"Aku ... Hah ...."
Arta menggantung ucapannya lalu mengalihkan pandangannya ke sembarang arah sambil membuang nafas kasar. Seketika Ayla merasakan sesak di dadanya saat melihat sikap sang suami. 'Harusnya tidak seperti ini,' batin Ayla. 'Tapi kenapa ekspresinya terlihat begitu kacau?' batinnya lagi.'Tidak. Bukan soal ibu, aku tahu seperti apa pun masalah yang bersangkutan dengan ibu, Mas Arta selalu mencari solusi padaku. Tatapannya selalu lembut dan penuh harap. Tapi ini lain.' Ayla terus bermonolog di dalam hatinya. Pikirannya berkecamuk atas segala praduga yang dia kira-kira."Ada apa Mas?" tanya Ayla pada akhirnya.Suaranya terdengar lembut, dan seolah penuh ketenangan. Berbanding terbalik dengan apa yang sebenarnya Ayla rasakan. Meski begitu, jemarinya yang tak henti bergerak-gerak, adalah sebuah kebiasaan jika ia merasa gugup dan gelisah. Hingga Arta membuka suara, barulah Ayla menatap sang suami yang ternyata tengah menatapinya sejak tadi."Sepertinya kita tidak bisa seperti ini terus Ayla."Deg!"M-maksud mas?" gagap Ayla.Ayla hampir saja berteriak namun pita suaranya seolah tercekat. Ungkapan Arta itu bukanlah kemungkinan yang ingin ia dengar. Bahkan ia tak mengira sama sekali bahwa Arta akan mengatakan hal itu. Dia menggeleng mencoba menampik kemungkinan yang ia pikirkan."Aku ingin berpisah darimu," ulang Arta dengan kalimat yang lebih jelas."Semuanya tidak akan berjalan dengan baik jika terus begini." Arta berbicara tanpa berkedip sama sekali."Selama ini aku selalu diam meski mengetahui kau tidak akur dengan Ibu dan Nengsih. Aku selalu merasa yakin kau yang tumbuh mandiri pasti bisa mengatasi semuanya. Tapi ternyata ekspetasiku tentangmu terlalu berlebihan. Kau tega membuat Ibu hingga seperti itu," ujarnya.Arta berbicara tanpa jeda, seolah enggan Ayla menimpali ucapannya sebelum apa yang ingin ia sampaikan tuntas. Bahkan kelopak matanya yang bergetar, tak ia hiraukan. Seolah jika ia berkedip sekali saja, air mata akan membanjiri pipinya. Meski ucapan Arta yang datar seolah tanpa emosi, namun bagi Ayla malah terdengar seperti guntur di siang bolong diiringi suara petir yang saling menyambar."Mas ...." Suara Ayla bergetar diikuti bulir air mata yang tak tertahankan. Ia tahu apa yang membuat Arta ingin berpisah darinya."Bukan aku yang melakukannya Mas!" bela Ayla sembari memegangi dada kirinya."Ayla, Ibu tidak memiliki masalah dengan siapa pun selain denganmu." Tatapan Arta yang biasanya lembut dan penuh kasih, kini menusuk dan menghujam hati Ayla."Padahal jika kau tak melakukan itu, aku akan selalu membelamu. Tapi kau malah tega! Kau wanita yang sangat kucintai dan kupercaya Ayla! Kau!" ucapan Arta terhenti lalu ia mengusap wajahnya."Mas-" ucap Ayla sambil menatap nanar wajah Arta.Ayla terlihat sungguh tersiksa dan tak berdaya. Hingga kata-katanya tak bisa ia lanjutkan. Meski begitu air mata terus mengalir tanpa henti. Ia menatap sendu kepada Arta, berharap sang belahan jiwa mengiba pada dirinya."Kau tega meracuni ibu! Memangnya apa yang sudah Ibuku lakukan padamu sampai kau melakukan itu!" bentak Arta sambil memegang erat jemari Ayla.Meremas nya seolah ingin menyalurkan seluruh perasaan yang ia rasakan pada Ayla. Betapa sakit yang sebenarnya Arta rasakan. Bahkan