"Hati-hati Mas, semoga semuanya baik-baik saja," bisik Ayla menenangkan dirinya sendiri.
Rasa hampa seketika muncul menyelinap masuk ke dalam hatinya yang tengah dirundung kegundahan. Kekosongan baginya ternyata lebih menakutkan dari pada rasa ngeri yang tadi ia rasakan saat menyaksikan apa yang menimpa Ibu mertuanya. Bersama suara deru mobil yang kian menjauh, kekhawatiran semakin membesar ia rasakan. Tentang apa yang kemungkinan terjadi nantinya.Ayla melangkahkan kakinya masuk perlahan ke dalam rumah yang sudah tak asing baginya itu. Rumah yang selama tiga tahun usia pernyakahannya itu sudah menjadi tempat bernaungnya. Atap yang menyelamatkannya dari terik dan hujan. Pada kenyatannya, rumah itu tidak lebih baik dibanding panti asuhan yang menyelamatkannya dari emperan toko saat ia masih kecil dulu."Ayla! Nasi abis! Suami mau berangkat kerja malah diam aja!" Lengkingan suara Riya seketika membuat Ayla yang tengah melamun terkejut.Tubuhnya gemetar, ia yang terbiasa mendapat pukulan di panti jika berbuat kesalahan, membuatnya menjadi orang yang berkepribadian penakut dan pengecut.Pak!Tepukan keras dibahunya membuat Ayla tersungkur."Ini teflon impor bisa gosong begini kamu apain! Udah gitu digosok sampe lecet semua lagi!" bentak Riya dilain waktu. Sembari melemparkan teflon hitam ke atas lantai.Prang!"Emang bego sih emang tuh cewek! Maklumin aja buk! Orang deso!" hardik Nengsih mengompori."Ayla masak sambil nyetrika seragam paskibra Nengsih Buk, maaf," sesal Ayla setulus mungkin.Semua makian, dan perlakuan mereka rasanya masih terus terngiang di telinga Ayla. Saking terasa nyata, ia merasa hampir gila jadinya. Bahkan beberapa pukulan yang pernah Riya lakukan terhadapnya, masih terasa nyeri di bagian tubuhnya. Rasa marah, benci, dan merasa tidak adil bergejolak di dada Ayla.Semua perasaan negatif itu bergumul dengan perasaan bersalah dan penyesalan yang terakhir ia buat. Meski hanya setitik, Ayla merasa ikut andil dengan apa yang kini menimpa sang Ibu mertua. Secara langsung ataupun tidak, sepertinya, Ayla tak dapat membenarkan dirinya sendiri.***Drrt! Drrt!Sebuah ponsel bergetar, diiringi dering telpon berbunyi setelahnya. Tanpa membuka mata terlebih dahulu, Ayla langsung meraih gawai yang sengaja ia taruh di atas bantal itu. Menguap, menggeliat, ia pun bangkit sekaligus. Saat menyadari bahwa telponnya bernada dering khusus, ia segera menekan tombol hijau lantas mengangkat telepon itu."Mas? Bagaimana ibu?" tanya Ayla tanpa babibu."Bangun dan siap-siap segera. Mas tunggu di tempat makan biasa. Jangan lama-lama," ucap Arta dengan suara berat.Mendengar hal itu, Ayla segera beringsut ke tepi ranjang. Tanpa menunggu kantuk hilang, ia pun segera bersiap sembari menempelkan ponsel yang diapit kuping dan bahu kanannya. Namun saat ia berjalan melewati lemari besar bercermin, terlihat sosok dirinya yang lusuh dengan rambut yang kumal lantaran habis menangis semalaman. Ia pun berniat untuk meminta izin membersihkan diri dulu kepada Arta."Tapi Mas, aku mandi dulu seben-"Belum tuntas Ayla mengatakan niatnya namun