"Lusa cucu Nenek pulang dari Milan. Kamu harus menyempatkan waktu agar bisa melihatnya secara langsung, Oma ingin kamu kenalan dengan dia.”
Pemuda yang saat ini sedang duduk bersebelahan dengan wanita berusia enam puluhan sembari memasukkan kukis jahe ke dalam toples - toples kecil untuk dibagikan kepada penghuni panti jompo esok hari hanya mengangguk sembari mengulas senyum tipis.
"Kenapa cuma kenalan? Kenapa enggak sekalian kamu suruh nikung aja itu Mika dari calon tunangannya?" sahut Opa Dion yang sedari tadi ikut duduk membundar bersama mereka di ruang keluarga.
"Kamu ini! Jangan mengajari Sakti macam-macam. Dan lagi, kamu itu mestinya enggak usah ikut campur dalam urusan percintaannya Mika. Kamu lupa kalau Sandra dan Thomas sudah menyetujui rencana pertunangan mereka?" tegas Oma Vivi.
"Namanya juga usaha, siapa tau Sakti ada jodoh dengan Mika. Bukan begitu, Sak?" canda Opa Dion.
Lagi-lagi hanya senyum tipis yang Sakti hadirkan untuk menanggapi pertanyaan celetukan dari Opa Dion.
"Kamu belum punya pacar 'kan, Sak? Selama ini Oma lihat kamu selalu sendirian."
"Belum, Oma. Fokus dulu dengan pekerjaan, nanti saja kalau sudah mapan baru mikir pernikahan. Lagian bakti saya ke Oma dan Opa belum ada apa-apanya."
"Kemapanan apa yang masih kamu cari? Rumah sudah ada, pekerjaan juga ada, memangnya standart mapan menurut kamu itu bagaimana?"
"Rumah yang saya tempati 'kan pemberian dari Opa Dion dan Oma Vivi, juga pekerjaannya. Kalau tidak ada kalian, saya tidak mungkin memiliki segalanya. Maka dari itu selagi saya masih sendiri, ijinkan saya berbakti kepada Oma dan Opa. Tanpa kalian saya bukan siapa-siapa."
Baik Dion maupun Vivi sama-sama menarik nafas panjang mereka secara bersamaan. Tahu betul bagaimana beratnya hidup Sakti hingga pada akhirnya mereka memutuskan untuk membersamai.
"Itu terus yang kamu bahas. Saya sampai bosan mendengarnya." usai mengucapkan itu Oma Vivi langsung bergegas pergi. Terkesan marah, padahal sebetulnya Oma Vivi hanya ingin menyembunyikan matanya yang mulai basah. Pun, Opa Dion. Dirinya langsung beranjak memilih menyusul istrinya karena sama-sama merasakan sesak di dada.
***
"Kamu yakin tidak ingin melanjutkan karier modeling kamu? Sayang loh, Mik. Sejak kamu terjun sampai dengan hari ini kamu masih belum sepi job," tawar Laura sekali lagi disela-sela kegiatannya memotong sajian super mahal, wagyu steak yang dilumuri saus truffle.
Dari pertanyaan itu tampak ketidakrelaan jika calon menantunya yang merupakan salah satu model unggulan di agensinya memilih untuk menghentikan kariernya demi menyenangkan calon suami.
"Keputusan aku sudah bulat, Tante. Lagian Hans lebih senang kalau aku fokus dengan rencana pertunangan."
Jawaban yang meluncur itu langsung memunculkan kesan bahwa Mika adalah sosok calon istri yang amat penurut. Satu nilai plus tentangnya bertambah lagi di mata Laura.
"Ya—sayang sekali, padahal pihak Blue Denim berniat akan memperpanjang kontrak kamu sebagai Brand Ambassador."
"Sudah, Ma! Jangan berusaha membuat Mika goyah atau bahkan merasa bersalah. Aku dan Mika sudah mendiskusikan hal ini matang-matang. Mungkin kalau sekadar endorsemen nggak masalah, karena pekerjaannya bisa dilakukan dari rumah. Tapi itu nanti, setelah acara pertunangan kita."
Laura yang mendengar pernyataan putranya hanya manggut-manggut saja, lebih kepada malas berdebat dengan Hans yang sikapnya memang selalu di luar akal sehat kalau sudah menyangkut makhluk bernama Tahara Mika.
Seperti empat tahun lalu saat putranya memaksa dirinya untuk mendatangi kedai kopi kecil di pinggiran kota Milan. Kala itu, Hans dengan berapi-api menceritakan bahwa ada salah satu pelayan yang jika dipoles sedikit saja akan muncul pesonanya. Ia gambarkan betapa sempurnanya maha karya Tuhan berwujud perempuan itu dengan penuh kekaguman.
