“Manda! Dengar saya nggak, Manda?!”
Elena berbisik. Nadanya penuh penekanan. Pasalnya, staf junior yang sedang menerima perintah darinya itu malah menjauhkan telinganya dan melamun seperti orang tak sadarkan diri.
Untungnya, Manda segera tersadar dari lamunannya dan langsung teringat pada sang atasan. Ia langsung berjongkok di sebelah Elena sambil berbisik, “Ma–maaf, Bu. Saya kaget dengar kita punya presdir baru.”
“Ya … kan, Bu Camelia naik jadi CEO. Posisi presdir jadi kosong.” Elena menjelaskan dengan singkat. “Kamu dengar saya nggak tadi? Nanti kamu urus payment sama pihak restoran. Ini kartunya. Jangan lupa tambahin porsi kamu sama Yana dan Jenny.”
Mendengar itu, Manda buru-buru menjalankan rencananya untuk menghilang dari rapat itu. “Maaf, Bu. Saya tadinya mau izin. Badan saya nggak enak, Bu.”
Wajah Elena terlihat gusar dan sedikit kecewa. Hal itu membuat Manda merasa sangat bersalah karena sudah berbohong.
“Bisa tahan sampai makan siang selesai nggak?” tanya Elena mencoba mengorganisir stafnya yang hanya berjumlah 4 orang termasuk dirinya. “Soalnya, Yana dan Jenny bakal repot urus barang di ruangan setelah rapat selesai.”
Manda berpikir sejenak, tetapi Elena menambahkan lagi. “Setidaknya sampai semua tamu undangan sudah duduk di restoran. Tolong ya, Manda?”
‘Haduh! Nggak enak juga jadinya aku. Ya, sudahlah! Gimana nanti aku coba sebisa mungkin menghindar dari orang itu,’ batinnya menyerah.
“Baik, Bu. Saya coba tahan.”
Setelah mengantongi kartu kredit milik perusahaan, Manda pun segera pamit keluar ruangan. Namun, ia tidak berniat menunggu sampai rapat selesai untuk pergi ke restoran.
Pura-pura salah tangkap dengan perintah Elena, Manda berkata, “Kak Yana, tadi Bu Elena bilang aku harus ke restoran buat urus pembayaran, jadi aku duluan ya.”
“Oke. Aku sama Ci Jenny nanti beresin ruangan. Tolong urus restoran ya, Kak Manda.”
Manda mengangguk. Lega hatinya bisa pergi dari area rapat itu.
‘Biarin deh kalau besok aku dianggep salah menjalankan perintah Bu Elena. Yang penting aku ada di restoran sampai semua tamu duduk.’ Manda membatin sambil mencangklong tasnya dan pergi menuju ke restoran.
30 menit setelah Manda menyelesaikan pembayaran, para petinggi perusahaan termasuk para general manajer yang mendapat kesempatan untuk makan siang bersama mulai berdatangan.
‘Waduh! Itu dia orangnya!’ pekik Manda tanpa suara.
Segera ia menghampiri salah satu staf restoran untuk meminta bantuan. “Mbak, itu semua yang datang atas nama PT Djaya Tambang Tbk ya. Ada 44 orang termasuk 3 sekretaris. Tolong dianterin sampai meja mereka.”
“Baik, Bu.”
Sementara staf itu melakukan tugasnya, dengan gesit Manda duduk bersembunyi di dekat hiasan pohon tinggi yang tepat berada di samping pintu masuk.
Ia mencentang semua orang yang ada dalam daftar undangannya dan setelah selesai tugasnya, ia pun segera pergi.
‘Sebaiknya lewat basement saja, takut ada yang lihat kalau lewat pintu masuk,’ pikir Manda sambil menekan tombol B pada dinding lift.
Tak lama pintu lift terbuka di lantai basement. Dengan langkah cepat Manda bergerak meninggalkan area restoran. Ia tidak menyadari kalau seseorang mengikutinya dari belakang.
