Belanjaan Alesha dan Yubin ditaruh di meja ruang keluarga. Alesha menatap paper bag merek itu—kenapa ia bisa belanja sebanyak itu. Jika dihitung dalam rupiah. Setara dengan 20 Miliar. “Alesha kamu sudah pulang?” tanya Valencia dari atas. Ia melihat belanjaan Alesha dengan diam. Alesha meringis pelan. “Terima kasih sudah menjaga Jake, Mom.” “Tentu saja.” Valencia mengangguk. “Jake anak yang pintar. Dia masih tidur.” “Oh ya Alesha beli jam buat Mom.” Alesha mengambil paper bag yang berisi jam tangan. “Ini.” “Makasih.” Valencia mengangguk sambil tersenyum. “Alesha terlalu banyak berbelanja hari ini.” Alesha menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Tidak.” Valencia menggeleng. Ia menghitung paper bag yang ada di sana. “Hanya segini. Kurang Alesha—uang Garvin banyak.” “Tapi ini sudah banyak, Mom.” Valencia menatap Yubin yang menyisihkan lima paper bag miliknya. “Itu punya kamu yabin?” Yubin mendongak. “Yubin aunty.” Valencia kerap kali sering salah sebut nama Yubin. “Iya ini milik
“Yuna-yaa Eomma ingin menggendong cucu Eomma.” Yeonji merengek ingin bertemu dengan cucunya. “Biarkan Eomma menyusul kalian ya?” Alesha menggeleng. “Jangan Eomma. Nanti Yuna akan ke sana dengan Garvin. Di sini terlalu berbahaya. Jangan ke sini. Tunggu kita ke sana.” Alesha mengambil tangan mungil Jake kemudian menggerakkannya pelan. “Cucu Halmoni lucu sekali.” Yeonji menghela nafas. “Bagaimana Yubin di sana? Apa dia merepotkan?” Yubin yang berada tidak jauh dari Alesha mengerucutkan bibirnya. “Tidak Eomma.” Alesha menggeleng. “Dia besok akan pulang.” “Baguslah. Jatah liburan semesternya sudah habis. Dia harus kembali kuliah. Beri tahu dia Yuna, kalau ingin cepat jadi dokter harus rajin, jangan kabur-kaburan.” Yeonji mengomel membuat Alesha tertawa pelan. Yubin berdiri. Ia menampakkan diri di kamera. “Yubin mengerti Eomma.” Ia menunduk sebentar. “Sekarang waktunya Eomma tidur.” “Yubin-aaa! Awas kamu ya!” Yeonji semakin murka. Yubin cepat-cepat mematikan sambungan video callnya.
Full 21+ yang gak suka bisa skip Hal yang paling menegangkan adalah ‘bermain’ di saat anak mereka tengah tidur di kamar mereka. Selain pemaksa—Garvin itu juga gila. Katanya salah Jake sendiri yang meminta tidur bersama mereka. Padahal biasanya suka tidur sendiri. Bilang saja anak ajaib. Tapi Jake pernah berkata. “Jake tidak mau tidur di sini.” menunjuk kamar orang tuanya. “Mommy Daddy sangat berisik!” Hingga Alesha maupun Garvin setuju memisahkan diri dari anak mereka. Awalnya Alesha ingin kabur—namun Garvin lebih dulu cepat menangkapnya. Bukannya tidak mau melayani suaminya sendiri. Hanya saja ia ingin nanti malam saja—bukan sore ini. “Mau kabur hm?” Garvin menghirup aroma leher istrinya yang memabukkan. “Bagaimana kalau nanti malam saja?” tawar Alesha. Ia tidak bisa mencegah tangan Garvin yang berada di balik punggungnya. Mencari-cari di mana letak resleting yang ada pada dressnya. “Tidak.” Garvin yang tidak sabaran menyobek dress Alesha dengan sekali tarikan. Bagaimana tidak
