“Apa kamu tidak tidur?” tanya Alesha. Ia sama sekali tidak menatap suaminya. Ia masih fokus dengan kegiatannya memasang dasi di leher Garvin. “Aku tidur sebentar,” balas Garvin. Alesha menghela nafas. Ia menjauh—kemudian mengambil jas. Dipasangkannya di tubuh suaminya. “Apa kamu tahu? Aku masih belum mendapat jawaban apapun.” Garvin terdiam. Ia mengecup dahi Alesha sebentar. Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi. Ia memilih tidak membalas perkataan istrinya dulu. “Aku pergi.” Garvin melangkah keluar. “Aku berhak tahu tentang masa lalunya,” lirih Alesha. “Aku merasa tidak tahu apapun tetangnya.” “DAD!” panggil Jake. Bocah itu mendekati Garvin. “Jake ingin mobil.” “Mobil-mobilan?” tanya Garvin menunduk. Jake menggeleng pelan. “No.” “Mobil dad! Seperti mobil nenek.” Jake memperagakan bagaimana Valencia menyetir mobil. “Brruuuum. Ngeeeeng.” Garvin sudah menduga. Valencia menunjukkan skill menyetirnya pada Jake. Valencia memang mempunyai hobi balapan mobil. Meskipun usianya sudah t
Setelah memastikan Jake sudah tidur. Alesha pergi ke dapur. Ia menatap jam dinding dan suaminya tidak kunjung pulang. selama ini Alesha jarang sekali bertanya kenapa Garvin sampai telat pulang. Karena ia sudah paham—suaminya sedang bekerja dan dia takut mengganggu. Ia menghela nafas. Tiba-tiba ia ingin makan nasi goreng. Yasudah ia mengambil bahan-bahan dari kulkas. Mulai memasak bumbu dan memasukkannya ke dalam panci. “Aku sudah lama tidak makan nasi goreng.” Alesha mengaduk nasi sambil bergumam. “Buat apa hm?” bisik seseorang dari belakang. Alesha menoleh. Ia tersenyum saat kedua tangan suaminya melingkar di pinggangnya. Ia mematikan kompor. Berjalan mengambil piring—namun Garvin tidak mau melepaskannya. “Lepaskan dulu Garvin,” Alesha berusaha melepaskan tangan suaminya. “Tidak.” Jawaban mutlak tidak bisa diganggu gugat. Pokoknya peluk ya peluk. Mau ke manapun ya harus peluk. Alesha menghela nafas sambil menggeleng pelan. Setelah memindah tempat nasi goreng ke piring. Ia berj
FLASBACK ON Dulu Garvin dan Daisy berada di sekolah yang sama. Garvin yang badboy dan penuh perkelahian dengan musuh. Berbeda sekali dengan Daisy yang seperti matahari. Daisy ceria dan penuh kehangatan. Perempuan itu juga menjadi ketua eskul Cheerleader. Sejak melihat Daisy menari di pinggir lapangan—pandangan Garvin mengenai Daisy berubah. Bukan tentang perasaan sayang terhadap sepupu. Melainkan perasaan pria terhadap wanita. Daisy cantik—siapa yang tidak suka? Semua laki-laki di sekolahnya juga suka dengan Daisy. “Aku tidak akan basa-basi. Aku suka melihatmu. Aku juga ingin memelukmu bahkan menciummu.” Itu pernyataan Garvin pada Daisy. Daisy terdiam sebentar. kemudian tersenyum. “Aku sudah lama menyukaimu, Garvin. Tapi kita sepupu. Kita tidak boleh menjalin hubungan.” “Hubungan terlarang lebih mengasikkan.” Perkataan Garvin membuat Daisy tersenyum lebar. Daisy maju selangkah. “Kalau begitu ayo lakukan.” Perempuan itu berjinjit dan mencium Garvin lebih dulu. Ciuman pertama mer