sebenarnya ia tak sampai hati melihat Ayla bersedih. Arta merasa terpukul dan tak berdaya."Mas percayalah," lirih Ayla memelas.Namun mulutnya terasa kelu. Ayla tak mampu mengatakan apa pun. Hanya bulir hangat yang menjadi saksi bisu tentang perasaan Ayla yang sebenarnya. Namun Arta membuang muka seolah takut air mata Ayla melemahkan niat hatinya yang sudah ia mantapkan."Dokter bilang di dalam tubuhnya terdeteksi racun yang kuat dari jamur yang sangat beracun." Arta menghentikan ucapannya sesekali, diselingi helaan nafas yang berat menahan amarah yang bergejolak di dadanya."Dan hanya kau yang memasak di rumah. Tidak mungkin Ibu dengan sengaja mengonsumsinya. Bahkan Nengsih bilang kau sudah tahu dari sebelumnya kalo ibu keracunan bukannya kena santet.""Alasan apa yang bakal kau katakan padaku dengan semua bukti itu?" Arta menatap tajam kedua manik mata Ayla dengan putus asa."Mas. Sungguh bukan aku yang memberikannya, aku-""Tidak Ayla. Kita harus berpisah. Aku memang mencintaimu. Bahkan sangat mencintaimu. Tapi aku juga tidak mau kehilangan Ibuku secepat ini dengan begitu tiba-tiba," katanya menyela ucapan Ayla."Aku bisa merasakan seberapa besar kau membenci Ibu. Meski sudah sering kukatakan bahwa sikap Ibu memang seperti itu, tapi kau tak pernah mau mengerti," tambah Arta tanpa mau mendengar Ayla membuka mulut sama sekali.Mulut Ayla terkatup rapat, menahan luapan emosi yang hampir membuncah. Terlihat sekeliling mulai ramai pengunjung. Beberapa pelanggan resto bahkan diam-diam mencuri lirik ke arah mereka. Akan sangat memalukan jika Ayla meraung memohon pada sang suami, pikir Ayla."Dengan ini ... aku menalakmu Ayla," ucap Arta pada akhirnya.Jder!Hujan pun turun setelah gemuruh guntur berhenti menggema. Begitulah badai, selalu datang seolah ingin turut serta mengekspresikan suasana hati mereka yang luluh lantah. Pandangan Ayla mengabur, kepalanya seolah berputar. Namun pertahanan diri Ayla yang bagus, tak membiarkannya kehilangan kesadaran sepenuhnya.Namun pikirannya seketika hampa. Entah apalagi yang terjadi setelahnya. Yang pasti, saat Ayla tersadar, Arta sudah tak ada di hadapannya. Jika saja tak ada seonggok amplop dengan catatan di atasnya, mungkin saja Ayla akan menganggap semua yang terjadi hanya sebuah mimpi.Amplop itu berisi segepok uang ditaruh di atas meja di hadapannya. Pasti Arta lah yang meninggalkannya. Namun meski Ayla sudah memastikan bahwa benar isi amplop itu adalah uang, hal itu sama sekali tak menghiburnya. Hatinya tetap terluka.Note*"Jangan kembali ke panti asuhanmu yang dulu. Sewa lah tempat tinggal di tempat yang layak."Sederet tulisan singkat di atas amplop itu terasa menusuk matanya."Jangan kembali ke panti asuhanmu dulu. Sewa lah tempat tinggal di tempat yang layak."Begitu isi catatan itu. Sebuah ungkapan halus untuk mengusir Ayla dari rumahnya. Ayla pun tersenyum kecut membacanya. "Apa yang sudah kuperbuat hingga menerima perlakuan seperti ini?" monolog Ayla."Permisi mba, restonya sudah mau tutup. Maaf," kata seorang pelayan tiba-tiba.Memang sejak tadi pun, sang pelayan terus memerhatikan wanita berparas anggun itu. Menerima senyuman tulus sang pelayan, Ayla mengangguk. Ia pun segera berdiri setelah mengemasi barang-barangnya, lalu memasukkannya ke dalam tas selempang kecil berwarna hitam. "Saya mau tutup karna gak ada pelanggan mbak, biasanya jam 5 tutupnya," tambah pelayan wanita itu seolah menghibur Ayla dan agar tak terkesan seperti tengah mengusir.Pelayan itu memang menyaksikan semuanya sejak awal. Melihat senyuman miris sang pelayan yang terlihat kasihan pada Ayla. Ayla pun menanggapinya kembali dengan senyuman lantas melengos pergi. Dengan gontai