Tanpa bisa menghindar, Manda tertangkap oleh orang tersebut. Ia didorong dengan sedikit kasar ke dalam mobil. Kondisi remang basement membuatnya tak bisa langsung melihat siapa pelakunya.
“Siapa kamu?!” pekik Manda.
Ia memeluk tasnya di depan dada, takut kalau-kalau kejadian yang sedang dihadapi menjurus pada pelecehan asusila.
Klik!
Lampu yang ada di langit-langit mobil menyala terang, menyingkap wajah si pelaku yang sudah berada di atas tubuhnya. Manda pun tercengang melihat siapa orang itu.
“Pa–Pak Raffael?!” pekik Manda panik. “Bapak mau apa?! Jauh-jauh dari saya! Saya bakal teriak bapak mau culik saya!”
Pria itu mendengus geli. “Ha! Sepertinya kau ingat siapa saya, hm?”
Ia mencengkram pergelangan tangan Manda. “Teriak saja. Saya bisa sebarkan foto-foto polosmu saat merintih manja di ranjang hotel.”
“Bohong! Tidak mungkin!” raung Manda panik.
Sambil memenjara tubuh Manda di antara lututnya, Raffael mengeluarkan ponsel dan mengutak-atik benda kotak itu. “Kita lihat saja besok sudah viral di media sosial. Aku juga ingin tahu berapa banyak yang bakal booking kamu kalau lihat foto-foto ini.”
“Jangan!” pekik Manda ketakutan. Bola matanya sampai bergetar karena merasa sangat terancam.
Gadis malang itu akhirnya memutuskan percaya kalau Raffael benar-benar memiliki foto-foto yang disebutkan tadi.
“Kalau gitu, Bapak mau apa dari saya?”
“Banyak yang saya mau dari kamu, Manda Adinata.”Wajah Manda terlihat kaget. Ia belum berkenalan dengan sang presdir, tetapi sudah tahu namanya. “Kenapa? Kaget saya tahu nama kamu?” ledeknya yang masih tak melepaskan Manda dari kungkungan kakinya. “Saya tanya Elena, karena saya mau nagih utang.”Mendengar itu, Manda dengan yakin berkata, “Utang?! Saya udah kasih semua uang saya di nakas hotel. Bulan ini saya sudah nggak ada uang, Pak.”Sontak Raffael tergelak. Namun, netranya tak tampak seperti sedang tertawa. Malahan pria itu seperti akan memakan Manda kalau ia lengah sedikit saja.Dengan nada penuh ancaman, Raffael berkata pelan, “Ya, ya. Uang itu. Kau membuatku rugi karena lembaran uang sialan itu.”“Rugi? Saya kan bayar, Pak,” protes Manda dengan kening berlipat.Raffael mendengus. “Bayar?! Kamu sudah menyebut saya gigolo di depan umum. Kamu juga mencuri kemeja saya. Dan hari ini kamu korupsi jam kerja dengan pulang cepat.”Wajah Manda pucat pasi. Semua yang disebutkan benar-bena
‘Senang?!’ pekik Manda dalam hati. ‘Senang kepala kau peyang! Kau doang yang senang bapak tua kelebihan hormon!’Namun, ia juga tidak punya pilihan lain selain menuruti apa yang dikatakan oleh Raffael. Sekejap, mereka tiba di depan lobi sebuah hotel. Hotel yang ia datangi kali ini 5 kali lebih mahal dari hotel kemarin.