“Bunuh saja aku.” Daisy tertawa pelan. Ia mendongak. Mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan darah sebentar. Ia berdiri—menatap dua orang yang baginya tidak pernah berguna di hidupnya. “KENAPA TIDAK MEMBUANGK SAJA? KENAPA MALAH INGIN MENYERAHKAN PERUSAHAANMU PADAKU?” jerit Daisy tidak tertahankan. “Karena kau tidak punya anak. Karena aku harapanmu satu-satunya untuk menjadi penerus agar perusahaan tidak jatuh pada saudaramu yang sudah membunuh ayahmu sendiri.”“DIAM KAU!” Sentak Aroon. PlAK PLAK Hari ini Daisy menerima 3 kali tamparan. Daisy tertawa—ia menampar pipinya sendiri. “Tampar lagi! Tampar aku sepuasmu sialan!” “Daisy sudah!” Amora mendorong Daisy. “Kau tidak boleh melawan ayahmu. Berhenti Daisy, jangan membuat ayahmu marah.” “Anak sama ibu sama saja.” Aroon menarik Amora. “Dia keponakanmu sendiri. Tapi berani-beraninya berusaha menghancurkan perusahaanku.” Amora menggeleng. “Aku tidak punya keluarga Aroon. Mereka hanya orang asing.” “Kalau begitu.” Aroon menatap Amo
“KAKEK!” Alesha berteriak di depan pintu. Abraham bergegas keluar. Kakek tua itu terlihat sangat bahagia melihat kedua cucunya datang ke rumahnya. Ia tersenyum semakin lebar ketika Garvin menyeret beberapa koper. “Cucu kakek.” Abraham memeluk Alesha. Mengusap pelan puncak kepala cucu perempuan yang sudah beberapa bulan tidak ia temui. “Kakek!” panggil seorang bocah. Jake memanggil Abraham dengan sebutan kakek karena mendengar orang tuanya. “Kakek,” panggilnya lagi. “Cicit kakek sudah besar.” Abraham juga memeluk cicitnya dengan bahagia. Ia bahkan masih kuat menggendong Jake. Memutar tubuh Jake ke udara. Perbuatannya tidak luput dari penglihatan cucu laki-lakinya. Garvin berkacak pinggang. “Ini yang disebut akan segera mati?” tanyanya pelan. Garvin heran sekali pada kakeknya yang pesimis tentang umur. Kakeknya masih bisa berjalan dengan benar, meskipun selalu ditemani oleh tongkat sakti. Tongkat sakti itu tidak hanya membantu jalan, namun juga sebagai senjata. Lalu mengangkat tubu
“Cantik sekali. Kamu selalu cantik.” Abraham mengangguk. Garvin sudah percaya diri jika kakeknya akan membelikannya juga. Tapi ditunggu—kakeknya tidak mengeluarkan apapun lagi dari saku. Kakeknya itu malah berbarik, berjalan menjauhi mereka. “Kek, di mana punyaku?” tanya Garvin. Abraham berhenti. Ia berbalik. “Memangnya kamu ingin?” tanyanya. “Jelas ingin. Kakek selalu membelikan Alesha, tapi tidak pernah membelikanku.” Garvin mendekati kakeknya. “Kakek memang pilih kasih,” omelnya sambil berdecih pelan.Tak takTongkat itu akhirnya melayang di kepala Garvin. “Kakek tidak membelikanmu, karena kakek yakin kamu tidak akan menggunakannya.” “Sudah kuduga.” Garvin menelan kekecewaannya lagi. Kakeknya itu lebih menyayangi Alesha dari pada dirinya. Abraham memberikan sebuah kotak berwarna hitam pada Garvin. kotak kecil yang hanya berukuran separuh genggaman tangan. “Ini adalah cincin. Katanya dulu pemiliknya adalah Raja.” Garvin mengerjap mata. Ia menatap telapak tangannya yang sudah
