“Manda! Dengar saya nggak, Manda?!”
Elena berbisik. Nadanya penuh penekanan. Pasalnya, staf junior yang sedang menerima perintah darinya itu malah menjauhkan telinganya dan melamun seperti orang tak sadarkan diri.
Untungnya, Manda segera tersadar dari lamunannya dan langsung teringat pada sang atasan. Ia langsung berjongkok di sebelah Elena sambil berbisik, “Ma–maaf, Bu. Saya kaget dengar kita punya presdir baru.”
“Ya … kan, Bu Camelia naik jadi CEO. Posisi presdir jadi kosong.” Elena menjelaskan dengan singkat. “Kamu dengar saya nggak tadi? Nanti kamu urus payment sama pihak restoran. Ini kartunya. Jangan lupa tambahin porsi kamu sama Yana dan Jenny.”
Mendengar itu, Manda buru-buru menjalankan rencananya untuk menghilang dari rapat itu. “Maaf, Bu. Saya tadinya mau izin. Badan saya nggak enak, Bu.”
Wajah Elena terlihat gusar dan sedikit kecewa. Hal itu membuat Manda merasa sangat bersalah karena sudah berbohong.
“Bisa tahan sampai makan siang selesai nggak?” tanya Elena mencoba mengorganisir stafnya yang hanya berjumlah 4 orang termasuk dirinya. “Soalnya, Yana dan Jenny bakal repot urus barang di ruangan setelah rapat selesai.”
Manda berpikir sejenak, tetapi Elena menambahkan lagi. “Setidaknya sampai semua tamu undangan sudah duduk di restoran. Tolong ya, Manda?”
‘Haduh! Nggak enak juga jadinya aku. Ya, sudahlah! Gimana nanti aku coba sebisa mungkin menghindar dari orang itu,’ batinnya menyerah.
“Baik, Bu. Saya coba tahan.”
Setelah mengantongi kartu kredit milik perusahaan, Manda pun segera pamit keluar ruangan. Namun, ia tidak berniat menunggu sampai rapat selesai untuk pergi ke restoran.
Pura-pura salah tangkap dengan perintah Elena, Manda berkata, “Kak Yana, tadi Bu Elena bilang aku harus ke restoran buat urus pembayaran, jadi aku duluan ya.”
“Oke. Aku sama Ci Jenny nanti beresin ruangan. Tolong urus restoran ya, Kak Manda.”
Manda mengangguk. Lega hatinya bisa pergi dari area rapat itu.
‘Biarin deh kalau besok aku dianggep salah menjalankan perintah Bu Elena. Yang penting aku ada di restoran sampai semua tamu duduk.’ Manda membatin sambil mencangklong tasnya dan pergi menuju ke restoran.
30 menit setelah Manda menyelesaikan pembayaran, para petinggi perusahaan termasuk para general manajer yang mendapat kesempatan untuk makan siang bersama mulai berdatangan.
‘Waduh! Itu dia orangnya!’ pekik Manda tanpa suara.
Segera ia menghampiri salah satu staf restoran untuk meminta bantuan. “Mbak, itu semua yang datang atas nama PT Djaya Tambang Tbk ya. Ada 44 orang termasuk 3 sekretaris. Tolong dianterin sampai meja mereka.”
“Baik, Bu.”
Sementara staf itu melakukan tugasnya, dengan gesit Manda duduk bersembunyi di dekat hiasan pohon tinggi yang tepat berada di samping pintu masuk.
Ia mencentang semua orang yang ada dalam daftar undangannya dan setelah selesai tugasnya, ia pun segera pergi.
‘Sebaiknya lewat basement saja, takut ada yang lihat kalau lewat pintu masuk,’ pikir Manda sambil menekan tombol B pada dinding lift.
Tak lama pintu lift terbuka di lantai basement. Dengan langkah cepat Manda bergerak meninggalkan area restoran. Ia tidak menyadari kalau seseorang mengikutinya dari belakang.
Tanpa bisa menghindar, Manda tertangkap oleh orang tersebut. Ia didorong dengan sedikit kasar ke dalam mobil. Kondisi remang basement membuatnya tak bisa langsung melihat siapa pelakunya.
“Siapa kamu?!” pekik Manda.
Ia memeluk tasnya di depan dada, takut kalau-kalau kejadian yang sedang dihadapi menjurus pada pelecehan asusila.
Klik!
Lampu yang ada di langit-langit mobil menyala terang, menyingkap wajah si pelaku yang sudah berada di atas tubuhnya. Manda pun tercengang melihat siapa orang itu.
