“Tidak semudah itu.” Vander tertawa. Ia dengan gesit menghindar saat peluru Gerald diarahkan kepadanya. Akhirnya mereka saling berperang dengan tembakan. Di sisi lain—Yubin berada di belakang Mansions. Di sana adalah gudang persenjataan kakek. Kakek membawanya ke sini—karena menurutnya tempat ini yang paling aman. Yubin mondar-mandir ia begitu kawatir dengan Vander yang berada di luar. Ia takut sekali jika pria itu terluka. “Yubin. Kita tidak bisa hanya di sini.” Abraham mengambil dua pistol dan beberapa peluru. “Pakai ini.” Yubin menggeleng. “Aku tidak bisa, kek.” Yubin menggeleng. Ia tidak bisa dan juga takut memegang senjata api seperti itu.“Kakek sudah mengisinya dengan peluru. Kamu tinggal menarik pelatuknya ke musuh.” Abraham menyerahkan pistol berwarna hitam itu pada Yubin. “Jangan takut. kakakmu juga bisa. Alesha dulu juga takut tapi dia berusaha belajar dan tidak takut lagi.” Yubin mengangguk. Ia memegang pistol itu dengan sedikit gemetar. Belum sempat keluar—sebuah sua
“KAKEEEK!” teriak Yubin. Ia berusaha menghentikan aliran darah yang semakin keluar. Ia merobek sedikit kaosnya untuk membalut luka kakek. “Kakek harus bertahan.” Yubin hanyalah dokter umum. Ia tidak bisa mengeluarkan peluru dari dalam dada kakek. hal tersebut hanya bisa dilakukan oleh dokter ahli bedah. Ia hanya bisa berusaha menghentikan aliran darah yang semakin deras keluar. Suara tembakan begitu menggema. Bala bantuan telah datang. Pasukan Blackton yang lain akhirnya datang. Mereka yang terlatih—mereka yang terbaik dari yang terbaik. Garvin hanya butuh beberapa detik untuk mengisi pistolnya. Setelah itu mengarahkan pistolnya brutal ke arah anak buah Gerald. Dalam pembataiannya—ia sempat melihat kakeknya yang tertembak. Itulah alasan kenapa dirinya begitu kesetanan membunuh orang. “Aku akan membunuh kalian semua.” Garvin menatap Gerald dengan sorot tajamnya. “Meskipun kau kalah. Aku akan tetap menghabisimu.” Garvin menghindar saat Gerald mencoba menembaknya. Terlihat jika pria
“Misi ini belum berakhir.” Daisy mengepalkan tangannya. Suaranya terdengar serak. Ia menahan ketakutannya menghadapi orang seperti Jonathan. “Kita masih bisa menghancurkannya.” Jonathan membalikkan badan. “Anak buahku hanya tersisa sedikit. Apa yang ingin kalu lakukan? Kau pikir aku bodoh hingga akan terus menuruti keinginanmu?” Daisy tersenyum. “Aku bisa melakukannya tapi aku butuh kesaksianmu.”~~“Garvin Carver Blackton lagi-lagi tersangkut sebuah kejahatan. Dia dilaporkan telah membunuh seorang anak dari seorang pengusaha yang bernama Jonathan. Garvin dituduh atas pembunuhan laki-laki yang bernama Gerald. Untuk saat ini polisi sudah menerima dan memproses laporan tersebut.” Berita tersebut sudah tersebar seantero negeri. Lagi-lagi nama Garvin menjadi perbincangan hangat. Tersangkutnya nama Garvin membuat saham Viction turun drastis. Banyak investor yang ingin mencabut sahamnya. Kejadian ini tidak hanya sekali tapi sudah dua kali. Banyak dari mereka yang meragukan Garvin. Banya
