“Ha?! Ta–tapi kan cuma pura-pura.”Raffael terdiam mendengar ucapan Manda. Pikirannya kembali mengingat kejadian pagi tadi. Ketika Raffael bangun setelah mabuk semalaman, ia menemukan secarik kertas yang ditinggalkan Mahen. Di sana tertulis: ‘Pertanyaanmu semalam. Apa yang temannya temanmu rasakan, bukannya itu cinta? Ada pepatah mengatakan kalau kau berani jatuh cinta, bersiaplah untuk patah hati. Kalau kau takut patah hati, bukankah itu berarti kau sudah menganggap dia adalah seseorang yang spesial untukmu?’Karena itulah, hari ini ia memutuskan untuk mencari tahu apakah benar Manda sudah menjadi orang yang spesial baginya.“Tak masalah, Manda.” Raffael menanggapi secara keseluruhan. Ia seolah tak lagi peduli soal status pura-pura yang melekat pada hubungan mereka. “Hal wajar saya mau tahu satu dua hal soal kamu.”Manda tak bisa membalas ucapan atasannya itu. Ia memutuskan untuk beralih topik mengenai Karin. Namun, belum juga ia bertanya, Raffael ternyata masih penasaran dengan
“Manda, hari ini makan bareng yuk! Pak Raffael kan lagi nggak ada.”Tepat 1 minggu berlalu sejak kejadian Karin. Raffael disibukkan dengan pekerjaan yang semakin banyak. Termasuk rapat dan pertemuan di luar yang membuat Manda jarang berinteraksi dengan atasannya itu. Terkadang, Raffael tidak mengikutsertakan Manda dalam dinas luar kotanya. Ia lebih memilih membawa Tara saja. Walau sehari-hari seorang supir, Tara juga dibekali ilmu dasar sekretaris.Seperti hari ini. Manda terbebas dari Raffael. “Mau!” Manda memekik riang.Elena mengangguk penuh semangat. “Bu CEO yang traktir!”“Eh?! Bu Camelia?” tanya Manda mengkonfirmasi.Elena kembali menganggukkan kepalanya. “Beliau tadinya mau ikut, cuma tiba-tiba dia harus ketemu sama mamanya.”Manda terdiam mendengar hal itu. Ketika dicerna, itu berarti orang yang akan ditemui Camelia juga adalah ibu dari Raffael. Mau tak mau hati Manda terasa kecut. Diperjalanan menuju restoran yang sering mereka kunjungi saat luang, Manda mencoba bertanya
“Manda?” Elena terkejut. Belum juga 15 menit berlalu, gadis itu sudah kembali ke ruangan. “Cepat banget. Udah ketemu Bu Camelia?”Manda menggeleng. “Nggak jadi, Bu. Saya kelupaan ada laporan penting buat Pak Ferry.”Elena mengangguk saja, menerima ucapannya. Ia tidak berpikir bahwa sesuatu terjadi sebelum Manda bertemu Camelia. Sementara itu, Manda berusaha keras untuk fokus mengerjakan laporan yang sebenarnya tidak terlalu penting. Direktur produksi meminta laporan itu untuk besok lusa. ‘Kenapa Bu Camelia bilang begitu? Dia seperti mendukung rencana Pak Raffael.’ Manda bertanya-tanya dalam hati. Namun, mau sebanyak apa ia bertanya, tidak akan ada jawabannya kalau tidak bertanya langsung.Lucu. Hatinya kini terasa berat. Mungkin kalau ia diminta resign ketika awal ia bekerja di bawah Raffael, dengan senang hati ia memenuhi keinginan Camelia.‘Kenapa sekarang rasanya seperti ini. Kalau benar aku disuruh keluar dari kantor ini, seharusnya aku senang. Iya kan?’ Manda mulai bertanya p