Garvin bilang akan mengajaknya pergi ke sebuah pesta yang diadakan oleh saudara Mommy Valencia. Alesha terpaksa menggunakan dress yang tertutup. Banyak tanda yang dibuat suaminya kemarin masih belum menghilang. Hampir seluruh tubuhnya terdapat jejak percintaan mereka. “Aku harus hati-hati menutup ini.” Alesha mengoleskan bedak di lehernya. “Huh beginilah jika Garvin bermain. Sangat sudah berhenti. Remuk-remuk nih badan.” “Mommy!” teriak Jake dari depan. Bocah itu juga mengetuk kamar orang tuanya. Sebuah etika sopan santun yang diajarkan Alesha sejak dini. Alesha beranjak dari duduknya. Ia membuka pintu. Ia bisa melihat Jake yang sudah rapi dengan jasnya. “Waah Jake tampan sekali.” Alesha tersenyum. Ia mendongak—menatap pengasuh Jake yang bernama Bi Katy. “Makasih Bi.” “Sama-sama, Non.” Bi Katy tersenyum. “Tuan Jake bilang akan pergi jalan-jalan mangkanya semangat sekali.” Kata jalan-jalan adalah hal yang paling ditunggu oleh Jake. Selama ini tidak banyak Jake bisa keluar dari Ma
Seorang wanita baru saja masuk ke dalam ruangan. Semua mata hanya tertuju padanya. Gaun cantik nan seksi itu melekat sempurna di lekuk tubuhnya. Daisy Beneth. Anak pertama Amora yang baru saja pulang. Bertahun-tahun pergi ke Paris untuk mengejar cita-citanya menjadi seorang desianer. Hari ini tepat di hari ulang tahun perusahaan keluarganya dan ulang tahun pernikahan orang tuanya, ia pulang.“Hai Garvin,” sapanya. Dengan senyum yang manis. Ia mendekat—langsung memeluk Garvin.“Dia siapa mommy? Kenapa memeluk daddy?” suara Jake tidak suka. Lebih posesive dari pada Alesha.“Lepas.” Garvin mendorong tubuh Daisy agar menjauh darinya.Daisy tetap tersenyum meski dalam hati ia sangat sedih melihat Garvin yang sangat cuek padanya. “Kau berubah.”Garvin menoleh ia meraih tangan Alesha kemudian menggenggamnya. “Ayo pergi.”“Tunggu!” Daisy mencegah mereka. “Kau Alesha? Kau istri Garvin?” Ia menatap Jake yang menggandeng tangan kedua orang tuanya. “Dan kau pasti Jake!”Alesha mengangguk perlahan
Setelah menghabiskan satu gelas yang berisi cairan vodka. Garvin menarik Alesha ke toilet. Setelah berada di sana—ia langsung menyerang istrinya. Tergesa-gesa sambil menutup pintu tolet rapat agar tidak ada yang masuk. “Apa aku harus mengontrol suaraku lagi?” lirih Alesha. Garvin menggeleng. “Jangan dikontrol jika ingin orang-orang mendengar desahan kamu.” Sambil mengangkat tubuh istrinya ke atas wastafel. Mereka kembali memangut satu sama lain. Alesha akui permainan Garvin saat ini sangat ganas. Tentu saja karena dicampuri dengan pelampiasan emosi. Bibir Alesha sampai bengkak rasanya. “Apa tidak ada cara lain?” Alesha mengatur deru nafasnya. Tangannya mengalun di leher Garvin. Dengan dahi mereka yang menyatu. “Tidak ada sweety.” Kemudian tangan Garvin menelusup masuk ke dalam dress yang digunakan Alesha. “Jangan disobek.” Alesha menahan tangan Garvin yang kesusahan melepas resleting. “Aku akan membukanya.” Akhirnya Alesha sendiri yang menurunkan dressnya sampai di atas pinggan
“Apa kamu tidak tidur?” tanya Alesha. Ia sama sekali tidak menatap suaminya. Ia masih fokus dengan kegiatannya memasang dasi di leher Garvin. “Aku tidur sebentar,” balas Garvin. Alesha menghela nafas. Ia menjauh—kemudian mengambil jas. Dipasangkannya di tubuh suaminya. “Apa kamu tahu? Aku masih belum mendapat jawaban apapun.” Garvin terdiam. Ia mengecup dahi Alesha sebentar. Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi. Ia memilih tidak membalas perkataan istrinya dulu. “Aku pergi.” Garvin melangkah keluar. “Aku berhak tahu tentang masa lalunya,” lirih Alesha. “Aku merasa tidak tahu apapun tetangnya.” “DAD!” panggil Jake. Bocah itu mendekati Garvin. “Jake ingin mobil.” “Mobil-mobilan?” tanya Garvin menunduk. Jake menggeleng pelan. “No.” “Mobil dad! Seperti mobil nenek.” Jake memperagakan bagaimana Valencia menyetir mobil. “Brruuuum. Ngeeeeng.” Garvin sudah menduga. Valencia menunjukkan skill menyetirnya pada Jake. Valencia memang mempunyai hobi balapan mobil. Meskipun usianya sudah t