Hari pertama sekolah Jake. Alesha menatap Putranya yang sudah berjalan menjauh memasuki sekolah. Sekolah anak-anak yang tentunya belum menyentuh pelajaran. Hanya bersosialisasi dengan teman sebaya. “Aku ingin Jake bisa berbaur dengan teman-temannya,” ucap Alesha. Garvin memeluk pinggan Alesha dari samping. Kacamata hitam bertengger di hidung mancungnya. “Tidak bisa. Dia terlalu menonjol sebagai bocah.” Alesha menyikut pelan perut suaminya. “Tapi—apa tidak berlebihan?” Alesha menghela nafas. Pasalnya ada 10 bodyguard yang berjaga di sekolah. Pakaian mereka yang serba hitam membuat anak-anak lain sedikit takut. “Anak buahmu, semuanya menakutkan,” lanjut Alesha. Ia menggeleng pelan. “Mereka semua memakai pakaian hitam, kacamata hitam, rambut hitam, sepatu hitam. Mereka benar-benar all black.” “Keselamatan Jake yang paling utama.” Garvin menarik pinggang Alesha agar menghadapnya. “Jake belum bisa melindungi dirinya sendiri. Maka aku harus memastikan dia benar-benar terlindungi.” “Su
Jake sudah tertidur di atas sofa. Bocah itu sungguh lelap. Sudah hampir 2 jam Alesha menunggu suaminya namun Garvin tidak kunjung kembali. Suara pintu yang terbuka membuat Alesha mendongak. Ia tersenyum saat melihat Garvin masuk ke dalam. “Akhirnya kamu—” ucapanya terhenti tatkala suaminya tidak sendirian melainkan bersama wanita lain. “Oh ada Alesha,” ucap seorang wanita yang berada di belakang Garvin. Daisy, si mantan. Alesha mengangguk dengan raut wajah yang tidak bisa berbohong lagi jika dirinya sedang tidak dalam keadaan ceria. “Aku ikut ke kantor lagi untuk mengambil dokumen yang tertinggal. Terima kasih sudah makan siang denganku.” Daisy tersenyum menatap Garvin. Setelah itu menatap Alesha dengan senyum juga. Kemudian melangkah keluar. “Kamu makan siang dengannya?” tanya Alesha. Garvin menghela nafas. Terlihat lelah. “Hanya sebatas rekan kerja.” Alesha tersenyum sinis. “Aku menelepon kamu berulang kali. Mengirim kamu pesan. Tapi kamu gak angkat ataupun balas. Mungkin sak
“Mau Jalan-jalan?” tawar Garvin. “Memangnya kamu ada waktu?” Alesha menatap tumpukkan dokumen di atas meja. “Kamu ada banyak pekerjaan. Aku hanya datang ke sini untuk makan siang bersama.” Garvin menghela nafas. Ia juga ingin menghabiskan banyak waktu dengan keluarganya, namun kesibukannya menghalanginya. Akhir-akhir ini pekerjaannya kian menumpuk. Apalagi Sean, ayahnya sudah jarang ke kantor dan menyerahkan pekerjaan presdir padanya. “Tunggu dua jam lagi, setelah itu ayo jalan-jalan.” Garvin mengusap puncak kepala Alesha. Alesha mengangguk pelan. Belum sempat berjalan menjauh—tubuhnya ditarik suaminya. Hingga sekarang ia terjatuh di pangkuan Garvin. “Ayo buat adik buat Jake,” bisik Garvin. “Katanya akan bekerja?” “Tidak sekarang tapi nanti.” Alesha mendadak salah tingkah. Ia mengangguk. “Aku juga ingin anak perempuan. Jake adalah kembaran kamu. Dari banyak hobiku tidak ada yang dia suka.” “Jake laki-laki sayang.” Garvin mengecup leher sang istri. “Wajar saja dia suka, hal-ha
Setelah mendapat panggilan dari seseorang. Garvin langsung pergi. Tanpa babibu lagi ia meninggalkan istri dan anaknya. “Makan dulu saja. Aku ada urusan sebentar.” Pesan Garvin pada Alesha sebelum pergi. Terlihat dari raut wajah suaminya itu kawatir. “Daddy mau ke mana, Mom?” tanya Jake. “Daddy ada pekerjaan.” Alesha mengusap puncak kepala Jake. Samar-sama ia membaca siapa yang menelepon suaminya itu. Nama yang tercetak di panggilan adalah Daisy. Jika memang Garvin sudah tidak mempunyai perasaan apapun pada perempuan itu, lantas kenapa suaminya itu masih sangat peduli? Alesha menggeleng selain rasa sakit dan kecewa. Ia harus terlihat bai-baik saja di depan anaknya. ~~ “Garvin aku takut sekali. Aku tidak tahu ini di mana. Tapi sekarang hujan? Aku sangat takut.” Hal yang palign ditakuti Daisy adalah hujan. Ketika Hujan turun—Daisy akan gemetar ketakutan. Dahulu mereka berdua saat kecil pernah kesasar di sebuah hutan ketika sedang piknik keluarga. Saat Hujan turun—mereka dikejar se