Arta menyela, "cepatlah," titah Arta dengan suara dingin.Seketika Ayla tertegun. Dadanya bergemuruh. Belum pernah rasanya sang suami, Arta berkata dengan nada seperti itu pada dirinya. Entah apa yang sudah terjadi tapi Ayla merasa yakin bahwa pasti Nengsih bicara yang bukan-bukan tentang dirinya."Padahal aku ingin meminta dijemput. Tapi ... pasti Mas Arta sangat lelah, sebaiknya ku urungkan saja," monolog Ayla.Gegas ia membasuh muka lalu berganti pakaian seadanya. Memesan ojek online, ia pun segera berangkat setelah memastikan semua aman lalu mengunci pintu. Sambil berjalan, dengan cemas ia berharap semoga tak terjadi hal yang ia takutkan."Mas!" seru Ayla sambil berhambur menuju sang suami yang tengah duduk di bangku sebuah restoran tempat biasa mereka sarapan.Namun ekspresi Ayla seketika berubah saat melihat di hadapan Arta sudah ada piring kosong. Sepertinya ia baru selesai makan. Tiba-tiba ada rasa kecewa menjalar di hati Ayla. Mengingat ia begitu mengharapkan sarapan bersama dengan sang suami setelah beberapa lama.Namun ia urungkan perasaannya, mencoba untuk berpikir positif. Ia pun menyodorkan lengannya, hendak meraih lengan sang suami untuk menyalami dan mencium tangannya. Namun lagi-lagi Arta hanya terdiam dan malah beralih ke gawai yang ada di genggamannya. Ayla pun tersenyum kecut lalu menarik sebuah kursi."Mas Arta pasti lelah dan lapar sekali, ya," ujar Ayla sambil menjatuhkan bokongnya di atas kursi yang berada di depan Arta."Aku, pesan dulu ya Mas, aku belum makan dari semalan," ucap Ayla lemah."Nanti saja. Cepat duduk," jawab Arta acuh.Deg!"Aku ... Hah ...."Arta menggantung ucapannya lalu mengalihkan pandangannya ke sembarang arah sambil membuang nafas kasar. Seketika Ayla merasakan sesak di dadanya saat melihat sikap sang suami. 'Harusnya tidak seperti ini,' batin Ayla. 'Tapi kenapa ekspresinya terlihat begitu kacau?' batinnya lagi.'Tidak. Bukan soal ibu, aku tahu seperti apa pun masalah yang bersangkutan dengan ibu, Mas Arta selalu mencari solusi padaku. Tatapannya selalu lembut dan penuh harap. Tapi ini lain.' Ayla terus bermonolog di dalam hatinya. Pikirannya berkecamuk atas segala praduga yang dia kira-kira. "Ada apa Mas?" tanya Ayla pada akhirnya. Suaranya terdengar lembut, dan seolah penuh ketenangan. Berbanding terbalik dengan apa yang sebenarnya Ayla rasakan. Meski begitu, jemarinya yang tak henti bergerak-gerak, adalah sebuah kebiasaan jika ia merasa gugup dan gelisah. Hingga Arta membuka suara, barulah Ayla menatap sang suami yang ternyata tengah menatapinya sejak tadi."Sepertinya kita tidak bisa seperti
"Jangan kembali ke panti asuhanmu dulu. Sewa lah tempat tinggal di tempat yang layak."Begitu isi catatan itu. Sebuah ungkapan halus untuk mengusir Ayla dari rumahnya. Ayla pun tersenyum kecut membacanya. "Apa yang sudah kuperbuat hingga menerima perlakuan seperti ini?" monolog Ayla."Permisi mba, restonya sudah mau tutup. Maaf," kata seorang pelayan tiba-tiba.Memang sejak tadi pun, sang pelayan terus memerhatikan wanita berparas anggun itu. Menerima senyuman tulus sang