Alesha menggleng. “Tidak mau. Aku tidak akan meninggalkan kamu Garvin. Aku harus menemani kamu bagaimanapun keadaannya.” “Tidak.” Garvin menggeleng. “Aku sudah berjanji akan melindungi kalian. Aku tidak ingin kalian menderita jika ikut bersamaku.” “Garvin—” “Dengarkan aku Alesha. Ini semua demi kebaikanmu, demi Jake. Aku hanya ingin kalian aman. Aku tidak ingin kalian tersangkut dalam masalah ini.” Alesha menahan tangisnya. “Berapa lama?” tanyanya sangat lirih. “1 tahun. Aku berjanji akan menghubungi kamu.” Itu terlalu lama bagi Alesha. Bayangkan saja mereka tidak pernah berpisah, sekalinya berpisah langsung lama dan jauh. Alesha tidak bisa membayangkan dirinya akan sendirian tanpa kehadiran Garvin di sisinya. “Tidak bisakah aku terus di sini?” lirih Alesha. Garvin menggeleng. Ia menarik Alesha ke dalam pelukannya. ~~Alesha sudah mengemasi barang-barangnya ke dalam koper. Bukan hanya menyiapkan barang-barangnya sendiri, tapi juga barang dan keperluan Jake. “Mom kita akan ke
Dulu Yeonji (ibu Yubin dan Alesha) tidak ingin Yubin menjalin hubungan dengan pria terlebih dahulu. Apalagi pria seperti Vander yang bisa dibilang hidup bebas tanpa aturan. Ia tidak ingin Yubin terjerumus ke pelukan pria yang salah. Untuk itu ia meminta Yubin untuk fokus dengan pendidikan terlebih dahulu. Dan jika Yubin masih berhubungan dengan Vander—terpaksa Yeonji harus menjodohkan Yubin dengan pria lain. Alhasil daripada dijodohkan dengan pria lain. Yubin memilih pendidikannya dan merelakan hubungannya dengan Vander kandas.“Terima kasih sudah menjagaku,” ucap Yubin.“Jika aku berhasil bertahan. Aku akan menyusulmu,” ucap Vander sembari mengusap pelan puncak kepala Yubin.~~Alesha sudah berada di dalam pesawat. Pesawat yang diambil mereka adalah kelas bisnis. Jake mendapat tempat duduk sendiri. Bocah itu terlihat nyaman, memakan snack sambil menonton film. “Jake nanti kalau mengantuk, bilang Mom.” “Iya, Mom.” Jake mengangguk. Alesha menatap jendela. Berkali-kali ia menghela n
Alesha menoleh. Ia kaget—ia tidak menyangka jika Yeonji akan menangkap keadaannya yang sesungguhnya. “Apa Garvin memberitahu kalian?” tanyanya. Yeonji menggeleng. “Tidak. Tapi Eomma tahu kalian sedang tidak baik-baik saja. Jika kalian baik-baik saja, Garvin pasti ikut dengan kamu ke sini.” “Nanti Yuna ceritakan pada Eomma.” Alesha menghela nafas. Ia sebenarnya tidak ingin bercerita apapun mengenai masalahnya pada Eomma. Ia takut membebani pikiran Eomma. Ia tidak ingin merepotkan kedua orang tuanya. ~~“Setiap perbuatan yang kamu lakukan harus dipertanggung jawabkan,” ucap Sean. Ia duduk sambil menatap putranya yang duduk di depannya. Dari dulu prinsipnya masih sama, kejujuran dan persaingan sehat. Sean sangat berbeda dengan Abraham. Sean tidak menginginkan bisnis gelap seperti Blackton. Maka dari itu ia membangun bisnisnya sendiri yaitu Viction tanpa embel-embel Blackton di belakangnya. “Apa tidak ada cara lain?” tanya Garvin. Bukan hanya dirinya yang salah tapi juga Jonathan. Jo
Di dalam sebuah ruangan. Alesha terbaring di atas sebuah ranjang. Ada seorang dokter kandungan yang sedang menempelkan alat ke perutnya. Sedangkan di depannya ada sebuah layar monitor yang menampilkan sebuah gambar tidak terlalu jelas. “Anda hamil. Janin yang ada di kandungan anda sudah berumur 2 bulan.” Dokter yang bernama Chaeyung itu menatap Yubin yang berada di sampingnya. “Kandungan awal masih rentan.” Yubin mengangguk. Ia menatap Alesha yang terlihat biasa saja. “Eonni,” panggilnya. Alesha mengerjap. Ia mengusap air matanya yang mengalir. Ia tidak tahu apa yang ia rasakan. Ia senang—namun juga sedih secara bersamaan. Yubin mendekat. Ia memeluk Alesha yang terlihat masih kebingungan. “Eonni harus bertahan. Ada Jake, Aku, Eomma dan Appa yang mendampingi Eonni. Kakak ipar pasti akan menyusul ke sini.” Alesha memejamkan mata. Ia membalas pelukan adiknya. ~~Di dalam sebuah penjara. Duduk seorang pria. Penjara yang lebih mirip kamar pribadi. Garvin masuk ke dalam penjara dengan