Langkahnya membawanya ke kamar anak. Ia membuka pintu perlahan. Benar—Alesha tidur di samping Jake. Istrinya itu tidak berganti pakaian dulu bahkan. Masih menggunakan dress—padahal ketika tidur, Alesha suka sekali menggunakan kaos dan celana pendek. “Sayang,” panggil Garvin. Ia menggoyang lengan Alesha pelan. “Ayo pindah,” bisiknya. Ia mengecup leher Alesha beberapa kali. Bermaksud ingin membangunkan istrinya. Namun Alesha hanya bergumam dengan mata yang masih tertutup. “Ayo bangun,” bisik Garvin lagi. Kini ia sengaja melahap bibir Alesha yang sedikit terbuka. Sapuan lembut yang berada di atasnya membuat Alesha sadar. Apalagi benda kenyal nan basah itu kini merambat pada lehernya. Menggigit dan menghisapnya perlahan membuatnya sedikit melenguh. Akhirnya ia membuka mata. Mendapati suaminya yang sudah pulang. “Kamu sudah pulang?” Alesha bangun. Ia menghindari kontak mata langsung dengan suaminya. Lantas berjalan lebih dulu keluar dari kamar Jake. Alesha akan ke bawah dulu sebelum k
Alesha menggeleng. Ia tidak sempat mempertanyakan hal itu karena ia keburu marah. “Eomma dan Appa ingin kamu mendengar penjelasan Garvin sendiri. Tapi keadaan kalian yang tidak baik. Eomma akan menjelaskannya. Eomma harap setelah mendengar ini—kamu bisa mempertimbangkan keputusan kamu.” Yeonji dan Alesha duduk di sisi ranjang. Yeonji menjelaskan apa yang terjadi dengan Garvin. Alesha menangis—ia mengusap air matanya. “Kenapa dia tidak bilang,” kesal Alesha. “Malam ini Garvin akan pulang. Dia bilang dia akan menemui kamu dua atau tiga bulan lagi.” Alesha bangkit. Ia mengambil ponselnya. Nomor Garvin sudah lama tidak aktif. Tapi ia masih menyimpan nomor Ellie. Mungkin saja—nomornya tidak ganti. “Hallo, Mrs.” “Apa Garvin sudah berangkat?” “Oh—10 menit lagi seharusnya berangkat ke Bandara. Anda bisa datang ke mansion tuan.” Panggilan ditutup. Alesha segera mengambil coat dan kunci mobil. “Eomma tolong jaga anak-anak.” Alesha segera berlari.Tak butuh waktu yang lama—Alesha akhirn
“Pergi. Aku butuh waktu sendiri.” Alesha pergi. Ia berjalan kembali masuk ke dalam kamarnya. Ia tidak lupa menutup pintu rapat agar Garvin tidak bisa masuk. Garvin tidak beranjak dari tempatnya. Ia hanya menatap kepergian Alesha dengan tatapan tajamnya. Jujur saja ia sangat ingin mendobrak pintu dan menarik wanita itu. Menciumnya, memeluknya dan mengurungnya sampai rindunya benar-benar terobati. “Aku tidak akan menyerah,” janji Garvin. Selama tertidur bersama anaknya—Alesha tidak terganggu sama sekali. Tidak ada bunyi apapun yang membangunkan dirinya dan anak-anaknya. Tdiurnya sangat nyenyak tanpa gangguan apapun. Pagi ini Alesha sudah siap pergi. Ia tidak melihat siapapun di lorong hotel. Ia bersama anak-anaknya masuk ke dalam lift. Mereka akan checkout dan kembali pulang. “Apa tidak ada orang lain yang menginap di lantai 4 selain kami?” tanya Aelsha pada petugas resepsionis. “Semua kamar sudah dibooking oleh seseorang. Kami tidak bisa menyebutkannya.” Alesha mengernyit. “Pria