pelayan, Ayla mengangguk. Ia pun segera berdiri setelah mengemasi barang-barangnya, lalu memasukkannya ke dalam tas selempang kecil berwarna hitam. "Saya mau tutup karna gak ada pelanggan mbak, biasanya jam 5 tutupnya," tambah pelayan wanita itu seolah menghibur Ayla dan agar tak terkesan seperti tengah mengusir.Pelayan itu memang menyaksikan semuanya sejak awal. Melihat senyuman miris sang pelayan yang terlihat kasihan pada Ayla. Ayla pun menanggapinya kembali dengan senyuman lantas melengos pergi. Dengan gontai
Ayla menutup mulutnya dengan telapak tangan saat melihat sosok tak terduga di hadapannya. "Z-Zael?" gagap Ayla. Pria berperawakan tinggi itu menampilkan senyum terbaiknya saat mendengar sapaan Ayla. Deretan geliginya yang bergingsul membuatnya tampak lebih manis saat tersenyum. Lelaki yang tak lain adalah sahabat lama Ayla itu, tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya saat bertemu kembali dengan Ayla. "Hehe. Hai Ayla, ngapain ujan-ujan gini bengong di luar kafe? Abis diusir suami ya?" kelakar Zael membuat Ayla tersentak kaget. Deg!"Ap-apa?" gagap Ayla lagi dengan wajah panik. "Ya ampun Ayla kamu ini ngga berubah ya. Aku bercanda kali!" kekeh Zael sambil menepuk bahu Ayla. Zael melangkah maju lalu menaruh payung yang ia genggam di sampingnya. Sedangkan Ayla menghela nafas lega saat menyadari bahwa apa yang Zael katakan hanya sekedar gurauan. Dalam hati ia merasa takut bahwa apa yang menimpanya diketahui pria yang k
“Sebenernya aku balik ke Indo karna suami mama meninggal. Jadi aku mau nemenin mama dulu sampe mama baikan,” ungkap Zael tak tiba-tiba.Ayla tersentak kaget mendengar ungkapan tak terduga dari Zael tersebut. Namun ia tak memperlihatkan ekspresi apapun. Ayla tahu, bahwa hubungan Zael dengan sang ayah tak baik lantaran ayah Zael pernah menduakan ibunya.“Kalo begitu sedang apa kau di sini? Bukankah seharusnya kamu menemani Mamah? Mamah pasti sangat terpukul.”“Hahaha, harusnya sih begitu. Tapi tadi Mama usir aku karna aku marahin mamah yang nangis terus. “ Zael tertawa renyah mengingat nasib dirinya yang ironi. Ayla mengulas senyum tanda merespons. “Trus gimana dong?”tanyanya prihatin.“Alah, bentaran lagi juga mama telpon,” hibur Zael pada dirinya sendiri. Meski begitu, ada kekhawatiran tersirat di wajahnya. Namun benar saja. Tak lama kemudain ponselnya berdering. Tertera nama Mom di layar ponselnya. Ia pun segera mengangkatnya. [Kamu dimana?] Suara lembut
Sepatu yang Zael gunakan melesat karena lantai yang licin. Sayangnya Zael cukup sigap untuk terjatuh. Ia segera menahan dirinya dengan menumpukkan lututnya ke besi pegangan tangga. Alhasil Zael dan Ayla masih terselamatkan."See? Gerak dikit aja ampir jatoh kan?" bisik Zael sambil menahan nafas lantaran kini wajah mereka terlalu dekat. Glek!Ayla segera memalingkan wajahnya karena malu. Zha ... El ....!" teriaknya frustrasi. ***Ayla menghela nafas panjang sembari memejamkan kelopak matanya. Ia mencoba menenangkan diri atas semua rentetan kejadian yang begitu tiba-tiba baginya itu. Mulai dari sang mertua yang tetiba dilarikan ke rumah sakit, hingga perpisahannya dengan Arta yang begitu menyakitkan baginya. Lalu kini, ia duduk di kursi belakang mobil Zael. "Berat banget ya hidupnya mba?" canda Zael yang ternyata sedari tadi meliriknya dari kaca spion depan mobil."Udah tau, ngapain nanyak!" cibir Ayla sambil mengerucutkan bibirnya lalu mendengus."Dih malah marah. Enak dianterin. an