Tapi tidak. Ia tidak terjatuh. Tubuhnya terasa sedikit diangkat. Kemudain disertai sebuah tangan yang memeluk pinggangnya. Ia perlahan membuka mata. Seorang pria tengah menatapnya—pria itu juga memeluknya. “Hati-hati,” ucap Vander pelan namun menusuk di telinga Yubin. Yubin mengerjapkan mata. Ia segera melepaskan diri dari Vander. “Terima kasih.” Mengibaskan tangan—Yubin mencium aroma yang begitu pekat dari pria ini. Aroma ini adalah bau alkohol. Yubin memang minum—namun tidak terlalu sering. Hanya di dalam sebuah acara yang memang mengharuskan dirinya minum. Jadi dia tahu betul bau alkohol seperti apa. “Kau mabuk?” tanya Yubin. Vander menggeleng. Tatapannya masih berpusat pada satu wanita yang membuat hidupnya kacau balau. Melupakan wanita ini saja tidak cukup bertahun-tahun. “Aku tidak tahan.”“Maksudmu?” Vander menarik Yubin ke dalam pelukannya. Merengkuh tubuh ramping Yubin ke dalam dekapannya. Ia juga mengecup beberapa kali kening Yubin dengan perasaan sayang. “Apa kau mas
“Vander…,” lirih Yubin. Vander melepaskan permainan mereka. Ia menyatukan dahi mereka. Vander menatap Yubin yang menenduk. Salah satu jarinya mengangkat dagu Yubin agar mendogak menatapnya. “Tatap aku.” Yubin menggeleng. Ia menggeleng. Jujur ia malu. Ia ingin mengakhiri hubungan ini namun ia malah semakin larut dengan sentuhan Vander. Ia ingin menjauh dan berhenti. Tapi tidak dengna tubuhnya. “Yubin. Aku mencintaimu.” Vander mengecup dahi Yubin pelan. “Jika kau ingin aku menjauh. Aku akan melakukannya. Tapi aku sungguh-sungguh mencintaimu.” Yubin memejamkan mata. Ia merasakan lelehan air mengenai kelopak matanya. Apakah Vander menangis? Yubin membuka mata. Ia menatap kedua mata Vander yang biasanya setajam Elang, kini berubah menjadi sendu. “Maafkan aku yang terlalu memaksamu.” Vander melepaskan Yubin. Ia bergerak menjaga jarak. Tanpa menunggu waktu yang lama lagi, Vander berbalik. Berjalan menjauh. Pria itu tidak menoleh sedikitpun apalagi berhenti. Mungkin ini kepergiannya. Bu
“Itu bukan pilihan sayang.” Alesha mengusap rahang Garvin. “Jika aku memintamu bermain lembut. Pada akhirnya kamu juga akan kasar. Jika aku memilih kasar. Kamu juga akan kasar sepanjang bermain.” Garvin tersenyum. “Kamu sudah tahu aturannya. Not bad. Kamu cukup pintar.” “Aku memang pintar.” Alesha berdecih pelan. Ia menarik tengkuk Garvin dan menciumnya. Bergerak melumatnya pelan. “Terlalu lembut,” bisik Garvin. Ia menggendong tubuh Alesha. Berhenti di jendela. Ia sedikit menyibak tirai hingga pemandangan hutan terlihat. Alesha terpaku sebentar. Ia sudah lama tidak tinggal di kamar ini. Ternyata ada banya yang berubah. Dulu hutan itu tidak seberapa lebat. Tapi sekarang ada banyak pepohonan hijau. “Jangan berusaha menghindar.” “Aku tidak menghindar.” Alesha mencebikkan bibirnya. “Siapa yang menanam pohon di hutan? Apa program pemerintah?” “Mana ada program pemerintah.” Garvin menyentil dahi Alesha. “Hutan yang mengitari rumah kakek adalah milik kakek. Tentunya tidak hanya hutan
“Hayooo. Ngapain tuan muda di sini?” Bi Rosa memergoki Jake yang mengintip di jendela. Jake menoleh. Ia melebarkan mulutnya mengantuk. “Hooaaam. Jake ngantuk, Bi.” “Yaudah ayo ke kamar.” Bi Rosa menemani Jake ke kamarnya. “Tuan muda kenapa tidak ikut?” Jake menggeleng pelan. “Jake tidak diajak. Mom dan Dad mungkin ingin berduaan saja.” Jake menampilkan raut biasa saja. Padahal ia sangat senang tidak ikut ke pesta bersama orang tuanya. Bagi bocah kecil seperti dirinya, Pesta orang dewasa sangatlah tidak menarik. Ada banyak minuman berbagai warna namun tidak boleh di minum. Orang tua hanya sibuk berbincang dengan teman mereka. Sedangkan anak kecil hanya bisa mendengarkan mereka. Jake tidak suka, lebih baik ia di rumah dan tidur. “Tuan muda ingin adik?” Jake mengangguk. “Ingin satu, perempuan. Supaya Jake ada temannya.” “Semoga ya tuan. Semoga segera diberi adik perempuan.” Bi Rosa menyelimuti Jake sampai sebatas leher. ~~Mobil sudah berhenti di sebuah gedung tempat digelarnya p