Alesha membuka pintu. Kemudian mempersiapkan pakaian tidur untuk Alice. Mengganti pakaian putri kecilnya itu. Jake sudah besar—anak laki-laki itu sudah bisa melakukan banyak hal sendiri. “Mom bacakan dongeng.” Alice memeluk lengan Alesha. “Dasar anak kecil,” lirih Jake. “Kakak!”Tidak ada hari tanpa bertengkar. Alesha sampai pusing sendiri. Jake yang suka sekali menjahili adiknya. Alice yang suka sekali menempel dan mengejar kakaknya meski selalu dijahili. ~~TING TING Garvin masih bersabar untuk tidak mendobrak pintu kamar Alesha. Ia mengusap rambutnya kasar. Sampai tengah malam ia baru sampai di pulau ini. Ia sampai menyewa seluruh kamar lantai yang dihuni anak-anaknya agar mereka bisa tidur dengan tenang. TING TINGSedangkan di dalam kamar. Alesha nampak terganggu dengan bel yang berbunyi. Ia bangkit—ada apa? Pikirnya. Semoga saja bukan orang iseng di tengah malam seperti ini. ia juga membayangkan yang tidak-tidak. Bagaimana jika ada hantu. Alesha bergerak sangat pelan membu
Ketegangan terjadi di ruang tamu sebuah rumah. Kedatangan pria yang selama ini dinanti namun tidak kunjung tandang. Di saat penantian sudah habis—pria itu baru datang. Siapa lagi kalau bukan Garvin. Ia membawa begitu banyak mainan untuk anak perempuan dan anak laki-lakinya. Kedua orang tua Alesha (Yuna) mereka nampaknya masih kecewa pada Garvin. Mereka merasa Alesha ditinggalkan begitu saja oleh Garvin tanpa kabar apapun. “Saya ingin menjemput anak dan istri saya.” Garvin tidak ada keraguan mengatakannya meski ia tahu keluarga Alesha pasti marah padanya. “Kenapa baru menjemput sekarang? Apa yang kamu lakukan di sana?” tanya Juhwan. “Saya membangun bisnis. Saya keluar dari bisnis gelap. Saya membangun bisnis saya dari nol. Butuh waktu membangun bisnis dengan cara yang benar. Karena itu saya butuh mempersiapkan diri sebelum menjemput keluarga saya.” Yeonji menghela nafas. “Garvin, Yuna selalu menanti kamu. Saat kehamilannya yang ke dua. Dia sempat hancur dan terpuruk. Kalau memang
Garvin terbelalak tidak percaya dengan ucapan anaknya sendiri. Ia pikir Jake tidak akan marah. Ia pikir Jake akan selalu menerimanya. “Jake, maafkan Daddy.” “Bukan hanya aku. Tapi juga Mommy. Daddy membuat Mommy menderita.” Jake mundur beberapa langkah menjauh. “JAKE, ALICE KALIAN DI MANA?” teriak seseorang dari kejauhan. Yuna mencari-cari keberadaan anaknya. Ia pikir taman ini tidak terlalu luas. Tapi ternyata cukup luas juga hingga bisa membuat anaknya menghilang. Langkah Yuna semakin tidak menentu. Namun akhirnya ia bisa menemukan anaknya. Ia segera mendekat. Seiring langkahnya yang semakin dekat—ada seorang pria yang tidak lepas memandangnya. Yuna mendekati anaknya. Memeluk mereka berdua. “Kalian ke mana saja?” tanyanya. Ia kemudian berdiri. Kemudian matanya bertemu dengan seseorang yang selama ini ia rindukan. Seseorang yang setiap malam ia selalu kawatirkan. Seseorang yang setiap hari selalu ia doakan agar baik-baik saja. Yuna terpaku. Ia tidak bisa melangkah, berucap atau
Yuna bersama anak-anaknya datang ke taman. Tujuan mereka adalah berolahraga santai. Jake itu kuat sekali berlari. Anak laki-laki itu mempunyai tubuh yang sangat sehat. Yuna berhenti saat sudah berlari tiga putaran. Ia berhenti dan memilih duduk di bangku taman. Alice duduk sambil memegang es krim. Anak perempuannya itu sangat suka dengan es krim. Sudah akut—tidak bisa disembuhkan. Makanan nomer satu kesukaan Alice hanyalah Es krim. “Mom ayo pulang,” Alice menarik tangan ibunya. Yuna menunduk ia menali tali sepatunya yang mulai mengendor. “Tunggu Alice. Mommy harus berolahraga sebentar lagi.” Ia berdiri—melakukan peregangan ringan. Melompat kecil dan merapikan topinya. “Jake, kamu jaga Alice di sini ya,” pesan Yuna sebelum pergi. Jake mengangguk. Yuna kembali berolahraga. Ia berlari—tanpa menghawatirkan anaknya lagi. Ia yakin Jake sudah pintar, anak laki-lakinya itu pasti sudah bisa menjaga adiknya. Beberapa menit berlalu, Yuna kembali ke kursi di mana anaknya berada. Namun saat