“Ugh!”Manda terbangun dengan sakit yang menusuk di kepala. Ia tertegun sesaat, merasa deja vu dengan keadaan serupa yang pernah ia alami. Sontak ia mengangkat tubuhnya dengan panik. Namun hal itu semakin membuat kepalanya sakit. Sekujur tubuhnya juga terasa nyeri.“Manda, jangan banyak bergerak dulu.” Mendengar suara Raffael, Manda menoleh cepat. “Pak Raffa?”Pria itu mendengus sambil tersenyum. “Denda Rp 100 ribu,” ledeknya, kemudian menarik tubuh Manda untuk kembali merebahkan diri. “Tidur saja dulu. Kalau sudah sampai kukabari.”Manda terdiam. Ia baru sadar kalau mereka berada di dalam mobil. “Ada apa tadi?” tanya Manda, membiarkan sang atasan menyisir rambutnya perlahan.Sejujurnya Manda ingin menyuruhnya berhenti menyentuh rambutnya. Bukan karena tak suka, tetapi karena setiap sentuhannya menggelitik sekujur tubuh. ‘Tapi malas debat. Pasti ada aja alesannya.’ Manda sudah bisa menebak jalan pikiran atasannya itu.Raffael tersenyum canggung menanggapi pertanyaan Manda tadi. “
“Manda, selama Regan mengumpulkan informasi, kamu akan tinggal di sini.”Raffael memutuskan, setelah ia dan Manda berada di dalam apartemennya.Manda kembali panik. ‘Alasan apa lagi yang bakal kupakai? Kalau kelamaan, mama papa pasti khawatir.’ “Jangan! Saya pulang saja, Pak,” pinta Manda. “Saya nggak mau bikin mama papa bertanya-tanya dan malah khawatir.” Ia juga menanyakan, “Dan siapa sebenarnya Regan ini? Saya nggak pernah tahu nama itu.”Raffael mengusap kepala Manda. Kali ini ia seperti memperlakukan Manda bagai anak kecil yang masih belum bisa lepas dari pengawasan orang tuanya. Tidak seperti Raffael yang memaksa bebas dari keluarga.“Aku baru hari ini menyuruh Regan menjagamu.” Raffael menjelaskan dengan sabar. “Soal orangtuamu, aku bisa memberitahu mereka, Manda. Jangan khawatir.”“Tapi, Pak—”“Manda.” Raffael menghentikan perdebatan mereka. Kemudian ia melanjutkan, “Kamu bilang selama ini kamu nggak pernah dapat pengalaman seperti tadi. Kesimpulanku cuma satu, ada yang ing
“Ah … aku nggak mau pakai jubah mandi doang!” gerutu Manda.Ia membuka ulang setiap partisi lemari itu dan kini merambah setiap laci. Dasi, pin, kaos kaki, dasi kupu-kupu. “Dan … kaos … dalam?!” pekik Manda dengan suara tertahan. Pada akhirnya ia hanya menemukan kaos putih yang seharusnya dipakai sebagai dalaman. Ia menggerutu lagi. “Kenapa juga tadi aku membuat bra-ku basah?!” Untungnya, celana dalaman tidak kena air. Jadi, masih bisa dikenakan.‘Nggak mungkin aku keluar pakai kaos dalam putih tanpa bra. Bisa-bisa dia pikir aku sedang menggodanya.’ Manda menggelengkan kepala kuat-kuat, mencoba menghapus bayangannya.Kemudian, ia memutuskan untuk mencoba terlebih dahulu dengan harapan kaos itu sedikit tebal dan bisa menutupi bagian yang gelap.“Ha! Nggak bisa. Keliatan banget dua itu …,” keluh Manda sambil melangkah menuju salah satu lemari pakaian. Gadis itu ingat ada kemeja hitam yang mungkin bisa menutupi tubuhnya. Pikirnya, “Kurangkap saja nanti.”Karena sedang sibuk di ruang
“Ah … Raffa baby, kenapa kamu jadi dingin say—”Kalimat Sofia terhenti, ketika netranya menemukan perempuan lain berada di apartemen itu. Manda pun ikut terdiam. Tenggorokannya tercekat. What the …! Dia punya kekasih secantik itu dan masih saja menjahiliku?!’“Aa … inikah alasanmu, hm?” goda si wanita, semakin erat merangkul pinggang Raffael.Manda tak tahu harus memperkenalkan diri sebagai apa. Dan karena Raffael juga tak terlihat akan memperkenalkan mereka, ia hanya menganggukkan kepalanya saja ke arah Sofia.Raffael terlihat tenang, dengan senyum manisnya. Namun, nada mengancam terselip saat ia menyebut nama wanita itu lagi. “Sofia.”Spontan Sofia melepaskan pelukannya dan mengikuti Regan. “Fi~ne! aku ke kamar dulu, My Dear Raffa!” Sepeninggalan Sofia, ia pun menghela napas panjang, seolah lelah menghadapi tingkah wanita tadi. Dahi Manda berkerut. ‘Apa mereka mantan kekasih? Lalu kenapa perempuan itu ke sini?’“Abaikan saja dia, Manda,” ujar Raffael yang sudah kembali duduk di h
