tanya Manda dengan nada heran. “Nggak ada yang kontak saya minta ketemu Pak Raffael.”Raffael tersenyum penuh kebanggaan. Ia mengeluarkan secarik kertas dari kantong yang ada di belakang jok depan mobil. “Ini.”Manda menerima surat dengan kop surat milik perusahaan cabang Surabaya. “Cabang Surabaya? Mereka datang ke Jakarta kan, Pak? Kok mereka nggak kasih tahu Bu Elena atau saya?”Namun, Raffael menggeleng. “No. Kita ke Surabaya, Manda.”“Ha?!” Manda mulai protes. “Tapi Pak, saya nggak bawa baju kalau harus ke luar kota.”“Kau bisa pakai bajuku, Manda,” ujar Raffael sambil mengedipkan satu matanya. Manik mata Manda berputar, tak habis pikir dengan sifat kekanakan atasannya yang selalu muncul kalau mereka sedang berdua. “Ya, ya.”Raffael baru saja berniat memejamkan mata, tetapi Manda masih melontarkan pertanyaan. “Tapi Pak, Bapak kan harus pidato!”“Biar saja mereka cari pengganti saya. Saya sudah kasih tahu Cam
“Semangat! Ria, Ci Melly!” seru Manda di depan pintu lobi. Setelah fokus persiapan acara pameran marketing selama dua minggu, akhirnya hari H tiba. Ria dan Melly yang akan mengurus kedatangan para pemegang saham dan komisaris Djaya tambang. Raffael juga akan hadir untuk memberikan sepatah dua patah kata dalam acara itu. “Enaknya kalian! Kantor sepi bisa makan cemilan!” seru Ria, memasang wajah pura-pura cemberut. Elena mendengus geli. “Nggak sepi juga kamu terus aja ngemil, Ria.”Mereka tertawa bersamaan. Setelah itu, mau tak mau mereka harus berpisah. Mengerjakan tugas masing-masing. “Oke. Kerjaanmu gimana Manda?” tanya Elena sambil merenggangkan tubuhnya. Mereka sama-sama berbalik ke dalam kantor, menuju ruang kerja. “Saya tinggal nunggu respon para pemegang saham, Bu. Soal kedatangan mereka di rapat.”Elena mengangguk tenang. “Saya baru dapat agenda rapat pemegang saham luar biasa kali ini.”“Soal apa memang bu? Kemarin padahal baru rapat pemegang saham kan.”Elena kemudian m
Hari Senin. Sampai detik ini, Manda dan Diana belum membahas soal pembatalan kontrak pada Rowan. Manda berniat untuk membahasnya dulu dengan Raffael. Kalau memang presdirnya itu mau menunggu sampai sang ayah mendapatkan pinjaman, barulah ia membahasnya dengan Rowan.Namun, kenyataan sepertinya tak berniat mendukung. Pagi ini Elena sudah langsung mengajak rapat dengan wajah seriusnya.“Kita mesti bagi tugas,” ujar Elena membuka rapat. Ketiga anak buahnya mengangguk paham. Bahkan Manda sudah lupa masalah hatinya. Kalau Elena sudah terlihat serius, jelas beban pekerjaan tak akan mudah.Kemudian, kepala sekretaris itu beralih pandang pada Manda. “Saya juga sudah bilang sama Pak Raffael untuk pinjam kamu bantuin salah satu kegiatan kantor.”“Baik, Bu.”Mendengar nama bos-nya, hati Manda seperti diremas perih. Namun, ia berusaha fokus pada tugasnya. Jangan sampai ia dianggap mencampur urusan pribadi dengan pekerjaan.Untungnya, sejak kemarin ia memberitahu Elena mengenai hubungannya deng
“Iya, Bu. Saya tidak bisa menolak permintaan Pak Raffael juga untuk hari ini.”Manda menjelaskan posisinya. Ia tidak mau orang mengira dirinya mengambil kesempatan untuk menjadi dekat dengan sang presdir.“Orang tuamu tahu?” Camelia bertanya lagi. “Mereka tahunya saya harus menjadi kekasih pura-pura sebagai bantuan. Bantuan untuk ganti rugi vas itu. Kalau saya bicara dari awal, saya nggak mungkin kasih tahu mereka soal malam itu.”Camelia semakin pusing dibuatnya. Ia menyandarkan kepala di punggung jok mobil dan menghela napas panjang. “Lalu, apa kau mencintai Raffael sekarang?”Deg!Jantung Manda seperti jatuh ke perut. Ia tidak menyangka bahwa sang CEO akan menanyakan itu. “Aku perempuan, Manda. Kalau aku ada di posisimu, yang setiap hari dimanja pria setampan Raffael, aku mungkin luluh.”Manda meringis. “Well, nggak semua begitu, Bu. Saya nggak memiliki perasaan seperti itu pada Pak Raffael. Saya tahu batasan saya.”Camelia menatap Manda, seolah mencari kebenaran atas pernyataan
“Kau tanya begitu saja pasti sudah tahu jawabannya, Nona.”Gideon tiba-tiba bergabung dalam obrolan Manda dan Emilia.Manda paham dengan perkataannya. Kalau ia menganggap mereka pelaku, sudah pasti ia takkan setenang sekarang. Hanya saja ….“Pengakuan akan terasa lebih menenangkanku, Pak Gideon.” Manda beralasan.Gideon terkekeh. “Benar. Dan lagi kalau tebakanmu kami adalah penolong, juga tak sepenuhnya benar.”Spontan Manda menaikkan dinding pertahanan mendengar pengakuan pria bertubuh besar itu. “Apa maksudnya?”Emilia mengambil pertanyaan itu untuk ia jawab. “Kami yang menjadi pelaku. Tapi kami melakukan itu untuk menolongmu. Kamu belum tahu Soreim hanya lembut di permukaan.”Gideon mengangguk membenarkan, sementara Manda masih tak bisa memahami apa konteks yang sedang mereka bicarakan.“Hari di mana kamu dipilih Raffael menjadi sekretaris pribadinya, keluarga Soreim mengirim mata-mata ke hotel kamu menginap.”Gideon memberi contoh mengenai perilaku keluarga Soreim.Manda mencoba me