Di sisi lain ada seorang pria yang menatap sebuah foto kebersamaan seorang perempuan dan laki-laki. Ia mengepalkan tangannya. Ingin rasanya membanting semua yang ada di dalam ruangannya. Ia menahan amarahnya sekuat tenaga. “Kenapa kamu berdekatan dengan pria lain,” lirihnya memejamkan mata. Tok Tok“Sir sebentar lagi ada meeting,” ucap Ellie sebagai Asistennya. Ternyata ada banyak orang menunggunya. Salah satunya Ellie. Saat Garvin pertama kali membangun perusahaan, Ellie melamar menjadi sekretarisnya.Garvin mengangguk. 5 tahun berlalu, telah bayak yang berubah dari Garvin. Garvin yang sekarang bukanlah Garvin yang dulu. Jika dulu Garvin cenderung lebih emosi—sekarang ia akan lebih bersabar. Menunggu, diam namun di kepalanya tersusun strategi untuk mengalahkan lawan. Bukan lagi tentang bunuh membunuh. Garvin adalah seorang pengusaha sukses di bidang teknologi. Cara menghancurkan lawan bukan dengan membunuh namun merebut kepercayaan investor dan memenangkan tender. Di kelilingi ka
“Dia bukan Appa, Alice. Dia bukan Daddy kita,” kata Jake yang sangat tidak suka jika Alice memanggil orang lain sebagai ayah. “Sudah kakak bilang dia bukan Daddy kita.” *Appa= AyahAlice menunduk. Ia memilih bersembunyi di pelukan Yuna. “Jake, jangan memarahi adikmu.” Yuna menatap Jake. “Alice masih belum mengerti. Nanti biar Mommy yang menjelaskannya.” Jake melengos. Ia menatap jendela yang menampilkan seseroang yang disebut Alice sebagai Appa. Alice meloncat dari kursi. Anak itu berlari ke arah seorang pria yang tengah berbincang di depan kafe. Pakaiannya rapi khas orang kantoran. “Appa!” Alice langsung memeluk pria itu. “Hai Alice,” sapa pria itu. Ia tersenyum. Mencubit pelan pipi Alice yang chubby. “Dengan siapa?” Alice menunjuk ke dalam kafe. “Mommy dan kakak.” Yuna melambaikan tangannya ringan sambil tersenyum. Pria itu adalah Jungwoo. Park Jungwoo, mantan calon suami yang dipilihkan orang tuanya dulu. Jungwoo terlihat sangat dewasa. Berbeda sekali dengan dulu. Pakaianny
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah bersiap-siap akan menampilkan sebuah balet. Ia menggunakan gaun berwarna pink dengan rok yang melebar di bawah. Dia Kim Yuna—anak dari mantan presiden Kim Juhwan. Yuna menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ia menatap rambutnya yang sedikit berantakan. Ia hanya merapikannya sebentar dan kemudian siap. Sudah 4 tahun lamanya ia membangun sebuah akademi balet. Melatih anak-anak yang mempunyai bakat di bidang balet. “Semuanya sudah siap?” tanya Yuna. Di usianya yang menginjak 32 tahun ia semakin bersinar. Bakatnya diakui, akademi yang dibangun menjadi akademi terbaik nomer 5 dari seluruh dunia. Beberapa anak didiknya keluar lebih dahulu. Perannya kali ini hanya menjadi seoran ibu. Ia memilih peran yang lebih sedikit agar anak didiknya bisa lebih banyak tampil. Sebuah lagu klasik mulai mengalun. Yuna keluar. Ia tersenyum ke arah penonton. Di bangku pentonton ada putra dan putrinya yang selalu menonton pertujunjukkannya. Selesai. Yuna membun