Baru dua hari yang lalu Keisha menyesali dengan keputusan gila yang ia buat, hari ini sang ibu semakin membuatnya menyesal.
Pagi-pagi sekali, Keisha dibangunkan oleh sang ibu karena kedatangan Kenzie di rumahnya. Hari ini ia memang ada kelas, tapi tidak biasanya laki-laki itu menjemput Keisha di rumah.
Ralat. Bukan tidak biasanya, tapi tidak pernah!
“Aneh banget, nih, orang tiba-tiba jemput,” gerutu Keisha ketika ia bersiap-siap.
Kalau bukan karena dipaksa Ibu, Keisha mana mau semobil dengan Kenzie. Apa kata warga kampus nanti kalau tiba-tiba ia terlihat keluar dari mobil dosen dingin ini? Keisha bahkan menyembunyikan fakta kalau mereka bertetangga dan Kenzie adalah sahabat Reyhan, kakak pertamanya.
Sibuk dengan pemikiran aneh dan ketakutannya, Keisha sampai tidak menyadari kalau mereka sudah memasuki area kampus. Ia baru sadar ketika mobil Kenzie melewati halte bus di depan Fakultas Seni.
Keisha refleks berteriak, “Eh, Bang! Stop, stop! Sampe sini aja.”
Keisha buru-buru melepas seat belt yang dipakainya. “Aku mau turun di sini!”
“Kenapa?” Kenzie bertanya setelah menghentikan mobilnya.
“Nanti kalau ada yang liat kita bareng, gimana? Aku nggak mau ya digosipin!” cerocos Keisha. Ia berusaha membuka pintu yang ternyata masih dikunci oleh Kenzie. “Bukain, Bang! Cepet, sebelum ada anak kampus yang liat.”
Kenzie menjawab santai, “Ya, tinggal bilang kita emang mau nikah. Kok, repot?”
Keisha membulatkan mata, lalu menunjuk kasar Kenzie dengan telunjuk mungilnya. “Pokoknya enggak!” pekiknya.
Bayangkan kalau semua orang tahu soal hubungannya dengan si dosen dingin ini. Semua aspek hidupnya pasti disangkutpautkan pada Kenzie. Syukur-syukur dia dapat nilai bagus karena otaknya yang cemerlang ini, tapi bisa jadi dia dituding dapat nilai oke karena dibantu Kenzie.
Idih. Lebih baik ia dapat nilai C, daripada menjadi bahan gosip satu kampus.
“Nih, ya, kita semobil aja nggak boleh ada yang tau, apalagi mau nikah!” Keisha kembali menyerocos. “Udah, cepetan buka ih pintunya….,” pinta Keisha lagi kini sambil merengek.
Keisha juga menundukan tubuh dan menutupi kepalanya dengan tas ketika ada beberapa mahasiswa yang melewati sambil mobil Kenzie. Karena ini sudah ada di dekat gedung utama, sudah pasti banyak mahasiswa Fakultas Seni yang berlalu lalang.
Akhirnya, Kenzie menekan tombol buka kunci, membuat Keisha tersenyum lebar dan mengacungkan jempolnya.
“Dah! Sampai ketemu di kelas!”
Namun, sebelum Keisha benar-benar keluar, Kenzie menahan lengan perempuan itu. Dosen muda itu menatap gadis di hadapan dengan ekspresi yang tak terbaca, seperti biasanya.
“Kenapa lagi?” desis Keisha cepat. Kepalanya menoleh ke sana kemari, waswas menatap sekitar.
Tanpa mengucapkan apa-apa, Kenzie merogoh saku celananya dan mengambil cincin berlian dari sana. Keisha yang tadinya waswas langsung melongo saat menyadari apa yang saat ini ada di tangan Kenzie.
Namun, seperti tidak menyadari reaksi Keisha, Kenzie dengan santai memakaikan cincin itu di jari manis Keisha.
“Paling gak, kamu bisa pakai ini.” Kenzie melihat cincin itu sambil tersenyum tipis.
Ketika Kenzie melepaskan genggamannya, Keisha memandangi cincin itu. Cincin berlian itu terlihat sederhana. Mungkin teman-temannya juga akan menganggapnya imitasi nanti.
Ada perasaan aneh yang ia rasakan sekarang. Sebagai anak bungsu dan satu-satunya di keluarga, ia sering mendapatkan hadiah. Keisha juga pernah diberikan hadiah oleh mantan-mantan pacarnya, tapi kenapa perasaannya yang satu ini terasa berbeda?
“Saya harap mau kamu pakai cincin ini,” ujar Kenzie. “Mereka nggak akan bergosip hanya karena kamu pakai cincin, kan?”