Setelah memastikan Jake sudah tidur. Alesha pergi ke dapur. Ia menatap jam dinding dan suaminya tidak kunjung pulang. selama ini Alesha jarang sekali bertanya kenapa Garvin sampai telat pulang. Karena ia sudah paham—suaminya sedang bekerja dan dia takut mengganggu. Ia menghela nafas. Tiba-tiba ia ingin makan nasi goreng. Yasudah ia mengambil bahan-bahan dari kulkas. Mulai memasak bumbu dan memasukkannya ke dalam panci. “Aku sudah lama tidak makan nasi goreng.” Alesha mengaduk nasi sambil bergumam. “Buat apa hm?” bisik seseorang dari belakang. Alesha menoleh. Ia tersenyum saat kedua tangan suaminya melingkar di pinggangnya. Ia mematikan kompor. Berjalan mengambil piring—namun Garvin tidak mau melepaskannya. “Lepaskan dulu Garvin,” Alesha berusaha melepaskan tangan suaminya. “Tidak.” Jawaban mutlak tidak bisa diganggu gugat. Pokoknya peluk ya peluk. Mau ke manapun ya harus peluk. Alesha menghela nafas sambil menggeleng pelan. Setelah memindah tempat nasi goreng ke piring. Ia berj
Alesha menggeleng. Ia tidak sempat mempertanyakan hal itu karena ia keburu marah. “Eomma dan Appa ingin kamu mendengar penjelasan Garvin sendiri. Tapi keadaan kalian yang tidak baik. Eomma akan menjelaskannya. Eomma harap setelah mendengar ini—kamu bisa mempertimbangkan keputusan kamu.” Yeonji dan Alesha duduk di sisi ranjang. Yeonji menjelaskan apa yang terjadi dengan Garvin. Alesha menangis—ia mengusap air matanya. “Kenapa dia tidak bilang,” kesal Alesha. “Malam ini Garvin akan pulang. Dia bilang dia akan menemui kamu dua atau tiga bulan lagi.” Alesha bangkit. Ia mengambil ponselnya. Nomor Garvin sudah lama tidak aktif. Tapi ia masih menyimpan nomor Ellie. Mungkin saja—nomornya tidak ganti. “Hallo, Mrs.” “Apa Garvin sudah berangkat?” “Oh—10 menit lagi seharusnya berangkat ke Bandara. Anda bisa datang ke mansion tuan.” Panggilan ditutup. Alesha segera mengambil coat dan kunci mobil. “Eomma tolong jaga anak-anak.” Alesha segera berlari.Tak butuh waktu yang lama—Alesha akhirn
“Pergi. Aku butuh waktu sendiri.” Alesha pergi. Ia berjalan kembali masuk ke dalam kamarnya. Ia tidak lupa menutup pintu rapat agar Garvin tidak bisa masuk. Garvin tidak beranjak dari tempatnya. Ia hanya menatap kepergian Alesha dengan tatapan tajamnya. Jujur saja ia sangat ingin mendobrak pintu dan menarik wanita itu. Menciumnya, memeluknya dan mengurungnya sampai rindunya benar-benar terobati. “Aku tidak akan menyerah,” janji Garvin. Selama tertidur bersama anaknya—Alesha tidak terganggu sama sekali. Tidak ada bunyi apapun yang membangunkan dirinya dan anak-anaknya. Tdiurnya sangat nyenyak tanpa gangguan apapun. Pagi ini Alesha sudah siap pergi. Ia tidak melihat siapapun di lorong hotel. Ia bersama anak-anaknya masuk ke dalam lift. Mereka akan checkout dan kembali pulang. “Apa tidak ada orang lain yang menginap di lantai 4 selain kami?” tanya Aelsha pada petugas resepsionis. “Semua kamar sudah dibooking oleh seseorang. Kami tidak bisa menyebutkannya.” Alesha mengernyit. “Pria