"Argkh!" Lengkingan sebuah suara yang ketakutan memekakkan telinga siapa pun yang mendengarnya. Pun Ayla yang tengah tertidur pulas, seketika ia terjaga. Lantas terduduk dalam keadaan ingatan yang belum terkumpul. Dikerjapkannya kedua manik mata legamnya, lantas ia melirik jam di dinding. Pukul satu malam.Kembali ia tajamkan Indra pendengarnya, memastikan apa yang baru saja membangunkannya. Mungkin hanya sekedar mimpi. Pikirnya. Namun ternyata suara itu kembali terdengar. Perempuan berparas ayu itu pun sontak beringsut ke sudut ranjang."Argkh! Setan! Pergi! Pergi!" teriak suara itu lagi."Ibu?" gumam Ayla ragu. "Benar. Itu suara mertuaku," tambahnya dengan ekspresi wajah panik.Sementara itu, dari tempat suara, terlihat wanita paruh baya tengah menyeret tubuhnya sendiri ke sudut ranjang sembari meraung-raung mencakar-cakar udara. Tatapannya kosong namun dipenuhi kengerian. Di sampingnya seorang gadis tengah gemetar ketakutan sambil mencoba meraih lengan wanita yang tak lain ibunya
"Ibu!" teriak Nengsih yang lalu berhambur merangkul sang Ibu yang masih mengejang hendak memuntahkan lagi isi perutnya. Ayla yang berada di dekat pintu, ikut mendekat lalu hendak membantu Nengsih meraih Riya yang meringkuk di atas lantai. Namun secepat kilat Nengsih menepis tangan Ayla.Plak!"Liat kan? Apa lagi kalau bukan santet?" pekik Nengsih sambil menatap Ayla dengki, lalu berbalik menatapi wajah sang Ibu dengan penuh kekhawatiran disertai rasa takut, jijik dan ngeri. "Percayalah dik. Yang Ibu butuh itu rumah sakit. Ayo papah Ibu, biar kakak yang bawa motor," lirih Ayla memelas. Seolah mengetahui penyebab yang diderita sang mertua, Ayla kukuh meyakinkan Nengsih untuk segera membawa Riya ke rumah sakit. Tersirat jelas kekhawatiran dan kecemasan di wajah Ayla. Tanpa ia sadari, bulir basah yang hangat pun terjatuh di sudut matanya. Ia merasa tak sanggup lagi melihat wanita yang melahirkan suaminya itu tak berdaya merintih kesakitan. "Tolong pergi aja kalo lu gak mau bantu! Bia
"Apa maksud Paman bilang gitu?" tanya Nengsih dengan suara bergetar. Namun Awan malah melirik ke arah Ayla tanpa mengatakan apapun. "Oh ... Gitu ya. Lu hasut Paman ternyata!" tuduh Nengsih.Sembari mengangguk-anggukkan wajahnya, Nengsih melotot ke arah Ayla. Namun Ayla seolah tak paham apa yang Nengsih maksudkan. Ayla justru malah melirik Awan seolah ingin tahu apa maksudnya. Awan yang mengerti kebingungan Ayla, segera membuka suara. "Tutup mulutmu Nengsih!" sergah Awan."Pikiran busukmu itu sudah mendarah daging! Bahkan disaat seperti ini kau tidak belajar. Padahal hanya Kakak iparmu ini yang selalu ada, tapi ...." Awan menggantung ucapannya lantas menghela nafas lemah seolah meredam emosinya dengan susah payah lalu mendekat ke arah Riya. "Masa bodoh lah dengan pikiranmu itu!" gerundel Awan tak mau ambil pusing menyikapi sikap kekanakkan Nengsih."Riya, ini ulahmu sendiri yang selalu bermulut pedas. Kata-katamu sendirilah yang menghukum dirimu. Bahkan seandainya dokter pun, mungk