Keisha mulai menyentuh cincin itu. Ditatapnya Kenzie yang masih menatapnya juga. Ia tidak tahu kalau sebuah cincin bisa membuat jantungnya berdebar seperti ini.
Kenzie mengusap kepala Keisha sambil tersenyum tipis. “Jangan hilang, ya.”
Perempuan itu mengangguk. Namun, kemudian tersadar.
‘Apa-apaan ini? Kenapa aku ngangguk?! Kenapa aku kayak anjing penurut gini?!’ Gadis itu membatin.
Keisha menggelengkan kepalanya dengan kuat, lalu segera keluar dari mobil. Wajahnya memanas, dan ia tidak mau Kenzie menyadari itu.
‘Kesambet apa Bang Kenzie tiba-tiba ngasih cincin? Apa dia…, suka sama aku, ya?'
Sepanjang perjalanan menuju kelasnya, Keisha panik sendiri. Membayangkan Kenzie benar-benar jatuh cinta padanya, membuat jantung Keisha berdetak tidak karuan. Bahkan kakinya mulai lemas, sampai dirinya hampir jatuh saat menaiki tangga.
Keisha berhenti sejenak di anak tangga untuk menetralkan jantungnya. Ia mengipasi wajahnya yang masih panas.
“Nggak, Kei. Kamu harus tetap jaga image!” Keisha berkata kepada dirinya sendiri. “Jangan sampai Bang Kenzie sadar kalau kamu suka sama dia dari lama.”
***
Satu jam berlalu dengan sangat lama. Keisha berusaha untuk fokus dengan materi yang disampaikan Kenzie di depan. Namun, karena celotehan dua teman di samping kanan dan kirinya, membuat Keisha jadi salah fokus.
“Kei, coba perhatiin, deh. Jakunnya aja ganteng banget…,” bisik Cindy, sahabatnya yang duduk di samping kiri.
Keisha jadi ikut melihat ke arah sana. Pada saat melirik, Kenzie ternyata sedang mengambil gelas di meja, lalu meminumnya beberapa tegukan. Jakun laki-laki itu bergerak naik turun seolah slow-motion di matanya.
Dan hal itu tanpa sadar membuat Keisha menelan ludah. Untuk sepersekian detik, Keisha tidak bisa melepaskan matanya dari Kenzie di depan kelas.
“Gila, dia minum!” seru Naura, sahabatnya yang lain di sisi kanan Keisha. Gadis itu bahkan sampai menutup mulutnya.
“Jangankan jakun, tangannya aja ganteng, cuy,” balas Cindy, membuat Keisha jadi kembali memperhatikan tangan Kenzie yang masih memegang gelas.
Keisha memang sudah lama menyukai Kenzie, sejak Reyhan memperkenalkan mereka ketika Keisha kelas 1 SMA. Namun selama ini, Keisha hanya menganggap kalau perasaannya ini hanya cinta sepihak.
Jadi, ketika teman-temannya memuji Kenzie terang-terangan, Keisha selalu pura-pura cuek walaupun hatinya ikut membayangkan.
“Kapan ya bisa nikah sama makhluk ganteng di depan?”
Walaupun kedua sahabatnya terus mengoceh, Keisha tidak menggubrisnya. Ia tetap bengong dengan tatapan menerawang ke arah Kenzie.
Keisha jadi membayangkan tangan itu mengelus wajahnya dengan lembut, atau ketika mengusap ujung rambutnya. Atau mungkin saja….
‘Gila... Orang itu bakal jadi suami gue....'
“Kei?”
Keisha mengedip sekali. Bibirnya tanpa sadar menggumam, “Minggu depan aku nikah.”
“HAH?!”
