Kenzie masuk ke mobilnya lebih dulu, lalu diikuti Keisha. Ia hanya diam setelah pintu ditutup. Padahal, ia mau Kenzie sedikit peka kalau dirinya sedang kesal.
Keisha terus menggerutu dalam hati, sampai sebuah sentuhan ringan ia rasakan di ujung kelingking tangannya.
“Kenapa, sih?” pekik Keisha jengkel.
“Ya aneh aja kamu diam dari tadi,” jawab Kenzie enteng.
Keisha berdecak, tapi tetap malas menatap pria itu. Ia bahkan sengaja menaikan dagunya.
“Buka tuh HP. Aku chat dari tadi nggak dibales, malah asyik ngobrol sama Bu Olive. Aku dimarahin Ibu dari kemarin disuruh ke butik buat fitting baju. Abang mah enak, nggak bakal kena omel. Tapi aku yang dicecer abis-abisan kalo gak nurut.”
Keisha mengembuskan napasnya kesal karena teringat bayang Kenzie dan Olive mengobrol tadi.
“Abang juga ngapain sih ngobrol sama Bu Olive? Pas kampus udah sepi lagi. Abang mau emangnya jadi sasaran gosip anak-anak kalo mereka dilihat berduaan sama Bu Olive di tempat sepi?”
Keisha berbicara tanpa jeda karena saking kesalnya. Tangannya bahkan bergerak ke sana-kemari, mengungkapkan bagaimana emosinya saat ini. Namun yang lebih menjengkelkan, Kenzie hanya tersenyum tipis di kursinya.
Melihat reaksi sederhana dari Kenzie, Keisha semakin panas. “Aku serius, ya! Abang tau gak kalo rumor Bu Olive itu pacarnya banyak? Tiap ke kampus dianter mobil yang beda-beda. Jangan deket-deket kalo nggak mau digebukin sama pacar-pacarnya!”
Kenzie masih tersenyum sambil terus mengemudikan mobilnya ke arah butik. Bukannya menenangkan atau minta maaf, pria itu tampak sangat tenang. Keisha tidak tahu harus mengancamnya bagaimana lagi.
Lampu merah di depan membuat mobilnya berhenti, tapi tidak dengan emosi Keisha. Perempuan itu sekarang melipat tangannya di dada dan melihat ke luar jendela.
“Udah cemburunya?” suara berat Kenzie terdengar menggoda Keisha.
Wajah Keisha langsung terasa panas. Hanya dengan ucapan sederhana Kenzie, seluruh tubuh Keisha menegang.
“ENAK AJA! GAK CEMBURU, YA!” pekik Keisha, lalu mencebikkan bibirnya kesal. “Aku cuma melindungi Bang Kenzie dari tindakan gak bermoral.”
Namun, respons pria itu malah membuat pipinya semakin memerah. Kenzie terkekeh. Tangannya juga mengusap rambut Keisha dan mencubit pipi perempuan itu.
“Ya udah, nggak usah merah juga mukanya.” Kenzie mengeluarkan senyum khasnya, yang membuat lutut Keisha bergetar seperti ponsel jadul.
“ISHHH, NGGAK MERAH YAAAA!!!” teriak Keisha kini sambil memukul-mukul Kenzie dengan tasnya.
***
Mereka sampai di butik setelah setengah jam perjalanan. Energi Keisha sudah habis karena menghadapi rasa malunya, juga kekehan menjengkelkan Kenzie.
Perempuan itu turun dari mobil lebih dulu dan masuk ke butik. Tante Julia, pemilik butik yang langsung menyambutnya. Ia pun menggiring Keisha dan Kenzie ke lantai dua, tempat gaun-gaun pernikahan di pajang.
Tante Julia menyuruh Keisha dan Kenzie melihat-lihat terlebih dulu. Ia juga berpesan pada Keisha untuk memanggil pegawainya saja jika ada yang ingin ditanyakan.
“Keisha,” panggil Kenzie ketika Keisha sedang melihat-lihat katalog dengan malas.
“Hm?” Keisha mengangkat kepala, dan sontak matanya membulat. “SEKSI BANGET?!”
Keisha bergidik ngeri saat melihat gaun pernikahan yang disodorkan oleh Kenzie. Masa ia mau pakai gaun yang mempertontonkan dadanya?