“Turun.” Raffael memberi perintah.Menurut, Manda segera melangkahkan kaki keluar dari mobil dan mengekor di belakang Raffael. Ia terus saja meremas tangannya yang terkepal, tidak tahu apa yang akan terjadi padanya setelah ini. Malam itu, ia mabuk saat bercinta dengan Raffael. Namun sekarang, ia sedang dalam kondisi sadar. Ia tidak tahu apakah ia akan serela itu disentuh oleh pria yang baru 2 kali ditemuinya.Tak menyadari ke mana langkah membawanya, ia terkejut saat Raffael berhenti di depan sebuah restoran. “Selamat datang, Pak Raffael. Ruangan seperti biasa?” tanya staf restoran sambil melirik melewati bahu Raffael. Pria itu bergumam singkat. Kemudian staf restor
“Nggak nyangka aku bisa dibuat ketawa seperti ini. Manda Adinata. Besok bakal seperti apa ya dia?” Raffael tergelak di dalam mobil setelah Manda menutup pintunya.Sementara mobil sedan hitam itu melaju meninggalkan kediaman Manda, gadis yang pulang dengan wajah kusut itu mendapat tatapan penuh perhatian dari sang ibu. “Manda, wajahnya kesal banget kayaknya?” sapa ibunda. “Ada apa, Nak? Apa pekerjaan kamu nggak berjalan baik?”Manda menggeleng. “Nggak, Ma. Manda nggak apa-apa. Manda udah makan, jadi langsung ke kamar ya.”Tak ingin menambah beban putrinya, wanita tua itu membiarkan saja Manda melakukan apa yang diinginkan. Sampai di kamar, Manda tidak langsung mandi. Ia menghubungi Yuike dan menceritakan kejadian gila hari ini. “Mampus nggak sih kamu, Nda?! Kau bakal sekantor sama dia. Bahkan dia bos besarmu!” komentar Yuike, ikut panik. “Mending kamu cari kerjaan baru. Aku bantuin.”Manda menganggukkan kepalanya walau Yuike tak bisa melihat. “Benar. Sebaiknya aku segera mengundurka
‘Sakit! Dia nggak ngakuin ini punya dia, tapi dia juga nggak bolehin aku jual. Maunya apa sih orang ini?!’Manda benar-benar dibuat pusing oleh presdir barunya itu. Merasa tak akan menang berdebat dengannya, ia memutuskan untuk menyimpan kemeja itu di kantor saja nanti.Sepanjang perjalanan Raffael terlihat sibuk dengan laptopnya, sementara itu Manda yang tidur larut karena mencari pekerjaan baru pun terhanyut goyangan mobil. Tanpa sadar ia tertidur. “Nanti kamu minta kontak sekretarisnya Pak Juanda ya. Besok-besok, biar dia yang—” ucapan Raffael terhenti ketika sesuatu tiba-tiba menyentuh pundaknya. Manda yang tertidur pulas tak sadar kalau kepalanya terjatuh di bahu bos yang jadi lawan debatnya itu.Raffael mendengus geli menyadari dirinya bahkan tidak menolak kelakuan sekretaris muda di sebelahnya. “Dasar anak ini. Tidur jam berapa semalam dia, sampai nggak sadar begini.”Mengabaikan Manda yang tengah nyaman bersandar di bahunya, Raffael melanjutkan pekerjaannya. 2 jam berlalu s
