Tidak seperti saat pertama datang ke rumah itu, mereka masih sering sarapan dan makan malam bersama meskipun sikap Albian tentu saja dingin atau bahkan menganggap Sonia tidak ada di sana. Sekarang mereka memang sering bertemu, tetapi untuk menciptakan konflik.Albian yang selalu sibuk dengan urusan pekerjaan terkadang merenung hampir sepanjang malam. Lelaki itu menatap langit-langit kamar seraya bertanya dalam hati, kapan semua akan selesai dengan semestinya tanpa menutupi kebenaran? Benarkah Jessica sudah berubah?Tidak ada lagi canda dan tawa, semua hanya ketegangan. Bahkan hari itu, langit sore mulai meredup, menyisakan semburat jingga di cakrawala. Megan yang duduk di tepi tempat tidur di kamar Sonia, menatap lantai dengan ekspresi yang sulit ditebak. Sonia yang sedang membaca salah satu dokumen rahasia Jessica melirik ke arah Megan.“Megan, kamu kenapa?” tanyanya pelan.Megan mengangkat wajahnya, tetapi tidak segera menjawab. Mata cokelatnya menyiratkan sesuatu yang dalam, sepert
Matahari menyinari halaman rumah megah keluarga Albian dengan lembut. Di ruang kerjanya, Albian duduk di balik meja besar yang penuh dengan dokumen. Sebagian besar adalah laporan keuangan perusahaan, tetapi di tengah tumpukan itu, sebuah amplop cokelat mencolok perhatian.Tangan Albian terhenti sejenak, matanya tertuju pada amplop itu. Amplop tersebut adalah bukti tambahan yang Megan dan Sonia temukan beberapa hari lalu. Awalnya, dia menolak mempercayai apa yang tertulis di dalamnya, tetapi sesuatu di dalam hatinya memaksanya membuka amplop itu lagi.Kertas di dalamnya kusut, seolah-olah telah digenggam terlalu erat oleh seseorang. Isinya adalah surat-surat rahasia antara Jessica dan Julian. Kalimat-kalimat di sana jelas mengindikasikan bahwa keduanya bersekongkol untuk menghancurkan perusahaan Albian. Namun, ada satu bagian yang benar-benar menghantam dirinya:“Julian, kita harus segera memastikan dokumen ini tidak jatuh ke tangan Albian. Jika tidak, dia akan tahu bahwa aku hanya men
Angin berembus kencang, menggoyangkan ranting-ranting pohon di halaman rumah besar itu. Langit mendung seperti mencerminkan suasana hati Jessica yang gelisah. Dia berdiri di tepi jendela kamarnya, memandang ke luar dengan tatapan tajam. Wajahnya yang biasanya licik kini diliputi ketakutan dan frustrasi.Di meja samping tempat tidurnya, sebuah koper terbuka, terisi penuh dengan pakaian dan beberapa dokumen penting. Jessica melirik ke arah pintu, memastikan tidak ada yang mendengar lalu mengangkat ponselnya. Jari-jarinya gemetar saat dia menekan nomor Julian.“Julian,” bisiknya tegas begitu suara di ujung sana menjawab, “kita harus pergi malam ini. Aku nggak punya pilihan lain.”Suara Julian terdengar enggan. “Malam ini? Kamu yakin? Ini terlalu berisiko.”Jessica memutar bola matanya dengan frustrasi. “Berisiko atau tidak, aku nggak akan tinggal di sini lebih lama. Mas Al mulai mencurigai aku. Kalau aku tetap di sini, semuanya akan berakhir.”Julian terdiam sejenak sebelum akhirnya meny
