“Baris kedua dari belakang.” Tiba-tiba, Kenzie menunjuk Keisha dan kedua temannya yang sontak menjadi pusat perhatian satu kelas.
Pikiran Keisha yang beberapa detik lalu masih mengawang pun dipaksa masuk kembali. Ia merasakan Cindy terus menyenggol lengannya.
“Ya, tiga mahasiswi di sana. Apa kalian sudah mengerti materi yang saya jelaskan hari ini?” lanjut Kenzie.
“S-sudah, Pak,” Keisha menjawab refleks saking terkejutnya.
“Kalau sudah, coba terangkan di depan,” sahutnya tegas seraya memberikan spidol papan tulis kepada Keisha.
“Eh….” Keisha menelan ludahnya gugup. “M-maksudnya belum, Pak.”
Kenzie menghela napasnya kasar dan mengetuk papan tulis dengan jarinya sebanyak dua kali. “Saya diam sejak tadi, bukan berarti saya tidak mendengar,” sambungnya membuat Keisha dan dua temannya menutup mulut rapat-rapat. “Dengarkan baik-baik kalau tidak mau ada tugas tambahan untuk kalian.”
“I-iya, Pak,” jawab ketiganya dengan wajah pucat.
Keisha berdecak. Sia-sia saja debaran jantungnya tadi. Semua sudah jelas, tidak mungkin Kenzie menyukainya.
Pria itu masih saja ketus dan dingin, walaupun cincin itu masih melingkar anteng di jari Keisha.
***
[Kenzie: Dimana?]
[Kenzie: Kelas kamu seharusnya sudah selesai]
[Kenzie: Kalau nggak ke parkiran sekarang, saya samperin kamu]
Keisha mendengus. Setelah menegurnya di kelas, tidak memberi kabar apa pun, calon suami sekaligus dosen galaknya itu tiba-tiba mengirimkannya chat bersifat ancaman.
Keisha buru-buru pamit kepada teman-temannya yang masih asyik mengobrol di kantin. Akan bahaya jika pria itu sungguhan dengan kata-katanya.
Ketika Keisha sampai di parkiran, matanya menatap sekitar, khawatir ada seseorang yang mengenalinya. Perempuan itu pun mengendap-endap seraya menutupi wajahnya dengan tas.
'Manusia itu kan gak bisa diprediksi. Kalau tiba-tiba muncul di depan aku, bisa mati berdiri ini mah!'
Membayangkannya saja sudah membuat bulu kuduk Keisha merinding.
Ia melihat mobil Kenzie masih terparkir di tempat yang sama. Dengan secepat kilat, Keisha masuk ke mobil Kenzie. Ia menutup pintunya dengan keras, lalu mulai mengatur napasnya yang terengah.
“Kenapa ngos-ngosan begitu?” tanya Kenzie sambil mengambil beberapa tisu dari dashboard dan memberikannya kepada Keisha.
“Takut ada yang lihat, lah!” Keisha berdecak dan menyambar tisu itu. “Lagian, ngapain, sih, nyuruh aku ke sini? Aku lagi asyik tadi nongkrong sama temen-temen.”
Kenzie diam sejenak, membiarkan Keisha mengatur napasnya. Ia pun mengambil tisu penuh keringat itu dari tangan Keisha.
“Temenin saya makan,” ucapnya.
Dahi Keisha lantas mengerut. Ia sempat terkejut sesaat, tapi berhasil mengontrol ekspresi wajahnya. “Abang nggak punya temen buat nemenin makan ya?”
“Kamu nggak mau?” Kenzie tampak berkedip dua kali.
Keisha berdecak. Mulutnya ingin menolak, tapi hatinya malah bersorak senang.
“Ya udah kalau maksa,” Keisha menjawab sambil matanya mengarah ke tempat lain.
Perempuan itu melipat tangannya di dada sembari berdeham. Walaupun hanya menemani makan, ia (sedikit) senang karena merasa dibutuhkan Kenzie sekarang.
Ketika mobil mulai meninggalkan parkiran kampus, tiba-tiba ponsel Keisha berdering. Keisha pikir, itu hanya telepon tidak jelas dari Naura atau Cindy. Jadi, ia dengan santainya mengambil ponsel itu dan mengangkatnya.