“Pa–Pak Raffael?!” pekik Manda panik. “Bapak mau apa?! Jauh-jauh dari saya! Saya bakal teriak bapak mau culik saya!”
Pria itu mendengus geli. “Ha! Sepertinya kau ingat siapa saya, hm?”
Ia mencengkram pergelangan tangan Manda. “Teriak saja. Saya bisa sebarkan foto-foto polosmu saat merintih manja di ranjang hotel.”
“Bohong! Tidak mungkin!” raung Manda panik.
Sambil memenjara tubuh Manda di antara lututnya, Raffael mengeluarkan ponsel dan mengutak-atik benda kotak itu. “Kita lihat saja besok sudah viral di media sosial. Aku juga ingin tahu berapa banyak yang bakal booking kamu kalau lihat foto-foto ini.”
“Jangan!” pekik Manda ketakutan. Bola matanya sampai bergetar karena merasa sangat terancam.
Gadis malang itu akhirnya memutuskan percaya kalau Raffael benar-benar memiliki foto-foto yang disebutkan tadi.
“Kalau gitu, Bapak mau apa dari saya?”
“Banyak yang saya mau dari kamu, Manda Adinata.”Wajah Manda terlihat kaget. Ia belum berkenalan dengan sang presdir, tetapi sudah tahu namanya. “Kenapa? Kaget saya tahu nama kamu?” ledeknya yang masih tak melepaskan Manda dari kungkungan kakinya. “Saya tanya Elena, karena saya mau nagih utang.”Mendengar itu, Manda dengan yakin berkata, “Utang?! Saya udah kasih semua uang saya di nakas hotel. Bulan ini saya sudah nggak ada uang, Pak.”Sontak Raffael tergelak. Namun, netranya tak tampak seperti sedang tertawa. Malahan pria itu seperti akan memakan Manda kalau ia lengah sedikit saja.Dengan nada penuh ancaman, Raffael berkata pelan, “Ya, ya. Uang itu. Kau membuatku rugi karena lembaran uang sialan itu.”“Rugi? Saya kan bayar, Pak,” protes Manda dengan kening berlipat.Raffael mendengus. “Bayar?! Kamu sudah menyebut saya gigolo di depan umum. Kamu juga mencuri kemeja saya. Dan hari ini kamu korupsi jam kerja dengan pulang cepat.”Wajah Manda pucat pasi. Semua yang disebutkan benar-bena
‘Senang?!’ pekik Manda dalam hati. ‘Senang kepala kau peyang! Kau doang yang senang bapak tua kelebihan hormon!’Namun, ia juga tidak punya pilihan lain selain menuruti apa yang dikatakan oleh Raffael. Sekejap, mereka tiba di depan lobi sebuah hotel. Hotel yang ia datangi kali ini 5 kali lebih mahal dari hotel kemarin.“Turun.” Raffael memberi perintah.Menurut, Manda segera melangkahkan kaki keluar dari mobil dan mengekor di belakang Raffael. Ia terus saja meremas tangannya yang terkepal, tidak tahu apa yang akan terjadi padanya setelah ini. Malam itu, ia mabuk saat bercinta dengan Raffael. Namun sekarang, ia sedang dalam kondisi sadar. Ia tidak tahu apakah ia akan serela itu disentuh oleh pria yang baru 2 kali ditemuinya.Tak menyadari ke mana langkah membawanya, ia terkejut saat Raffael berhenti di depan sebuah restoran. “Selamat datang, Pak Raffael. Ruangan seperti biasa?” tanya staf restoran sambil melirik melewati bahu Raffael. Pria itu bergumam singkat. Kemudian staf restor
“Nggak nyangka aku bisa dibuat ketawa seperti ini. Manda Adinata. Besok bakal seperti apa ya dia?” Raffael tergelak di dalam mobil setelah Manda menutup pintunya.Sementara mobil sedan hitam itu melaju meninggalkan kediaman Manda, gadis yang pulang dengan wajah kusut itu mendapat tatapan penuh perhatian dari sang ibu. “Manda, wajahnya kesal banget kayaknya?” sapa ibunda. “Ada apa, Nak? Apa pekerjaan kamu nggak berjalan baik?”Manda menggeleng. “Nggak, Ma. Manda nggak apa-apa. Manda udah makan, jadi langsung ke kamar ya.”Tak ingin menambah beban putrinya, wanita tua itu membiarkan saja Manda melakukan apa yang diinginkan. Sampai di kamar, Manda tidak langsung mandi. Ia menghubungi Yuike dan menceritakan kejadian gila hari ini. “Mampus nggak sih kamu, Nda?! Kau bakal sekantor sama dia. Bahkan dia bos besarmu!” komentar Yuike, ikut panik. “Mending kamu cari kerjaan baru. Aku bantuin.”Manda menganggukkan kepalanya walau Yuike tak bisa melihat. “Benar. Sebaiknya aku segera mengundurka