Langit mulai beranjak gelap ketika Jessica duduk di sebuah sudut ruangan hotel kecil, jauh dari kemewahan rumah besar Albian yang selama ini menjadi tempatnya. Dia memandang keluar jendela, matanya kosong namun pikirannya penuh gejolak. Kopi yang baru saja dipesannya sudah dingin, sama seperti harapannya yang perlahan memudar.Julian duduk di hadapannya, memandang Jessica dengan campuran rasa simpati dan frustrasi. Dia meneguk kopinya, kemudian meletakkan cangkir itu dengan keras di atas meja, membuat Jessica tersentak.“Jessica,” katanya akhirnya, memecah keheningan, “kamu mau terus seperti ini? Lari tanpa tujuan? Kita sudah terlalu jauh dan ini sudah dua hari berlalu.”Jessica mendesah, wajahnya tampak lelah. “Apa lagi yang harus aku lakukan, Julian? Semua yang aku rencanakan hancur. Mas Al nggak percaya padaku lagi. Sonia ... dia berhasil memenangkan hatinya.”Nada Jessica terdengar pahit dan Julian mengerutkan dahi. “Ini semua tentang Sonia, ya? Selalu tentang Sonia. Sampai kapan
Malam itu, angin membawa udara dingin yang menyelinap melalui celah-celah rumah besar keluarga Albian. Di ruang kerja Albian, lampu gantung berkilauan lembut, tetapi kehangatan ruangan itu tidak mampu menyamarkan suasana tegang yang memenuhi udara. Albian duduk di kursinya, tubuh tegapnya tampak goyah, seperti dihimpit beban berat yang tidak terlihat. Di hadapannya, meja kayu besar penuh dengan dokumen-dokumen penting yang berhasil diambil dari tangan Julian sepekan sebelumnya.Satu dokumen terbuka, memperlihatkan rencana yang sangat rinci—rencana Jessica untuk mengambil alih perusahaan Albian jika sesuatu terjadi padanya. Di pojok dokumen itu, ada catatan tangan Jessica yang begitu jelas hingga tidak bisa disangkal lagi."Hancurkan Sonia, ambil perusahaan."Albian mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba mencerna apa yang selama ini dia abaikan. Sekarang semua terasa seperti pecahan kaca yang menancap di dadanya. Jessica, wanita yang dia pikir mencintainya, ternyata telah merencanakan
Suara langkah Sonia menggema di lorong panjang yang penuh dengan ornamen mewah. Gaun birunya bergoyang lembut setiap kali dia melangkah, tetapi bukan keanggunannya yang menarik perhatian para pelayan yang lewat, melainkan tatapan tajam di wajahnya. Sonia telah memutuskan bahwa sekarang adalah waktunya. Waktu untuk menghadapi Jessica dan waktu untuk membongkar kebenaran yang telah lama disembunyikan di balik senyuman palsu dan manipulasi liciknya.Di depan pintu ruangan bernuansa putih itu, Sonia berhenti sejenak dan menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya. Di balik pintu itu, Jessica duduk dengan nyaman di sofa besar yang empuk, secangkir teh di tangannya. Dia mengenakan gaun merah marun dengan rambut disanggul rapi, tampak seperti seorang ratu yang sedang menikmati harinya. Akan tetapi, di mata Sonia, Jessica tidak lebih dari seorang pelaku yang sebentar lagi akan diadili.Sonia mendorong pintu dengan mantap, menyebabkan engsel berderit pelan. Jessica mendongak dan senyum
Langit malam menampakkan kesenduan, awan-awan gelap menggantung tanpa arah seakan-akan mencerminkan kekacauan di dalam hati Jessica. Di balkon kamarnya, wanita licik itu berdiri dengan napas yang berat, memandang ke arah taman luas yang dulu selalu membuatnya merasa menjadi pemilik dunia. Namun kini, pemandangan itu tak lebih dari pengingat bahwa semua yang dia miliki perlahan-lahan terlepas dari genggamannya.Jessica mengepalkan tangannya. dia tahu waktunya hampir habis. Albian sudah memiliki bukti yang cukup untuk menceraikannya. Bahkan Sonia, wanita yang dulu dianggapnya lemah, telah berdiri tegak melawannya. Satu-satunya pilihan yang tersisa adalah melarikan diri sebelum semuanya runtuh.Dan untuk itu, dia membutuhkan Rey. Rey yang sudah mengundurkan diri agar hidup lebih tenang.Keesokan harinya, Jessica berdiri di sudut kafe kecil di pusat kota. Tempat itu jauh dari kemewahan yang biasa dia datangi, tetapi cukup sepi untuk rencananya. Wanita yang selalu memakai lipstick merah me