‘Ha?! Boyfriend shirt?!’Spontan Manda berbalik dan menatap Raffael dengan pandangan menyalak. “Inget umur, Pak. Apanya boyfriend shirt?!”Bukannya marah, Raffael malah tergelak. “Jadi, kamu belum tidur, Honey?”Manda bergidik mendengar panggilan itu lagi. Ia masih belum terbiasa dengan sebutan manis dari Raffael.Alih-alih merespon pertanyaan yang tak perlu dijawab itu, Manda mengalihkan topik. “Kenapa Bapak di sini? Bukannya Bapak tidur sama perempuan tadi?”Manda terdiam. Setelah pertanyaan itu keluar dari mulutnya, ia merasa lebih seperti kekasih yang sedang cemburu, ketimbang mencari tahu sebagai seorang sekretaris. Dan reaksi Raffael yang malah terlihat senang itu, tak membantu sama sekali. “Lupain pertanyaan saya, Pak. Saya tidur di luar saja, kalau memang bapak mau di sini.”Raffael menatap Manda yang turun dari tempat tidur dengan membawa bantal. Ia membiarkan sekretarisnya berjalan hingga ke pintu.Sebelum Manda sempat meraih gagang pintu, Raffael berkata, “Di luar ada Reg
“Bos. Perempuan itu datang lagi.”Regan melaporkan hasil pengamatannya, selama 3 hari ini. Alana tak berhenti mengunjunginya, seolah hidupnya bergantung pada pertemuan itu. ‘Apa yang sebenarnya diinginkan perempuan itu?’ batin Raffael bertanya-tanya. Hatinya tergerak untuk menemui Alana. Menyelesaikan semuanya. Sekali untuk selamanya.“Apa yang dia lakukan kalau datang?” tanya Raffael. Ada keraguan saat melontarkan kalimat itu.Regan berpikir sejenak kemudian menjawab, “Tidak ada hal yang signifikan. Hanya berdiri lalu menatap gedung ini. Kadang berjongkok atau bersandar di pagar kantor.”Mau tak mau, pikiran Raffael melayang ke tahun-tahun di mana mereka punya kenangan manis bersama. Di dalamnya, ada banyak hal yang tidak orang tahu, tetapi Raffael tahu. Salah satunya adalah kondisi darah rendah wanita itu yang selalu menjadi kekhawatiran Raffael dahulu kala. Namun, hatinya merasa was-was. “Amati terus. Saya nggak mau dia tiba-tiba pingsan di depan kantor karena kelelahan.”“Baik
Netra Raffael membulat penuh kengerian. Ia tak perlu berbalik untuk melihat siapa yang menghadang langkahnya dari belakang. “Regan!” Raffael memerintahkannya untuk segera mengamankan perempuan di belakangnya itu. “Raff! Dengar aku dulu! Kau salah paham! Aku—aku dihipnotis! Semua yang kukatakan saat itu tidak ada yang benar!”Hati Raffael goyah. Bukan soal cinta, tapi soal apa yang harus ia percayai. Apakah benar, pengakuan Alana dulu soal dirinya yang sudah bertunangan dengan Zach sebulan sebelum pertunangannya dengan Raffael hanyalah karena hipnotis? Atau semua ini hanyalah akting semata. “Bawa dia pergi dari sini!” sentak Raffael sambil melanjutkan langkahnya. “Beritahukan larangan untuk menerima orang ini di RAFTEN!”“Siap, Bos!”Namun, Alana berteriak lebih kencang. “Kau akan menyesal kalau nggak mendengarkan aku, Raffa! Zach! Zach! Dia–dia masih hidup!”Spontan Raffael berbalik. Menatap wajah Alana, berusaha mencari kebenaran dari ucapan putus asanya tadi. Wanita itu sudah