Ayla menutup mulutnya dengan telapak tangan saat melihat sosok tak terduga di hadapannya. "Z-Zael?" gagap Ayla. Pria berperawakan tinggi itu menampilkan senyum terbaiknya saat mendengar sapaan Ayla. Deretan geliginya yang bergingsul membuatnya tampak lebih manis saat tersenyum. Lelaki yang tak lain adalah sahabat lama Ayla itu, tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya saat bertemu kembali dengan Ayla. "Hehe. Hai Ayla, ngapain ujan-ujan gini bengong di luar kafe? Abis diusir suami ya?" kelakar Zael membuat Ayla tersentak kaget. Deg!"Ap-apa?" gagap Ayla lagi dengan wajah panik. "Ya ampun Ayla kamu ini ngga berubah ya. Aku bercanda kali!" kekeh Zael sambil menepuk bahu Ayla. Zael melangkah maju lalu menaruh payung yang ia genggam di sampingnya. Sedangkan Ayla menghela nafas lega saat menyadari bahwa apa yang Zael katakan hanya sekedar gurauan. Dalam hati ia merasa takut bahwa apa yang menimpanya diketahui pria yang k
“Sebenernya aku balik ke Indo karna suami mama meninggal. Jadi aku mau nemenin mama dulu sampe mama baikan,” ungkap Zael tak tiba-tiba.Ayla tersentak kaget mendengar ungkapan tak terduga dari Zael tersebut. Namun ia tak memperlihatkan ekspresi apapun. Ayla tahu, bahwa hubungan Zael dengan sang ayah tak baik lantaran ayah Zael pernah menduakan ibunya.“Kalo begitu sedang apa kau di sini? Bukankah seharusnya kamu menemani Mamah? Mamah pasti sangat terpukul.”“Hahaha, harusnya sih begitu. Tapi tadi Mama usir aku karna aku marahin mamah yang nangis terus. “ Zael tertawa renyah mengingat nasib dirinya yang ironi. Ayla mengulas senyum tanda merespons. “Trus gimana dong?”tanyanya prihatin.“Alah, bentaran lagi juga mama telpon,” hibur Zael pada dirinya sendiri. Meski begitu, ada kekhawatiran tersirat di wajahnya. Namun benar saja. Tak lama kemudain ponselnya berdering. Tertera nama Mom di layar ponselnya. Ia pun segera mengangkatnya. [Kamu dimana?] Suara lembut
Sepatu yang Zael gunakan melesat karena lantai yang licin. Sayangnya Zael cukup sigap untuk terjatuh. Ia segera menahan dirinya dengan menumpukkan lututnya ke besi pegangan tangga. Alhasil Zael dan Ayla masih terselamatkan."See? Gerak dikit aja ampir jatoh kan?" bisik Zael sambil menahan nafas lantaran kini wajah mereka terlalu dekat. Glek!Ayla segera memalingkan wajahnya karena malu. Zha ... El ....!" teriaknya frustrasi. ***Ayla menghela nafas panjang sembari memejamkan kelopak matanya. Ia mencoba menenangkan diri atas semua rentetan kejadian yang begitu tiba-tiba baginya itu. Mulai dari sang mertua yang tetiba dilarikan ke rumah sakit, hingga perpisahannya dengan Arta yang begitu menyakitkan baginya. Lalu kini, ia duduk di kursi belakang mobil Zael. "Berat banget ya hidupnya mba?" canda Zael yang ternyata sedari tadi meliriknya dari kaca spion depan mobil."Udah tau, ngapain nanyak!" cibir Ayla sambil mengerucutkan bibirnya lalu mendengus."Dih malah marah. Enak dianterin. an
