“Itu bukan pilihan sayang.” Alesha mengusap rahang Garvin. “Jika aku memintamu bermain lembut. Pada akhirnya kamu juga akan kasar. Jika aku memilih kasar. Kamu juga akan kasar sepanjang bermain.” Garvin tersenyum. “Kamu sudah tahu aturannya. Not bad. Kamu cukup pintar.” “Aku memang pintar.” Alesha berdecih pelan. Ia menarik tengkuk Garvin dan menciumnya. Bergerak melumatnya pelan. “Terlalu lembut,” bisik Garvin. Ia menggendong tubuh Alesha. Berhenti di jendela. Ia sedikit menyibak tirai hingga pemandangan hutan terlihat. Alesha terpaku sebentar. Ia sudah lama tidak tinggal di kamar ini. Ternyata ada banya yang berubah. Dulu hutan itu tidak seberapa lebat. Tapi sekarang ada banyak pepohonan hijau. “Jangan berusaha menghindar.” “Aku tidak menghindar.” Alesha mencebikkan bibirnya. “Siapa yang menanam pohon di hutan? Apa program pemerintah?” “Mana ada program pemerintah.” Garvin menyentil dahi Alesha. “Hutan yang mengitari rumah kakek adalah milik kakek. Tentunya tidak hanya hutan
“Hayooo. Ngapain tuan muda di sini?” Bi Rosa memergoki Jake yang mengintip di jendela. Jake menoleh. Ia melebarkan mulutnya mengantuk. “Hooaaam. Jake ngantuk, Bi.” “Yaudah ayo ke kamar.” Bi Rosa menemani Jake ke kamarnya. “Tuan muda kenapa tidak ikut?” Jake menggeleng pelan. “Jake tidak diajak. Mom dan Dad mungkin ingin berduaan saja.” Jake menampilkan raut biasa saja. Padahal ia sangat senang tidak ikut ke pesta bersama orang tuanya. Bagi bocah kecil seperti dirinya, Pesta orang dewasa sangatlah tidak menarik. Ada banyak minuman berbagai warna namun tidak boleh di minum. Orang tua hanya sibuk berbincang dengan teman mereka. Sedangkan anak kecil hanya bisa mendengarkan mereka. Jake tidak suka, lebih baik ia di rumah dan tidur. “Tuan muda ingin adik?” Jake mengangguk. “Ingin satu, perempuan. Supaya Jake ada temannya.” “Semoga ya tuan. Semoga segera diberi adik perempuan.” Bi Rosa menyelimuti Jake sampai sebatas leher. ~~Mobil sudah berhenti di sebuah gedung tempat digelarnya p
Yubin mengerjap. Undangan? Ia hanya diberi tahu Alesha untuk ikut dan tidak mendapat undangan. Haissh bagaimana ini? “Jika anda tidak punya undangan, anda tidak bisa masuk nona.” Pengawal itu menatap Yubin dari atas hingga bawah. Yubin meraih ponselnya. Mencoba untuk menghubungi kakaknya namun satupun tidak ada dari mereka yang menjawab. Seharusnya dia tidak usah datang. Yubin menyesal—sungguh! Ia tidak tahu harus apa sekarang.“Tolong panggilkan Yuna—Maksudku nona Alesha dan tuan Garvin. Aku adik iparnya tuan Garvin,” balas Yubin. “Tuan Garvin bukan sembarang orang yang bisa dipanggil, nona.” Pengawal itu saling berpandang dengan pengawal lain. Mereka semacam memberi kode satu sama lain. Yubin mendesah kasar. Beberapa orang yang melewatinya nampak menatapnya sinis. Haish Shibal! Umpat Yubin dalam hati. Setelah ini ia akan memarahi kakaknya yang telah tega meninggalkannya sendirian. “Dia bersamaku.” Yubin merasakan ada satu tangan yang merangkulnya. Akibat silauan lampu—Yubin tid