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah bersiap-siap akan menampilkan sebuah balet. Ia menggunakan gaun berwarna pink dengan rok yang melebar di bawah. Dia Kim Yuna—anak dari mantan presiden Kim Juhwan. Yuna menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ia menatap rambutnya yang sedikit berantakan. Ia hanya merapikannya sebentar dan kemudian siap. Sudah 4 tahun lamanya ia membangun sebuah akademi balet. Melatih anak-anak yang mempunyai bakat di bidang balet. “Semuanya sudah siap?” tanya Yuna. Di usianya yang menginjak 32 tahun ia semakin bersinar. Bakatnya diakui, akademi yang dibangun menjadi akademi terbaik nomer 5 dari seluruh dunia. Beberapa anak didiknya keluar lebih dahulu. Perannya kali ini hanya menjadi seoran ibu. Ia memilih peran yang lebih sedikit agar anak didiknya bisa lebih banyak tampil. Sebuah lagu klasik mulai mengalun. Yuna keluar. Ia tersenyum ke arah penonton. Di bangku pentonton ada putra dan putrinya yang selalu menonton pertujunjukkannya. Selesai. Yuna membun
Alesha menggeleng. Ia tidak sempat mempertanyakan hal itu karena ia keburu marah. “Eomma dan Appa ingin kamu mendengar penjelasan Garvin sendiri. Tapi keadaan kalian yang tidak baik. Eomma akan menjelaskannya. Eomma harap setelah mendengar ini—kamu bisa mempertimbangkan keputusan kamu.” Yeonji dan Alesha duduk di sisi ranjang. Yeonji menjelaskan apa yang terjadi dengan Garvin. Alesha menangis—ia mengusap air matanya. “Kenapa dia tidak bilang,” kesal Alesha. “Malam ini Garvin akan pulang. Dia bilang dia akan menemui kamu dua atau tiga bulan lagi.” Alesha bangkit. Ia mengambil ponselnya. Nomor Garvin sudah lama tidak aktif. Tapi ia masih menyimpan nomor Ellie. Mungkin saja—nomornya tidak ganti. “Hallo, Mrs.” “Apa Garvin sudah berangkat?” “Oh—10 menit lagi seharusnya berangkat ke Bandara. Anda bisa datang ke mansion tuan.” Panggilan ditutup. Alesha segera mengambil coat dan kunci mobil. “Eomma tolong jaga anak-anak.” Alesha segera berlari.Tak butuh waktu yang lama—Alesha akhirn
“Pergi. Aku butuh waktu sendiri.” Alesha pergi. Ia berjalan kembali masuk ke dalam kamarnya. Ia tidak lupa menutup pintu rapat agar Garvin tidak bisa masuk. Garvin tidak beranjak dari tempatnya. Ia hanya menatap kepergian Alesha dengan tatapan tajamnya. Jujur saja ia sangat ingin mendobrak pintu dan menarik wanita itu. Menciumnya, memeluknya dan mengurungnya sampai rindunya benar-benar terobati. “Aku tidak akan menyerah,” janji Garvin. Selama tertidur bersama anaknya—Alesha tidak terganggu sama sekali. Tidak ada bunyi apapun yang membangunkan dirinya dan anak-anaknya. Tdiurnya sangat nyenyak tanpa gangguan apapun. Pagi ini Alesha sudah siap pergi. Ia tidak melihat siapapun di lorong hotel. Ia bersama anak-anaknya masuk ke dalam lift. Mereka akan checkout dan kembali pulang. “Apa tidak ada orang lain yang menginap di lantai 4 selain kami?” tanya Aelsha pada petugas resepsionis. “Semua kamar sudah dibooking oleh seseorang. Kami tidak bisa menyebutkannya.” Alesha mengernyit. “Pria