“Eh?! Tu—tunggu dulu, Pak!” Manda mencoba melepaskan diri dari genggaman tangan Raffael. Ia tidak mau menambah skandal lain. Terlebih kalau sampai ada yang mengenali atasannya dan mengambil foto mereka. Sayang, Raffael malah terlihat menikmati keadaan. Dengan wajah sumringah ia menggandeng Manda berjalan menuju lift hotel. Walau begitu, Manda masih berusaha menyadarkannya terkait status mereka. “Pak, saya nggak mungkin sekamar sama atasan saya.”Persuasif Manda gagal. Raffael malah mendengus sambil menarik Manda masuk ke dalam lift, kemudian berbisik, “Kita sudah pernah sekamar, buat apa dipersulit.”Wajah Manda memerah bak kepiting rebus. Seketika, ingatan malam panas itu kembali merajai pikirannya. ‘Dasar bos gila satu ini! Ngapain dia nginget malam itu sih?!’Bisa menebak apa yang ada dipikiran sang sekretaris, penyakit jahil Raffael kambuh. “Oh! Kayaknya kamu seneng inget-inget malam itu.”Netra Manda membulat sempurna. Tak menyangka kalau atasannya itu masih saja membahas soal
“Astaga!” pekik Manda panik. Buru-buru ia melangkah maju, sehingga tubuhnya tersembunyi di balik kaca bertekstur. “Saya kan lagi mandi, Pak Raffael!” omelnya kesal.Percikan air dari selang shower juga membasahi baju Raffael yang sudah setengah badan memasuki kamar mandi. Raffael terdiam. Setengah mati menahan tawa sambil menggigit bibir yang terlipat ke dalam. Ia tidak tahu kalau gadis itu akan mandi tanpa menarik tirai. Dengan nada sinis ia berkata, “Saya sudah lihat semua badan kamu, buat apa disembunyiin?” Kemudian diletakkannya satu set piyama yang untungnya masih terbungkus rapat sehingga tidak basah, di atas meja wastafel. “Ini baju kamu, saya suruh Tara beli kemarin malam.” Tanpa mendengar ucapan terima kasih dari si gadis yang masih setengah jalan menyelesaikan mandinya, Raffael menjauh dari kamar mandi. Ia langsung melempar tubuhnya ke atas kasur sambil menutupi wajah. Bayangan tubuh Manda membuat wajahnya terasa panas. Jantungnya pun tak bisa diam sejak tadi. Baru k
‘Ha! Sial! Kupikir dia bengong karena lihat kegagahanku! Malah mempermasalahkan kemeja dan utang!’ Awalnya, Raffael memang tak ingin mengambil kemeja itu lagi. Namun, semalam ia terkesan dengan harum kemejanya yang sama seperti wangi Manda. Walau ia sekuat tenaga mengelak dari tuduhan yang diutarakan hatinya. ‘Lagian, nggak mungkin aku melepas kemeja ini dan membiarkannya dijual oleh Manda,’ batinnya beralasan.Raffael menatap tajam ke arah Manda sambil berjalan menghampirinya. Manda mulai merasa tak enak. Ia takut kalau atasannya itu terpancing berbuat sesuatu karena ucapannya tadi. “Ba–bapak mau apa?!” pekiknya sambil mengangkat kedua tangan di depan dada. Seringai penuh ancaman mulai muncul di wajah bos ganteng itu, membuat sekujur tubuh Manda merinding. Dalam sekejap, Raffael mengurung tubuh Manda yang sudah terbaring terpaksa di atas tepi ranjang karena menghindari kontak fisik dengan sang atasan. “Sa–saya cuma bilang kenyataan—”“Tangan saya yang kamu pinjam buat bantal tad
