Aldrich mendekat, duduk di kursi tempat ibunya tadi duduk. Ia menggenggam tangan Elea erat dan menciumnya. "Aku bersalah karena membiarkanmu masuk ke kamar sendiri, seharusnya aku mengantar kamu dulu," ucapnya mengecup punggung tangan istrinya lembut.Mendapatkan perhatian yang manis berkali-kali seperti ini dari Aldrich semakin membingungkannya. "Rich, apakah aku boleh bertanya satu hal?"Aldrich mendongak dan mengangguk. Elea tersenyum kecil dan berkata. "Aku merasa belakangan ini kamu sedikit berlebihan padaku, aku--,""Apa yang aku lakukan adalah dari hatiku, kamu istriku, jadi sudah seharusnya aku memperhatikan kamu, Elea," potongnya langsung karena seolah mengerti apa yang Elea pikirkan."Karena kontrak kita?"Aldrich menggeleng. "Kontraknya sudah kubakar dan tidak ada lagi," jawabnya lugas semakin tidak peduli Elea terbelalak kaget."Ba--kar? Kamu membakarnya? Lalu, bagaimana?"Kening Aldrich mengkerut. "Jelas, kamu akan menjadi istriku selamanya. Kita akan membesarkan anak ki
Aldrich memejamkan mata, mengerang kesal karena Eleanora sangat suka berteriak padanya setelah hamil."Sekarang berbaliklah, aku sudah selesai," bisiknya karena putra mereka kembali tertidur.Aldrich menoleh, ia mendapati putra pertamanya memang sudah pulas setelah perut kecilnya terisi. "Dia sangat tampan sepertiku, benar, kan?"Elea mengusap sayang pipi merah anaknya dengan jempol, ia berdehem. "Benar, dia sangat tampan, bahkan aku yang mengandung dan melahirkannya hanya mendapatkan bagian ini," ucapnya secara mengusap lembut bibir anaknya."Berikan padaku, aku akan menggendongnya!" Aldrich sudah menyodorkan tangan, ingin memeluk anaknya sampai pagi kalau bisa. Namun dengan tegas Eleanora menolak dan tetap meminta anaknya dibaringkan agar lebih nyaman."Hanya sebentar, dia merindukanku!""Baringkan dulu, setelah dia bangun kamu bisa bersamanya lagi," ujar Elea tidak ingin ada drama lain. Aldrich belum tidur sejak semalam, kesehatan suaminya harus dijaga."Ah, sayang sekali," ucapnya
"Selamat atas kelahiran putra pertama Anda, nyonya," ucap Jack setelah meletakkan buah yang ia beli di perjalanan tadi.Aladrich masih menimang anaknya. Tadi setelah putra tampannya bangun dan meminta kehidupan lagi, Aladrich langsung menggendong dan tidak melepasnya di dalam box."Terima kasih, tuan Jack," balas Elea tersenyum lembut seperti biasa. Aldrich meletakkan anaknya di box, dan Jack tahu bahwa tuannya sudah ingin mendengar apa yang akan dilaporkan pada tuannya. "Jack ikut denganku!"Jack menelan ludah kasar. Ia melirik nyonya--nya untuk meminta doa. Sementara Elea yang tahu ketakutan Jack hanya terkikik kecil. "Jangan khawatir, Rich tidak akan melakukan hal buruk padamu," kata Elea memberi semangat.Jack melangkah mengikuti tuan--nya. Menutup pintu dengan perlahan dan menghilang dari balik pintu. Elea hanya menghela napas karena sudah berusaha agar suaminya tidak lagi membahas hal yang sudah berlalu. Ia juga tidak tahu siapa yang melakukan itu padanya. Tetapi, Elea yakin
"Itu ... aku, aku ...." mendadak tidak bisa mengatakan apapun."Apa? Kamu rindu juga, ya?" goda Aldrich melihat wajah memerah sang istri."Tidak!" bantah nya tidak ingin diketahui bahwa terkadang ia rindu Aldrich, ingin memeluk tetapi sadar bahwa pernikahan mereka hanya sementara. Elea takut jika ia merasa nyaman dan terluka disaat yang bersamaan."Benarkah? Tapi, aku melihat yang lain, kamu bahkan sampai memakai kemejaku," ujar Aldrich ingin melihat sampai mana kejujuran Elea, dia suka melihat rona merah di wajah sang istri. Terlihat sangat manis.Ela langsung menoleh karena tertangkap. Bagaimana bisa ketahuan sementara dia melepas kemeja itu sebelum Aladrich menyadari semuanya. Dan itu ia lakukan selama kehamilannya. "Kenapa tidak jujur saja padaku? Aku juga terkadang merindukanmu," akunya membuat Elea semakin tidak percaya."Rich, aku ... mana berani aku jujur, kamu tentu tidak akan suka mendengarnya," jujurnya meremas jarinya.Aladrich duduk dipinggir ranjang. "Maaf ya, sudah memb