Semua lampu tiba-tiba dimatikan. Kemudian menyala namun dengan cahaya yang lebih redup dari sebelumnya. Xavier dan Lily berjalan ke tengah. Dari atas sebuah lampu menyorot mereka berdua. Musik mulai mengalun dengan pelan. Xavier memeluk pinggang Lily. Sedangkan Lily melingkarkan kedua tanganya di leher Xavier. Mereka mulai berdansa dengan luwes. “Apa kamu menyiapkan kado untuk mereka?” tanya Alesha pada Garvin. Garvin mengangguk. “Sudah.” “Apa? Kok aku tidak tahu.” Alesha semakin mendekat pada suaminya. Akibat musik yang mengalun ia tidak terlalu bisa mendengarkan jawaban suaminya. “Sebuah Yacht.” Alesha melotot. Hanya sebentar—kemudian menatap lurus ke depan dengan eskpresi biasa saja. Ia kerap kali berdecak kagum dengan pemberian Garvin. Ia sering lupa jika suaminya ini sangatlah kaya. “Xavier sudah tahu?” “Dia tidak mungkin tidak tahu. Dia yang meminta hadiahnya sendiri.” Garvin berdecih. “Dia lebih tidak tahu diri dari yang aku kira.” Alesha tertawa pelan. Ia mengusap bah
“Rose,” balas Yubin. “Rose senang bertemu denganmu. Jika kau bersedia. Besok kita bisa bertemu lagi.” Gerald membawa Yubin ke tepi. Kemudian melepaskan genggaman masing-masing. Gerald tersenyum sebelum pergi. “Dia misterius,” lirih Yubin. Yubin sampai tidak sadar jika ada salah satu pria yang menatapnya dengan tajam. Mata elang seseroang yang tidak lepas dari Yubin yang berbincang sampai berdansa dengan seroang laki-laki. Siapa lagi kalau bukan Vander. Meskipun ia datang dengan wanita seksi dan cantik, nyatanya kehadiran Yubin membuatnya lagi-lagi gagal fokus. “Babe, kenapa kamu selalu menatapnya?” tanya wanita itu terlihat kesal. Vander menoleh. “Bukan urusanmu.” “Kenapa kau bersikap seperti ini. Kau tidak bisa memperlakukanku seperti ini.” wanita itu mencak-mencak karena merasak dicuekkan oleh Vander. “Kau tidak tahu? Berapa banyak pria yang mengajakku keluar tapi aku memilih keluar bersamamu.” Vander menghela nafas kasar. “Iya aku tahu.” Ia memilih mengalah daripada berdebat
Yubin menginjakkan kaki di sebuah kafe yang terletak di pusat kota. Seperti biasa, ia akan memesan segelas kopi sembari membaca buku. Setelah memesan ia duduk di salah satu bangku pojok. Yubin mengeluarkan kacamata bacanya. “Di sini sangat nyaman.” Yubin memandan pemandangan luar melalui jendela. Ia menghela nafas berat. Beberapa hari lagi ia akan kembali ke Negaranya. Menjalani rutinitas sebagai dokter muda yang super duper sibuk. “Permisi, ini pesananannya.” Seorang pelayan mengantarkan segelas kopi dingin. Yubin mulai membaca bukunya. Sudah berpuluh-puluh menit berlalu. Ia masih betah duduk sembari sesekali menyuput es kopinya yang tinggal sendiri. Kreet Bunyi kursi depan yang ditarik membuat Yubin mendongak. Ia menatap pria tampan di depannya yang sedang tersenyum. Yubin sempat terpaku beberapa detik—memandangi indahnya ciptaan Tuhan. “Hai.” Yubin mengerjapkan mata kemudian tersenyum. “Hai.” “Aku tidak sengaja melihatmu, lalu aku memutuskan ke sini.” Gerald mengambil kopi
Mobil sudah berjalan. Yubin sudah memberitahukan kakaknya jika dia akan datang. Ia mendongak—jalan ia yang lewati sudah benar. Akses menujur rumah kakek adalah melewati hutan. Ada dua pos yang harus di lewatinya. Masing-masing pos di jaga dua pengawal.Hingga di pos terakhir—mereka di persilahkan masuk. Kemudian sampai di sebuah pagar yang menjulang tinggi. Tak lama pagar itu langsung dibuka lebar hingga mobil yang ditumpanginya sudah sepenuhnya masuk. Saat mobil sudah sampai, tepat di depan rumah. Yubin keluar. Ia mengedarkan pandangannya. “Eonni aku sudah sampai.” Yubin masuk ke dalam rumah. Selang beberapa menit. “DOOR DOOR.” Suara tembakan saling bersautan. Ada 10 mobil berwarna hitam yang sampai di depan rumah. Kemudian keluarlah orang-orang berpakaian hitam dengan masker dan topi hitam. “Keluar!” teriak salah satu pimpinan mereka. Pintu terbuka. Pengawal yang berada di dalam rumah keluar. Mereka saling menodongkan pistol. “Pergi dari sini atau kami akan menghabisi kalian?