Alesha membuka pintu. Kemudian mempersiapkan pakaian tidur untuk Alice. Mengganti pakaian putri kecilnya itu. Jake sudah besar—anak laki-laki itu sudah bisa melakukan banyak hal sendiri. “Mom bacakan dongeng.” Alice memeluk lengan Alesha. “Dasar anak kecil,” lirih Jake. “Kakak!”Tidak ada hari tanpa bertengkar. Alesha sampai pusing sendiri. Jake yang suka sekali menjahili adiknya. Alice yang suka sekali menempel dan mengejar kakaknya meski selalu dijahili. ~~TING TING Garvin masih bersabar untuk tidak mendobrak pintu kamar Alesha. Ia mengusap rambutnya kasar. Sampai tengah malam ia baru sampai di pulau ini. Ia sampai menyewa seluruh kamar lantai yang dihuni anak-anaknya agar mereka bisa tidur dengan tenang. TING TINGSedangkan di dalam kamar. Alesha nampak terganggu dengan bel yang berbunyi. Ia bangkit—ada apa? Pikirnya. Semoga saja bukan orang iseng di tengah malam seperti ini. ia juga membayangkan yang tidak-tidak. Bagaimana jika ada hantu. Alesha bergerak sangat pelan membu
Ketegangan terjadi di ruang tamu sebuah rumah. Kedatangan pria yang selama ini dinanti namun tidak kunjung tandang. Di saat penantian sudah habis—pria itu baru datang. Siapa lagi kalau bukan Garvin. Ia membawa begitu banyak mainan untuk anak perempuan dan anak laki-lakinya. Kedua orang tua Alesha (Yuna) mereka nampaknya masih kecewa pada Garvin. Mereka merasa Alesha ditinggalkan begitu saja oleh Garvin tanpa kabar apapun. “Saya ingin menjemput anak dan istri saya.” Garvin tidak ada keraguan mengatakannya meski ia tahu keluarga Alesha pasti marah padanya. “Kenapa baru menjemput sekarang? Apa yang kamu lakukan di sana?” tanya Juhwan. “Saya membangun bisnis. Saya keluar dari bisnis gelap. Saya membangun bisnis saya dari nol. Butuh waktu membangun bisnis dengan cara yang benar. Karena itu saya butuh mempersiapkan diri sebelum menjemput keluarga saya.” Yeonji menghela nafas. “Garvin, Yuna selalu menanti kamu. Saat kehamilannya yang ke dua. Dia sempat hancur dan terpuruk. Kalau memang
Garvin terbelalak tidak percaya dengan ucapan anaknya sendiri. Ia pikir Jake tidak akan marah. Ia pikir Jake akan selalu menerimanya. “Jake, maafkan Daddy.” “Bukan hanya aku. Tapi juga Mommy. Daddy membuat Mommy menderita.” Jake mundur beberapa langkah menjauh. “JAKE, ALICE KALIAN DI MANA?” teriak seseorang dari kejauhan. Yuna mencari-cari keberadaan anaknya. Ia pikir taman ini tidak terlalu luas. Tapi ternyata cukup luas juga hingga bisa membuat anaknya menghilang. Langkah Yuna semakin tidak menentu. Namun akhirnya ia bisa menemukan anaknya. Ia segera mendekat. Seiring langkahnya yang semakin dekat—ada seorang pria yang tidak lepas memandangnya. Yuna mendekati anaknya. Memeluk mereka berdua. “Kalian ke mana saja?” tanyanya. Ia kemudian berdiri. Kemudian matanya bertemu dengan seseorang yang selama ini ia rindukan. Seseorang yang setiap malam ia selalu kawatirkan. Seseorang yang setiap hari selalu ia doakan agar baik-baik saja. Yuna terpaku. Ia tidak bisa melangkah, berucap atau
Yuna bersama anak-anaknya datang ke taman. Tujuan mereka adalah berolahraga santai. Jake itu kuat sekali berlari. Anak laki-laki itu mempunyai tubuh yang sangat sehat. Yuna berhenti saat sudah berlari tiga putaran. Ia berhenti dan memilih duduk di bangku taman. Alice duduk sambil memegang es krim. Anak perempuannya itu sangat suka dengan es krim. Sudah akut—tidak bisa disembuhkan. Makanan nomer satu kesukaan Alice hanyalah Es krim. “Mom ayo pulang,” Alice menarik tangan ibunya. Yuna menunduk ia menali tali sepatunya yang mulai mengendor. “Tunggu Alice. Mommy harus berolahraga sebentar lagi.” Ia berdiri—melakukan peregangan ringan. Melompat kecil dan merapikan topinya. “Jake, kamu jaga Alice di sini ya,” pesan Yuna sebelum pergi. Jake mengangguk. Yuna kembali berolahraga. Ia berlari—tanpa menghawatirkan anaknya lagi. Ia yakin Jake sudah pintar, anak laki-lakinya itu pasti sudah bisa menjaga adiknya. Beberapa menit berlalu, Yuna kembali ke kursi di mana anaknya berada. Namun saat