Sepatu yang Zael gunakan melesat karena lantai yang licin. Sayangnya Zael cukup sigap untuk terjatuh. Ia segera menahan dirinya dengan menumpukkan lututnya ke besi pegangan tangga. Alhasil Zael dan Ayla masih terselamatkan."See? Gerak dikit aja ampir jatoh kan?" bisik Zael sambil menahan nafas lantaran kini wajah mereka terlalu dekat. Glek!Ayla segera memalingkan wajahnya karena malu. Zha ... El ....!" teriaknya frustrasi. ***Ayla menghela nafas panjang sembari memejamkan kelopak matanya. Ia mencoba menenangkan diri atas semua rentetan kejadian yang begitu tiba-tiba baginya itu. Mulai dari sang mertua yang tetiba dilarikan ke rumah sakit, hingga perpisahannya dengan Arta yang begitu menyakitkan baginya. Lalu kini, ia duduk di kursi belakang mobil Zael. "Berat banget ya hidupnya mba?" canda Zael yang ternyata sedari tadi meliriknya dari kaca spion depan mobil."Udah tau, ngapain nanyak!" cibir Ayla sambil mengerucutkan bibirnya lalu mendengus."Dih malah marah. Enak dianterin. an
“Sebenernya aku balik ke Indo karna suami mama meninggal. Jadi aku mau nemenin mama dulu sampe mama baikan,” ungkap Zael tak tiba-tiba.Ayla tersentak kaget mendengar ungkapan tak terduga dari Zael tersebut. Namun ia tak memperlihatkan ekspresi apapun. Ayla tahu, bahwa hubungan Zael dengan sang ayah tak baik lantaran ayah Zael pernah menduakan ibunya.“Kalo begitu sedang apa kau di sini? Bukankah seharusnya kamu menemani Mamah? Mamah pasti sangat terpukul.”“Hahaha, harusnya sih begitu. Tapi tadi Mama usir aku karna aku marahin mamah yang nangis terus. “ Zael tertawa renyah mengingat nasib dirinya yang ironi. Ayla mengulas senyum tanda merespons. “Trus gimana dong?”tanyanya prihatin.“Alah, bentaran lagi juga mama telpon,” hibur Zael pada dirinya sendiri. Meski begitu, ada kekhawatiran tersirat di wajahnya. Namun benar saja. Tak lama kemudain ponselnya berdering. Tertera nama Mom di layar ponselnya. Ia pun segera mengangkatnya. [Kamu dimana?] Suara lembut
Ayla menutup mulutnya dengan telapak tangan saat melihat sosok tak terduga di hadapannya. "Z-Zael?" gagap Ayla. Pria berperawakan tinggi itu menampilkan senyum terbaiknya saat mendengar sapaan Ayla. Deretan geliginya yang bergingsul membuatnya tampak lebih manis saat tersenyum. Lelaki yang tak lain adalah sahabat lama Ayla itu, tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya saat bertemu kembali dengan Ayla. "Hehe. Hai Ayla, ngapain ujan-ujan gini bengong di luar kafe? Abis diusir suami ya?" kelakar Zael membuat Ayla tersentak kaget. Deg!"Ap-apa?" gagap Ayla lagi dengan wajah panik. "Ya ampun Ayla kamu ini ngga berubah ya. Aku bercanda kali!" kekeh Zael sambil menepuk bahu Ayla. Zael melangkah maju lalu menaruh payung yang ia genggam di sampingnya. Sedangkan Ayla menghela nafas lega saat menyadari bahwa apa yang Zael katakan hanya sekedar gurauan. Dalam hati ia merasa takut bahwa apa yang menimpanya diketahui pria yang k