Yubin mengerjap. Undangan? Ia hanya diberi tahu Alesha untuk ikut dan tidak mendapat undangan. Haissh bagaimana ini? “Jika anda tidak punya undangan, anda tidak bisa masuk nona.” Pengawal itu menatap Yubin dari atas hingga bawah. Yubin meraih ponselnya. Mencoba untuk menghubungi kakaknya namun satupun tidak ada dari mereka yang menjawab. Seharusnya dia tidak usah datang. Yubin menyesal—sungguh! Ia tidak tahu harus apa sekarang.“Tolong panggilkan Yuna—Maksudku nona Alesha dan tuan Garvin. Aku adik iparnya tuan Garvin,” balas Yubin. “Tuan Garvin bukan sembarang orang yang bisa dipanggil, nona.” Pengawal itu saling berpandang dengan pengawal lain. Mereka semacam memberi kode satu sama lain. Yubin mendesah kasar. Beberapa orang yang melewatinya nampak menatapnya sinis. Haish Shibal! Umpat Yubin dalam hati. Setelah ini ia akan memarahi kakaknya yang telah tega meninggalkannya sendirian. “Dia bersamaku.” Yubin merasakan ada satu tangan yang merangkulnya. Akibat silauan lampu—Yubin tid
Alesha menggeleng. Ia tidak sempat mempertanyakan hal itu karena ia keburu marah. “Eomma dan Appa ingin kamu mendengar penjelasan Garvin sendiri. Tapi keadaan kalian yang tidak baik. Eomma akan menjelaskannya. Eomma harap setelah mendengar ini—kamu bisa mempertimbangkan keputusan kamu.” Yeonji dan Alesha duduk di sisi ranjang. Yeonji menjelaskan apa yang terjadi dengan Garvin. Alesha menangis—ia mengusap air matanya. “Kenapa dia tidak bilang,” kesal Alesha. “Malam ini Garvin akan pulang. Dia bilang dia akan menemui kamu dua atau tiga bulan lagi.” Alesha bangkit. Ia mengambil ponselnya. Nomor Garvin sudah lama tidak aktif. Tapi ia masih menyimpan nomor Ellie. Mungkin saja—nomornya tidak ganti. “Hallo, Mrs.” “Apa Garvin sudah berangkat?” “Oh—10 menit lagi seharusnya berangkat ke Bandara. Anda bisa datang ke mansion tuan.” Panggilan ditutup. Alesha segera mengambil coat dan kunci mobil. “Eomma tolong jaga anak-anak.” Alesha segera berlari.Tak butuh waktu yang lama—Alesha akhirn
“Pergi. Aku butuh waktu sendiri.” Alesha pergi. Ia berjalan kembali masuk ke dalam kamarnya. Ia tidak lupa menutup pintu rapat agar Garvin tidak bisa masuk. Garvin tidak beranjak dari tempatnya. Ia hanya menatap kepergian Alesha dengan tatapan tajamnya. Jujur saja ia sangat ingin mendobrak pintu dan menarik wanita itu. Menciumnya, memeluknya dan mengurungnya sampai rindunya benar-benar terobati. “Aku tidak akan menyerah,” janji Garvin. Selama tertidur bersama anaknya—Alesha tidak terganggu sama sekali. Tidak ada bunyi apapun yang membangunkan dirinya dan anak-anaknya. Tdiurnya sangat nyenyak tanpa gangguan apapun. Pagi ini Alesha sudah siap pergi. Ia tidak melihat siapapun di lorong hotel. Ia bersama anak-anaknya masuk ke dalam lift. Mereka akan checkout dan kembali pulang. “Apa tidak ada orang lain yang menginap di lantai 4 selain kami?” tanya Aelsha pada petugas resepsionis. “Semua kamar sudah dibooking oleh seseorang. Kami tidak bisa menyebutkannya.” Alesha mengernyit. “Pria
