Lorong yang dingin di rumah sakit nyatanya tidak mampu membuat amarah pria itu mereda, tatapannya semakin liar dan penuh kobaran api berlapiskan kristal tipis yang mudah pecah kapan saja."Sandy, jika mereka pergi siapkan tiga pemakaman sekaligus. Aku ingin seperti Davinka dan Julio yang asli, berada dalam satu rumah yang sama di pembaringan terakhir."Sanjaya hanya takut ia tidak sempat mengatakan hal itu jika kabar yang paling tidak pernah diinginkan terjadi.Istrinya bahkan tidak bergerak sama sekali, tubuhnya sangat dingin dengan darah yang terus mengalir membasahi pakaiannya. Sedikit saja, Sanjaya ingin melihat kelopak mata istrinya terbuka dan menatapnya. Tapi, lama menunggu istrinya tidak memberikan respon apapun sampai masuk ke ruang perawatan. Ia hanya takut hal itu terjadi, istrinya kembali meninggalkannya dan kali ini pergi untuk selama-lamanya."Nyonya pasti baik-baik saja, Tuan … Nyong lebih kuat dari rumput liar di padang gersang." Hanya itu yang mampu Sandy ucapkan.Sanj
Sandy berlari dengan terpogoh-pogoh, kabar yang akan dia sampaikan pasti akan membuat sedikit harapan di hati Sanjaya. Setelah memastikan darah sampai pada tangan suster yang sedang menunggunya dengan gelisah, ponsel Sandy berbunyi nyaring dan itu adalah dari anak buahnya."Tuan, bayi itu masih ada," ujar Sandy dengan terengah-engah. Pria itu bahkan belum sempat mengambil nafasnya setelah berlari dan melawan kerumunan banyak orang yang dia lalui.Sanjaya mengangkat kepalanya menatap Sandy dengan linglung. Anak buahnya ini pasti sedang bergurau, dia mengatakannya hanya untuk membesarkan hatinya."Dimana Dia? Ayo kita jemput!" tanya Brata antusias. Kali ini ia akan melakukan yang terbaik bagi putranya.Jika kabar ini dapat mengembalikan semangat hidup putranya ia akan menjemput bayi itu bagaimanapun caranya dan memberikannya kepada Sanjaya sebagai permohonan maaf yang tidak pernah sanggup ia ucapkan."Nyonya besar membawa bayi itu ke panti asuhan Pelita Kasih tepat di malam Nyonya Diand
Kejam atau tidak, Venti memang sudah banyak melakukan kejahatan yang beralaskan kebahagiaan putranya. "Biarkan hukum yang melakukannya, jika benar ibu Anda terlibat, hukum di negara kita tidak akan anak menindaklanjuti. Kebenaran harus tetap ditegakkan. Tidak selamanya hukum itu buta," sahutnya berusaha mengatakan yang terbaik.Sandy membalik tubuhnya, menatap Tuannya sebentar, "Biar saya yang pergi ke Singapura. Nyonya pasti senang jika melihat kakaknya bebas." Sanjaya hanya mengangguk, karena kejadian ini dirinya tidak bisa menjemput kakak dari Davinka Maharani yang saat ini dianggap kakak oleh Diandra. Sekarang, pria itu menunggu dengan gelisah Davinka dipindahkan ke ruang perawatan, saat pintu ruang IGD dibuka lebar pria itu langsung berdiri menatap dengan waspada ranjang yang didorong oleh dua orang suster dan memperjelas pandangannya saat wajah wanita yang paling ia cintai ada di ranjang itu."Davin!" lirih pria itu.Sanjaya langsung berlari dan mengimbangi langkahnya saat be