“Halo, adikkuuuu!” suara Reyhan, kakak pertamanya, langsung menyapa Keisha.
“Bang Rey!” seru Keisha senang ketika layar ponselnya sudah menampilkan wajah Reyhan. “Kangennn!”
Reyhan tersenyum lebar dengan ekspresi yang sama dengan Keisha. “Sama, Abang juga!”
Kakak sulung Keisha terlihat tampan dengan jas kerjanya. Sekarang, ia sedang bekerja di Jepang untuk membantu bosnya mengurus kantor pusat. Sudah 4 bulan ia meninggalkan Indonesia, dan baru dikabarkan kembali 2 bulan lagi.
Meskipun begitu, Reyhan tetap memanjakan Keisha dari jauh. Kerap kali pria itu mengirimkan uang jajan, bahkan hadiah dari sana.
“Abang kirim sesuatu buat kamu.” Benar, kan. Kali ini pun Reyhan memanjakannya.
Keisha langsung berteriak antusias. “Apa, Bang?!”
“Ada, deh! Kamu bisa tebak nggak?” Tidak lama, ekspresi Reyhan yang terlihat sangat senang itu, berubah menjadi menyelidik. “Bentar, kamu di mobil? Sama siapa?”
Wajah Keisha menegang. Saking antusiasnya mendapat telepon Reyhan, Keisha jadi lupa kalau sedang bersama Kenzie. Ia meneguk air liurnya yang terasa pahit.
‘Sial! Bang Rey gak boleh tahu soal—’
“Hai, Rey.”
Baru Keisha berniat menjauhkan ponselnya, Kenzie sudah keburu muncul di layar sambil mengeluarkan senyum khasnya. Namun, entah kenapa Keisha malah merasa pria itu sedang menantang Reyhan.
Alis Reyhan menyatu. Wajah bingungnya kentara jelas. “Kok, kalian jalan bareng?!”
“Emang kenapa? Kan kita—”
Keisha langsung membungkam mulut Kenzie dengan telapak tangannya. Ia juga mengode lewat matanya agar Kenzie diam.
“Eh, i-itu, Bang… tadi kita habis cari referensi! Nah, iya bener! Cari referensi buat tugas. Iya, kan, Bang Kenzie?” Kepala Keisha menoleh ke arah Kenzie, mengedipkan sebelah mata agar Kenzie paham maksudnya.
Namun, pria itu tidak langsung menjawab.
Kenzie tidak langsung menjawab, malah menatap Keisha cukup lama. Tentu itu membuat Keisha semakin kesal dan mulai mencubit paha pria itu. Barulah setelah itu, Kenzie menjawab sambil terkekeh. “Iya.” Keisha langsung beralih ke arah ponsel dan menatap Reyhan canggung. “Tuhkan, Bang Rey denger, hehehe!” Lalu, karena takut Reyhan menginterogasinya, Keisha buru-buru mengakhiri panggilan. “Nanti telepon lagi, ya, Bang! Dah! Aku mau lanjut ngerjain tugas dulu!” Tut! Sambungan diputuskan Keisha sepihak. Ia membuang napasnya, lalu menatap Kenzie dengan kesal. Kenapa pria ini suka sekali membuatnya panik tiba-tiba?! “Belum bilang sama Rey?” tanya Kenzie tiba-tiba. “Abang kan tau sifat Bang Rey gimana? Mana mungkin dia setuju-setuju aja sama pernikahan ini apalagi kalo tau alasan kita nikah?” decak Keisha. “Emangnya Abang mau dia terbang sekarang, balik ke Indo, cuma buat gebukin Bang Kenzie?” Kenzie hanya mengangguk-angguk. “Aku aja bilang ke Ibu supaya Bang Rey jangan dikasih tau dulu