“Manda, kamu siap-siap jemput Pak Juanda di pintu lobi.” Raffael langsung memberi perintah tepat setelah sang sekretaris menelan suapan terakhir sarapannya. “Saya belum minum kopi, Pak.” Manda kembali melancarkan serangannya. “Kan mau ngerasain jadi orang kaya juga. Mumpung dibayarin kantor.” Netra Raffael melebar tak percaya dengan apa yang baru saja dijadikan jawaban oleh sekretaris pribadinya itu. “Maksud kamu, kamu nggak mau mengerjakan tugas kamu sebagai sekretaris?” Jantung Manda mulai berdebar kencang. Selama ia hidup, belum pernah ia menentang sesuatu seperti ini. Rasa hatinya tak keruan. Ia ingin membatalkan rencananya, tapi bayangan kegilaan yang akan dihadapi selama masih bekerja di bawah Raffael membuatnya bertekad untuk dipecat. “Bu–bukan nggak mau, Pak. Tapi saya mau minum kopi dulu. Lagian, kan tinggal bilang sama Pak Juandanya suruh ke restoran sini.” Melihat tingkah Manda, Raffael terdiam sesaat untuk berpikir, ‘Kenapa anak ini tiba-tiba tidak menurut? Padahal
“Fleur minta Adelia dikeluarkan dari survival home.”Dahi Bintang berkerut. “Apa dia sebut alasannya? Kenapa di hari kalian nggak syuting, bisa ada bentrok? Apalagi antara artis selevel Fleur dengan pendatang baru.”Brian menggeleng. “Fleur nggak menjelaskan keberatannya mengenai keberadaan Adelia. Tapi dia mengancam, kalau kami nggak mengeluarkan Adelia, dia yang akan keluar dari survival home.”Bintang menggaruk kepala belakangnya. Pusing dengan kelakuan Fleur yang tiba-tiba memusuhi kekasih barunya itu. “Saya nggak habis pikir apa yang membuat Fleur tiba-tiba memusuhi Lia, Pak Brian. Apa Anda punya clue?”Brian terdiam sesaat kemudian mengoreksi ucapan Bintang. “Sejak awal Fleur nggak suka dengan Adelia, Pak. Jadi, sepertinya rasa tidak suka itu menumpuk dan meledak sekarang.”Napas Bintang terdengar panjang dan lelah. “Ya sudah, keluarkan saja Fleur dari sana.”Mendengar itu spontan Brian berdiri dan menggebrak meja kerja sang CEO. “Nggak bisa, Pak! Dia wajah acara ini!”“Saya ju
“Aku cukup tua untuk atur hidupku, Pa,” keluh Bintang. “Apa kalian semacam detektif? Datang mau interogasi?”Raffael mendengus. “Kalau kau nggak buat masalah, Mama Papa juga nggak akan sibuk urusin hidup kamu, Bintang.”Bintang memutar manik matanya. Ia memang sengaja membuat banyak skandal untuk meminimalisir perempuan mendekatinya. “Fine. Kalian sudah makan pagi? Karena aku lapar.”“Aku sudah makan roti dari kulkasmu, Nak. Kau bisa buat makan pagi sendiri.” Manda menyesap teh yang sudah hampir habis. Bintang membawa dirinya ke dapur, membiarkan kedua orang tuanya tetap mengajukan pertanyaan, sementara ia memasak sarapan pagi. “So, kamu akhirnya pacaran dengan Adelia?” tanya Raffael dengan nada penuh curiga. “Papa baru dengar beberapa menit lalu kalau kamu baru saja meresmikan hubungan pura-pura kalian.”Bintang terkekeh. Ia cukup lega karena sang ayah tidak mulai pembicaraan dengan memarahinya karena sudah membuat rencana gila seperti menjadikan Adelia sebagai pacar pura-puranya.