Masih mending kalau dadanya berisi, ini mah datar seperti triplek. Apa yang mau dipamerkan?
“Aku nggak mau pake itu!” tolak Keisha. Ia melirik Kenzie yang masih menatap gaun itu dan dirinya bergantian.
Kenzie berdecak pelan. “Siapa yang suruh kamu pakai?” tanya Kenzie bingung. “Saya pegang gaun ini, bukan berarti saya ingin kamu pake.”
“Te-terus ngapain? Bukannya tugas Abang di sini bantu aku pilih gaun?”
Kenzie memperlihatkan harga yang tertera di gaun itu. “Saya cuma shock aja, ada gaun dengan harga segini.”
Keisha yang mendengar jawaban itu, ikut bangun dan melihat harga yang tertera. Matanya melotot, dan sentakkan napasnya terdengar. Apa Tante Julia mau naik haji?!
“Gila…, buat dipake sekali doang harganya segini? Bisa bikin kontrakan ini mah.”
Namun, ketika Keisha menoleh, Kenzie sudah tidak ada di sebelahnya, melainkan duduk di sofa. Sepertinya pria itu sudah kehabisan energi.
Ia pun menyuruh Keisha memilih gaun dengan pegawai toko. Dan Keisha hanya bisa berdecak sebal.
Akhirnya, Keisha tertarik dengan satu gaun yang mirip seperti Belle dari karakter Disney. Dengan bantuan pegawai, Keisha memakai gaunnya di ruangan khusus.
‘Jelek nggak sih?’ batin Keisha seraya menatap cermin.
Ia sedikit merasa tidak percaya diri melihat pantulan sosoknya di cermin. Tubuhnya yang agak pendek, tapi tidak gemuk, membuatnya merasa seperti mencoba baju ulang tahun dibanding gaun pernikahan.
"Kita buka ya tirainya, Kak," ucap pegawai itu, dan Keisha hanya menjawab seadanya.
Pegawai itu membuka tirai, dan Keisha keluar dari ruangan dengan gaun yang sudah melekat di tubuhnya. Kepalanya perlahan terangkat, melihat Kenzie yang duduk di sofa. Entah kenapa, jantungnya jadi berdebar ketika Kenzie melihatnya begitu intens.
‘Jelek ya? Kenapa nggak ada respons dari Kenzie?’
Sampai satu menit berlalu, tidak ada respons Kenzie. Pria itu hanya mengerjap beberapa kali. Bahkan sampai pegawai butik yang harus menyadarkannya.
Keisha menghela napas panjang. Memang seharusnya tidak berharap apa pun dari Kenzie, dosen dingin itu.
“Keisha.”
Mendengar suara Kenzie, Keisha langsung menoleh. Pria itu sudah berjalan mendekat ke arah Keisha dan melihatnya dari atas hingga bawah.
Keisha jadi menelan air ludahnya susah payah. ‘Kenapa, nih, deket-deket? J-jangan-jangan mau—’
Keisha jadi menelan air ludahnya susah payah ketika Kenzie mendekat. Pria itu berdiri tepat di hadapannya, hanya berjarak sekitar lima senti saja. Keisha juga bisa mencium parfum bergamot yang manis dari pria itu. Tangan Kenzie terulur ke belakang leher Keisha, membuat perempuan itu menutup matanya rapat-rapat. Padahal gaun ini menutupi sebagian pundaknya, tapi entah kenapa Keisha bisa merasakan sentuhan ringan dari Kenzie. 'Gila! Gila! Gila! Jantung... Tolong jangan ribut dong! Kalau Bang Kenzie denger gimanaaaa!' hati Keisha mulai ugal-ugalan. "Hm...." Keisha bisa mendengar suara rendah Kenzie di telinganya. "Cocok," ucap Kenzie kemudian. “Harganya cocok.” Tepat setelah itu, Kenzie pergi meninggalkan Keisha begitu saja, membuat Keisha membuka mataya secepat kita. Ternyata pria itu hanya ingin melihat tag harga yang ada di belakang gaun Keisha. Perempuan itu melongo tidak percaya. Mulutnya sampai terbuka setengah dan tangannya lemas di sisi tubuhnya. Ia tidak bisa berkata-kat