Karena putranya yang terus menanyakan apakah dirinya sudah bertemu dengan sosok yang dimaksud, akhirnya Laura memutuskan untuk mendatangi kedai kopi tersebut seorang diri. Nalurinya sebagai pencari dan penemu calon model langsung terkesima dengan sosok yang berparas eksotis dengan tinggi sekitar 170 cm. Tampak Pelayan tersebut berjalan anggun menghampirinya, menyapanya dengan ramah kemudian menyodorkan buku menu agar bisa segera melakukan pemesanan.
Mata Laura langsung mencari kepastian, apa ini sosok yang dimaksud oleh Hans? Sekali lagi, ia amati ujung rambut hingga ujung kaki. Hal yang pada akhirnya membuat Mika merasa sedikit risi.
"Jadi, Ibu mau pesan yang mana?" tanya Mika sekali lagi. Langsung saja Laura sebut americano dan chiffon kelapa sebagai menu yang diinginkannya.
"Pesanan akan diantar dalam waktu lima menit. Mohon ditunggu!"
Dalam waktu singkat Laura langsung memberikan penilaian. Bahwa Mika bukanlah berasal dari kasta rendahan.
Buktinya? Ia melihat sebuah anting berbentuk paku payung menghiasi telinga Mika. Sekilas anting tersebut biasa saja. Tapi sebagai mantan Brand Ambassador Tiffany and Co dimasa muda, tentu mata Laura tidak salah mengenali perhiasan yang dikenakan oleh Mika. Belum lagi aroma parfum mahal beraroma bunga peony yang menguar dari tubuhnya. Hal yang terlalu elegan untuk ukuran pelayan.
"Boleh duduk sebentar? Ada yang ingin saya tanyakan," pinta Laura sebelum Mika undur diri usai menyajikan pesanan. Karena kondisi kafe yang tidak begitu ramai, Mika langsung menggeser kursi yang ada di depan Laura. Mengiyakan permintaannya.
"Maaf, ada yang bisa saya bantu?"
Dengan jarak pandang yang begitu dekat Laura juga bisa melihat betapa wanita yang di hadapannya ini juga memiliki tekstur kulit yang plumpy, hal yang sangat identik dengan skin care mahal. Pikiran Laura terusik, apa iya pelayan kedai kopi punya uang sebanyak itu untuk merawat dan mempercantik diri? Atau dia memiliki pekerjaan lain selain ini? Atau memiliki sugar daddy?
Daripada sibuk dengan asumsi mungkin ada baiknya jika Laura langsung memperkenalkan diri sebagai pemilik salah satu agensi modeling di kota Milan. Dan tujuan utamanya kemari adalah menemui dirinya untuk diajak bekerja sama.
Laura jelaskan kembali tanpa basa-basi. Bahwa ia ingin Mika bergabung menjadi salah satu model di agensinya. Reaksi Mika? Tentu saja langsung menolaknya. Alasannya sudah pasti karena dirinya ia belum atau bisa jadi tidak menemukan kepercayaan diri sendiri untuk bergaya di depan kamera. Selain itu Mika sampaikan bahwa dirinya adalah warga negara asing. Keberadaannya di sini sebenarnya adalah untuk urusan sekolah namun ia juga tidak bisa melewatkan kesempatan begitu saja saat ada iklan lowongan, walaupun hanya sebagai pelayan cafe yang letaknya di pinggiran.
"Kamu pikir lagi, ini kartu nama saya. Ah — satu lagi, saya rasa Hans tidak senang kalau kamu menolak tawaran ini. Tolong pikirkan sekali lagi," tegas Laura sebelum pergi meninggalkan Mika. Tanpa mencicipi pesanannya.
"Hans? Apa hubungannya semua ini dengan Hans?" tanya Mika dalam benaknya. Apa iya ini semacam teori konspirasi? Apa iya Hans dan Laura sudah bekerja sama untuk menjebaknya?
Mika terus memperingatkan diri untuk tidak lengah, ia harus menajamkan instingnya agar tidak ada lagi yang memanfaatkan dirinya. Itu tidak boleh terjadi. Lagi. Cukup sekali.
Ia butuh penjelasan dari Hans, maka dengan tidak sabar ia langsung menelepon Hans saat itu juga, mengajukan pertanyaan tentang siapa Laura dan apa maksud dari seluruh tindakannya.