“Untuk sementara, tolong jangan keluar rumah kalau tidak penting.”Raffael mengumpulkan keluarganya pagi ini dan menjelaskan dengan singkat apa yang sedang ia takutkan. Wajah Diana dan Rowan terlihat pucat, sementara Manda yang sudah mendengar cerita itu semalam tak lagi kaget.Ia ikut berpikir keras, kalau-kalau ada yang bisa ia lakukan untuk meringankan beban sang suami. “Manda, aku dan Camelia memutuskan untuk tidak ke Jogja dulu sampai masalah ini selesai. Aku nggak mau mereka tahu tempat ini.”Kali ini Manda tertegun mendengar ucapan Raffael. Ia ingin bertanya berapa lama, tetapi ia juga tahu jawabannya. Tidak ada yang tahu berapa lama masalah ini akan berlangsung. Raffael memeluk erat istrinya yang terlihat kaget dengan keputusan itu. “Aku akan cari cara untuk membereskan ini. Anggap saja aku lagi dinas luar negri. Oke?”Manda mengangguk lemah. “Mm. Oke.”Sekitar pukul 9, sebuah mobil tak dikenal berhenti di depan rumah. Cal yang sudah diberitahu Raffael pun langsung membukaka
“Belum juga keluar suamimu, Nda?” tanya Diana. Manda menggeleng. Raut wajahnya terlihat sangat khawatir. Suaminya itu hanya mengatakan ia ada rapat malam, tetapi hati Manda tak percaya dengan ucapan Raffael.Tak bisa dibohongi. Wajah Raffael hari ini terlihat sangat tidak tenang. Seolah ada hal yang mengganggunya, tetapi tidak bisa ia utarakan. Selama bekerja dengannya, Manda tahu, tidak pernah Raffael punya jadwal untuk rapat malam hari. Jangankan malam, siang saja kalau bisa akan ia hindari. “Menurut Mama, apa ada hal buruk yang terjadi?” tanya Manda khawatir. “Hal buruk? Yang seperti apa maksudmu, Nak?”Manda mengangkat bahu. “Mungkin dia dapat ancaman dari orang tuanya? Atau malah dia diganggu Catherine Soreim itu? Atau apa? Aku sama sekali nggak bisa menebak.”Diana menghela napas panjang. Ia juga tak setuju putrinya dibiarkan dalam area buta seperti ini, tetapi ia yakin, menantunya itu pasti punya alasan. “Mama rasa, kamu harus jelaskan ke Raffa, Nak. Tidak ada untungnya ka
“Alana?” Raffael mengkonfirmasi nama orang yang dirujuk dalam ucapan Chin Han. “Yes, Raff. Dia dijadwalkan keluar jam 3 sore,” tambah Chin Han. “Kau sebaiknya bersiap. Aku yakin dia akan cari kamu, Raff.”Sekejap, penyesalan memenuhi hati Raffael. Baru kemarin ia mengumumkan pernikahannya dengan Manda. Bahkan wajah Manda terpampang di salah satu media cetak. Bukan hanya foto Manda, tetapi foto saat semua keluarga merayakan ulang tahunnya kemarin. Otaknya berpikir cepat dan berkata, “Han, tolong urus penarikan koran yang ada hubungannya sama berita kemarin.”“Ok!”Di Surabaya mungkin takkan terlalu banyak penerbit yang memberitakan kejadian itu, tetapi penerbit besar pasti mencetaknya. Tanpa peduli sambungan mereka sudah terputus atau belum, Raffael berbalik mencari Tiara. “Pak? Ada yang ketinggalan?” tanya Tiara saat berpapasan dengan Raffael di pintu ruang rapat. Wajah Raffael terlihat tegang. Ia kemudian me“Ra! Minta semua penerbit koran menarik lagi korannya.”“Ha?! Mana bis
‘RAFTEN, Memecat Sejumlah Artis dan Staf!’Adalah berita yang terpampang di halaman terdepan semua media yang beredar di ibukota. Dan setelah membaca setiap kolom berita, semua akan tahu apa yang sudah dilakukan mereka hingga pantas mendapatkan pemecatan.Kutipan Raffael pun tertuang di sana. ‘Penilaian ulang akan dilakukan. Sebagai seorang talent, RAFTEN tidak butuh mereka yang ahli dalam bidang akting tetapi nol dalam etika.’Kali ini, Manda juga tidak akan merasa kasihan lagi. Karena apa yang dilakukan sudah kelewat batas sebagai seorang manusia. Namun, karena ini juga, Diana dan Rowan jadi tahu apa yang terjadi pada putri mereka kemarin. “Astaga! Nggak perlu lah anggap kamu istri bos. Kita sama-sama manusia kenapa nggak bisa lebih lembut sedikit ya,” keluh Diana sambil memeluk Manda. “Jadi, ponselmu rusak, Nak?” tanya Rowan.Manda mengangguk, tetapi langsung menambahkan, “Raffa sudah belikan baru dan sudah atur semua sama seperti ponsel lamaku.”Rowan mengangguk. “Syukurlah, Ra