Alesha membuka pintu. Kemudian mempersiapkan pakaian tidur untuk Alice. Mengganti pakaian putri kecilnya itu. Jake sudah besar—anak laki-laki itu sudah bisa melakukan banyak hal sendiri. “Mom bacakan dongeng.” Alice memeluk lengan Alesha. “Dasar anak kecil,” lirih Jake. “Kakak!”Tidak ada hari tanpa bertengkar. Alesha sampai pusing sendiri. Jake yang suka sekali menjahili adiknya. Alice yang suka sekali menempel dan mengejar kakaknya meski selalu dijahili. ~~TING TING Garvin masih bersabar untuk tidak mendobrak pintu kamar Alesha. Ia mengusap rambutnya kasar. Sampai tengah malam ia baru sampai di pulau ini. Ia sampai menyewa seluruh kamar lantai yang dihuni anak-anaknya agar mereka bisa tidur dengan tenang. TING TINGSedangkan di dalam kamar. Alesha nampak terganggu dengan bel yang berbunyi. Ia bangkit—ada apa? Pikirnya. Semoga saja bukan orang iseng di tengah malam seperti ini. ia juga membayangkan yang tidak-tidak. Bagaimana jika ada hantu. Alesha bergerak sangat pelan membu
Ketegangan terjadi di ruang tamu sebuah rumah. Kedatangan pria yang selama ini dinanti namun tidak kunjung tandang. Di saat penantian sudah habis—pria itu baru datang. Siapa lagi kalau bukan Garvin. Ia membawa begitu banyak mainan untuk anak perempuan dan anak laki-lakinya. Kedua orang tua Alesha (Yuna) mereka nampaknya masih kecewa pada Garvin. Mereka merasa Alesha ditinggalkan begitu saja oleh Garvin tanpa kabar apapun. “Saya ingin menjemput anak dan istri saya.” Garvin tidak ada keraguan mengatakannya meski ia tahu keluarga Alesha pasti marah padanya. “Kenapa baru menjemput sekarang? Apa yang kamu lakukan di sana?” tanya Juhwan. “Saya membangun bisnis. Saya keluar dari bisnis gelap. Saya membangun bisnis saya dari nol. Butuh waktu membangun bisnis dengan cara yang benar. Karena itu saya butuh mempersiapkan diri sebelum menjemput keluarga saya.” Yeonji menghela nafas. “Garvin, Yuna selalu menanti kamu. Saat kehamilannya yang ke dua. Dia sempat hancur dan terpuruk. Kalau memang
Garvin terbelalak tidak percaya dengan ucapan anaknya sendiri. Ia pikir Jake tidak akan marah. Ia pikir Jake akan selalu menerimanya. “Jake, maafkan Daddy.” “Bukan hanya aku. Tapi juga Mommy. Daddy membuat Mommy menderita.” Jake mundur beberapa langkah menjauh. “JAKE, ALICE KALIAN DI MANA?” teriak seseorang dari kejauhan. Yuna mencari-cari keberadaan anaknya. Ia pikir taman ini tidak terlalu luas. Tapi ternyata cukup luas juga hingga bisa membuat anaknya menghilang. Langkah Yuna semakin tidak menentu. Namun akhirnya ia bisa menemukan anaknya. Ia segera mendekat. Seiring langkahnya yang semakin dekat—ada seorang pria yang tidak lepas memandangnya. Yuna mendekati anaknya. Memeluk mereka berdua. “Kalian ke mana saja?” tanyanya. Ia kemudian berdiri. Kemudian matanya bertemu dengan seseorang yang selama ini ia rindukan. Seseorang yang setiap malam ia selalu kawatirkan. Seseorang yang setiap hari selalu ia doakan agar baik-baik saja. Yuna terpaku. Ia tidak bisa melangkah, berucap atau
Yuna bersama anak-anaknya datang ke taman. Tujuan mereka adalah berolahraga santai. Jake itu kuat sekali berlari. Anak laki-laki itu mempunyai tubuh yang sangat sehat. Yuna berhenti saat sudah berlari tiga putaran. Ia berhenti dan memilih duduk di bangku taman. Alice duduk sambil memegang es krim. Anak perempuannya itu sangat suka dengan es krim. Sudah akut—tidak bisa disembuhkan. Makanan nomer satu kesukaan Alice hanyalah Es krim. “Mom ayo pulang,” Alice menarik tangan ibunya. Yuna menunduk ia menali tali sepatunya yang mulai mengendor. “Tunggu Alice. Mommy harus berolahraga sebentar lagi.” Ia berdiri—melakukan peregangan ringan. Melompat kecil dan merapikan topinya. “Jake, kamu jaga Alice di sini ya,” pesan Yuna sebelum pergi. Jake mengangguk. Yuna kembali berolahraga. Ia berlari—tanpa menghawatirkan anaknya lagi. Ia yakin Jake sudah pintar, anak laki-lakinya itu pasti sudah bisa menjaga adiknya. Beberapa menit berlalu, Yuna kembali ke kursi di mana anaknya berada. Namun saat