Sanjaya semakin cemas, istrinya pasti merasa kehilangan calon bayi mereka yang terpaksa harus gugur dan kembali pada sang pencipta.lantas bagaimana ia harus memberitahukan hal ini kepada Davinka?Pria itu langsung menekan tombol darurat agar dokter dan para suster datang ke ruangan istrinya dan memeriksa keadaannya. Sanjaya merasa sangat khawatir melihat tangis istrinya dengan mata terpejam yang bisa dipastikan wanita itu telah bermimpi buruk. Berusaha keras melawan alam bawah sadarnya. Dan benar saja tidak, lama dari itu mata Davinka terbelalak lebar, menatap langit tanpa berkedip sedikitpun dengan sisa air mata di sudut kiri dan kanannya."Davin!" panggil Sanjaya, pria itu semakin terlihat panik, "Sayang … aku disini sayang … Davin," bujuk pria itu lagi.Akan tetapi, Davinka sama sekali tidak merespon Sanjaya. Mata wanita itu terus terbelalak lebar, air matanya sudah berhenti mengalir, tubuhnya tidak lagi bergerak."Di—"Pintu terbuka, disusul dengan beberapa suster dan dokter yan
"Istri Anda terus menanyakan kabar Anda dan bayinya? Kami tidak sanggup untuk menyampaikan kabar duka itu. Saya harap Anda bisa menjelaskan pelan-pelan. Dan satu lagi, istri anda mengalami gegar otak. Setelah lebih sehat kami akan melakukan pemeriksaan menyeluruh," jelas dokter itu menghentikan cecaran Sanjaya.Rani dan Sanjaya sama-sama dapat bernafas lega. Setelah dokter itu pergi Sanjaya berpesan pada Rani untuk tidak mengatakan identitas Davinka yang sesungguhnya. Kecuali ingatan istrinya sudah pulih semua."Saya akan menunggu disini, Anda masuklah, jika butuh sesuatu jangan sungkan," pinta wanita itu. Rani kembali duduk di tempat tadi ia duduk.Sanjaya hanya mengangguk kecil, sekali lagi merasa berterima kasih. Karena kehadirannya, rasa panik dan ketakutannya sedikit teralihkan.Dari pintu Sanjaya melihat istrinya yang terus menatap ke arahnya. Pria itu dapat melihat senyum yang dipaksakan terlukis di bibirnya yang pucat dan kering. Sanjaya hanya membuat ge
Sanjaya kembali mendesah, tangannya sudah terlipat di dada, "Aku tidak tau. Sepertinya Davinka belum ingat apapun. Ia hanya tanya siapa yang lebih aku cintai."Rani melongo, tapi detik berikutnya wanita itu melipat bibirnya ke dalam, berusaha untuk tidak mengeluarkan suara. Mau tertawa, tapi takut dosa. Kalau Davinka sekarang sedang berakting pura-pura menjadi Davinka, mampuslah bosnya ini. Diandra yang asli pasti marah, selama tiga tahun kabarnya Sanjaya selalu melakukan 'one night stand' dan berganti-ganti wanita. Dan itu sudah terbukti oleh Davinka sendiri yang bertemu dengan pria itu di tempat madam GaysaSanjaya melihat wanita dihadapannya ini tengah mentertawakannya. Ia tahu itu, Rani berusaha menahan tawanya, wajahnya terlihat aneh."Ada yang lucu?" dengus pria itu terlihat geram, "ternyata setelah resign kamu lebih berani, ya!" dengusnya lagi. Mata Sanjaya sudah hampir keluar semua.Rani tidak lagi sanggup menahan tawanya, tawa itu pecah dan menggelegar di lorong yang sunyi. M
Sanjaya masuk ke dalam ruang perawatan istrinya yang temaram. Pria itu baru berani masuk setelah istrinya benar-benar terlelap karena obat yang baru saja diberikan oleh suster. Rani sudah lama pergi karena tidak ingin terlalu lama meninggalkan putrinya dengan pengasuh part time-nya."Sanja," panggil Davinka. Suaranya serak dan terdengar begitu berat, "dari mana? Aku hanya memintamu menunggu di luar bukannya pergi meninggalkanku," keluh wanita itu lagi. Jika ruangan itu terang benderang Davinka pasti tengah cemberut kepadanya."Aku hanya pergi untuk merokok, jika aku merokok di sini pasti dokter akan memukulku dengan pentungan besar," dalihnya sambil berjalan mendekat. "Temani aku tidur, Sanja, Aku tidak bisa tidur." Davinka memang berusaha untuk tertidur setelah suster pergi meninggalkannya. Akan tetapi, pikirannya tidak mau berhenti bekerja padahal kelopak matanya sudah sangat berat dan ingin segera tidur. Davinka sedikit menggeser tubuhnya dan