“Hon—”“Diam di dalam dulu. Aku mau ganti baju!” Setelah tenang, Manda mengunci Raffael di ruang rapat kecil, di dekat ruang kerjanya. Istri sang CEO itu memutuskan untuk tak peduli dengan apa yang sudah terjadi dan menyuruh Raffael berlatih menampilkan wajah terkejutnya saat nanti ia mendapatkan kejutan.“Baiklah ….” Raffael menyerah. Baginya yang terpenting saat ini Manda sudah terlihat lebih riang. Ia tak menyangka, istrinya bukan tipe wanita lemah yang bisa diinjak sembarangan. Padahal lawannya banyak dan ia kewalahan membuktikan statusnya sebagai istri sang CEO.‘Kurasa, aku harus membuat pengumuman dan memasang video pernikahanku segera. Supaya tidak ada kejadian seperti ini lagi,’ tekad Raffael dalam hatinya.Kemudian, diam-diam ia meminta Tiara membukakan pintu ruang rapat itu. Lebih baik ia segera mengurus para pembuat onar.“Pak, sebenarnya ada apa?” tanya Tiara. Ia berdiri di samping Raffael yang tengah menunggu lift. “Saya belum tahu cerita detailnya. Tapi saya sudah
Tak punya pilihan, Manda segera melayangkan tas besarnya ke arah satpam tersebut. Namun sayang, pintu lift sudah tertutup lagi.“Ibu ini! Malah mukul yang berwajib!”Satpam yang terkena pukulan pun langsung protes dan langsung mencengkram tangan Manda untuk memborgolnya. Namun, sebelum borgol itu menyentuh tangan Manda, suara Raffael menggelegar dari pintu lobi. Seperti biasa pagi tadi ia bangun dan menghubungi sang istri, tetapi tidak tersambung sama sekali. Takut terjadi sesuatu, Regan pun ia perintahkan untuk mencari tahu. Secepat kilat Raffael datang ke kantor karena mendapat bocoran dari Chang bahwa Manda pergi ke kantornya. Itu pun setelah Regan mengatakan bahwa ponsel majikan perempuan mereka tidak bisa dihubungi. Dan kondisi Manda yang tengah menghajar satpam kantor menjadi pemandangan pertama di mata Raffael. “Regan! Tangkap mereka semua!” bentak Raffael membuat semua orang yang ada di sana, termasuk mereka yang menonton ketakutan. Regan segera menggiring semua orang ke
“Ma, aku titip Bintang ya,” bisik Manda pada Diana yang masih setengah tidur. Diana mengangguk paham, kemudian melanjutkan tidurnya di kamar Manda, di rumah mereka yang ada di Jakarta. Bintang masih terlelap di dalam boks bayinya. “Aku pergi dulu.”Manda segera menutup pintu kamarnya dan bergegas keluar dari rumah menuju mobil. Chang dan Tara sudah berada di depan untuk mengantar. Sebelum pergi, Manda menjelaskan tugas mereka. “Chang, nanti tolong jagain Bintang dulu. Aku sama Tara ke RAFTEN, sekitar jam 8 atau 9 Tara jemput kalian.”“Siap, Madam!”Pagi masih belum penuh, tapi Manda harus segera menuju kantor Raffael karena ia sudah mengatur jadwal dengan Rara bahwa hari ini ia harus tiba di kantor pukul 7 pagi untuk mengatur berbagai hal. Berangkat pukul setengah 6 pun tak membuat Manda datang tepat waktu. Ia terlambat 5 menit. “Tara, kamu balik ke rumah ya,” perintah Manda. “Jemput Mama, Papa sama Bintang.”“Baik, Nyonya.”Sepeninggalan Tara, Manda pun berbalik untuk memasuki g