"Argkh!" Lengkingan sebuah suara yang ketakutan memekakkan telinga siapa pun yang mendengarnya. Pun Ayla yang tengah tertidur pulas, seketika ia terjaga. Lantas terduduk dalam keadaan ingatan yang belum terkumpul. Dikerjapkannya kedua manik mata legamnya, lantas ia melirik jam di dinding. Pukul satu malam.Kembali ia tajamkan Indra pendengarnya, memastikan apa yang baru saja membangunkannya. Mungkin hanya sekedar mimpi. Pikirnya. Namun ternyata suara itu kembali terdengar. Perempuan berparas ayu itu pun sontak beringsut ke sudut ranjang."Argkh! Setan! Pergi! Pergi!" teriak suara itu lagi."Ibu?" gumam Ayla ragu. "Benar. Itu suara mertuaku," tambahnya dengan ekspresi wajah panik.Sementara itu, dari tempat suara, terlihat wanita paruh baya tengah menyeret tubuhnya sendiri ke sudut ranjang sembari meraung-raung mencakar-cakar udara. Tatapannya kosong namun dipenuhi kengerian. Di sampingnya seorang gadis tengah gemetar ketakutan sambil mencoba meraih lengan wanita yang tak lain ibunya
"Ibu!" teriak Nengsih yang lalu berhambur merangkul sang Ibu yang masih mengejang hendak memuntahkan lagi isi perutnya. Ayla yang berada di dekat pintu, ikut mendekat lalu hendak membantu Nengsih meraih Riya yang meringkuk di atas lantai. Namun secepat kilat Nengsih menepis tangan Ayla.Plak!"Liat kan? Apa lagi kalau bukan santet?" pekik Nengsih sambil menatap Ayla dengki, lalu berbalik menatapi wajah sang Ibu dengan penuh kekhawatiran disertai rasa takut, jijik dan ngeri. "Percayalah dik. Yang Ibu butuh itu rumah sakit. Ayo papah Ibu, biar kakak yang bawa motor," lirih Ayla memelas. Seolah mengetahui penyebab yang diderita sang mertua, Ayla kukuh meyakinkan Nengsih untuk segera membawa Riya ke rumah sakit. Tersirat jelas kekhawatiran dan kecemasan di wajah Ayla. Tanpa ia sadari, bulir basah yang hangat pun terjatuh di sudut matanya. Ia merasa tak sanggup lagi melihat wanita yang melahirkan suaminya itu tak berdaya merintih kesakitan. "Tolong pergi aja kalo lu gak mau bantu! Bia
"Apa maksud Paman bilang gitu?" tanya Nengsih dengan suara bergetar. Namun Awan malah melirik ke arah Ayla tanpa mengatakan apapun. "Oh ... Gitu ya. Lu hasut Paman ternyata!" tuduh Nengsih.Sembari mengangguk-anggukkan wajahnya, Nengsih melotot ke arah Ayla. Namun Ayla seolah tak paham apa yang Nengsih maksudkan. Ayla justru malah melirik Awan seolah ingin tahu apa maksudnya. Awan yang mengerti kebingungan Ayla, segera membuka suara. "Tutup mulutmu Nengsih!" sergah Awan."Pikiran busukmu itu sudah mendarah daging! Bahkan disaat seperti ini kau tidak belajar. Padahal hanya Kakak iparmu ini yang selalu ada, tapi ...." Awan menggantung ucapannya lantas menghela nafas lemah seolah meredam emosinya dengan susah payah lalu mendekat ke arah Riya. "Masa bodoh lah dengan pikiranmu itu!" gerundel Awan tak mau ambil pusing menyikapi sikap kekanakkan Nengsih."Riya, ini ulahmu sendiri yang selalu bermulut pedas. Kata-katamu sendirilah yang menghukum dirimu. Bahkan seandainya dokter pun, mungk