"Ma-mawar," bisiknya lirih. Bibir Davinka gemetar saat mengatakan nama wanita yang begitu ia kenal. 'Bagaimana Mama kenal Tante Mawar? Dan apa hubungannya denganku?' Davinka hanya menatap Venti bingung. Ia sama sekali tidak menemukan apa alasan ibu mertuanya ini begitu membencinya."Ya, Mawar," ulang Venti, "aku tidak suka siapapun yang berhubungan dengan wanita itu, dan aku harap kamu juga tidak," ujar Venti penuh harap.Davinka semakin tercengang. Ibu mertuanya ini begitu membencinya, tapi kenapa sangat menyayangi Laura? Apa ia melewatkan sesuatu? Davinka hanya menatap Venti bingung.Venti meraih tangan Davinka yang tidak dipasang selang infus, menggenggamnya dengan kedua tangan, dan bicara dengan suara yang begitu lembut penuh permohonan, "Aku bersalah padamu, dan tidak akan bisa menggantinya dengan apapun. Beribu maaf atau nyawaku pun tidak akan pernah cukup untuk menebusnya. Aku tahu cintamu tulus pada putraku, apa lagi yang lebih penting dari itu. Davinka, aku merestui kalian. J
Davinka kembali menoleh pada Wulan dan menggenggam tangannya, menatap wanita itu penuh hormat, berkata dengan suara yang lembut dan penuh permohonan, "Mah, aku tidak dibesarkan oleh seorang ibu dan tidak banyak orang yang aku kenal. Sekarang aku memanggilmu Mama. Emm, Mama mau, kan, menjadi ibuku dan merestui pernikahanku!"Pupil matanya melebar, terus menatap Wulan penuh harap. Akankah Wulan memenuhi keinginannya?Wulan sendiri kehilangan kata-katanya. Air mata kembali mengalir deras dengan isakkan tertahan. Wanita itu hanya mengangguk sebagai jawaban.Bodoh! Anak sebaik ini, bagaimana ia bisa menyakitinya dan menolaknya berulang kali!Davinka mengangguk dengan senyum lebarnya, lalu memeluk tubuh gemetar itu dengan penuh kehangatan."Terima kasih, mulai sekarang aku punya Mama." Bisik Davinka dengan elusan lembut di punggung Wulan.Davinka mengurai pelukan, menarik tangan Sanjaya agar menjabat tangan Wulan, "Sekarang Mama Wulan adalah ibu mertuamu, cepat sungkem!"Sanjaya tercengang.
Mendengar ibunya berkata seperti itu membuat Yudha bangun dari duduknya dan meraih tangannya."Ini semua karena Yudha. Mama hanya korban dari obsesi Yudha! Sudah, semua sudah selesai. Biar Yudha yang menanggung semua ini!" Tegas pria itu. Kini aura kehidupan sudah terlihat di wajahnya. Davinka yang asli sering menolaknya dengan kata-kata kasar karena ke keraskepalaannya.Penyesalan, kekecewaan, dan amarah terpancar jelas. Akan tetapi, semua ditujukan kepada dirinya sendiri."Tidak ada yang akan masuk penjara. Semua hanya karena kesalahpahaman!" tanam Sandy, "Tuan Sanjaya mengembalikan semua yang sudah diambilnya," ujarnya lagi yang membuat mereka semua tercengang."Mak-maksudnya?"Kebingungan jelas terlihat dari bagaimana cara mereka bereaksi. Entah apa yang diambil dan harus dikembalikan."Toko elektronik suami Anda beserta isinya dan beberapa calon investor sudah ada di dalam dokumen ini. Kalian tidak bisa menolak! Ja