“Aku harus ...,” kata Jessica lagi setelah menerima ultimatum, “bertahan.”Malam yang gelap tanpa bintang, seperti layar hitam yang menggantung di atas rumah besar milik Albian. Di ruang kerja yang luas dengan dinding berlapis kayu mahoni, suasana terasa tegang. Lampu gantung yang biasanya memancarkan kilauan hangat kini tampak suram, membentuk bayangan di wajah Albian yang berdiri dengan postur tegap di belakang meja kerjanya.Di seberang meja, Jessica duduk dengan dagu terangkat tinggi, mencoba mempertahankan harga dirinya. Namun, jemarinya yang mencengkeram ujung kursi menunjukkan kegelisahan yang tak mampu dia sembunyikan. Di sebelahnya, Julian duduk lebih santai, tetapi pandangan matanya menyapu ruangan, mencari tanda-tanda apa pun yang bisa memberinya kendali atas situasi ini.Benar, mereka berdua semakin tersudut, bahkan Julian diseret paksa oleh orang-orang Albian.Albian menatap mereka berdua dengan dingin, diam seolah sedang menakar berat dosa-dosa mereka. Suara detik jam di
Setelah malam penuh ketegangan itu, rumah Albian tidak lagi menjadi tempat yang aman. Ethan memutuskan memindahkan keluarga Albian ke tempat persembunyian sementara. Sebuah vila di luar kota, tersembunyi di balik hutan, dipilih sebagai lokasi terbaik untuk memastikan keamanan mereka. Jessica duduk di kursi dekat jendela besar vila itu, pandangannya kosong menatap ke luar. Dia merasa seperti beban berat terus menghimpitnya. Sonia, yang tak pernah membiarkan orang lain tenggelam dalam rasa bersalah terlalu lama, mendekatinya. “Kita semua berada di sini karena kamu, Jessica,” kata Sonia, nada suaranya tegas, “tapi aku ingin kamu tahu, aku tidak sepenuhnya menyalahkanmu.” Jessica menoleh, matanya berkaca-kaca. “Sonia ... aku sudah menghancurkan hidup kalian. Jika sesuatu terjadi pada Farhan atau Alia ....” Sonia menggeleng. “Aku tidak mau mendengar penyesalan itu lagi. Apa yang kita perlukan sekarang adalah rencana. Kamu bilang kamu punya salinan data itu. Di mana?” Wanita itu m
Malam itu, suasana rumah keluarga Albian penuh ketegangan. Jessica duduk di sudut ruangan dengan wajah penuh kecemasan, tangannya gemetar saat memegang secangkir teh yang hampir dingin. Di seberangnya, Sonia dan Albian saling bertukar pandang, mencoba membaca pikiran satu sama lain.Farhan dan Alia sudah terlelap di kamar mereka, tidak menyadari badai yang tengah mendekat. Sonia menatap Albian dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan—campuran antara kekhawatiran dan kekuatan.“Jessica.” Sonia akhirnya memecah keheningan. “Kita harus tahu semuanya. Tidak ada yang bisa disembunyikan sekarang. Apa sebenarnya yang mereka inginkan darimu?”Jessica menggigit bibir bawahnya, ragu-ragu untuk bicara. “Aku sudah memberitahu kalian. Itu semua tentang dokumen yang aku curi—”“Tidak mungkin hanya itu,” potong Sonia, nadanya tegas, “mereka tidak akan mengorbankan segalanya hanya untuk mengejar dokumen biasa.”Albian menatap Jessica tajam. “Jessica, kalau kamu ingin kami membantu, kamu harus berkata