Keisha membuang napas panjangnya ketika kata-kata Reyhan kemarin kembali terputar di otaknya. Sejak itu, perasaan Keisha selalu cemas. Ia tidak bisa berbohong terus-terusan pada Reyhan. Mau bagaimana pun, Reyhan adalah abang yang paling ia sayang. Keisha tidak sampai hati kalau harus mengecewakan Reyhan karena sikapnya saat ini. “Kei!” Keisha tersentak ketika merasakan seseorang menyenggol lengannya. Ia menoleh. Ah… ia lupa kalau sedang bersama dua sahabatnya di kantin. “Ngelamun apa, sih? Itu dari tadi ada telepon.” Cindy menunjuk layar ponselnya yang menunjukkan tulisan ‘Bang Kenzie is calling…’ Keisha mengerjap. Ia sampai tidak sadar kalau ponselnya bunyi sejak tadi. “Halo, Bang?” jawab Keisha cepat, khawatir teman-temannya semakin curiga. “Cepet ke parkiran,” suara dalam Kenzie menyapa Keisha dengan renyah, membuat jantung perempuan itu entah kenapa langsung berdebar lebih cepat. “Hah? Harus banget?!” untuk menutupi kegugupannya, Keisha memekik. “Iya.” Keisha berdecak pe
Pria itu masih pada posisinya, begitu pun Keisha. Tidak ada dari keduanya yang bergerak menjauh atau memberikan jarak. Dengan debaran jantungnya, Keisha menatap bola mata Kenzie bergantian, lalu turun ke hidung dan bibir laki-laki itu. Jari telunjuk Kenzie yang masih berada di ujung hidung Keisha, perlahan turun ke bibir perempuan itu. Darah Keisha berdesir. ‘Gila! Gila! Gila! Aku beneran gila!’ Terbawa suasana, Keisha menutup matanya perlahan, bukannya mendorong Kenzie. Kepalanya sudah berisik, menduga apa yang akan terjadi berikutnya. ‘Ini Bang Kenzie mau cium aku kan? Kita mau ciuman kan? Ini ciuman pertama kita kan?’ “Kamu… suka rumahnya?” suara berat Kenzie kembali terdengar, bersamaan dengan jari dinginnya yang menjauh dari bibir Keisha. Keisha kembali membuka matanya. Ia melihat Kenzie sudah mundur selangkah, memberi jarak dirinya dengan Keisha. Pipi Keisha merona, malu dengan pikiran kotornya beberapa saat lalu. Mau dipikirkan beberapa kali pun, ciuman itu tidak m
Keisha sebenarnya tidak ingin termakan dengan kata-kata dan perlakuan Kenzie karena pria itu sendiri yang bilang padanya, kalau pernikahan ini adalah pernikahan kontrak. Pernikahan pura-pura. Kenzie tidak mungkin sungguhan menyukai Keisha yang usianya terpaut jauh 6 tahun. Bagi Kenzie, Keisha pasti hanya seorang bocah yang mungkin sedang laki-laki itu manfaatkan. Namun, kenapa kehangatan bibirnya terus terasa sampai sekarang? Bahkan setelah acara berakhir, dan seluruh tubuhnya terasa sangat lelah, hanya ciuman Kenzie yang terus teringat di benaknya. Seharian ini, Keisha hampir tidak bisa duduk dengan tenang karena sibuk menyalami para tamu undangan. Kebanyakan dari mereka adalah teman-teman dan kerabat orangtua Keisha dan Kenzie. Setelah makan malam bersama, mama Kenzie dan keluarganya izin pulang, sedangkan Kenzie akan menginap di rumah Keisha sesuai permintaan ibu Keisha. ‘Wait?! Jadi, gue harus tidur sekamar sama dia?!’ Keisha baru teringat fakta itu kala melihat Kenzie iku
"Yang bener aja! TURUN!"Kenzie yang tengah duduk bersandar sambil bermain ponsel, hanya melirik sekilas Keisha yang tengah bersungut-sungut. Tanpa sepatah kata pun, Kenzie malah memilih kembali fokus ke layar ponselnya, alih-alih menuruti perintah Keisha untuk beranjak dari kasur."Turuuuun!" seru Keisha sambil mendorong tubuh Kenzie dengan keras. "Ini wilayah aku!""Siapa cepat dia dapat, Keisha." Kenzie tak bergeser sedikitpun."Ya kali, mana ada kayak gitu! Cepetan turun!""Enggak.""Turun!""Enggak, Keisha.""Turun sendiri ... atau aku cium!"“Oke, boleh.”Keisha merasa seperti dunianya tiba-tiba berputar cepat. Ia membeku, tidak pernah membayangkan bahwa Kenzie akan menanggapi ancamannya dengan begitu tenang dan bahkan mengiakan. Hatinya berdebar-debar saat mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Bagaimana mungkin, Kenzie yang selalu melihatnya sebagai anak kecil, justru mau diciumnya tanpa merasa risih?"Kok, Abang malah ngeiya–"Ucapan Keisha terhenti saat tubuhnya did