“Baris kedua dari belakang.” Tiba-tiba, Kenzie menunjuk Keisha dan kedua temannya yang sontak menjadi pusat perhatian satu kelas. Pikiran Keisha yang beberapa detik lalu masih mengawang pun dipaksa masuk kembali. Ia merasakan Cindy terus menyenggol lengannya. “Ya, tiga mahasiswi di sana. Apa kalian sudah mengerti materi yang saya jelaskan hari ini?” lanjut Kenzie. “S-sudah, Pak,” Keisha menjawab refleks saking terkejutnya. “Kalau sudah, coba terangkan di depan,” sahutnya tegas seraya memberikan spidol papan tulis kepada Keisha. “Eh….” Keisha menelan ludahnya gugup. “M-maksudnya belum, Pak.” Kenzie menghela napasnya kasar dan mengetuk papan tulis dengan jarinya sebanyak dua kali. “Saya diam sejak tadi, bukan berarti saya tidak mendengar,” sambungnya membuat Keisha dan dua temannya menutup mulut rapat-rapat. “Dengarkan baik-baik kalau tidak mau ada tugas tambahan untuk kalian.” “I-iya, Pak,” jawab ketiganya dengan wajah pucat. Keisha berdecak. Sia-sia saja debaran jantungnya tad
Kenzie tidak langsung menjawab, malah menatap Keisha cukup lama. Tentu itu membuat Keisha semakin kesal dan mulai mencubit paha pria itu. Barulah setelah itu, Kenzie menjawab sambil terkekeh. “Iya.” Keisha langsung beralih ke arah ponsel dan menatap Reyhan canggung. “Tuhkan, Bang Rey denger, hehehe!” Lalu, karena takut Reyhan menginterogasinya, Keisha buru-buru mengakhiri panggilan. “Nanti telepon lagi, ya, Bang! Dah! Aku mau lanjut ngerjain tugas dulu!” Tut! Sambungan diputuskan Keisha sepihak. Ia membuang napasnya, lalu menatap Kenzie dengan kesal. Kenapa pria ini suka sekali membuatnya panik tiba-tiba?! “Belum bilang sama Rey?” tanya Kenzie tiba-tiba. “Abang kan tau sifat Bang Rey gimana? Mana mungkin dia setuju-setuju aja sama pernikahan ini apalagi kalo tau alasan kita nikah?” decak Keisha. “Emangnya Abang mau dia terbang sekarang, balik ke Indo, cuma buat gebukin Bang Kenzie?” Kenzie hanya mengangguk-angguk. “Aku aja bilang ke Ibu supaya Bang Rey jangan dikasih tau dulu
Kenzie masuk ke mobilnya lebih dulu, lalu diikuti Keisha. Ia hanya diam setelah pintu ditutup. Padahal, ia mau Kenzie sedikit peka kalau dirinya sedang kesal. Keisha terus menggerutu dalam hati, sampai sebuah sentuhan ringan ia rasakan di ujung kelingking tangannya. “Kenapa, sih?” pekik Keisha jengkel. “Ya aneh aja kamu diam dari tadi,” jawab Kenzie enteng. Keisha berdecak, tapi tetap malas menatap pria itu. Ia bahkan sengaja menaikan dagunya. “Buka tuh HP. Aku chat dari tadi nggak dibales, malah asyik ngobrol sama Bu Olive. Aku dimarahin Ibu dari kemarin disuruh ke butik buat fitting baju. Abang mah enak, nggak bakal kena omel. Tapi aku yang dicecer abis-abisan kalo gak nurut.” Keisha mengembuskan napasnya kesal karena teringat bayang Kenzie dan Olive mengobrol tadi. “Abang juga ngapain sih ngobrol sama Bu Olive? Pas kampus udah sepi lagi. Abang mau emangnya jadi sasaran gosip anak-anak kalo mereka dilihat berduaan sama Bu Olive di tempat sepi?” Keisha berbicara tanpa jeda ka
Keisha jadi menelan air ludahnya susah payah ketika Kenzie mendekat. Pria itu berdiri tepat di hadapannya, hanya berjarak sekitar lima senti saja. Keisha juga bisa mencium parfum bergamot yang manis dari pria itu. Tangan Kenzie terulur ke belakang leher Keisha, membuat perempuan itu menutup matanya rapat-rapat. Padahal gaun ini menutupi sebagian pundaknya, tapi entah kenapa Keisha bisa merasakan sentuhan ringan dari Kenzie. 'Gila! Gila! Gila! Jantung... Tolong jangan ribut dong! Kalau Bang Kenzie denger gimanaaaa!' hati Keisha mulai ugal-ugalan. "Hm...." Keisha bisa mendengar suara rendah Kenzie di telinganya. "Cocok," ucap Kenzie kemudian. “Harganya cocok.” Tepat setelah itu, Kenzie pergi meninggalkan Keisha begitu saja, membuat Keisha membuka mataya secepat kita. Ternyata pria itu hanya ingin melihat tag harga yang ada di belakang gaun Keisha. Perempuan itu melongo tidak percaya. Mulutnya sampai terbuka setengah dan tangannya lemas di sisi tubuhnya. Ia tidak bisa berkata-kat