Sonia memutuskan untuk tidak tinggal diam. Dia mengamati kembali rekaman CCTV yang menunjukkan pria dengan jaket logo misterius itu. Dalam pikirannya, ada satu pertanyaan yang terus menghantuinya: kenapa mereka begitu gigih mengejar Jessica?Sementara itu, di ruang kerjanya, Albian menelepon salah satu kontak kepercayaannya. “Dapatkan semua informasi tentang logo ini. Siapa pun yang terlibat di balik organisasi ini, aku ingin tahu segalanya,” katanya dengan nada penuh determinasi.Tak lama, Albian keluar dari ruang kerja. “Kita harus berbicara serius,” katanya sambil memandang Sonia dan Jessica.“Apalagi sekarang, Mas?” tanya Sonia.“Aku sudah memanggil penyelidik pribadi untuk menyelidiki organisasi ini. Tapi Jessica, kamu harus bicara jujur. Apa yang sebenarnya mereka inginkan darimu? Ini bukan sekadar ancaman biasa. Pasti ada alasan besar kenapa mereka segigih ini.”Wanita itu tampak gugup. “Mereka menginginkan ... dokumen penting yang dulu aku ambil dari salah satu pemimpin mereka
Suara retakan dari dapur membuat Sonia dan Jessica saling pandang dengan ketegangan di mata mereka. Sonia segera meraih ponsel di meja, bersiap menghubungi Albian yang sedang bekerja di ruang pribadinya. Namun sebelum dia sempat menekan tombol, Jessica menahan tangannya."Tunggu. Kalau kamu membuat suara, mereka bisa tahu kita menyadari kehadiran mereka," bisik Jessica."Siapa mereka?" tanya Sonia, suaranya tertahan, tetapi tegas.Jessica tidak menjawab. Dia hanya menatap ke arah dapur, memasang kewaspadaan.Dari bayangan di balik pintu dapur, terdengar langkah-langkah pelan. Jessica meraih sebuah benda berat—kayu kecil yang tergeletak di dekat meja—dan bergerak mendekati pintu.Sonia, meskipun gugup, mengikuti di belakangnya.Namun, sebelum mereka bisa mendekat, pintu terbuka, dan seseorang yang tidak dikenal muncul. Wajahnya tertutup oleh topi dan masker. Tatapannya tajam, tetapi dia tampak terkejut mendapati Jessica dan Sonia berdiri di sana."Siapa kamu?!" Sonia berseru dengan sua
Keesokan harinya, Jessica benar-benar kembali seperti yang dijanjikan. Kali ini, dia membawa dokumen-dokumen yang katanya bisa membuktikan ancamannya nyata. Sonia duduk di ruang tamu bersama Albian, dengan sikap waspada, sementara Jessica mulai menjelaskan.“Orang ini, namanya Vincent,” kata Jessica, sambil menunjuk sebuah nama di salah satu dokumen, “dia mantan rekan bisnisku. Awalnya, aku pikir dia hanya marah karena aku mundur dari proyek kami. Tapi belakangan, dia mulai mengancam akan membocorkan rahasia pribadiku dan menyebarkan berita palsu untuk menghancurkan reputasiku.”“Dan apa hubungannya dengan kami?” potong Sonia dingin.Jessica menelan ludah, gugup. “Karena Vincent tidak hanya menyerangku. Dia juga menyebut nama kalian. Dia tahu aku pernah menjadi bagian dari kehidupan kalian dan dia akan menggunakan itu untuk mempermalukan kalian di publik.”Albian memijat pelipisnya, sementara Sonia menatap Jessica dengan tajam. “Jadi, karena ulahmu sendiri, sekarang kami juga terancam
Jessica tersenyum tipis, tapi jelas terlihat tegang. “Aku butuh bicara denganmu, Mas.” Albian diam, tubuhnya membeku. Dia ingin langsung menutup pintu, tapi Jessica memandangnya dengan sorot mata yang penuh tekanan. “Ini penting.” Sonia, yang mendengar suara di depan pintu, berjalan mendekat. “Mas? Siapa—” Langkahnya terhenti begitu melihat Jessica berdiri di ambang pintu. “Sonia.” Jessica mengangguk singkat, seolah kehadirannya adalah hal yang wajar. “Lama tidak bertemu.” “Kamu ... mau apa lagi kamu ke sini?” tanya Sonia, suaranya bergetar, bukan karena takut, tapi karena amarah yang berusaha dia kendalikan jika teringat pada perbuatan wanita licik itu. Jessica melirik Sonia sebelum kembali menatap Albian. “Aku perlu bicara dengan kalian. Ini soal sesuatu yang sangat penting.” “Jessica, kamu seharusnya tidak di sini,” ujar Albian, nadanya datar, tapi penuh ketegasan. Wanita licik itu mendesah. “Aku tidak punya pilihan lain, Mas. Percayalah, aku tidak ingin datang jika tidak te