‘Sakit! Dia nggak ngakuin ini punya dia, tapi dia juga nggak bolehin aku jual. Maunya apa sih orang ini?!’Manda benar-benar dibuat pusing oleh presdir barunya itu. Merasa tak akan menang berdebat dengannya, ia memutuskan untuk menyimpan kemeja itu di kantor saja nanti.Sepanjang perjalanan Raffael terlihat sibuk dengan laptopnya, sementara itu Manda yang tidur larut karena mencari pekerjaan baru pun terhanyut goyangan mobil. Tanpa sadar ia tertidur. “Nanti kamu minta kontak sekretarisnya Pak Juanda ya. Besok-besok, biar dia yang—” ucapan Raffael terhenti ketika sesuatu tiba-tiba menyentuh pundaknya. Manda yang tertidur pulas tak sadar kalau kepalanya terjatuh di bahu bos yang jadi lawan debatnya itu.Raffael mendengus geli menyadari dirinya bahkan tidak menolak kelakuan sekretaris muda di sebelahnya. “Dasar anak ini. Tidur jam berapa semalam dia, sampai nggak sadar begini.”Mengabaikan Manda yang tengah nyaman bersandar di bahunya, Raffael melanjutkan pekerjaannya. 2 jam berlalu s
“Eh?! Tu—tunggu dulu, Pak!” Manda mencoba melepaskan diri dari genggaman tangan Raffael. Ia tidak mau menambah skandal lain. Terlebih kalau sampai ada yang mengenali atasannya dan mengambil foto mereka. Sayang, Raffael malah terlihat menikmati keadaan. Dengan wajah sumringah ia menggandeng Manda berjalan menuju lift hotel. Walau begitu, Manda masih berusaha menyadarkannya terkait status mereka. “Pak, saya nggak mungkin sekamar sama atasan saya.”Persuasif Manda gagal. Raffael malah mendengus sambil menarik Manda masuk ke dalam lift, kemudian berbisik, “Kita sudah pernah sekamar, buat apa dipersulit.”Wajah Manda memerah bak kepiting rebus. Seketika, ingatan malam panas itu kembali merajai pikirannya. ‘Dasar bos gila satu ini! Ngapain dia nginget malam itu sih?!’Bisa menebak apa yang ada dipikiran sang sekretaris, penyakit jahil Raffael kambuh. “Oh! Kayaknya kamu seneng inget-inget malam itu.”Netra Manda membulat sempurna. Tak menyangka kalau atasannya itu masih saja membahas soal
“Astaga!” pekik Manda panik. Buru-buru ia melangkah maju, sehingga tubuhnya tersembunyi di balik kaca bertekstur. “Saya kan lagi mandi, Pak Raffael!” omelnya kesal.Percikan air dari selang shower juga membasahi baju Raffael yang sudah setengah badan memasuki kamar mandi. Raffael terdiam. Setengah mati menahan tawa sambil menggigit bibir yang terlipat ke dalam. Ia tidak tahu kalau gadis itu akan mandi tanpa menarik tirai. Dengan nada sinis ia berkata, “Saya sudah lihat semua badan kamu, buat apa disembunyiin?” Kemudian diletakkannya satu set piyama yang untungnya masih terbungkus rapat sehingga tidak basah, di atas meja wastafel. “Ini baju kamu, saya suruh Tara beli kemarin malam.” Tanpa mendengar ucapan terima kasih dari si gadis yang masih setengah jalan menyelesaikan mandinya, Raffael menjauh dari kamar mandi. Ia langsung melempar tubuhnya ke atas kasur sambil menutupi wajah. Bayangan tubuh Manda membuat wajahnya terasa panas. Jantungnya pun tak bisa diam sejak tadi. Baru k