Tentu Hans tidak berkeberatan memberi penjelasan, bahwa Laura adalah ibunya, bahwa dirinyalah yang merekomendasikan mamanya untuk langsung menemuinya. Dan kalimat yang membuat Mika kesal setengah gila adalah; "Aku anggap hutang budi antara kita lunas kalau kamu bersedia menjadi model di agensi Mama."
Ingin sekali ia mencabik-cabik mulut Hans, bagaimana bisa ia meminta hal yang di luar kemampuannya? Ia memang berhutang budi pada Hans, tapi bukan berarti dirinya bisa dijajah seperti ini. Modeling bukan sesuatu hal yang pernah masuk dalam daftar impiannya, sampai detik ini.
Tapi tidak apa-apa, kalau memang Hans menganggap pertolongan yang diberikannya saat ia kecopetan di tengah jalan dan terpaksa berjalan hingga ber mil-mil adalah hal mahal yang harus dibayar dengan cara menjadi model di agensi Mamanya, Mika akan senang hati melakukannya. Karena selain balas budi, ada hal besar lainnya yang sepertinya bisa ia manfaatkan di sini. Win-win solution.
Seperti yang sudah diprediksi Laura saat Mika setuju untuk menandatangani kontrak dengan agensi miliknya, nama Mika langsung meledak dalam waktu singkat. Beberapa majalah menggunakan Mika sebagai wajah. Beberapa rumah mode juga berlomba-lomba menggaetnya untuk dijadikan Brand Ambasador.
Belum lagi berita tentang percintaannya yang sepertinya banyak sekali diminati oleh para pemburu berita terkait kedekatannya dengan manajer Hotel ternama yang merupakan putra dari pemilik agensi, hal yang justru membuat nama Mika semakin menggema.
Ketenaran telah Mika dapat, pundi-pundi keuangan semakin padat, ditambah dengan asmaranya yang semakin hangat. Hidup Mika kini benar-benar sempurna, no debat.
"Aku sudah terbiasa dengan, kamu, Mik. Jadi, apa bisa kita bersama lebih lama dalam sebuah hubungan yang melibatkan cinta?" Kurang lebih kalimatnya begitu, kalimat yang diingat oleh Mika saat Hans menyatakan perasaannya.
"Faktor apa yang membuat kamu jatuh cinta? Apa karena sekarang aku sudah tampak good looking? Atau karena aku sedang begitu berkibar di dunia modeling?"
"Karena kamu adalah Mika, wanita tangguh dan pekerja keras yang aku yakini mampu membuat hidupku selaras." Itu salah satu kalimat pujian yang keluar dari mulut Hans. Selain itu masih banyak lagi kalimat berisi penuh pemujaan, sayangnya semua itu justru terdengar seperti sampah bagi seorang Mika.
Tapi itu masih bisa diterima oleh akal sehat, karena kalau saja Hans menjawab alasannya jatuh cinta adalah peristiwa yang terjadi pada pertemuan pertama mereka, ia yakin mulut Hans sama besarnya dengan buaya. Mana ada hal semacam itu terjadi di kehidupan nyata? sejak jumpa pertama langsung jatuh cinta, cih, Mika bukan abege yang percaya dengan teori cinta semacam itu. Walaupun kenyataannya Hans memang mulai tertarik setelah pertemuan keduanya kala itu.