Alesha membuka pintu. Kemudian mempersiapkan pakaian tidur untuk Alice. Mengganti pakaian putri kecilnya itu. Jake sudah besar—anak laki-laki itu sudah bisa melakukan banyak hal sendiri. “Mom bacakan dongeng.” Alice memeluk lengan Alesha. “Dasar anak kecil,” lirih Jake. “Kakak!”Tidak ada hari tanpa bertengkar. Alesha sampai pusing sendiri. Jake yang suka sekali menjahili adiknya. Alice yang suka sekali menempel dan mengejar kakaknya meski selalu dijahili. ~~TING TING Garvin masih bersabar untuk tidak mendobrak pintu kamar Alesha. Ia mengusap rambutnya kasar. Sampai tengah malam ia baru sampai di pulau ini. Ia sampai menyewa seluruh kamar lantai yang dihuni anak-anaknya agar mereka bisa tidur dengan tenang. TING TINGSedangkan di dalam kamar. Alesha nampak terganggu dengan bel yang berbunyi. Ia bangkit—ada apa? Pikirnya. Semoga saja bukan orang iseng di tengah malam seperti ini. ia juga membayangkan yang tidak-tidak. Bagaimana jika ada hantu. Alesha bergerak sangat pelan membu
Ketegangan terjadi di ruang tamu sebuah rumah. Kedatangan pria yang selama ini dinanti namun tidak kunjung tandang. Di saat penantian sudah habis—pria itu baru datang. Siapa lagi kalau bukan Garvin. Ia membawa begitu banyak mainan untuk anak perempuan dan anak laki-lakinya. Kedua orang tua Alesha (Yuna) mereka nampaknya masih kecewa pada Garvin. Mereka merasa Alesha ditinggalkan begitu saja oleh Garvin tanpa kabar apapun. “Saya ingin menjemput anak dan istri saya.” Garvin tidak ada keraguan mengatakannya meski ia tahu keluarga Alesha pasti marah padanya. “Kenapa baru menjemput sekarang? Apa yang kamu lakukan di sana?” tanya Juhwan. “Saya membangun bisnis. Saya keluar dari bisnis gelap. Saya membangun bisnis saya dari nol. Butuh waktu membangun bisnis dengan cara yang benar. Karena itu saya butuh mempersiapkan diri sebelum menjemput keluarga saya.” Yeonji menghela nafas. “Garvin, Yuna selalu menanti kamu. Saat kehamilannya yang ke dua. Dia sempat hancur dan terpuruk. Kalau memang
Garvin terbelalak tidak percaya dengan ucapan anaknya sendiri. Ia pikir Jake tidak akan marah. Ia pikir Jake akan selalu menerimanya. “Jake, maafkan Daddy.” “Bukan hanya aku. Tapi juga Mommy. Daddy membuat Mommy menderita.” Jake mundur beberapa langkah menjauh. “JAKE, ALICE KALIAN DI MANA?” teriak seseorang dari kejauhan. Yuna mencari-cari keberadaan anaknya. Ia pikir taman ini tidak terlalu luas. Tapi ternyata cukup luas juga hingga bisa membuat anaknya menghilang. Langkah Yuna semakin tidak menentu. Namun akhirnya ia bisa menemukan anaknya. Ia segera mendekat. Seiring langkahnya yang semakin dekat—ada seorang pria yang tidak lepas memandangnya. Yuna mendekati anaknya. Memeluk mereka berdua. “Kalian ke mana saja?” tanyanya. Ia kemudian berdiri. Kemudian matanya bertemu dengan seseorang yang selama ini ia rindukan. Seseorang yang setiap malam ia selalu kawatirkan. Seseorang yang setiap hari selalu ia doakan agar baik-baik saja. Yuna terpaku. Ia tidak bisa melangkah, berucap atau
Yuna bersama anak-anaknya datang ke taman. Tujuan mereka adalah berolahraga santai. Jake itu kuat sekali berlari. Anak laki-laki itu mempunyai tubuh yang sangat sehat. Yuna berhenti saat sudah berlari tiga putaran. Ia berhenti dan memilih duduk di bangku taman. Alice duduk sambil memegang es krim. Anak perempuannya itu sangat suka dengan es krim. Sudah akut—tidak bisa disembuhkan. Makanan nomer satu kesukaan Alice hanyalah Es krim. “Mom ayo pulang,” Alice menarik tangan ibunya. Yuna menunduk ia menali tali sepatunya yang mulai mengendor. “Tunggu Alice. Mommy harus berolahraga sebentar lagi.” Ia berdiri—melakukan peregangan ringan. Melompat kecil dan merapikan topinya. “Jake, kamu jaga Alice di sini ya,” pesan Yuna sebelum pergi. Jake mengangguk. Yuna kembali berolahraga. Ia berlari—tanpa menghawatirkan anaknya lagi. Ia yakin Jake sudah pintar, anak laki-lakinya itu pasti sudah bisa menjaga adiknya. Beberapa menit berlalu, Yuna kembali ke kursi di mana anaknya berada. Namun saat