‘Ha! Sial! Kupikir dia bengong karena lihat kegagahanku! Malah mempermasalahkan kemeja dan utang!’ Awalnya, Raffael memang tak ingin mengambil kemeja itu lagi. Namun, semalam ia terkesan dengan harum kemejanya yang sama seperti wangi Manda. Walau ia sekuat tenaga mengelak dari tuduhan yang diutarakan hatinya. ‘Lagian, nggak mungkin aku melepas kemeja ini dan membiarkannya dijual oleh Manda,’ batinnya beralasan.Raffael menatap tajam ke arah Manda sambil berjalan menghampirinya. Manda mulai merasa tak enak. Ia takut kalau atasannya itu terpancing berbuat sesuatu karena ucapannya tadi. “Ba–bapak mau apa?!” pekiknya sambil mengangkat kedua tangan di depan dada. Seringai penuh ancaman mulai muncul di wajah bos ganteng itu, membuat sekujur tubuh Manda merinding. Dalam sekejap, Raffael mengurung tubuh Manda yang sudah terbaring terpaksa di atas tepi ranjang karena menghindari kontak fisik dengan sang atasan. “Sa–saya cuma bilang kenyataan—”“Tangan saya yang kamu pinjam buat bantal tad
“Manda, kamu siap-siap jemput Pak Juanda di pintu lobi.”Raffael langsung memberi perintah tepat setelah sang sekretaris menelan suapan terakhir sarapannya.“Saya belum minum kopi, Pak.” Manda kembali melancarkan serangannya. “Kan mau ngerasain jadi orang kaya juga. Mumpung dibayarin kantor.”Netra Raffael melebar tak percaya dengan apa yang baru saja dijadikan jawaban oleh sekretaris pribadinya itu. “Maksud kamu, kamu nggak mau mengerjakan tugas kamu sebagai sekretaris?”Jantung Manda mulai berdebar kencang. Selama ia hidup, belum pernah ia menentang sesuatu seperti ini. Rasa hatinya tak keruan. Ia ingin membatalkan rencananya, tapi bayangan kegilaan yang akan dihadapi selama masih bekerja di bawah Raffael membuatnya bertekad untuk dipecat. “Bu–bukan nggak mau, Pak. Tapi saya mau minum kopi dulu. Lagian, kan tinggal bilang sama Pak Juandanya suruh ke restoran sini.”Melihat tingkah Manda, Raffael terdiam sesaat untuk berpikir, ‘Kenapa anak ini tiba-tiba tidak menurut? Padahal menuru
“Ini kartu nama saya. Mbak Manda bisa hubungi saya kapan saja.” Wanita muda yang usianya mungkin 5 tahun lebih tua dari Manda menyerahkan kertas kaku yang berisi namanya. Tercatat di sana nama lengkap sekretaris Juanda. Danna Avrilena.Raffael mencatat dalam hati bahwa ia harus mengingatkan Manda untuk meminta kartu nama dari HRD. “Ah, ya. Manda belum dapat kartu nama, karena dia baru saja jadi sekretaris.”Manda mengangguk, membenarkan ucapan sang bos. “Nanti saya yang hubungi duluan saja, Bu Danna.”Setelah mereka bertukar pamit, Raffael mengantar Juanda sampai ke lobi. Manda dan Danna berbincang singkat di belakangnya. “Kalau begitu, mohon kerjasamanya ke depan, Pak Raffael.” Juanda berkata, sambil melangkah naik ke dalam mobil. Raffael mengangguk singkat. “Tentu, tentu, Pak Juanda.”Mobil sedan itu pun mulai mengukir jalan, meninggalkan area hotel. Raffael menghela napas panjang seolah pertemuan tadi menguras tenaganya. Namun, yang membuatnya lelah adalah kekhawatirannya terha
“Manda, kamu siap-siap jemput Pak Juanda di pintu lobi.”Raffael langsung memberi perintah tepat setelah sang sekretaris menelan suapan terakhir sarapannya.“Saya belum minum kopi, Pak.” Manda kembali melancarkan serangannya. “Kan mau ngerasain jadi orang kaya juga. Mumpung dibayarin kantor.”Netra Raffael melebar tak percaya dengan apa yang baru saja dijadikan jawaban oleh sekretaris pribadinya itu. “Maksud kamu, kamu nggak mau mengerjakan tugas kamu sebagai sekretaris?”Jantung Manda mulai berdebar kencang. Selama ia hidup, belum pernah ia menentang sesuatu seperti ini. Rasa hatinya tak keruan. Ia ingin membatalkan rencananya, tapi bayangan kegilaan yang akan dihadapi selama masih bekerja di bawah Raffael membuatnya bertekad untuk dipecat. “Bu–bukan nggak mau, Pak. Tapi saya mau minum kopi dulu. Lagian, kan tinggal bilang sama Pak Juandanya suruh ke restoran sini.”Melihat tingkah Manda, Raffael terdiam sesaat untuk berpikir, ‘Kenapa anak ini tiba-tiba tidak menurut? Padahal menuru