***
"Gimana, Ris? Lo udah dapet?""Ya ampun, Mik! Lo bangunin gue jam tiga pagi cuman nanyain gue udah dapet apa belum? Ada masalah apa lo sama siklus menstruasi gue?" gerutu Risa menunjukkan betapa kesalnya dirinya atas ulah Mika."Maksud gue, lo udah dapet detektif apa belum, dodol?""Mik, lo pikir nyari detektif yang qualified itu mudah? Ini Jakarta, Mik. Dan gue enggak punya koneksi, mana ada yang mau kasih info kalau yang nanya SPG rokok kayak gue? Gue ini masyarakat kasta bawah, Mik. Lagian ya, lo itu bego apa gimana? Bapak lo itu lawyer, Mik. Tersohor se-antero Jakarta. Lo tinggal ngomong ke Bapak lo udah pasti dapat. Lagian siapa sih yang mau lo selidikin? Lo ada musuh di Jakarta? Haters?""Enggak usah kepo, lo?""Ya, gimana gue nggak kepo, orang lo juga aneh, bangunin gue jam tiga pagi cuman buat nanya begituan? Emang nggak bisa ditunda besok pagi gitu?""Kelamaan, Ris. Di sini baru jam sepuluh mal
Tidak ada kilatan kamera tidak ada media yang mengerubunginya, tidak ada jeritan fan yang memekakkan telinganya. Pendaratan dirinya dari Italia berjalan sesuai rencana. Gamis dan kerudung lebar serta cadar yang dikenakannya pasti membuat siapa pun pangling jika perempuan yang saat ini menenteng Hermes Picotin22 adalah salah satu model kenamaan asal Indonesia yang sukses berkarier di Italia.Tempat yang pertama ia tuju bukan rumahnya, melainkan apartemen yang delapan tahun lalu diberikan neneknya sebagai kado ulang tahunnya.Mika mengumpat pelan, menyadari kode aksesnya masih sama. Padahal ia sudah meminta Risa untuk mengubahnya sejak ia memasrahkannya. Sementara itu Risa yang sedang bersiap untuk berangkat kerja tampak kaget hingga menjatuhkan tas yang dipegangnya tatkala mendapati sosok dengan tampilan serba asing itu berdiri tak jauh darinya bersama dengan enam koper di belakangnya."B aja bisa nggak lihatnya?"Suara itu tidak asing baginya, su
Mika buru-buru membuka emailnya setelah sepuluh menit lalu ia menerima pesan dari detektif suruhannya. Di sana terdapat informasi lengkap mengenai sosok yang diincarnya selama ini.Tertulis jika sejak delapan tahun lalu sosok yang ia cari telah berpindah kota. Bogor menjadi alamat terakhir yang tertera di KTP nya. Namun ada satu hal yang agak aneh. Sang detektif hanya menuliskan SMA sebagai pendidikan terakhir, bukan sekolah administrasi negara seperti yang terakhir diketahuinya.Seingat Mika, dulu laki-laki ini menjadi satu-satunya murid SMA di sekolahnya yang berhasil memasuki sekolah tersebut, lengkap dengan beasiswa sebagai fasilitasnya. Tidak mengherankan memang, karena sudah sejak kelas satu laki-laki yang dulu gemar berkaca mata bulat ini memang sering mengharumkan nama sekolah dalam berbagai jenis Olimpiade akademik.Semua murid yang dulu menertawai keculunan dan kepolosannya mendadak dibuat iri kala itu, karena gambaran masa depan sudah pasti, mengingat
Sakti yang pagi ini tengah membantu Oma Vivi mengupas wortel di dapur langsung menyingkir saat mendapatkan telepon dari salah satu drivernya yang mengabarkan jika barang yang dikirimkan untuk supermarket A tiba-tiba berubah layu dan menghitam saat hendak dibongkar.Sontak Sakti tidak bisa menyembunyikan kekagetan juga keheranannya pasca menerima foto yang dikirimkan drivernya. Bagaimana bisa sayuran segar yang dua jam lalu tampak baik-baik saja kini seperti itu keadaannya. Ini benar - benar tidak biasa."Oma, aku pergi sebentar, ya. Ada kerjaan," pamit Sakti sebelum undur diri.Tanpa basa-basi Sakti langsung menuju ke Supermarket A. Banyak hal yang harus diurusnya seperti mencari tahu penyebabnya atau meminta maaf kepada pihak Supermarket atas hal yang baru saja terjadi.Namun maaf saja tidak cukup, entah bagaimana caranya Sakti harus memberikan solusi mengenai ini. Pihak supermarket jelas tidak mau mengambil resiko untuk ini karena ia t