"Jangan kembali ke panti asuhanmu dulu. Sewa lah tempat tinggal di tempat yang layak."Begitu isi catatan itu. Sebuah ungkapan halus untuk mengusir Ayla dari rumahnya. Ayla pun tersenyum kecut membacanya. "Apa yang sudah kuperbuat hingga menerima perlakuan seperti ini?" monolog Ayla."Permisi mba, restonya sudah mau tutup. Maaf," kata seorang pelayan tiba-tiba.Memang sejak tadi pun, sang pelayan terus memerhatikan wanita berparas anggun itu. Menerima senyuman tulus sang pelayan, Ayla mengangguk. Ia pun segera berdiri setelah mengemasi barang-barangnya, lalu memasukkannya ke dalam tas selempang kecil berwarna hitam. "Saya mau tutup karna gak ada pelanggan mbak, biasanya jam 5 tutupnya," tambah pelayan wanita itu seolah menghibur Ayla dan agar tak terkesan seperti tengah mengusir.Pelayan itu memang menyaksikan semuanya sejak awal. Melihat senyuman miris sang pelayan yang terlihat kasihan pada Ayla. Ayla pun menanggapinya kembali dengan senyuman lantas melengos pergi. Dengan gontai
"Aku ... Hah ...."Arta menggantung ucapannya lalu mengalihkan pandangannya ke sembarang arah sambil membuang nafas kasar. Seketika Ayla merasakan sesak di dadanya saat melihat sikap sang suami. 'Harusnya tidak seperti ini,' batin Ayla. 'Tapi kenapa ekspresinya terlihat begitu kacau?' batinnya lagi.'Tidak. Bukan soal ibu, aku tahu seperti apa pun masalah yang bersangkutan dengan ibu, Mas Arta selalu mencari solusi padaku. Tatapannya selalu lembut dan penuh harap. Tapi ini lain.' Ayla terus bermonolog di dalam hatinya. Pikirannya berkecamuk atas segala praduga yang dia kira-kira. "Ada apa Mas?" tanya Ayla pada akhirnya. Suaranya terdengar lembut, dan seolah penuh ketenangan. Berbanding terbalik dengan apa yang sebenarnya Ayla rasakan. Meski begitu, jemarinya yang tak henti bergerak-gerak, adalah sebuah kebiasaan jika ia merasa gugup dan gelisah. Hingga Arta membuka suara, barulah Ayla menatap sang suami yang ternyata tengah menatapinya sejak tadi."Sepertinya kita tidak bisa seperti
"Hati-hati Mas, semoga semuanya baik-baik saja," bisik Ayla menenangkan dirinya sendiri. Rasa hampa seketika muncul menyelinap masuk ke dalam hatinya yang tengah dirundung kegundahan. Kekosongan baginya ternyata lebih menakutkan dari pada rasa ngeri yang tadi ia rasakan saat menyaksikan apa yang menimpa Ibu mertuanya. Bersama suara deru mobil yang kian menjauh, kekhawatiran semakin membesar ia rasakan. Tentang apa yang kemungkinan terjadi nantinya. Ayla melangkahkan kakinya masuk perlahan ke dalam rumah yang sudah tak asing baginya itu. Rumah yang selama tiga tahun usia pernyakahannya itu sudah menjadi tempat bernaungnya. Atap yang menyelamatkannya dari terik dan hujan. Pada kenyatannya, rumah itu tidak lebih baik dibanding panti asuhan yang menyelamatkannya dari emperan toko saat ia masih kecil dulu. "Ayla! Nasi abis! Suami mau berangkat kerja malah diam aja!" Lengkingan suara Riya seketika membuat Ayla yang tengah melamun terkejut. Tubuhnya gemetar, ia yang terbiasa mendapat puk