"Kamu itu selalu cantik, kenapa suka sekali berdiri lama di depan cermin, hem?" Aldrich mendekat dan memeluk istrinya dari belakang, mengecup pelang punggung terbuka yang mulus dan halus.Sudah dua minggu lebih dari pulangnya Eleanora dari rumah sakit, mereka akan mengadakan acara kecil untuk penyambutan si tampan Calix Evander.Aldrich sengaja memanggil beberapa orang media untuk memberitahu publik bahwa istri dan anaknya dalam keadaan yang sehat. Aldrich ingin melihat apa yang akan pelaku lakukan melihat kebahagiaan kecil mereka."Rich, apa kamu memang semanis ini?" "Ya, aku memang manis, apa kamu lupa di malam kita--," Aldrich berdehem, ia menetralkan wajahnya karena merasa salah bicara. "Aku memang manis, lebih manis dari mantan kekasihmu si Julian itu," katanya mengalihkan topik.Elea yang awalnya sudah tahu Aldrich akan membahas apa langsung membuang muka, ia malu jika harus mengingat apa yang pernah mereka lakukan. Tidak hanya itu, rasa kesalnya juga sebanding dengan rasa malu
"Selamat atas kelahiran putramu, Eleanora," ucap seseorang di belakang dengan sebuah kotak.besar di tangannya.Elea menahan napas, ia mencari dimana keberadaan Aldrich tetapi tidak juga terlihat."Elea, apakah aku bisa masuk?"Yang dipanggil menoleh perlahan. Ia menampilkan senyum kecil untuk menghilang kan kegugupannya. Julian mendekat perlahan dan dapat melihat wajah tampan si bayi di dalam ranjang kayu dengan ukiran yang indah."Dia sangat tampan, mirip denganmu dan--,""Terima kasih karena menyempatkan hadir, dimana Fera, dia tidak datang bersamamu?" ucap Elea memotong ucapan Julian serta berharap Aldrich segera datang.Julian meletakkan hadiah yang ia bawa di atas nakas, berjejer dengan hadiah-hadiah lain yang ia tahu harganya pasti sangat fantastis."Dia kembali ke rumah orang tuanya. Mungkin membutuhkan waktu untuk berpikir," ujarnya masih menatap lembut pada Eleanora."Kalian bertengkar?"Julian menggeleng. "Aku tidak tahu bagaimana perasaanku saat menikah dengannya. Aku meras
Sampai di apartemennya, Julian melempar semua yang bisa dijangkau oleh tangannya. Napas nya terengah hebat. Emosinya memuncak. "Tidak mungkin, aku tidak akan percaya carita murahan ini," katanya memejamkan mata menahan sakit akibat pukulan membabi buta preman-preman tadi."Aku akan menemukan siapa dalangnya, aku akan membuatnya menyesal karena sudah memfitnah Eleanora. Ya, aku akan membuat siapapun itu menyesal karena luka-luka yang kudapatkan."Julian masuk ke dalam kamar dengan tertatih, semakin marah karena tidak menemukan Fera di dalam kamar. Istrinya itu sudah berani melakukan ancaman murahan kepadanya.Julian meraih ponselnya dan menekan nomor yang dia hafal. "Kamu dimana? Kalau sore ini kamu tidak ada di apartemen maka kita lebih baik bercerai," ucapnya sebelum membuang ponselnya di kasur dan mengerang marah."Wanita sialan, seenaknya dia mau mengatur hidupku," umpatnya marah menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya."Hah! Eleanora, apakah kamu memang yang melakukannya? Apakah se
Elea menahan napas, deru napasnya memburu, dia ingin lari dari situasi ini tetapi kakinya lemas. Aldrich menyeringai karena tahu Elea sudah tidak bisa berkutik.Tangan kekarnya menarik pelan tubuh sang istri, menempelkannya dengan tubuh mereka berdua hingga napas hangat itu menyapu wajah putihnya."Rich ... apa yang kamu lakukan?" ucapnya terbata menahan diri agar terjatuh. Aroma Aldrich selalu membuatnya tak berdaya."Aku hanya rindu, apakah salah?" bisiknya dengan suara serak.Elea yang sejak tadi tidak bisa tahan dengan aroma tubuh suaminya, menggeleng. Sejujurnya sudah lama ia menginginkan sebuah pelukan tetapi takut jika Aldrich menolaknya."Kalau begitu, apakah aku bisa memelukmu, Baby?" pertanyaan yang seharusnya tidak Aladrich tanyakan. Karena Elea tentu malu menjawabnya."Elea, boleh ya? Aku merindukanmu sudah lama, memandangmu setiap malam membuatku tidak tahan, tetapi karena menghargaimu, aku--,""Peluk saja, kenapa meminta izin," ucapnya sedikit ketus tetapi dengan wajah m