Kenzie masuk ke mobilnya lebih dulu, lalu diikuti Keisha. Ia hanya diam setelah pintu ditutup. Padahal, ia mau Kenzie sedikit peka kalau dirinya sedang kesal. Keisha terus menggerutu dalam hati, sampai sebuah sentuhan ringan ia rasakan di ujung kelingking tangannya. “Kenapa, sih?” pekik Keisha jengkel. “Ya aneh aja kamu diam dari tadi,” jawab Kenzie enteng. Keisha berdecak, tapi tetap malas menatap pria itu. Ia bahkan sengaja menaikan dagunya. “Buka tuh HP. Aku chat dari tadi nggak dibales, malah asyik ngobrol sama Bu Olive. Aku dimarahin Ibu dari kemarin disuruh ke butik buat fitting baju. Abang mah enak, nggak bakal kena omel. Tapi aku yang dicecer abis-abisan kalo gak nurut.” Keisha mengembuskan napasnya kesal karena teringat bayang Kenzie dan Olive mengobrol tadi. “Abang juga ngapain sih ngobrol sama Bu Olive? Pas kampus udah sepi lagi. Abang mau emangnya jadi sasaran gosip anak-anak kalo mereka dilihat berduaan sama Bu Olive di tempat sepi?” Keisha berbicara tanpa jeda ka
Keisha jadi menelan air ludahnya susah payah ketika Kenzie mendekat. Pria itu berdiri tepat di hadapannya, hanya berjarak sekitar lima senti saja. Keisha juga bisa mencium parfum bergamot yang manis dari pria itu. Tangan Kenzie terulur ke belakang leher Keisha, membuat perempuan itu menutup matanya rapat-rapat. Padahal gaun ini menutupi sebagian pundaknya, tapi entah kenapa Keisha bisa merasakan sentuhan ringan dari Kenzie. 'Gila! Gila! Gila! Jantung... Tolong jangan ribut dong! Kalau Bang Kenzie denger gimanaaaa!' hati Keisha mulai ugal-ugalan. "Hm...." Keisha bisa mendengar suara rendah Kenzie di telinganya. "Cocok," ucap Kenzie kemudian. “Harganya cocok.” Tepat setelah itu, Kenzie pergi meninggalkan Keisha begitu saja, membuat Keisha membuka mataya secepat kita. Ternyata pria itu hanya ingin melihat tag harga yang ada di belakang gaun Keisha. Perempuan itu melongo tidak percaya. Mulutnya sampai terbuka setengah dan tangannya lemas di sisi tubuhnya. Ia tidak bisa berkata-kat
Keisha membuang napas panjangnya ketika kata-kata Reyhan kemarin kembali terputar di otaknya. Sejak itu, perasaan Keisha selalu cemas. Ia tidak bisa berbohong terus-terusan pada Reyhan. Mau bagaimana pun, Reyhan adalah abang yang paling ia sayang. Keisha tidak sampai hati kalau harus mengecewakan Reyhan karena sikapnya saat ini. “Kei!” Keisha tersentak ketika merasakan seseorang menyenggol lengannya. Ia menoleh. Ah… ia lupa kalau sedang bersama dua sahabatnya di kantin. “Ngelamun apa, sih? Itu dari tadi ada telepon.” Cindy menunjuk layar ponselnya yang menunjukkan tulisan ‘Bang Kenzie is calling…’ Keisha mengerjap. Ia sampai tidak sadar kalau ponselnya bunyi sejak tadi. “Halo, Bang?” jawab Keisha cepat, khawatir teman-temannya semakin curiga. “Cepet ke parkiran,” suara dalam Kenzie menyapa Keisha dengan renyah, membuat jantung perempuan itu entah kenapa langsung berdebar lebih cepat. “Hah? Harus banget?!” untuk menutupi kegugupannya, Keisha memekik. “Iya.” Keisha berdecak pe
Pria itu masih pada posisinya, begitu pun Keisha. Tidak ada dari keduanya yang bergerak menjauh atau memberikan jarak. Dengan debaran jantungnya, Keisha menatap bola mata Kenzie bergantian, lalu turun ke hidung dan bibir laki-laki itu. Jari telunjuk Kenzie yang masih berada di ujung hidung Keisha, perlahan turun ke bibir perempuan itu. Darah Keisha berdesir. ‘Gila! Gila! Gila! Aku beneran gila!’ Terbawa suasana, Keisha menutup matanya perlahan, bukannya mendorong Kenzie. Kepalanya sudah berisik, menduga apa yang akan terjadi berikutnya. ‘Ini Bang Kenzie mau cium aku kan? Kita mau ciuman kan? Ini ciuman pertama kita kan?’ “Kamu… suka rumahnya?” suara berat Kenzie kembali terdengar, bersamaan dengan jari dinginnya yang menjauh dari bibir Keisha. Keisha kembali membuka matanya. Ia melihat Kenzie sudah mundur selangkah, memberi jarak dirinya dengan Keisha. Pipi Keisha merona, malu dengan pikiran kotornya beberapa saat lalu. Mau dipikirkan beberapa kali pun, ciuman itu tidak m