Suara tawa Farhan dan Alia menggema di halaman belakang rumah besar itu. Farhan, yang kini berusia tujuh tahun, tengah mengejar adiknya yang baru belajar berjalan dengan langkah kecil-kecil yang lucu. Sonia memandangi mereka dari teras sambil menyeduh teh hangat, senyum lembut menghiasi wajahnya."Mereka tumbuh begitu cepat," gumamnya.Albian muncul dari dalam rumah dengan membawa nampan kecil berisi kue-kue kering. "Dan mereka semakin mirip dengan ibunya," katanya sambil duduk di samping Sonia.Sonia tersenyum sambil mengambil satu kue. "Kalau Farhan, mungkin. Tapi Alia jelas memiliki sikap keras kepala ayahnya.""Hati-hati, itu terdengar seperti kritik," goda Albian sambil tersenyum lebar."Tidak, itu pujian terselubung, Mas," balas Sonia sambil menahan tawa.Malam harinya setelah anak-anak tidur, Sonia dan Albian duduk bersama di ruang keluarga. Albian mengambil map kecil dari meja."Aku punya ide," katanya sambil membuka map itu dan menunjukkan brosur liburan, "bagaimana kalau kit
Cahaya mentari pagi menyusup ke dalam ruang kerja Sonia, yang dipenuhi dengan peta, dokumen, dan laporan. Sebagai inisiator utama proyek amal keluarga, Sonia telah membawa perubahan besar yang awalnya hanya bertujuan lokal, kini berkembang hingga ke tingkat internasional."Ibu, ini laporan dari cabang baru di Kamboja," kata seorang staf muda, menyerahkan sebuah dokumen kepada Sonia.Sonia menerima laporan itu dengan senyuman. "Terima kasih, Lisa. Pastikan mereka mendapatkan semua dukungan yang mereka butuhkan. Kita ingin hasil ini berkelanjutan, bukan hanya pencapaian sementara."Lisa mengangguk sebelum bergegas pergi. Proyek amal yang dimulai Sonia kini mencakup pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan perempuan di berbagai negara berkembang. Tantangannya semakin besar, tetapi semangat Sonia tetap menyala.Sungguh dia tidak menduga akan menjadi seorang wanita karir, padahal dulu hanya dipandang sebelah mata. Besar kemungkinan memang itu adalah buah dari kesabarannya. Sonia harus lebih
Angin musim gugur berembus lembut di taman belakang rumah besar keluarga Albian. Hari itu, keluarga besar mengadakan pertemuan santai untuk merayakan keberhasilan proyek amal yang baru saja selesai. Proyek tersebut tidak hanya membantu banyak orang, tetapi juga memperkuat citra keluarga di mata publik. Sonia, yang menjadi ujung tombak proyek itu, kini menjadi pusat perhatian.“Sonia, kamu benar-benar luar biasa,” kata salah satu bibi dari pihak Albian, Bu Gertrude. Dia dikenal sebagai salah satu anggota keluarga yang paling sulit memuji orang lain, “proyek ini berjalan sangat baik, dan aku yakin kontribusimu yang membuatnya berhasil.”Sonia tersenyum hangat, sedikit tersipu. “Terima kasih, Tante Gertrude. Tapi ini semua hasil kerja tim. Aku hanya melakukan bagian kecil.”Mertua, yang duduk tidak jauh dari mereka, hanya mengangguk kecil sambil menyesap tehnya. Meskipun dia tidak langsung memuji, tatapan matanya tidak lagi penuh keraguan seperti sebelumnya.“Sonia memang pekerja keras,”