“Nomor yang anda tuju—”Brak! Raffael menghantam gagang telepon. Kesal karena ternyata bukan putranya yang menerima panggilan itu. Manda berhenti tepat di ambang pintu ruang kerja sang suami. “Raffa! Apa kata Bintang?”“Masuk mailbox!” keluhnya sambil menghempaskan tubuh di atas kursi kerja.Manda menghela napas lega. Ia punya waktu untuk memberitahu Bintang kalau dirinya kelepasan bicara.“Manda, apa yang kamu bilang itu benar?” tanya Raffael sekali lagi. “Raffael, Honey.” Manda mencoba menenangkan hati suaminya dengan panggilan sayang yang sangat jarang digunakan olehnya. “Dengar dulu ceritaku. Jangan judge Bintang.”Raffael membuka kedua tangannya, meminta sang istri untuk duduk dipangkuan, sementara cerita yang dijanjikan itu bergulir. “Sepertinya Bintang belum tahu apa Adelia suka sama dia. Ditambah dia ditekan oleh kamu dan Damian untuk menikahi Yara. Akhirnya dia membuat keputusan itu.”Dahi Raffael berkerut. “Tapi kulihat Adelia cukup menyukai Bintang, Honey. Dia bahkan mem
Duk!“Aduh!”Kepala Adelia menghantam langit-langit kulkas, saking terkejutnya karena Bintang berada dekat dan mendengarkan ucapannya tadi. “Astaga!” Bintang bergegas mendekat, memeriksa kalau-kalau ada bagian tubuhnya yang terluka. “Kau nggak hati-hati, Lia.”“Kamu ngagetin!” keluh Adelia, lupa dengan kecanggungannya berakting saat hanya berdua. “Kukira kamu di sofa tadi.”Bintang terkekeh. “Sakit?” tanya Bintang sambil mengusap-usap kepalanya. “Katanya usap pakai rambut, tapi rambutku nggak panjang.”Adelia merasa perutnya seperti diserbu ratusan bulu-bulu menggelitik. Karena tak juga menjawab, Bintang mengambil kesempatan itu untuk melingkarkan tangannya di pinggul Adelia. Membuat gadis itu terkejut dan mendongak untuk melihat wajah seperti apa yang ditunjukkan sang CEO.Semua sentuhan Bintang membuatnya lemah. Namun, bukan berarti ia tak suka. Kebalikannya, ia tak ingin Bintang melepas dekapannya itu. “Jadi, beda apanya?” Bintang bertanya ulang. “Kau dan Fleur kan sama-sama ar
“Kayaknya ….”Dahi Raffael berkerut sebelum akhirnya tergelak mendengar pernyataan penuh keraguan dari Adelia. “Fine! Om percaya sama kamu.” Raffael menyerah.Baginya, mengetahui kalau hubungan Bintang dan Adelia tidak dimulai dari kesalahan, sudah cukup melegakan. “Terus, apa Bintang sudah bilang, kapan kalian akan menikah, hm?”Kali ini giliran Adelia yang hampir saja menjatuhkan sendok kecilnya. “Me–menikah?!”Melihat Adelia yang terkejut mendengar pertanyaannya, Raffael pun murka. “Apa Bintang nggak pernah bahas soal pernikahan?! Apa anak itu cuma main-main?!”“Nggak, Om. Itu—”Cklak!Pintu ruang VIP terbuka dengan kasar. Bintang masuk dan segera memeluk Adelia dari belakang. “Pa! Kenapa Papa teriak-teriak ke Lia?!”Melihat Bintang ada di hadapannya, Raffael pun langsung menunjuknya. “Kamu! Kamu belum bahas soal pernikahan sama Adel?!”“Astaga, Raffa!” Manda yang juga bergegas kembali setelah melihat Bintang berlari ke dalam ruang VIP, mulai menegur sang suami. “Mereka baru juga
“Ah … sorry. Ada telpon dari Surabaya.” Bintang bergegas berdiri, hendak meninggalkan ruang VIP restoran itu. Sebelum pergi, ia sempat membungkuk dan bertanya pelan pada Adelia, “Lia, kamu nggak apa-apa kan, kutinggal?”Adelia jelas takut, tapi ia sedang berakting sebagai Lia yang sedang jatuh cinta pada Bintang. Tentu saja, mau tak mau ia mengangguk. “Nggak apa-apa. Tapi cepet kembali ya.”Bintang meremas pelan pundak artis perempuan muda itu sebelum akhirnya keluar dari ruangan.Untungnya, mereka masih menikmati hidangan penutup, sehingga gerak-gerik Adelia tak terlalu canggung.“Hon, tolong tanyakan apa ada sup burung dara di sini.” Raffael tiba-tiba meminta Manda untuk keluar mencari tahu. Ia juga melirik Alexa dan menambahkan, “Kamu temani Mama!”Tak bisa membantah, Manda dan Alexa wajib menurut kalau nada suara sang kepala keluarga sudah terdengar singkat walau wajahnya tersenyum. Manda menatap Raffael dengan tajam dari belakang tubuh Adelia, kemudian menepuk pelan pundak keka