Keisha sebenarnya tidak ingin termakan dengan kata-kata dan perlakuan Kenzie karena pria itu sendiri yang bilang padanya, kalau pernikahan ini adalah pernikahan kontrak. Pernikahan pura-pura. Kenzie tidak mungkin sungguhan menyukai Keisha yang usianya terpaut jauh 6 tahun. Bagi Kenzie, Keisha pasti hanya seorang bocah yang mungkin sedang laki-laki itu manfaatkan. Namun, kenapa kehangatan bibirnya terus terasa sampai sekarang? Bahkan setelah acara berakhir, dan seluruh tubuhnya terasa sangat lelah, hanya ciuman Kenzie yang terus teringat di benaknya. Seharian ini, Keisha hampir tidak bisa duduk dengan tenang karena sibuk menyalami para tamu undangan. Kebanyakan dari mereka adalah teman-teman dan kerabat orangtua Keisha dan Kenzie. Setelah makan malam bersama, mama Kenzie dan keluarganya izin pulang, sedangkan Kenzie akan menginap di rumah Keisha sesuai permintaan ibu Keisha. ‘Wait?! Jadi, gue harus tidur sekamar sama dia?!’ Keisha baru teringat fakta itu kala melihat Kenzie iku
"Yang bener aja! TURUN!"Kenzie yang tengah duduk bersandar sambil bermain ponsel, hanya melirik sekilas Keisha yang tengah bersungut-sungut. Tanpa sepatah kata pun, Kenzie malah memilih kembali fokus ke layar ponselnya, alih-alih menuruti perintah Keisha untuk beranjak dari kasur."Turuuuun!" seru Keisha sambil mendorong tubuh Kenzie dengan keras. "Ini wilayah aku!""Siapa cepat dia dapat, Keisha." Kenzie tak bergeser sedikitpun."Ya kali, mana ada kayak gitu! Cepetan turun!""Enggak.""Turun!""Enggak, Keisha.""Turun sendiri ... atau aku cium!"“Oke, boleh.”Keisha merasa seperti dunianya tiba-tiba berputar cepat. Ia membeku, tidak pernah membayangkan bahwa Kenzie akan menanggapi ancamannya dengan begitu tenang dan bahkan mengiakan. Hatinya berdebar-debar saat mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Bagaimana mungkin, Kenzie yang selalu melihatnya sebagai anak kecil, justru mau diciumnya tanpa merasa risih?"Kok, Abang malah ngeiya–"Ucapan Keisha terhenti saat tubuhnya did
Selama 20 tahun hidup, baru kali ini Keisha tidur dalam keadaan senyaman ini. Ia merasakan embusan napas hangat menerpa wajahnya. Sebuah aroma yang membuatnya betah berlama-lama dalam keadaan seperti itu.Keisha semakin menenggelamkan kepalanya ke dalam bantal hangat itu. Ia bisa merasakan benda yang keras juga lembut dalam waktu bersamaan. Perlahan, ia membuka mata, ingin tahu bantal seperti apa yang tengah dipeluknya saat ini.Hal pertama yang ia lihat adalah sebuah dada bidang di depan matanya. Lalu, ia pun menaikkan pandangan dan melihat wajah Kenzie yang masih tertidur. Bagai disambar petir, jantung Keisha seperti berhenti berdetak. Seluruh tubuhnya menegang, bahkan untuk bergeser saja, ia tidak bisa.‘HAH?! K-kok, manusia ini ada di sini?! Bukannya semalem dia tidur di… sofa….’Di saat otaknya masih memproses apa yang terjadi semalam tadi, tiba-tiba Kenzie membuka matanya. Sontak, wajah Keisha semakin pucat. Apalagi ketika pria itu tersenyum dengan santainya.“Selamat pagi, Is