"Siapa lagi kalo bukan kau!" seru Riya.Mendengar tuduhan kukuh sang ipar, Awan mendekatkan wajahnya ke arah Riya. Lalu berbisik. Hampir tak terdengar sama sekali jika saja Ayla tidak dengan sengaja menajamkan indra pendengarnya karena penasaran. "Ini ulah adikmu sendiri. Inilah karmamu," bisik Awan diakhiri tawa kecil lalu menutup mulutnya saat menyadari Ayla tengah memperhatikannya. "Tidak!" teriak Riya."Tidak mungkin! Rida sudah mati! Dia tak bisa membalaskan dendamnya padaku!" teriaknya lagi dengan ketakutan."Awan selamatkanlah aku! Kumohon Awan aku tahu kau dendam padaku, maafkanlah aku! Tolong aku Awan!" raung Riya sembari menggapai-gapai udara mencari Awan. "Paman, aku mohon bantulah ibu. Aku tak bisa melakukannya sendiri. Kumohon paman." Ayla memelas dengan suara yang teramat memilukan. Ia sungguh tak tahan melihat kondisi sang mertua yang mengkhawatirkan. "Ya, Ayla. Sebaiknya kita bawa ibu mertuamu ini ke rumah sakit sebelum anak bodohnya kembali. Ayo!" Setelah menghela
"Apa maksud Paman bilang gitu?" tanya Nengsih dengan suara bergetar. Namun Awan malah melirik ke arah Ayla tanpa mengatakan apapun. "Oh ... Gitu ya. Lu hasut Paman ternyata!" tuduh Nengsih.Sembari mengangguk-anggukkan wajahnya, Nengsih melotot ke arah Ayla. Namun Ayla seolah tak paham apa yang Nengsih maksudkan. Ayla justru malah melirik Awan seolah ingin tahu apa maksudnya. Awan yang mengerti kebingungan Ayla, segera membuka suara. "Tutup mulutmu Nengsih!" sergah Awan."Pikiran busukmu itu sudah mendarah daging! Bahkan disaat seperti ini kau tidak belajar. Padahal hanya Kakak iparmu ini yang selalu ada, tapi ...." Awan menggantung ucapannya lantas menghela nafas lemah seolah meredam emosinya dengan susah payah lalu mendekat ke arah Riya. "Masa bodoh lah dengan pikiranmu itu!" gerundel Awan tak mau ambil pusing menyikapi sikap kekanakkan Nengsih."Riya, ini ulahmu sendiri yang selalu bermulut pedas. Kata-katamu sendirilah yang menghukum dirimu. Bahkan seandainya dokter pun, mungk
"Ibu!" teriak Nengsih yang lalu berhambur merangkul sang Ibu yang masih mengejang hendak memuntahkan lagi isi perutnya. Ayla yang berada di dekat pintu, ikut mendekat lalu hendak membantu Nengsih meraih Riya yang meringkuk di atas lantai. Namun secepat kilat Nengsih menepis tangan Ayla.Plak!"Liat kan? Apa lagi kalau bukan santet?" pekik Nengsih sambil menatap Ayla dengki, lalu berbalik menatapi wajah sang Ibu dengan penuh kekhawatiran disertai rasa takut, jijik dan ngeri. "Percayalah dik. Yang Ibu butuh itu rumah sakit. Ayo papah Ibu, biar kakak yang bawa motor," lirih Ayla memelas. Seolah mengetahui penyebab yang diderita sang mertua, Ayla kukuh meyakinkan Nengsih untuk segera membawa Riya ke rumah sakit. Tersirat jelas kekhawatiran dan kecemasan di wajah Ayla. Tanpa ia sadari, bulir basah yang hangat pun terjatuh di sudut matanya. Ia merasa tak sanggup lagi melihat wanita yang melahirkan suaminya itu tak berdaya merintih kesakitan. "Tolong pergi aja kalo lu gak mau bantu! Bia