“Inget ya, Raff, Lex! Jaga sikap!”Alexa dan Raffael mengangguk paham. Mereka tengah duduk menunggu kedatangan Bintang dan kekasih yang baru dipacarinya itu. “Lexa denger dia orang nggak punya, Ma. Mama tahu sesuatu?” tanya Alexa membuat Manda menyesal sudah membawanya. Karena pertanyaan itu membuat Raffael berprasangka buruk lagi. “Dan dia jadi artis karena nggak punya uang?”“So what?!” tegur Manda kesal. “Emangnya dulu aku kerja jadi sekretaris, bukan karena uang? Aku jadi pacar pura-pura kamu, bukan karena uang?”Alexa mengangakan mulutnya, terkejut mendengar kenyataan yang baru saja sembarangan keluar dari mulut sang ibu.Sementara itu, Raffael terlihat panik. “Sayang, sabar dulu. Bukan itu maksudku.”“Nada bicaramu mengarah ke sana, Raff!” sentak Manda. Untungnya mereka ada di dalam ruang VIP restoran. Sehingga apapun isi percakapan mereka, tidak akan terdengar keluar.“Oke, oke. Aku jujur kaget. Aku nggak masalah dia orang biasa atau orang kaya. Tapi kalau kayak gini, ada ke
“Raffa, nggak semua artis begitu kali!” tukas Manda, memberi waktu putranya untuk berpikir ulang jawaban untuk sang ayah. “Ya, mostly, Hon.” Raffael mengangkat bahu. Namun, ucapan Manda jadi membuatnya semakin penasaran. Kepala keluarga itu menoleh pada putranya dan menuntut jawaban, “Apa memang artis? Kau yakin?” Bintang terdiam. Tidak mungkin juga dia bisa menipu sang ayah. Ke depannya Adelia akan lebih banyak muncul di layar kaca. Jelas tidak akan bisa terlewat dari pandangan Raffael. “Dia artis pendatang baru.” Bintang akhirnya mengaku.Raffael menepuk meja makan sedikit keras. “Ha! After all your bullshit nggak mau nikah dengan artis, sekarang bahkan artis pendatang baru. Jelas-jelas cari pamor!”“Raffael!” Manda berharap suaminya berhenti berkomentar pedas. Sejujurnya, Manda pun tak punya jaminan Adelia akan berbeda dari mereka yang mencari pamor. “Kalau itu Lia, Bintang nggak keberatan, Pa!”Raffael ingin menghardik putranya, tetapi ia merasakan tatapan tajam sang istri.
“Sudah, Pa.”Bintang menjawab singkat. Ia baru akan melanjutkan ucapannya, tetapi Manda datang dengan dua piring nasi goreng. Untuknya dan untuk ayahnya. “Sudah. Makan dulu, baru bahas urusan lain.” Manda melirik Bintang, seolah memberi isyarat kalau ia sudah tahu isi percakapannya dengan Alexa pagi tadi.“Wah! Nasi goreng favorit, Honey! Thanks!” seru Raffael sambil merangkul pinggang istrinya. “Ayo, ayo! Makan dulu.”Sepanjang makan, topik pembicaraan beralih pada urusan kantor. Raffael memuji Bintang yang sudah mulai mengurangi hobinya membuat skandal. Namun, hingga saat ini, kedua orang tuanya itu masih menganggap Bintang sebagai playboy yang sudah meniduri banyak perempuan. Karena tidak menyebabkan kisruh berkepanjangan, Raffael dan Manda memutuskan untuk mengubur semua itu. “Kalau kau sudah yakin dengan perempuan yang membuatmu jatuh cinta, sebaiknya kau segera menikah, Bint.” Raffael mulai mengembalikan topik pembicaraan saat makanan di piring sudah hampir habis. “Papa ngga