#MASIH FLASHBACK“Gerald benar-benar memanfaatkan Yubin. Dia memasang alat pelacak di pakaian Yubin. Sekarang dia sudah tahu di mana aku tinggal.” Garvin menyugar rambutnya. Tempat tinggal seseorang seperti Garvin memanglah sangat rahasia. Tidak sembarang orang bisa masuk. Memerlukan akses khusus—di dalamnya penuh dengan penjagaan yang ketat. Di Mansions—ada begitu banyak persenjataan. Ada sebagian harta seperti emas yang disimpan di dalam Mansions. Bisa dibilang Mansions adalah berangkas utama. Berbeda dengan Markas yang hanya digunakan untuk menyimpan barang-barang ilegal yang akan dijual. Alat-alat canggih yang sedang dikembangkan juga berada di Mansions. “Sekarang pergi ke Mansions. Perketat keaman di sana,” ucap Garvin pada Vander melalui sambungan telepon. “Tapi ada apa, Sir. Kenapa begitu tiba-tiba?” “Aku akan memberitahumu besok.” Garvin mematikan sambungan telepon. Ia sudah mempunyai rencana sendiri. Ia akan membuat para bajingan itu mati dengan tangannya sendiri. “Garv
Alesha menggeleng. Ia tidak sempat mempertanyakan hal itu karena ia keburu marah. “Eomma dan Appa ingin kamu mendengar penjelasan Garvin sendiri. Tapi keadaan kalian yang tidak baik. Eomma akan menjelaskannya. Eomma harap setelah mendengar ini—kamu bisa mempertimbangkan keputusan kamu.” Yeonji dan Alesha duduk di sisi ranjang. Yeonji menjelaskan apa yang terjadi dengan Garvin. Alesha menangis—ia mengusap air matanya. “Kenapa dia tidak bilang,” kesal Alesha. “Malam ini Garvin akan pulang. Dia bilang dia akan menemui kamu dua atau tiga bulan lagi.” Alesha bangkit. Ia mengambil ponselnya. Nomor Garvin sudah lama tidak aktif. Tapi ia masih menyimpan nomor Ellie. Mungkin saja—nomornya tidak ganti. “Hallo, Mrs.” “Apa Garvin sudah berangkat?” “Oh—10 menit lagi seharusnya berangkat ke Bandara. Anda bisa datang ke mansion tuan.” Panggilan ditutup. Alesha segera mengambil coat dan kunci mobil. “Eomma tolong jaga anak-anak.” Alesha segera berlari.Tak butuh waktu yang lama—Alesha akhirn
“Pergi. Aku butuh waktu sendiri.” Alesha pergi. Ia berjalan kembali masuk ke dalam kamarnya. Ia tidak lupa menutup pintu rapat agar Garvin tidak bisa masuk. Garvin tidak beranjak dari tempatnya. Ia hanya menatap kepergian Alesha dengan tatapan tajamnya. Jujur saja ia sangat ingin mendobrak pintu dan menarik wanita itu. Menciumnya, memeluknya dan mengurungnya sampai rindunya benar-benar terobati. “Aku tidak akan menyerah,” janji Garvin. Selama tertidur bersama anaknya—Alesha tidak terganggu sama sekali. Tidak ada bunyi apapun yang membangunkan dirinya dan anak-anaknya. Tdiurnya sangat nyenyak tanpa gangguan apapun. Pagi ini Alesha sudah siap pergi. Ia tidak melihat siapapun di lorong hotel. Ia bersama anak-anaknya masuk ke dalam lift. Mereka akan checkout dan kembali pulang. “Apa tidak ada orang lain yang menginap di lantai 4 selain kami?” tanya Aelsha pada petugas resepsionis. “Semua kamar sudah dibooking oleh seseorang. Kami tidak bisa menyebutkannya.” Alesha mengernyit. “Pria