‘Ha! Sial! Kupikir dia bengong karena lihat kegagahanku! Malah mempermasalahkan kemeja dan utang!’ Awalnya, Raffael memang tak ingin mengambil kemeja itu lagi. Namun, semalam ia terkesan dengan harum kemejanya yang sama seperti wangi Manda. Walau ia sekuat tenaga mengelak dari tuduhan yang diutarakan hatinya. ‘Lagian, nggak mungkin aku melepas kemeja ini dan membiarkannya dijual oleh Manda,’ batinnya beralasan.Raffael menatap tajam ke arah Manda sambil berjalan menghampirinya. Manda mulai merasa tak enak. Ia takut kalau atasannya itu terpancing berbuat sesuatu karena ucapannya tadi. “Ba–bapak mau apa?!” pekiknya sambil mengangkat kedua tangan di depan dada. Seringai penuh ancaman mulai muncul di wajah bos ganteng itu, membuat sekujur tubuh Manda merinding. Dalam sekejap, Raffael mengurung tubuh Manda yang sudah terbaring terpaksa di atas tepi ranjang karena menghindari kontak fisik dengan sang atasan. “Sa–saya cuma bilang kenyataan—”“Tangan saya yang kamu pinjam buat bantal tad
“Astaga!” pekik Manda panik. Buru-buru ia melangkah maju, sehingga tubuhnya tersembunyi di balik kaca bertekstur. “Saya kan lagi mandi, Pak Raffael!” omelnya kesal.Percikan air dari selang shower juga membasahi baju Raffael yang sudah setengah badan memasuki kamar mandi. Raffael terdiam. Setengah mati menahan tawa sambil menggigit bibir yang terlipat ke dalam. Ia tidak tahu kalau gadis itu akan mandi tanpa menarik tirai. Dengan nada sinis ia berkata, “Saya sudah lihat semua badan kamu, buat apa disembunyiin?” Kemudian diletakkannya satu set piyama yang untungnya masih terbungkus rapat sehingga tidak basah, di atas meja wastafel. “Ini baju kamu, saya suruh Tara beli kemarin malam.” Tanpa mendengar ucapan terima kasih dari si gadis yang masih setengah jalan menyelesaikan mandinya, Raffael menjauh dari kamar mandi. Ia langsung melempar tubuhnya ke atas kasur sambil menutupi wajah. Bayangan tubuh Manda membuat wajahnya terasa panas. Jantungnya pun tak bisa diam sejak tadi. Baru k
“Eh?! Tu—tunggu dulu, Pak!” Manda mencoba melepaskan diri dari genggaman tangan Raffael. Ia tidak mau menambah skandal lain. Terlebih kalau sampai ada yang mengenali atasannya dan mengambil foto mereka. Sayang, Raffael malah terlihat menikmati keadaan. Dengan wajah sumringah ia menggandeng Manda berjalan menuju lift hotel. Walau begitu, Manda masih berusaha menyadarkannya terkait status mereka. “Pak, saya nggak mungkin sekamar sama atasan saya.”Persuasif Manda gagal. Raffael malah mendengus sambil menarik Manda masuk ke dalam lift, kemudian berbisik, “Kita sudah pernah sekamar, buat apa dipersulit.”Wajah Manda memerah bak kepiting rebus. Seketika, ingatan malam panas itu kembali merajai pikirannya. ‘Dasar bos gila satu ini! Ngapain dia nginget malam itu sih?!’Bisa menebak apa yang ada dipikiran sang sekretaris, penyakit jahil Raffael kambuh. “Oh! Kayaknya kamu seneng inget-inget malam itu.”Netra Manda membulat sempurna. Tak menyangka kalau atasannya itu masih saja membahas soal