Di sisi lain ada seorang pria yang menatap sebuah foto kebersamaan seorang perempuan dan laki-laki. Ia mengepalkan tangannya. Ingin rasanya membanting semua yang ada di dalam ruangannya. Ia menahan amarahnya sekuat tenaga. “Kenapa kamu berdekatan dengan pria lain,” lirihnya memejamkan mata. Tok Tok“Sir sebentar lagi ada meeting,” ucap Ellie sebagai Asistennya. Ternyata ada banyak orang menunggunya. Salah satunya Ellie. Saat Garvin pertama kali membangun perusahaan, Ellie melamar menjadi sekretarisnya.Garvin mengangguk. 5 tahun berlalu, telah bayak yang berubah dari Garvin. Garvin yang sekarang bukanlah Garvin yang dulu. Jika dulu Garvin cenderung lebih emosi—sekarang ia akan lebih bersabar. Menunggu, diam namun di kepalanya tersusun strategi untuk mengalahkan lawan. Bukan lagi tentang bunuh membunuh. Garvin adalah seorang pengusaha sukses di bidang teknologi. Cara menghancurkan lawan bukan dengan membunuh namun merebut kepercayaan investor dan memenangkan tender. Di kelilingi ka
“Dia bukan Appa, Alice. Dia bukan Daddy kita,” kata Jake yang sangat tidak suka jika Alice memanggil orang lain sebagai ayah. “Sudah kakak bilang dia bukan Daddy kita.” *Appa= AyahAlice menunduk. Ia memilih bersembunyi di pelukan Yuna. “Jake, jangan memarahi adikmu.” Yuna menatap Jake. “Alice masih belum mengerti. Nanti biar Mommy yang menjelaskannya.” Jake melengos. Ia menatap jendela yang menampilkan seseroang yang disebut Alice sebagai Appa. Alice meloncat dari kursi. Anak itu berlari ke arah seorang pria yang tengah berbincang di depan kafe. Pakaiannya rapi khas orang kantoran. “Appa!” Alice langsung memeluk pria itu. “Hai Alice,” sapa pria itu. Ia tersenyum. Mencubit pelan pipi Alice yang chubby. “Dengan siapa?” Alice menunjuk ke dalam kafe. “Mommy dan kakak.” Yuna melambaikan tangannya ringan sambil tersenyum. Pria itu adalah Jungwoo. Park Jungwoo, mantan calon suami yang dipilihkan orang tuanya dulu. Jungwoo terlihat sangat dewasa. Berbeda sekali dengan dulu. Pakaianny
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah bersiap-siap akan menampilkan sebuah balet. Ia menggunakan gaun berwarna pink dengan rok yang melebar di bawah. Dia Kim Yuna—anak dari mantan presiden Kim Juhwan. Yuna menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ia menatap rambutnya yang sedikit berantakan. Ia hanya merapikannya sebentar dan kemudian siap. Sudah 4 tahun lamanya ia membangun sebuah akademi balet. Melatih anak-anak yang mempunyai bakat di bidang balet. “Semuanya sudah siap?” tanya Yuna. Di usianya yang menginjak 32 tahun ia semakin bersinar. Bakatnya diakui, akademi yang dibangun menjadi akademi terbaik nomer 5 dari seluruh dunia. Beberapa anak didiknya keluar lebih dahulu. Perannya kali ini hanya menjadi seoran ibu. Ia memilih peran yang lebih sedikit agar anak didiknya bisa lebih banyak tampil. Sebuah lagu klasik mulai mengalun. Yuna keluar. Ia tersenyum ke arah penonton. Di bangku pentonton ada putra dan putrinya yang selalu menonton pertujunjukkannya. Selesai. Yuna membun