Alesha membuka pintu. Kemudian mempersiapkan pakaian tidur untuk Alice. Mengganti pakaian putri kecilnya itu. Jake sudah besar—anak laki-laki itu sudah bisa melakukan banyak hal sendiri. “Mom bacakan dongeng.” Alice memeluk lengan Alesha. “Dasar anak kecil,” lirih Jake. “Kakak!”Tidak ada hari tanpa bertengkar. Alesha sampai pusing sendiri. Jake yang suka sekali menjahili adiknya. Alice yang suka sekali menempel dan mengejar kakaknya meski selalu dijahili. ~~TING TING Garvin masih bersabar untuk tidak mendobrak pintu kamar Alesha. Ia mengusap rambutnya kasar. Sampai tengah malam ia baru sampai di pulau ini. Ia sampai menyewa seluruh kamar lantai yang dihuni anak-anaknya agar mereka bisa tidur dengan tenang. TING TINGSedangkan di dalam kamar. Alesha nampak terganggu dengan bel yang berbunyi. Ia bangkit—ada apa? Pikirnya. Semoga saja bukan orang iseng di tengah malam seperti ini. ia juga membayangkan yang tidak-tidak. Bagaimana jika ada hantu. Alesha bergerak sangat pelan membu
Ketegangan terjadi di ruang tamu sebuah rumah. Kedatangan pria yang selama ini dinanti namun tidak kunjung tandang. Di saat penantian sudah habis—pria itu baru datang. Siapa lagi kalau bukan Garvin. Ia membawa begitu banyak mainan untuk anak perempuan dan anak laki-lakinya. Kedua orang tua Alesha (Yuna) mereka nampaknya masih kecewa pada Garvin. Mereka merasa Alesha ditinggalkan begitu saja oleh Garvin tanpa kabar apapun. “Saya ingin menjemput anak dan istri saya.” Garvin tidak ada keraguan mengatakannya meski ia tahu keluarga Alesha pasti marah padanya. “Kenapa baru menjemput sekarang? Apa yang kamu lakukan di sana?” tanya Juhwan. “Saya membangun bisnis. Saya keluar dari bisnis gelap. Saya membangun bisnis saya dari nol. Butuh waktu membangun bisnis dengan cara yang benar. Karena itu saya butuh mempersiapkan diri sebelum menjemput keluarga saya.” Yeonji menghela nafas. “Garvin, Yuna selalu menanti kamu. Saat kehamilannya yang ke dua. Dia sempat hancur dan terpuruk. Kalau memang
Garvin terbelalak tidak percaya dengan ucapan anaknya sendiri. Ia pikir Jake tidak akan marah. Ia pikir Jake akan selalu menerimanya. “Jake, maafkan Daddy.” “Bukan hanya aku. Tapi juga Mommy. Daddy membuat Mommy menderita.” Jake mundur beberapa langkah menjauh. “JAKE, ALICE KALIAN DI MANA?” teriak seseorang dari kejauhan. Yuna mencari-cari keberadaan anaknya. Ia pikir taman ini tidak terlalu luas. Tapi ternyata cukup luas juga hingga bisa membuat anaknya menghilang. Langkah Yuna semakin tidak menentu. Namun akhirnya ia bisa menemukan anaknya. Ia segera mendekat. Seiring langkahnya yang semakin dekat—ada seorang pria yang tidak lepas memandangnya. Yuna mendekati anaknya. Memeluk mereka berdua. “Kalian ke mana saja?” tanyanya. Ia kemudian berdiri. Kemudian matanya bertemu dengan seseorang yang selama ini ia rindukan. Seseorang yang setiap malam ia selalu kawatirkan. Seseorang yang setiap hari selalu ia doakan agar baik-baik saja. Yuna terpaku. Ia tidak bisa melangkah, berucap atau
Yuna bersama anak-anaknya datang ke taman. Tujuan mereka adalah berolahraga santai. Jake itu kuat sekali berlari. Anak laki-laki itu mempunyai tubuh yang sangat sehat. Yuna berhenti saat sudah berlari tiga putaran. Ia berhenti dan memilih duduk di bangku taman. Alice duduk sambil memegang es krim. Anak perempuannya itu sangat suka dengan es krim. Sudah akut—tidak bisa disembuhkan. Makanan nomer satu kesukaan Alice hanyalah Es krim. “Mom ayo pulang,” Alice menarik tangan ibunya. Yuna menunduk ia menali tali sepatunya yang mulai mengendor. “Tunggu Alice. Mommy harus berolahraga sebentar lagi.” Ia berdiri—melakukan peregangan ringan. Melompat kecil dan merapikan topinya. “Jake, kamu jaga Alice di sini ya,” pesan Yuna sebelum pergi. Jake mengangguk. Yuna kembali berolahraga. Ia berlari—tanpa menghawatirkan anaknya lagi. Ia yakin Jake sudah pintar, anak laki-lakinya itu pasti sudah bisa menjaga adiknya. Beberapa menit berlalu, Yuna kembali ke kursi di mana anaknya berada. Namun saat