Sakti yang pagi ini tengah membantu Oma Vivi mengupas wortel di dapur langsung menyingkir saat mendapatkan telepon dari salah satu drivernya yang mengabarkan jika barang yang dikirimkan untuk supermarket A tiba-tiba berubah layu dan menghitam saat hendak dibongkar.Sontak Sakti tidak bisa menyembunyikan kekagetan juga keheranannya pasca menerima foto yang dikirimkan drivernya. Bagaimana bisa sayuran segar yang dua jam lalu tampak baik-baik saja kini seperti itu keadaannya. Ini benar - benar tidak biasa."Oma, aku pergi sebentar, ya. Ada kerjaan," pamit Sakti sebelum undur diri.Tanpa basa-basi Sakti langsung menuju ke Supermarket A. Banyak hal yang harus diurusnya seperti mencari tahu penyebabnya atau meminta maaf kepada pihak Supermarket atas hal yang baru saja terjadi.Namun maaf saja tidak cukup, entah bagaimana caranya Sakti harus memberikan solusi mengenai ini. Pihak supermarket jelas tidak mau mengambil resiko untuk ini karena ia t
Mika buru-buru membuka emailnya setelah sepuluh menit lalu ia menerima pesan dari detektif suruhannya. Di sana terdapat informasi lengkap mengenai sosok yang diincarnya selama ini.Tertulis jika sejak delapan tahun lalu sosok yang ia cari telah berpindah kota. Bogor menjadi alamat terakhir yang tertera di KTP nya. Namun ada satu hal yang agak aneh. Sang detektif hanya menuliskan SMA sebagai pendidikan terakhir, bukan sekolah administrasi negara seperti yang terakhir diketahuinya.Seingat Mika, dulu laki-laki ini menjadi satu-satunya murid SMA di sekolahnya yang berhasil memasuki sekolah tersebut, lengkap dengan beasiswa sebagai fasilitasnya. Tidak mengherankan memang, karena sudah sejak kelas satu laki-laki yang dulu gemar berkaca mata bulat ini memang sering mengharumkan nama sekolah dalam berbagai jenis Olimpiade akademik.Semua murid yang dulu menertawai keculunan dan kepolosannya mendadak dibuat iri kala itu, karena gambaran masa depan sudah pasti, mengingat
Tidak ada kilatan kamera tidak ada media yang mengerubunginya, tidak ada jeritan fan yang memekakkan telinganya. Pendaratan dirinya dari Italia berjalan sesuai rencana. Gamis dan kerudung lebar serta cadar yang dikenakannya pasti membuat siapa pun pangling jika perempuan yang saat ini menenteng Hermes Picotin22 adalah salah satu model kenamaan asal Indonesia yang sukses berkarier di Italia.Tempat yang pertama ia tuju bukan rumahnya, melainkan apartemen yang delapan tahun lalu diberikan neneknya sebagai kado ulang tahunnya.Mika mengumpat pelan, menyadari kode aksesnya masih sama. Padahal ia sudah meminta Risa untuk mengubahnya sejak ia memasrahkannya. Sementara itu Risa yang sedang bersiap untuk berangkat kerja tampak kaget hingga menjatuhkan tas yang dipegangnya tatkala mendapati sosok dengan tampilan serba asing itu berdiri tak jauh darinya bersama dengan enam koper di belakangnya."B aja bisa nggak lihatnya?"Suara itu tidak asing baginya, su
"Gimana, Ris? Lo udah dapet?""Ya ampun, Mik! Lo bangunin gue jam tiga pagi cuman nanyain gue udah dapet apa belum? Ada masalah apa lo sama siklus menstruasi gue?" gerutu Risa menunjukkan betapa kesalnya dirinya atas ulah Mika."Maksud gue, lo udah dapet detektif apa belum, dodol?""Mik, lo pikir nyari detektif yang qualified itu mudah? Ini Jakarta, Mik. Dan gue enggak punya koneksi, mana ada yang mau kasih info kalau yang nanya SPG rokok kayak gue? Gue ini masyarakat kasta bawah, Mik. Lagian ya, lo itu bego apa gimana? Bapak lo itu lawyer, Mik. Tersohor se-antero Jakarta. Lo tinggal ngomong ke Bapak lo udah pasti dapat. Lagian siapa sih yang mau lo selidikin? Lo ada musuh di Jakarta? Haters?""Enggak usah kepo, lo?""Ya, gimana gue nggak kepo, orang lo juga aneh, bangunin gue jam tiga pagi cuman buat nanya begituan? Emang nggak bisa ditunda besok pagi gitu?""Kelamaan, Ris. Di sini baru jam sepuluh mal
"Lusa cucu Nenek pulang dari Milan. Kamu harus menyempatkan waktu agar bisa melihatnya secara langsung, Oma ingin kamu kenalan dengan dia.”Pemuda yang saat ini sedang duduk bersebelahan dengan wanita berusia enam puluhan sembari memasukkan kukis jahe ke dalam toples - toples kecil untuk dibagikan kepada penghuni panti jompo esok hari hanya mengangguk sembari mengulas senyum tipis."Kenapa cuma kenalan? Kenapa enggak sekalian kamu suruh nikung aja itu Mika dari calon tunangannya?" sahut Opa Dion yang sedari tadi ikut duduk membundar bersama mereka di ruang keluarga."Kamu ini! Jangan mengajari Sakti macam-macam. Dan lagi, kamu itu mestinya enggak usah ikut campur dalam urusan percintaannya Mika. Kamu lupa kalau Sandra dan Thomas sudah menyetujui rencana pertunangan mereka?" tegas Oma Vivi."Namanya juga usaha, siapa tau Sakti ada jodoh dengan Mika. Bukan begitu, Sak?" canda Opa Dion.Lagi-lagi hanya senyum tipis yang Sakti hadirkan untuk mena