"Siapa lagi kalo bukan kau!" seru Riya.Mendengar tuduhan kukuh sang ipar, Awan mendekatkan wajahnya ke arah Riya. Lalu berbisik. Hampir tak terdengar sama sekali jika saja Ayla tidak dengan sengaja menajamkan indra pendengarnya karena penasaran. "Ini ulah adikmu sendiri. Inilah karmamu," bisik Awan diakhiri tawa kecil lalu menutup mulutnya saat menyadari Ayla tengah memperhatikannya. "Tidak!" teriak Riya."Tidak mungkin! Rida sudah mati! Dia tak bisa membalaskan dendamnya padaku!" teriaknya lagi dengan ketakutan."Awan selamatkanlah aku! Kumohon Awan aku tahu kau dendam padaku, maafkanlah aku! Tolong aku Awan!" raung Riya sembari menggapai-gapai udara mencari Awan. "Paman, aku mohon bantulah ibu. Aku tak bisa melakukannya sendiri. Kumohon paman." Ayla memelas dengan suara yang teramat memilukan. Ia sungguh tak tahan melihat kondisi sang mertua yang mengkhawatirkan. "Ya, Ayla. Sebaiknya kita bawa ibu mertuamu ini ke rumah sakit sebelum anak bodohnya kembali. Ayo!" Setelah menghela
Sepatu yang Zael gunakan melesat karena lantai yang licin. Sayangnya Zael cukup sigap untuk terjatuh. Ia segera menahan dirinya dengan menumpukkan lututnya ke besi pegangan tangga. Alhasil Zael dan Ayla masih terselamatkan."See? Gerak dikit aja ampir jatoh kan?" bisik Zael sambil menahan nafas lantaran kini wajah mereka terlalu dekat. Glek!Ayla segera memalingkan wajahnya karena malu. Zha ... El ....!" teriaknya frustrasi. ***Ayla menghela nafas panjang sembari memejamkan kelopak matanya. Ia mencoba menenangkan diri atas semua rentetan kejadian yang begitu tiba-tiba baginya itu. Mulai dari sang mertua yang tetiba dilarikan ke rumah sakit, hingga perpisahannya dengan Arta yang begitu menyakitkan baginya. Lalu kini, ia duduk di kursi belakang mobil Zael. "Berat banget ya hidupnya mba?" canda Zael yang ternyata sedari tadi meliriknya dari kaca spion depan mobil."Udah tau, ngapain nanyak!" cibir Ayla sambil mengerucutkan bibirnya lalu mendengus."Dih malah marah. Enak dianterin. an
“Sebenernya aku balik ke Indo karna suami mama meninggal. Jadi aku mau nemenin mama dulu sampe mama baikan,” ungkap Zael tak tiba-tiba.Ayla tersentak kaget mendengar ungkapan tak terduga dari Zael tersebut. Namun ia tak memperlihatkan ekspresi apapun. Ayla tahu, bahwa hubungan Zael dengan sang ayah tak baik lantaran ayah Zael pernah menduakan ibunya.“Kalo begitu sedang apa kau di sini? Bukankah seharusnya kamu menemani Mamah? Mamah pasti sangat terpukul.”“Hahaha, harusnya sih begitu. Tapi tadi Mama usir aku karna aku marahin mamah yang nangis terus. “ Zael tertawa renyah mengingat nasib dirinya yang ironi. Ayla mengulas senyum tanda merespons. “Trus gimana dong?”tanyanya prihatin.“Alah, bentaran lagi juga mama telpon,” hibur Zael pada dirinya sendiri. Meski begitu, ada kekhawatiran tersirat di wajahnya. Namun benar saja. Tak lama kemudain ponselnya berdering. Tertera nama Mom di layar ponselnya. Ia pun segera mengangkatnya. [Kamu dimana?] Suara lembut