Di sisi lain ada seorang pria yang menatap sebuah foto kebersamaan seorang perempuan dan laki-laki. Ia mengepalkan tangannya. Ingin rasanya membanting semua yang ada di dalam ruangannya. Ia menahan amarahnya sekuat tenaga. “Kenapa kamu berdekatan dengan pria lain,” lirihnya memejamkan mata. Tok Tok“Sir sebentar lagi ada meeting,” ucap Ellie sebagai Asistennya. Ternyata ada banyak orang menunggunya. Salah satunya Ellie. Saat Garvin pertama kali membangun perusahaan, Ellie melamar menjadi sekretarisnya.Garvin mengangguk. 5 tahun berlalu, telah bayak yang berubah dari Garvin. Garvin yang sekarang bukanlah Garvin yang dulu. Jika dulu Garvin cenderung lebih emosi—sekarang ia akan lebih bersabar. Menunggu, diam namun di kepalanya tersusun strategi untuk mengalahkan lawan. Bukan lagi tentang bunuh membunuh. Garvin adalah seorang pengusaha sukses di bidang teknologi. Cara menghancurkan lawan bukan dengan membunuh namun merebut kepercayaan investor dan memenangkan tender. Di kelilingi ka
“Dia bukan Appa, Alice. Dia bukan Daddy kita,” kata Jake yang sangat tidak suka jika Alice memanggil orang lain sebagai ayah. “Sudah kakak bilang dia bukan Daddy kita.” *Appa= AyahAlice menunduk. Ia memilih bersembunyi di pelukan Yuna. “Jake, jangan memarahi adikmu.” Yuna menatap Jake. “Alice masih belum mengerti. Nanti biar Mommy yang menjelaskannya.” Jake melengos. Ia menatap jendela yang menampilkan seseroang yang disebut Alice sebagai Appa. Alice meloncat dari kursi. Anak itu berlari ke arah seorang pria yang tengah berbincang di depan kafe. Pakaiannya rapi khas orang kantoran. “Appa!” Alice langsung memeluk pria itu. “Hai Alice,” sapa pria itu. Ia tersenyum. Mencubit pelan pipi Alice yang chubby. “Dengan siapa?” Alice menunjuk ke dalam kafe. “Mommy dan kakak.” Yuna melambaikan tangannya ringan sambil tersenyum. Pria itu adalah Jungwoo. Park Jungwoo, mantan calon suami yang dipilihkan orang tuanya dulu. Jungwoo terlihat sangat dewasa. Berbeda sekali dengan dulu. Pakaianny
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah bersiap-siap akan menampilkan sebuah balet. Ia menggunakan gaun berwarna pink dengan rok yang melebar di bawah. Dia Kim Yuna—anak dari mantan presiden Kim Juhwan. Yuna menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ia menatap rambutnya yang sedikit berantakan. Ia hanya merapikannya sebentar dan kemudian siap. Sudah 4 tahun lamanya ia membangun sebuah akademi balet. Melatih anak-anak yang mempunyai bakat di bidang balet. “Semuanya sudah siap?” tanya Yuna. Di usianya yang menginjak 32 tahun ia semakin bersinar. Bakatnya diakui, akademi yang dibangun menjadi akademi terbaik nomer 5 dari seluruh dunia. Beberapa anak didiknya keluar lebih dahulu. Perannya kali ini hanya menjadi seoran ibu. Ia memilih peran yang lebih sedikit agar anak didiknya bisa lebih banyak tampil. Sebuah lagu klasik mulai mengalun. Yuna keluar. Ia tersenyum ke arah penonton. Di bangku pentonton ada putra dan putrinya yang selalu menonton pertujunjukkannya. Selesai. Yuna membun