"Udah malem! bye, Rani …." Davinka langsung menutup pintunya rapat.Rani membalikkan tubuhnya, kamar itu sudah temaram. Yang membuat ia menggigit bibir bawahnya adalah, Sandy berada di tengah ranjang dengan memeluk Inggi. Putrinya malah ada di sisi lainnya ranjang itu.'Ais … jadi gue harus tidur disamping dia?' jerit Rani dalam hatinya.Bersentuhan dengan kulitnya saja sudah hampir membuatnya seperti terbakar. Tapi ini ….Pikirannya terhenti."Mau sampai kapan kamu di sana!" Suara bariton itu menggema dalam remangnya kamar hingga mampu membuat bulu kuduk Rani meremang sempurna.Suara serak Sandy menandakan bahwa pria itu sudah sempat tertidur, terdengar sangat menggoda di telinganya hingga jantungnya mulai berdetak lebih hebat. Rani mulai melangkah dengan kaki beratnya. Ia tahu malam ini harus tidur di ranjang yang sama dengan Sandy. Mampukah?Ini memang bukan malam pertama mereka. Tapi, tidur tepat di sisi pria itu hampir tidak pernah terjadi selama tiga Minggu mereka menikah."Di-d
'Aku tahu, aku sedang dihukum atas semua kejahatan-kejahatanku. Tapi kenapa tidak ambil saja nyawaku daripada membuat semua orang menderita bersamaku!'Venti mulai merasa depresi dengan keadaannya. Kata-kata berikutnya semakin membuatnya tenggelam."Itu jauh lebih bagus. Di kantor Papa bisa fokus bekerja. Tadinya Papa hanya akan pergi saat mendesak saja. Tapi melihat cinta kalian, Papa merasa sangat lega!"Davinka melihat suster membawa sesuatu di tangannya. "Apa itu, Sus? Apa makan siang mama?""Ya, Nyon—""Panggil ibu saja. Saya lebih nyaman dengan itu!" pangkas Davinka cepat. Dia sudah sangat risih dengan sebutan nyonya-nonyaan.Suster itu mengangguk dan berjalan mendekati Davinka, memperlihatkan apa yang ia bawa."Ini bubur cair. Nyonya Venti hanya dapat makan ini sementara waktu sampai bisa mengunyah kembali," jelas suster itu.Dengan wajah murung dan dan air mata yang hampir jatuh, Davinka terus menatap ib
"Keadaannya tidak akan membaik hanya karena kamu membatalkan resepsi kita, Ra!" Dan ini akan selalu menjadi panggilan untuk Diandra walaupun kini sudah mengganti nama Davinka dan melupakan panggilan Davin-nya."Baiklah, aku kalah dari kalian!" desahnya sambil menatap kelima pria ini yang sekarang berada dikamar perawatan Venti."Ayo! Rasty dan yang lainnya sudah menunggu di rumah," ujar Noel mengingatkan.Mereka akan pulang ke apartemen mewah Sanjaya. Noel sendiri setelah resepsi akan kembali ke Singapura dan menetap disana. Insiden berdarah di rumahnya sama sekali tidak pernah terpublikasikan. Ada keinginan untuk menjual rumah itu, tapi Davinka menolaknya. Bagaimanapun, rumah itu memiliki kenangan untuk Davinka ataupun Diandra.Brata menyewa satu jasa suster untuk merawat istrinya. Sebenarnya ia ingin dua orang agar mereka bisa bergantian menjaga. Tapi, menantunya ini menolak dengan alasan Venti sekarang memiliki empat orang anak. Satu suster sudah cukup."Kenapa tidak pulang kerumah
Ketika semua tidak seperti apa yang kita rencanakan maka, pasrahkan, serahkan, ikhlaskan …. Biarkan tangan Tuhan yang melanjutkan karena, seberapa gigih pun kita mencoba, tanpa jamahan tangannya semua akan sia-sia.Venti sudah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyingkirkan Diandra agar menjauh dari putranya. Tapi apa? Semakin ia berusaha, semakin mendekatkan mereka hingga akhirnya membuat dirinya seperti ini sekarang. Bahkan, kematian lebih baik daripada kehidupan yang menyiksa ini.Dari tempatnya berbaring, Venti terus menatap wajah Davinka. Wajah cantik itu memang sangat berbeda dengan milik Diandra kecuali, mata, bibir, siluet dan suaranya yang sangat ia kenal.Seharusnya dia tahu akan hal ini karena Noel adalah bedah plastik terbaik di negaranya hingga mendapatkan pekerjaan di Singapura."Kita harus mencari dokter terapis terbaik, mama tidak bisa terus seperti ini!" bujuk Davinka disela isak tangisnya.'Apa dia menangis untukku? Menangisi aku yang jahat ini?' bagaimana mana