Ayla menutup mulutnya dengan telapak tangan saat melihat sosok tak terduga di hadapannya. "Z-Zael?" gagap Ayla. Pria berperawakan tinggi itu menampilkan senyum terbaiknya saat mendengar sapaan Ayla. Deretan geliginya yang bergingsul membuatnya tampak lebih manis saat tersenyum. Lelaki yang tak lain adalah sahabat lama Ayla itu, tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya saat bertemu kembali dengan Ayla. "Hehe. Hai Ayla, ngapain ujan-ujan gini bengong di luar kafe? Abis diusir suami ya?" kelakar Zael membuat Ayla tersentak kaget. Deg!"Ap-apa?" gagap Ayla lagi dengan wajah panik. "Ya ampun Ayla kamu ini ngga berubah ya. Aku bercanda kali!" kekeh Zael sambil menepuk bahu Ayla. Zael melangkah maju lalu menaruh payung yang ia genggam di sampingnya. Sedangkan Ayla menghela nafas lega saat menyadari bahwa apa yang Zael katakan hanya sekedar gurauan. Dalam hati ia merasa takut bahwa apa yang menimpanya diketahui pria yang k
"Jangan kembali ke panti asuhanmu dulu. Sewa lah tempat tinggal di tempat yang layak."Begitu isi catatan itu. Sebuah ungkapan halus untuk mengusir Ayla dari rumahnya. Ayla pun tersenyum kecut membacanya. "Apa yang sudah kuperbuat hingga menerima perlakuan seperti ini?" monolog Ayla."Permisi mba, restonya sudah mau tutup. Maaf," kata seorang pelayan tiba-tiba.Memang sejak tadi pun, sang pelayan terus memerhatikan wanita berparas anggun itu. Menerima senyuman tulus sang pelayan, Ayla mengangguk. Ia pun segera berdiri setelah mengemasi barang-barangnya, lalu memasukkannya ke dalam tas selempang kecil berwarna hitam. "Saya mau tutup karna gak ada pelanggan mbak, biasanya jam 5 tutupnya," tambah pelayan wanita itu seolah menghibur Ayla dan agar tak terkesan seperti tengah mengusir.Pelayan itu memang menyaksikan semuanya sejak awal. Melihat senyuman miris sang pelayan yang terlihat kasihan pada Ayla. Ayla pun menanggapinya kembali dengan senyuman lantas melengos pergi. Dengan gontai
"Aku ... Hah ...."Arta menggantung ucapannya lalu mengalihkan pandangannya ke sembarang arah sambil membuang nafas kasar. Seketika Ayla merasakan sesak di dadanya saat melihat sikap sang suami. 'Harusnya tidak seperti ini,' batin Ayla. 'Tapi kenapa ekspresinya terlihat begitu kacau?' batinnya lagi.'Tidak. Bukan soal ibu, aku tahu seperti apa pun masalah yang bersangkutan dengan ibu, Mas Arta selalu mencari solusi padaku. Tatapannya selalu lembut dan penuh harap. Tapi ini lain.' Ayla terus bermonolog di dalam hatinya. Pikirannya berkecamuk atas segala praduga yang dia kira-kira. "Ada apa Mas?" tanya Ayla pada akhirnya. Suaranya terdengar lembut, dan seolah penuh ketenangan. Berbanding terbalik dengan apa yang sebenarnya Ayla rasakan. Meski begitu, jemarinya yang tak henti bergerak-gerak, adalah sebuah kebiasaan jika ia merasa gugup dan gelisah. Hingga Arta membuka suara, barulah Ayla menatap sang suami yang ternyata tengah menatapinya sejak tadi."Sepertinya kita tidak bisa seperti
"Hati-hati Mas, semoga semuanya baik-baik saja," bisik Ayla menenangkan dirinya sendiri. Rasa hampa seketika muncul menyelinap masuk ke dalam hatinya yang tengah dirundung kegundahan. Kekosongan baginya ternyata lebih menakutkan dari pada rasa ngeri yang tadi ia rasakan saat menyaksikan apa yang menimpa Ibu mertuanya. Bersama suara deru mobil yang kian menjauh, kekhawatiran semakin membesar ia rasakan. Tentang apa yang kemungkinan terjadi nantinya. Ayla melangkahkan kakinya masuk perlahan ke dalam rumah yang sudah tak asing baginya itu. Rumah yang selama tiga tahun usia pernyakahannya itu sudah menjadi tempat bernaungnya. Atap yang menyelamatkannya dari terik dan hujan. Pada kenyatannya, rumah itu tidak lebih baik dibanding panti asuhan yang menyelamatkannya dari emperan toko saat ia masih kecil dulu. "Ayla! Nasi abis! Suami mau berangkat kerja malah diam aja!" Lengkingan suara Riya seketika membuat Ayla yang tengah melamun terkejut. Tubuhnya gemetar, ia yang terbiasa mendapat puk