Keisha membuang napas panjangnya ketika kata-kata Reyhan kemarin kembali terputar di otaknya. Sejak itu, perasaan Keisha selalu cemas. Ia tidak bisa berbohong terus-terusan pada Reyhan. Mau bagaimana pun, Reyhan adalah abang yang paling ia sayang. Keisha tidak sampai hati kalau harus mengecewakan Reyhan karena sikapnya saat ini. “Kei!” Keisha tersentak ketika merasakan seseorang menyenggol lengannya. Ia menoleh. Ah… ia lupa kalau sedang bersama dua sahabatnya di kantin. “Ngelamun apa, sih? Itu dari tadi ada telepon.” Cindy menunjuk layar ponselnya yang menunjukkan tulisan ‘Bang Kenzie is calling…’ Keisha mengerjap. Ia sampai tidak sadar kalau ponselnya bunyi sejak tadi. “Halo, Bang?” jawab Keisha cepat, khawatir teman-temannya semakin curiga. “Cepet ke parkiran,” suara dalam Kenzie menyapa Keisha dengan renyah, membuat jantung perempuan itu entah kenapa langsung berdebar lebih cepat. “Hah? Harus banget?!” untuk menutupi kegugupannya, Keisha memekik. “Iya.” Keisha berdecak pe
Pria itu masih pada posisinya, begitu pun Keisha. Tidak ada dari keduanya yang bergerak menjauh atau memberikan jarak. Dengan debaran jantungnya, Keisha menatap bola mata Kenzie bergantian, lalu turun ke hidung dan bibir laki-laki itu. Jari telunjuk Kenzie yang masih berada di ujung hidung Keisha, perlahan turun ke bibir perempuan itu. Darah Keisha berdesir. ‘Gila! Gila! Gila! Aku beneran gila!’ Terbawa suasana, Keisha menutup matanya perlahan, bukannya mendorong Kenzie. Kepalanya sudah berisik, menduga apa yang akan terjadi berikutnya. ‘Ini Bang Kenzie mau cium aku kan? Kita mau ciuman kan? Ini ciuman pertama kita kan?’ “Kamu… suka rumahnya?” suara berat Kenzie kembali terdengar, bersamaan dengan jari dinginnya yang menjauh dari bibir Keisha. Keisha kembali membuka matanya. Ia melihat Kenzie sudah mundur selangkah, memberi jarak dirinya dengan Keisha. Pipi Keisha merona, malu dengan pikiran kotornya beberapa saat lalu. Mau dipikirkan beberapa kali pun, ciuman itu tidak m
Keisha sebenarnya tidak ingin termakan dengan kata-kata dan perlakuan Kenzie karena pria itu sendiri yang bilang padanya, kalau pernikahan ini adalah pernikahan kontrak. Pernikahan pura-pura. Kenzie tidak mungkin sungguhan menyukai Keisha yang usianya terpaut jauh 6 tahun. Bagi Kenzie, Keisha pasti hanya seorang bocah yang mungkin sedang laki-laki itu manfaatkan. Namun, kenapa kehangatan bibirnya terus terasa sampai sekarang? Bahkan setelah acara berakhir, dan seluruh tubuhnya terasa sangat lelah, hanya ciuman Kenzie yang terus teringat di benaknya. Seharian ini, Keisha hampir tidak bisa duduk dengan tenang karena sibuk menyalami para tamu undangan. Kebanyakan dari mereka adalah teman-teman dan kerabat orangtua Keisha dan Kenzie. Setelah makan malam bersama, mama Kenzie dan keluarganya izin pulang, sedangkan Kenzie akan menginap di rumah Keisha sesuai permintaan ibu Keisha. ‘Wait?! Jadi, gue harus tidur sekamar sama dia?!’ Keisha baru teringat fakta itu kala melihat Kenzie iku
"Yang bener aja! TURUN!"Kenzie yang tengah duduk bersandar sambil bermain ponsel, hanya melirik sekilas Keisha yang tengah bersungut-sungut. Tanpa sepatah kata pun, Kenzie malah memilih kembali fokus ke layar ponselnya, alih-alih menuruti perintah Keisha untuk beranjak dari kasur."Turuuuun!" seru Keisha sambil mendorong tubuh Kenzie dengan keras. "Ini wilayah aku!""Siapa cepat dia dapat, Keisha." Kenzie tak bergeser sedikitpun."Ya kali, mana ada kayak gitu! Cepetan turun!""Enggak.""Turun!""Enggak, Keisha.""Turun sendiri ... atau aku cium!"“Oke, boleh.”Keisha merasa seperti dunianya tiba-tiba berputar cepat. Ia membeku, tidak pernah membayangkan bahwa Kenzie akan menanggapi ancamannya dengan begitu tenang dan bahkan mengiakan. Hatinya berdebar-debar saat mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Bagaimana mungkin, Kenzie yang selalu melihatnya sebagai anak kecil, justru mau diciumnya tanpa merasa risih?"Kok, Abang malah ngeiya–"Ucapan Keisha terhenti saat tubuhnya did