Para polisi langsung mengamankan Laura. Peluru mengenai dadanya dan langsung tembus ke jantung. Bukan hanya satu, tapi dua sekaligus hingga menewaskan wanita itu.Ambulance dan beberapa polisi sudah datang, mereka ditelpon oleh Noel dan Brata."Sanja!" panggil Davinka saat melihat suaminya terbaring lemas. Noel dan Sandy sudah ada disana memberikan pertolongan pertama."Aku gak papa," sahutnya menenangkan.Dengan kaki gemetar, Davinka membawa Renhart mendekat pada Sanjaya dan bersimpuh di hadapannya. Sanjay menyentuh wajah putranya dan bertanya dengan suara yang parau. Berusaha untuk tetap tersadar, "Kamu gak papa, kan? Apa ada yang sakit?"Pria itu melihat bagaimana Renhart di bekap oleh Laura.Renhart menggeleng, "Papa pasti kesakitan. Itu pasti sakit."Anak itu bicara di sela isak tangisnya. Merasa sangat khawatir. Renhart tahu Papanya sengaja melakukan itu agar peluru tidak mengenai tubuhnya. Ia melihat sendiri Papanya langsung melompat saat wanita jahat itu berteriak memintanya u
Suhu di ruangan itu mendadak berubah dibawah nol derajat. Suasananya lebih dingin dari kutub Utara. Siapapun tidak berani mengambil napas dengan semaunya. Mereka hanya tidak ingin mengeluarkan suara dan mengganggu konsentrasi.Laura masih menatap puas apa yang ada di hadapannya, bagaimana musuh terbesar ibunya kini sudah tidak terselamatkan lagi. Wajah Venti sudah terlihat bengkok dan kaku, napasnya sedikit terengah-engah, terlihat sangat kesakitan.Venti masih belum bisa memalingkan wajahnya dari tempat Davinka berdiri. Hanya suara geraman yang lolos dari bibir wanita itu yang sedikit membiru."Ini lebih bagus dari kematian. Kamu tersiksa sebelum ajal menjemput! Hahah!" Sandy melangkah maju. Tapi sial, ternyata telinga Laura sangat peka. Wanita itu kembali fokus pada Renhart dalam dekapan lengangnya."Apa kalian gila!" teriak wanita itu. Laura memutar tubuhnya dengan Renhart dalam lengannya, pistol terus menempel pada kepala anak itu dan siapa di tekan kapanpun. Ia menatap semua y
Suara benda jatuh dan teriakan menggema dari arah pintu dapur. Suara langkah kaki mulai terdengar semakin dekat. Venti yang masih menggenggam tangan Davinka merasa sangat bingung dengan nama ayah Davinka yang sama persis seperti nama ayah Diandra. Wanita itu masih berpikir keras dan berusaha mengenyahkan semua ketakutannya.'Ini pasti hanya kebetulan, kan?' tanyanya dalam hati, 'apa mereka saudara, satu ayah, atau—' Suaranya terhenti. Venti melihat genggaman tangannya yang masih menggenggam tangan Davinka yang kini dipaksa lepas oleh suaminya sudah terbuka dan tangan Davinka hilang dalam genggaman tangannya."Apa yang kamu pikirkan? Sekarang putra kita sudah sah menjadi suami Davinka," tukas pria berusia mengingat istrinya yang masih diam membisu. Pikirannya bahkan terlihat kosong.Brata membantu Davinka agar duduk disisi Sanjaya. Mereka mulai menandatangani berkas pernikahan. Namun, saat penghulu menyerahkan dua buku merah dan hijau, teriakan seseorang menghentikan pergerakannya.