Selama 20 tahun hidup, baru kali ini Keisha tidur dalam keadaan senyaman ini. Ia merasakan embusan napas hangat menerpa wajahnya. Sebuah aroma yang membuatnya betah berlama-lama dalam keadaan seperti itu.Keisha semakin menenggelamkan kepalanya ke dalam bantal hangat itu. Ia bisa merasakan benda yang keras juga lembut dalam waktu bersamaan. Perlahan, ia membuka mata, ingin tahu bantal seperti apa yang tengah dipeluknya saat ini.Hal pertama yang ia lihat adalah sebuah dada bidang di depan matanya. Lalu, ia pun menaikkan pandangan dan melihat wajah Kenzie yang masih tertidur. Bagai disambar petir, jantung Keisha seperti berhenti berdetak. Seluruh tubuhnya menegang, bahkan untuk bergeser saja, ia tidak bisa.‘HAH?! K-kok, manusia ini ada di sini?! Bukannya semalem dia tidur di… sofa….’Di saat otaknya masih memproses apa yang terjadi semalam tadi, tiba-tiba Kenzie membuka matanya. Sontak, wajah Keisha semakin pucat. Apalagi ketika pria itu tersenyum dengan santainya.“Selamat pagi, Is
‘Hm… bau nasi goreng Ibu….’Seketika, Keisha lupa dengan obrolannya dengan Kenzie sesaat sampai di meja makan. Hidangan sarapan sudah tersaji di sana. Langsung saja gadis itu melepaskan ujung kaus Kenzie, dan melesat ke kursinya. Sementara itu, Kenzie hanya menaikkan pundaknya dan mengekor Keisha. Ia duduk di sebelah Keisha, yang sudah siap dengan peralatan makannya.“Bu, saya izin membawa Keisha ke rumah saya di Jagakarsa hari ini,” ujar Kenzie tiba-tiba, saat Keisha baru saja meneguk air putih di depannya.Bruuh!Gadis itu pun menyemburkan air itu, lalu terbatuk-batuk sendiri. Tenggorokan dan hidungnya terasa panas sekarang karena air itu salah masuk saluran. Tanpa sadar, ia pun menepuk-nepuk paha Kenzie yang duduk di sebelahnya karena kesal.Namun sepertinya, pria itu salah paham dan malah mengusap-usap punggung Keisha dan menyodorkan tisu. Karena dalam keadaan panik, Keisha menerima saja tisu itu untuk melap mulut dan hidungnya.“Jorok, dih!” komentar Aldi, yang duduk di depan Ke
Perjalanan hampir dua jam itu dihabiskan mereka dengan hanya saling diam. Keisha sengaja menyalakan musik keras-keras agar Kenzie tidak mengajaknya bicara. Mood-nya sedang tidak baik saat ini.Fakta bahwa ia harus serumah dengan Kenzie memang tidak bisa diganggu gugat lagi. Namun, masalah soal Reyhan masih menjadi beban tersendiri. Bagaimana kalau saat Reyhan pulang, Keisha tidak ada di rumah orang tuanya? Apakah abangnya itu tidak semakin marah?Mobil berhenti di halaman rumah yang familiar untuk Keisha. Tidak seperti sebelumnya, kali ini ada seorang penjaga yang membukakan pintu gerbang untuk mobil Kenzie. Orang itu tampak sudah akrab dengan Kenzie juga.“Itu Mang Rahman, yang bakal jagain rumah ini,” ucap Kenzie, seolah bisa membaca pikiran Keisha. Pria itu pun menarik rem tangan, sebelum akhirnya mematikan mesin mobil.“Ooh….” Keisha hanya mengangguk-anggukkan kepala.“Ayo, turun.” Kenzie turun lebih dulu, lalu langsung membuka bagasi.Melihat itu, Keisha berdecak. Pria itu meman