Di sisi lain ada seorang pria yang menatap sebuah foto kebersamaan seorang perempuan dan laki-laki. Ia mengepalkan tangannya. Ingin rasanya membanting semua yang ada di dalam ruangannya. Ia menahan amarahnya sekuat tenaga. “Kenapa kamu berdekatan dengan pria lain,” lirihnya memejamkan mata. Tok Tok“Sir sebentar lagi ada meeting,” ucap Ellie sebagai Asistennya. Ternyata ada banyak orang menunggunya. Salah satunya Ellie. Saat Garvin pertama kali membangun perusahaan, Ellie melamar menjadi sekretarisnya.Garvin mengangguk. 5 tahun berlalu, telah bayak yang berubah dari Garvin. Garvin yang sekarang bukanlah Garvin yang dulu. Jika dulu Garvin cenderung lebih emosi—sekarang ia akan lebih bersabar. Menunggu, diam namun di kepalanya tersusun strategi untuk mengalahkan lawan. Bukan lagi tentang bunuh membunuh. Garvin adalah seorang pengusaha sukses di bidang teknologi. Cara menghancurkan lawan bukan dengan membunuh namun merebut kepercayaan investor dan memenangkan tender. Di kelilingi ka
“Dia bukan Appa, Alice. Dia bukan Daddy kita,” kata Jake yang sangat tidak suka jika Alice memanggil orang lain sebagai ayah. “Sudah kakak bilang dia bukan Daddy kita.” *Appa= AyahAlice menunduk. Ia memilih bersembunyi di pelukan Yuna. “Jake, jangan memarahi adikmu.” Yuna menatap Jake. “Alice masih belum mengerti. Nanti biar Mommy yang menjelaskannya.” Jake melengos. Ia menatap jendela yang menampilkan seseroang yang disebut Alice sebagai Appa. Alice meloncat dari kursi. Anak itu berlari ke arah seorang pria yang tengah berbincang di depan kafe. Pakaiannya rapi khas orang kantoran. “Appa!” Alice langsung memeluk pria itu. “Hai Alice,” sapa pria itu. Ia tersenyum. Mencubit pelan pipi Alice yang chubby. “Dengan siapa?” Alice menunjuk ke dalam kafe. “Mommy dan kakak.” Yuna melambaikan tangannya ringan sambil tersenyum. Pria itu adalah Jungwoo. Park Jungwoo, mantan calon suami yang dipilihkan orang tuanya dulu. Jungwoo terlihat sangat dewasa. Berbeda sekali dengan dulu. Pakaianny
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah bersiap-siap akan menampilkan sebuah balet. Ia menggunakan gaun berwarna pink dengan rok yang melebar di bawah. Dia Kim Yuna—anak dari mantan presiden Kim Juhwan. Yuna menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ia menatap rambutnya yang sedikit berantakan. Ia hanya merapikannya sebentar dan kemudian siap. Sudah 4 tahun lamanya ia membangun sebuah akademi balet. Melatih anak-anak yang mempunyai bakat di bidang balet. “Semuanya sudah siap?” tanya Yuna. Di usianya yang menginjak 32 tahun ia semakin bersinar. Bakatnya diakui, akademi yang dibangun menjadi akademi terbaik nomer 5 dari seluruh dunia. Beberapa anak didiknya keluar lebih dahulu. Perannya kali ini hanya menjadi seoran ibu. Ia memilih peran yang lebih sedikit agar anak didiknya bisa lebih banyak tampil. Sebuah lagu klasik mulai mengalun. Yuna keluar. Ia tersenyum ke arah penonton. Di bangku pentonton ada putra dan putrinya yang selalu menonton pertujunjukkannya. Selesai. Yuna membun