‘Sakit! Dia nggak ngakuin ini punya dia, tapi dia juga nggak bolehin aku jual. Maunya apa sih orang ini?!’Manda benar-benar dibuat pusing oleh presdir barunya itu. Merasa tak akan menang berdebat dengannya, ia memutuskan untuk menyimpan kemeja itu di kantor saja nanti.Sepanjang perjalanan Raffael terlihat sibuk dengan laptopnya, sementara itu Manda yang tidur larut karena mencari pekerjaan baru pun terhanyut goyangan mobil. Tanpa sadar ia tertidur. “Nanti kamu minta kontak sekretarisnya Pak Juanda ya. Besok-besok, biar dia yang—” ucapan Raffael terhenti ketika sesuatu tiba-tiba menyentuh pundaknya. Manda yang tertidur pulas tak sadar kalau kepalanya terjatuh di bahu bos yang jadi lawan debatnya itu.Raffael mendengus geli menyadari dirinya bahkan tidak menolak kelakuan sekretaris muda di sebelahnya. “Dasar anak ini. Tidur jam berapa semalam dia, sampai nggak sadar begini.”Mengabaikan Manda yang tengah nyaman bersandar di bahunya, Raffael melanjutkan pekerjaannya. 2 jam berlalu s
“Nggak nyangka aku bisa dibuat ketawa seperti ini. Manda Adinata. Besok bakal seperti apa ya dia?” Raffael tergelak di dalam mobil setelah Manda menutup pintunya.Sementara mobil sedan hitam itu melaju meninggalkan kediaman Manda, gadis yang pulang dengan wajah kusut itu mendapat tatapan penuh perhatian dari sang ibu. “Manda, wajahnya kesal banget kayaknya?” sapa ibunda. “Ada apa, Nak? Apa pekerjaan kamu nggak berjalan baik?”Manda menggeleng. “Nggak, Ma. Manda nggak apa-apa. Manda udah makan, jadi langsung ke kamar ya.”Tak ingin menambah beban putrinya, wanita tua itu membiarkan saja Manda melakukan apa yang diinginkan. Sampai di kamar, Manda tidak langsung mandi. Ia menghubungi Yuike dan menceritakan kejadian gila hari ini. “Mampus nggak sih kamu, Nda?! Kau bakal sekantor sama dia. Bahkan dia bos besarmu!” komentar Yuike, ikut panik. “Mending kamu cari kerjaan baru. Aku bantuin.”Manda menganggukkan kepalanya walau Yuike tak bisa melihat. “Benar. Sebaiknya aku segera mengundurka
‘Senang?!’ pekik Manda dalam hati. ‘Senang kepala kau peyang! Kau doang yang senang bapak tua kelebihan hormon!’Namun, ia juga tidak punya pilihan lain selain menuruti apa yang dikatakan oleh Raffael. Sekejap, mereka tiba di depan lobi sebuah hotel. Hotel yang ia datangi kali ini 5 kali lebih mahal dari hotel kemarin.“Turun.” Raffael memberi perintah.Menurut, Manda segera melangkahkan kaki keluar dari mobil dan mengekor di belakang Raffael. Ia terus saja meremas tangannya yang terkepal, tidak tahu apa yang akan terjadi padanya setelah ini. Malam itu, ia mabuk saat bercinta dengan Raffael. Namun sekarang, ia sedang dalam kondisi sadar. Ia tidak tahu apakah ia akan serela itu disentuh oleh pria yang baru 2 kali ditemuinya.Tak menyadari ke mana langkah membawanya, ia terkejut saat Raffael berhenti di depan sebuah restoran. “Selamat datang, Pak Raffael. Ruangan seperti biasa?” tanya staf restoran sambil melirik melewati bahu Raffael. Pria itu bergumam singkat. Kemudian staf restor
“Banyak yang saya mau dari kamu, Manda Adinata.”Wajah Manda terlihat kaget. Ia belum berkenalan dengan sang presdir, tetapi sudah tahu namanya. “Kenapa? Kaget saya tahu nama kamu?” ledeknya yang masih tak melepaskan Manda dari kungkungan kakinya. “Saya tanya Elena, karena saya mau nagih utang.”Mendengar itu, Manda dengan yakin berkata, “Utang?! Saya udah kasih semua uang saya di nakas hotel. Bulan ini saya sudah nggak ada uang, Pak.”Sontak Raffael tergelak. Namun, netranya tak tampak seperti sedang tertawa. Malahan pria itu seperti akan memakan Manda kalau ia lengah sedikit saja.Dengan nada penuh ancaman, Raffael berkata pelan, “Ya, ya. Uang itu. Kau membuatku rugi karena lembaran uang sialan itu.”“Rugi? Saya kan bayar, Pak,” protes Manda dengan kening berlipat.Raffael mendengus. “Bayar?! Kamu sudah menyebut saya gigolo di depan umum. Kamu juga mencuri kemeja saya. Dan hari ini kamu korupsi jam kerja dengan pulang cepat.”Wajah Manda pucat pasi. Semua yang disebutkan benar-bena