Di sisi lain ada seorang pria yang menatap sebuah foto kebersamaan seorang perempuan dan laki-laki. Ia mengepalkan tangannya. Ingin rasanya membanting semua yang ada di dalam ruangannya. Ia menahan amarahnya sekuat tenaga. “Kenapa kamu berdekatan dengan pria lain,” lirihnya memejamkan mata. Tok Tok“Sir sebentar lagi ada meeting,” ucap Ellie sebagai Asistennya. Ternyata ada banyak orang menunggunya. Salah satunya Ellie. Saat Garvin pertama kali membangun perusahaan, Ellie melamar menjadi sekretarisnya.Garvin mengangguk. 5 tahun berlalu, telah bayak yang berubah dari Garvin. Garvin yang sekarang bukanlah Garvin yang dulu. Jika dulu Garvin cenderung lebih emosi—sekarang ia akan lebih bersabar. Menunggu, diam namun di kepalanya tersusun strategi untuk mengalahkan lawan. Bukan lagi tentang bunuh membunuh. Garvin adalah seorang pengusaha sukses di bidang teknologi. Cara menghancurkan lawan bukan dengan membunuh namun merebut kepercayaan investor dan memenangkan tender. Di kelilingi ka
“Dia bukan Appa, Alice. Dia bukan Daddy kita,” kata Jake yang sangat tidak suka jika Alice memanggil orang lain sebagai ayah. “Sudah kakak bilang dia bukan Daddy kita.” *Appa= AyahAlice menunduk. Ia memilih bersembunyi di pelukan Yuna. “Jake, jangan memarahi adikmu.” Yuna menatap Jake. “Alice masih belum mengerti. Nanti biar Mommy yang menjelaskannya.” Jake melengos. Ia menatap jendela yang menampilkan seseroang yang disebut Alice sebagai Appa. Alice meloncat dari kursi. Anak itu berlari ke arah seorang pria yang tengah berbincang di depan kafe. Pakaiannya rapi khas orang kantoran. “Appa!” Alice langsung memeluk pria itu. “Hai Alice,” sapa pria itu. Ia tersenyum. Mencubit pelan pipi Alice yang chubby. “Dengan siapa?” Alice menunjuk ke dalam kafe. “Mommy dan kakak.” Yuna melambaikan tangannya ringan sambil tersenyum. Pria itu adalah Jungwoo. Park Jungwoo, mantan calon suami yang dipilihkan orang tuanya dulu. Jungwoo terlihat sangat dewasa. Berbeda sekali dengan dulu. Pakaianny
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah bersiap-siap akan menampilkan sebuah balet. Ia menggunakan gaun berwarna pink dengan rok yang melebar di bawah. Dia Kim Yuna—anak dari mantan presiden Kim Juhwan. Yuna menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ia menatap rambutnya yang sedikit berantakan. Ia hanya merapikannya sebentar dan kemudian siap. Sudah 4 tahun lamanya ia membangun sebuah akademi balet. Melatih anak-anak yang mempunyai bakat di bidang balet. “Semuanya sudah siap?” tanya Yuna. Di usianya yang menginjak 32 tahun ia semakin bersinar. Bakatnya diakui, akademi yang dibangun menjadi akademi terbaik nomer 5 dari seluruh dunia. Beberapa anak didiknya keluar lebih dahulu. Perannya kali ini hanya menjadi seoran ibu. Ia memilih peran yang lebih sedikit agar anak didiknya bisa lebih banyak tampil. Sebuah lagu klasik mulai mengalun. Yuna keluar. Ia tersenyum ke arah penonton. Di bangku pentonton ada putra dan putrinya yang selalu menonton pertujunjukkannya. Selesai. Yuna membun