"Siapa lagi kalo bukan kau!" seru Riya.Mendengar tuduhan kukuh sang ipar, Awan mendekatkan wajahnya ke arah Riya. Lalu berbisik. Hampir tak terdengar sama sekali jika saja Ayla tidak dengan sengaja menajamkan indra pendengarnya karena penasaran. "Ini ulah adikmu sendiri. Inilah karmamu," bisik Awan diakhiri tawa kecil lalu menutup mulutnya saat menyadari Ayla tengah memperhatikannya. "Tidak!" teriak Riya."Tidak mungkin! Rida sudah mati! Dia tak bisa membalaskan dendamnya padaku!" teriaknya lagi dengan ketakutan."Awan selamatkanlah aku! Kumohon Awan aku tahu kau dendam padaku, maafkanlah aku! Tolong aku Awan!" raung Riya sembari menggapai-gapai udara mencari Awan. "Paman, aku mohon bantulah ibu. Aku tak bisa melakukannya sendiri. Kumohon paman." Ayla memelas dengan suara yang teramat memilukan. Ia sungguh tak tahan melihat kondisi sang mertua yang mengkhawatirkan. "Ya, Ayla. Sebaiknya kita bawa ibu mertuamu ini ke rumah sakit sebelum anak bodohnya kembali. Ayo!" Setelah menghela
"Apa maksud Paman bilang gitu?" tanya Nengsih dengan suara bergetar. Namun Awan malah melirik ke arah Ayla tanpa mengatakan apapun. "Oh ... Gitu ya. Lu hasut Paman ternyata!" tuduh Nengsih.Sembari mengangguk-anggukkan wajahnya, Nengsih melotot ke arah Ayla. Namun Ayla seolah tak paham apa yang Nengsih maksudkan. Ayla justru malah melirik Awan seolah ingin tahu apa maksudnya. Awan yang mengerti kebingungan Ayla, segera membuka suara. "Tutup mulutmu Nengsih!" sergah Awan."Pikiran busukmu itu sudah mendarah daging! Bahkan disaat seperti ini kau tidak belajar. Padahal hanya Kakak iparmu ini yang selalu ada, tapi ...." Awan menggantung ucapannya lantas menghela nafas lemah seolah meredam emosinya dengan susah payah lalu mendekat ke arah Riya. "Masa bodoh lah dengan pikiranmu itu!" gerundel Awan tak mau ambil pusing menyikapi sikap kekanakkan Nengsih."Riya, ini ulahmu sendiri yang selalu bermulut pedas. Kata-katamu sendirilah yang menghukum dirimu. Bahkan seandainya dokter pun, mungk
"Ibu!" teriak Nengsih yang lalu berhambur merangkul sang Ibu yang masih mengejang hendak memuntahkan lagi isi perutnya. Ayla yang berada di dekat pintu, ikut mendekat lalu hendak membantu Nengsih meraih Riya yang meringkuk di atas lantai. Namun secepat kilat Nengsih menepis tangan Ayla.Plak!"Liat kan? Apa lagi kalau bukan santet?" pekik Nengsih sambil menatap Ayla dengki, lalu berbalik menatapi wajah sang Ibu dengan penuh kekhawatiran disertai rasa takut, jijik dan ngeri. "Percayalah dik. Yang Ibu butuh itu rumah sakit. Ayo papah Ibu, biar kakak yang bawa motor," lirih Ayla memelas. Seolah mengetahui penyebab yang diderita sang mertua, Ayla kukuh meyakinkan Nengsih untuk segera membawa Riya ke rumah sakit. Tersirat jelas kekhawatiran dan kecemasan di wajah Ayla. Tanpa ia sadari, bulir basah yang hangat pun terjatuh di sudut matanya. Ia merasa tak sanggup lagi melihat wanita yang melahirkan suaminya itu tak berdaya merintih kesakitan. "Tolong pergi aja kalo lu gak mau bantu! Bia